22 Oktober 2014

Musim Baratan



Cerpen: Suantoko (Radar Surabaya, 19 Okt 2014)

      Ombak pindah ke daratan.
         Rumah-rumah di bibir pantai, temboknya habis dikikis.
Ya, sampai habis, layaknya kotoran mengambang, dikerikiti ikan keting yang kelaparan.
       Begitu pun kotoran yang menempel di tembok penangkis itu. Bekas
kotoran juga dijilati ikan-ikan keting, hampir tak tersisa. Tembok penangkis, hanya menyisakan karat dan asin di rangka beton. Akibatnya, atap-atap rumah penduduk berdenyut ketakutan. Khawatir ombak ganas tiba-tiba menerjang tengah malam.
         Pukul 01.00 seperti petir menyambar. Gemuruhnya mengalahkan badai di tengah laut. Sementara di daratan, gerombolan keringat dingin berselancar di leher dan kerut kening para penduduk kampung .
Berserak kembali.
Ombak besar dini hari.
Merembeslah airmata Sutiyem.
Anak balitanya tibatiba hilang, usai bermain undur-undur di teras rumah.
Sementara suaminya, berkalikali
menggulung tubuhnya di kamar. Dirundung kegalauan. Berbulan- bulan tak melaut.
Musim baratan seperti ini, ikan di laut pun enggan ke permukaan. Sementara,
dapur dan perut istri–anaknya harus selalu beroperasi tiap hari layaknya mesin kapal.
“Kang! Kang Sakiran! Anak kita
hilang,” teriakan Sutiyem dari teras, usai gebyuran ombak ganas dini hari itu.
Tak kunjung ada jawab. Mungkin teriakannya terhalang oleh gemuruh ombak. Sesekali ia menangis. Anak berusia 4 tahun satu-satunya, entah di mana. Bingung. Sementara, suaminya tak peduli lagi.
“Kang!” serunya masuk rumah bersamaan gempuran ombak dini hari.
“Ada apa kau teriak-teriak. Menangis juga. Berisik! Mengganggu tetangga.
Belum lagi, ombak di laut menerjang atap rumah, sudah membuat pusing. Apa kau tak mengerti. Kepalaku pusing direndam ombak! Kau ini mengganggu saja.”
“Anak kita hilang, Kang?!” jawabnya dalam tangisan.
“Tidak mungkin. Tadi, baru saja bermain
undur-undur, usai aku kencing.”
“Anak kita terseret ombak.”
“Ah, tidak mungkin. Bukankah, penangkis ombak pesisir Tuban, di samping rumah kita sudah kuat. Tidak mungkin
ombak menerjang rumah kita.”
“Tangkisnya jebol, Kang! Kini aku tak
tahu, apa yang harus kulakukan.”
“Janganlah khawatir, istriku. Bukankah ranjang ini masih lebar untuk kita,” jawabnya mengusir kesedihan.
         Hanya debur ombak yang melintaslintas.
Dari luar, ombak semakin gemuruh.
Berlarian ke rumah-rumah penduduk. Sementara, di kamar rumah keluarga Sakiran, semakin menderu kesedihan. Silih berganti dengan gemuruh ombak.
“Fitri anakku. Di mana kamu?”
“Tidak usah risau. Sebentar lagi, Ratu Laut Lor pasti mengembalikan anak kita. Lebih baik, ke sini berbaring di
sampingku. Bukankah musim baratan,
waktunya seranjang?” ucap Sakiran tidak jelas.
“Kamu ngawur1! Mabuk lagi, Kang?
Kang, sudahilah mabukmu! Anak kita
hilang,” dalam tangis mendayu-dayu. Matanya pun berkaca-kaca.
“Siapa yang mabuk? Ah! Kau terlalu
membuat-buat. Ada uang untuk beli rokok dan kopi?”
“Masih sempat kau memikirkan rokok
dan kopi? Berapa pekan kau tidak melaut?”
“Kira-kira 4 pekan,” jawabnya tak acuh, sambil menyilangkan kaki.
“Anak kita hilang, Kang!”
“Anak kita hilang,” pura-pura gugup.
Lanjutnya, “Kita buat lagi. Begitu saja repot. Orang-orang repot saja tidak seperti
itu,” guraunya mengusir kepenatan.
“Kau semakin nglindur2!”
Sutiyem di sudut dipan kembali menangis,
bagai deburan ombak menyantap dinding rumahnya. Airmatanya berlinang
bagai aliran air rob yang menggenang di teras. Malam itu, amukan ombak pasang semakin menjadi-jadi.
Dahsyat! Seperti tsunami. Sama seperti tangis Sutiyem, gemulung berkali-kali,
kemudian pecah di pipinya.
Sakiran kembali mendengkur. Tak
peduli anaknya hilang ataukah di ajak
bertamasya oleh Kanjeng Ratu Laut
Lor. Wajahnya dalam tidur nampak
pasrah menjalani roda kehidupan.
“Kang! Bangun! Bangun, Kang! Apa
kau tidak peduli lagi dengan nasib istri
dan anakmu! Sudah berapa pekan tidak
kau nafkahi. Sementara bawang dan
cabai di dapur, sudah habis. Ditambah
lagi, anak kita sekarang hilang,” dalam
tangisannya.
Sakiran masih berbaring seperti perahu-perahu yang ditambatkan.
Hanya menggulingkan badan sambil bergeliat.
“Bangun untuk apa? Melaut. Saya
harus mencari anak kita ke dasar laut.
Tidak mungkin, cuaca baratan semacam
ini, aku pergi melaut. Apa mau setor nyawa! Lihatlah tetangga-tetangga
kita. Apa lakinya melaut! Pekan
ini enaknya tidur sambil menunggu cuaca membaik,” ungkapnya mendengkus di bantal, kemudian Sakiran
kembali mendengkur.
Kamar berukuran dua meter persegi, seakan sesak. Tersekat di antara tangis
dengan dengkuran. Semakin sempit.
Bahkan, tak ada kesepahaman perasaan di antara dua penghuninya.
Satunya batu karang. Satunya lagi, meluber seperti air rob di teras rumah.
Setiap ombak menyambar dinding rumahnya, menambah risau hati ibu satu
anak itu. Keras sekali menerpa kegugupan
Sutiyem. Kadang ia meceburkan
mukanya ke air. Mengusap-usap wajahnya
dengan air asin. Berharap anaknya
dikembalikan oleh Ratu Laut Lor.
Teras rumahnya tergenang. Berbarengan
dengan pipi Sutiyem yang berkalikali
dialiri airmatanya. “Ke mana kamu, Nak,” gumamnya dalam percikan air rob.
“Mengapa kau tak pulang-pulang?”
Sutiyem rupanya tak sabar. Ia ingin mencari anaknya ke laut. Ketika sampai
di penangkis, ia terhantam ombak.
Daster lusuh, ia kenakan seketika lengket di badan. Sementara, gigi-giginya
menggigil ketakutan.
“Tenang saja, Nak. Emak akan mencarimu.”
Hantaman ombak kedua, tak dihiraukan. Hantaman ombak ketiga, ia menjerit.
“Kang! Tolong Sutiyem,” jeritannya melebihi gemuruh ombak. Tak satu pun menanggapi, termasuk tetangganya.
“Kang Sakiran, mungkin sudah mati,” celetuknya geram.
Dini hari itu, tak satu pun tetangga yang keluar rumah, walaupun Sutiyem menjerit. Seakan dini hari itu bertambah sepi. Percakapan orang-orang melaut tak seperti biasanya. Pukul 02.00 biasanya ramai seperti pasar nelayan di seberang jalan. Di depan rumah biasanya berbaris orang-orang membawa jaring. Sekarang, hanya suara perahu, kadang berbenturan. 
 Thuk, thuk, thuk, suara perahu bergandengan dengan kelebat bendera yang di terjang angin.
Sutiyem menunduk di tepi penangkis ombak, kemudian berlari ke sana kemari. Mengetuk pintu rumah para tetangganya satu per satu. Tidak ada jawab. Ia bingung, lalu pergi ke pos ronda. Ternyata, tidak ada satu pun penjaga malam di situ.
“Ke mana lagi aku meminta bantuan
untuk mencari anakku?” sambil mengoyak rambutnya yang tergerai.
Ombak kembali tenang. Sutiyem pulang, lalu ke kamarnya. Di kamar, iam seakan muak dengan tak acuhnya
Sakiran, suaminya. Lampu petromak yang biasa dinyalakan, bergelantung di matanya. Ia teringat, dini hari biasanya menyalakan lampu untuk persiapan suaminya melaut. Kerinduannya berpekan-pekan, ia jamu dengan mengelus-elus tabungnya, karena agak
berdebu. Ia turunkan dari gantungan. Kain tetoron bekas, ia jadikan lap. Lampu petromak itu, diisi pula dengan minyak tanah. Layaknya, ia tak mau melupakan kebiasaan itu. Kadang gagang pompa ditarik–dorong, sambil mengecek klap, karena sudah 4 pekan tidak disentuh, apalagi dipompa.
Kecemasannya tak kunjung padam.
Ia kembali membangunkan suaminya.
“Kang! Bangun, Kang! Anak kita belum ditemukan.”
“Apalagi! Sudah kubilang, ranjang kita masih luas, kan? Kau dengar tetanggatetangga
kita. Apa ada yang berteriak dini hari? Mereka menikmati musim baratan. Kau tahu kan, musim baratan hanya terjadi tiga bulan dalam setahun. Akankah kita tak merayakannya
“Kau seharusnya mengerti. Situasinya
berbeda, Kang!” bantah Sutiyem dalam sesenggukan.
“Itu hanya alasanmu saja. Apa karena aku tidak melaut, sehingga ranjang ini sempit bagimu?”
       Tangis Sutiyem kembali meluber bersamaan hantaman ombak yang semakin menjadi-jadi. Tak ayal, jika air rob masuk ke kamarnya. Ia pun tak kaget. Memang musim baratan, inilah yang biasa terjadi.
Ombak kembali memuncak, laksana airmata membanjiri pipi halus Sutiyem.
Berulang-ulang ombak berkejaran di teras lalu masuk ke kamar. Air rob dalam kamar sudah selutut. Tidak terasa, kakinya pun tenggelam. Sementara, lampu petromak yang di lantai, hanya terlihat kepalanya.
“Yem. Apakah rumah kita sudah hanyut.”
 Hanya sesenggukan tangis Sutiyem yang menjawabnya.
“Yem! Lampu petromak kita, Yem.”
Airmata Sutiyem bertambah deras.
“Kau gila, Yem! Lampu itu mahal.”
“Kang?” nadanya halus. “Lebih mahal
mana antara lampu petromak ini dengan anak kita?”
“Barang tentu, lebih mahal lampu
petromak itu daripada anak kita.
Lampu petromak butuh minyak tanah,
sedangkan dari pemerintah tidak ada subsidi. Tentu, kita harus membeli mahal. Perlu kau ketahui, anak tidak usah membeli seperti minyak tanah. Bukankah ranjang ini gratis, Yem?”
“Kang! Hati ini perih, layaknya luka
di kakiku, terkena air asin. Masih saja kau bergurau.”
Sakiran hanya membalas senyum gelitik.
“Kang! Apa kau tidak peduli lagi dengan anak kita?” tanya Sutiyem.
“Saya peduli. Bahkan, rencananya mau menambah lagi.”
“Apa kamu bilang? Satu saja tidak kau urus. Anak kita hilang, kau malah menawarkan ranjang untuk menambah lagi?”
“Itu kecerobohanmu, karena anakmu tidak kau kawal.”
“Anakku, kau bilang? Jadi, kau tidak mengakuinya. Anak kita, Kang! Baiklah, aku akan mencari sendiri ke dasar laut,” tegasnya sambil menenteng lampu petromak.
“Yem! Kau jangan gegabah. Ombak laut Lor sedang mengamuk.”
Tiba-tiba ayam petarung milik tetangga sudah berkokok. Fajar mulai menjemput. 
Tangis Sutiyem reda. Sumber airmatanya berhenti menyembur.
Disekanya perlahan, ketika mendengar
suara genteng pecah. Ternyata, anak mereka tidur di atas atap rumah. Itu pun saran bapaknya, Sakiran. Dia khawatir kalau ombak besar menghanyutkan anaknya. Musim baratan memang rawan. Bukan hanya perahu saja, kemungkinan besar, anak-anak pun ikut tersambar ombak, kalau orang tua tidak waspada.
“Yem, apa kau tidak peka atas kelakuanku?” kata Sakiran. Tambahnya,
“Yem, ini musim baratan. Tentunya ranjang kita bertambah lebar.”
“Iya. Kang. Sutiyem tahu. Tapi dapur kita kosong. Nanti, kita mau makan apa? Sementara, Fitri, baru saja kita temukan.”
“Kita puasa,” bisikan Sakiran penuh hasrat atas ranjangnya.
“Mengapa tidak sekarang saja, kita memulai puasa, Kang,” kekesalah Sutiyem sambil menarik nafas sesenggukan.
“Kurang ajar!’ celetuk Sakiran (*)

Tidak ada komentar: