Syahdan, di antara kepungan kawanan randu yang menjulang rimbun, terdapatlah sebuah rumah tua yang kusam dan penuh oleh belukar menjejali dinding-dinding bambunya. Rumah kosong. Terletak jauh dari pemukiman warga, sehingga sepilah ia berdiri di sana. Kecuali sebuah sumur kering yang setia menemani beserta makam bisu di sisi berandanya.
Sekitar jam sembilan malam, kami – aku dan Yudha – tiba di kampung Toni, di daerah pinggiran kota Pesisir Selatan. Tapi rumah yang dituju belum terlihat. Gelapnya malam menyusahkan kami menelusuri jalanan yang tak beraspal dan kadang bergelombang. Toni tak bisa dihubungi karena sinyal yang tak mendukung. Singkat cerita, ide untuk bertanya pun menjadi jalan keluarnya.
Awal-awal tak ada seorang pun yang bisa kami temui di sekitar sana. Kami melaju terus sambil menoleh ke sana ke mari. Sampai tampaklah seorang perempuan melintas di kejauhan. Kami langsung menghampiri dan Yudha menghentikan laju sepeda motor ketika si perempuan telah beberapa meter saja jaraknya. Dia terpaku dan aku melompat turun dengan segenap keramahan.
“Permisi,” sapaku manis, “saya mencari rumah teman saya, Toni Oktafrian, di mana ya? Katanya di dekat mushala Al Hikmah.” Dia tak langsung menjawab. Beberapa detik diam. Aku masih menunggu seraya memperhatikan raut wajahnya yang samar-samar cantik juga. Yudha belum mematikan mesin motor, sehingga bunyinya bersaing melawan nyanyian-nyanyian jangkrik dan kodok di balik semak-semak.
Dalam kekaburan pesona, tiba-tiba si perempuan memberi semacam petunjuk arah dengan telunjuk kiri. Arahnya menuju pada layar hitam yang disesaki rumpun pohon dan bayangan-bayangan malam yang hening. Tak lama kemudian perempuan tersebut pergi dan aku masih terpusat pada petunjuk yang telah diberikan. Entah lewat mana untuk pergi ke sana, aku tidak tahu. Aku tak sempat menanyakannya. Dia terlanjur hilang ditelan kabut hitam dan gulita yang menyelimuti.
“Di sana!” sahutku pada Yudha sambil menunjuk seperti yang diinformasikan si perempuan. “Masih jauh,” tambahku ketika menaiki sepada motor dengan secuil tanda tanya. Keraguan menari-nari di dalam kepala. Kami meneruskan perjalanan.
Meski jalan yang terbentang tak kunjung menuntun kami ke arah yang sedang dipatokkan, Yudha tetap menggas sepeda motor bersemangat. Di belakang, aku sibuk mencari-cari titik terang yang mungkin bisa memudahkan kami sampai pada tempat tujuan. Hanya rembulan dan bintang-bintang saja yang bersinar membantu penglihatan kami
Lama menjelajahi negeri orang, cahaya itu pun akhirnya muncul dari sebuah penjuru. Cahaya yang perlahan mendekat dan semakin lama semakin jelas siapa yang membawanya. Ternyata orang tersebut adalah Toni. Dia sedang berjalan kaki menjinjing lentera merah yang menyala-nyala. Kami lega sekali. Sejurus kemudian, sekulum senyum pun tercipta di wajah lelah kami.
“Aduh, syukurlah aku menemukan kalian. Dari tadi aku menunggu di dekat mushala. Katanya akan sampai sesudah isya?” ucap Toni dan memimpin kami ke rumahnya.
“Iya, tadi motornya Yudha bermasalah sedikit di Tarusan, jadi kami harus menunda perjalanan beberapa menit,” ucapku sembari menepuk pundak Yudha.
“Maklumlah, barang kantau,” tangkas Yudha bersahaja.
Sesampainya di rumah Toni, kami disambut Femmy, sang istri. Kami duduk di ruang tamu untuk melepas penat di sekujur tubuh. Beberapa basa-basi memulai percakapan. Toni mengatakan bahwa di kampungnya ini memang sering mengalami pemadaman listrik. Terutama beberapa hari belakangan. Seperti ada sebuah masalah yang sedang dihadapi oleh PLN setempat. Namun rumah Toni menggunakan mesin diesel, sehingga cukup terang dengan beberapa lampu pijar yang temaram.
“Hanya beberapa rumah saja di sekitar sini yang memanfaatkan perkembangan teknologi,” jelas Toni. “Kebanyakan dari warga suka memilih tidur lebih awal jika keadaan sudah gelap-gelap begini.”
Perkenalan tentang Femmy yang baru dikawini Toni setahun lalu pun menjadi topik menarik berikutnya. Obrolan berjalan santai, sampai-sampai Yudha dengan begitu lancangnya memuji Femmy. “Ton, ada lagi nggak yang seperti Femmy di kampung ini?”
Aku hanya tersenyum tipis mendengar kalimat Yudha. Dia memang sering begitu, Toni pun pasti telah meinsyafinya. “Wah, sayangnya nggak ada lagi, Yud. Femmy adalah satu-satunya gadis tercantik di kampung ini.” Toni menjawab dengan nada bercanda. Femmy pun sekilas tampak malu menerima pujian sang suami. Pipinya memerah.
Mendadak terbersitlah di benakku potret seorang perempuan yang tadi kutemui. Karena penasaran, aku pun angkat bicara dan bertanya pada Toni. Siapa tahu dia kenal.
“Eh, tadi aku bertemu perempuan yang cantik juga. Dari wajah-wajahnya, mungkin hampir sebaya dengan Femmy.” Toni terdiam dan Yudha memperbaiki posisi duduknya.
“Maksudmu yang tadi memberi petunjuk jalan?” tanya Yudha serius.
“Ya. Tapi, Yud,” kataku tersentak, “kalau dipikir-pikir, rasanya arah yang dia informasikan tadi bukanlah ke sini.”
“Ke mana?” potong Toni ingin tahu. Sejenak aku pun tenggelam dalam ingatan yang bimbang. Tanganku bergerak-gerak mencari arah yang mungkin sesuai dengan gambaran di kepala. Sementara Yudha juga terbawa-bawa berpikir di bangkunya.
“Kurang lebih di ujung sana. Dekat kaki bukit itu,” ucapku sembari menunjuk pada pemandangan di luar kaca jendela yang sangat kelam. Toni mengerutkan dahi ketika menatap pada tempat yang kutunjuk. Femmy ikut terheran dan Yudha terpaksa memutar lehernya karena membelakangi jendela.
Sejurus kemudian Toni memandang pada Femmy dan sebaliknya. Ekspresi wajah mereka yang serius membuatku menjadi terpancing untuk segera meminta keterangan.
“Ada apa, Ton?”
Dengan air muka yang belum berubah, Toni pun menoleh kepadaku sembari istighfar. “Semoga dia bukan Monalisa.”
“Monalisa?”
“Siapa Monalisa?” tanya Yudha antusias.
“Begini,” sebentar Toni menghela nafas, “dulu ketika kampung ini masih sepi dan sedikit sekali penghuninya, pernah terjadi kasus pembunuhan yang tragis dan bejat. Monalisa adalah korbannya kala itu. Dia kabarnya menjadi kembang desa yang diperebutkan banyak lelaki bujang sebayanya. Sampai-sampai pernikahannya kemudian dengan seorang alim pun menjadi kecemburuan massal kawula muda. Terlebih saat dia telah melahirkan seorang putra. Pada suatu hari sekelompok pemuda yang bersekongkol, menjebak suami Monalisa dan membunuhnya. Usai pembunuhan tersebut, mereka menyusup masuk ke dalam rumah Monalisa yang masih setia menanti sang suami bersama buah hati tercinta. Di sana, Monalisa diperkosa secara bergilir, lalu dibunuh! Anaknya yang merengek-rengek pun tak ketinggalan mendapat hujaman belati yang berlumuran darah. Akhirnya mereka semua mati dalam kemalangan.”
Aku terpana menyimak kisah yang baru saja tersaji memprihatinkan itu. Yudha belum berani berkomentar dan Femmy hanya tertunduk, bungkam.
“Semenjak itulah,” lanjut Toni, “konon katanya arwah Monalisa jadi gentayangan di kampung kami. Dia – kata orang – berkeliaran mencari keberadaan sang suami terkasih. Hingga hari ini!”
Tiba-tiba suasana diam. Semua tampak hanyut dalam perenungan. Hingga kemudian Toni memecah sunyi dengan suara meyakinkan. “Sebenarnya aku tak percaya juga dengan arwah-arwah gentayangan.”
Pernyataan itu tak mendapat tanggapan. Hanya Yudha yang kembali bertanya soal si perempuan misterius. “Jadi, di sana rumah Monalisa itu?” Tangan Yudha merujuk pada arah yang tadi kutunjuk.
“Ya. Rumah hidup dan matinya.”
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti akan pengertian dari ‘rumah hidup dan mati’.
“Di sanalah dulu dia tinggal bersama suami dan anaknya. Di sana pulalah – tepatnya di beranda rumah – dia dan sang anak dikuburkan oleh warga kampung.”
Malam bertambah larut dan percakapan beralih pada cerita-cerita masa kuliah dulu yang penuh kenakalan. Yudha adalah yang paling hafal dengan kenangan tersebut. Semua detail peristiwa seakan-akan terekam baik di dalam otaknya. Sederet tawa kini terus-terusan menghiasi malam. Untuk sesaat, kisah horor yang sempat mengusik perhatian pun jadi terlupa.
Esoknya, kunjungan silaturahmi itu berakhir dengan hangat. Kami pun bersiap-siap untuk pamit pulang kepada tuan rumah. Rencana awalnya kami akan berangkat sore hari. Tapi lantaran hujan turun begitu deras, perjalanan pun jadi terpaksa diundur. Satu jam, dua jam, tak ada perubahan. Hujan masih turun dengan riuh. Hingga langit menjadi gelap dan jam menunjukkan pukul sembilan malam, barulah ia reda dan angin berhembus dingin menusuk kulit. Untungnya listrik tidak sedang padam. Sehingga beberapa rumah yang tampak bercahaya membuat kami semakin mantap untuk memulai perjalanan balik ke Padang.
Tanah dan rumput basah kuyup. Becek tampak di berbagai sisi jalan yang kami tempuh.
Baru beberapa menit saja berlalu, tiba-tiba kesialan menimpa kami. Sepeda motor Yudha mati lagi. Pemukiman warga sudah agak jauh di belakang. Dari posisi kami berada, hanya secercah titik-titik pelita saja yang bisa terlihat. Yudha kesal dan aku patah semangat menerima keadaan.
“Bagaimana?” tanyaku. Yudha tampak sedang mengecek busi – bagian mesin motornya yang sering bermasalah. Dia tidak merespon dan larut dalam usaha yang terkesan sia-sia. Pikiranku mulai kalut, sampai-sampai tak menyadari seseorang dari arah belakang yang berjalan mendekat. Seorang perempuan berambut panjang.
Aku sedang berjongkok dan Yudha yang gelisah mendatangi perempuan tersebut dengan tergesa-gesa. “Maaf, bengkel terdekat di mana ya?”
Tak ada suara. Pertanyaan itu hanya dijawab pakai isyarat tangan kiri yang mengacung pada titik jauh di kaki bukit, dekat pemukiman warga. Kami spontan melemparkan pandangan ke arah yang dimaksud, hingga lupa bahwa si perempuan yang memberi informasi barusan telah pergi saja menjauh di belakang – dia putar balik.
Sejenak, ada semacam energi yang menyetrum tepat di jantungku. Bergetar dan kejang! Entah mengapa serasa ada de ja vu saja saat itu. Kini aku teringat akan cerita Toni kemaren malam: Monalisa. Secepat kilat, bulu kuduk pun merinding, saraf-saraf tegang, dan aliran darah terasa tersendat-sendat menyusuri nadi yang ciut. Aku tak berani lagi memalingkan wajah kepada si perempuan yang masih terdengar jelas bunyi langkah kakinya. Aku sungguh-sungguh terpaku dalam bayangan mengerikan yang bersemayam di kepala. Tak lama sesudah pikiran itu hadir, ketegangan semakin merenggut nafas ini. Lampu di seantero kampung padam. Sekeliling mulai gelap dan hening yang memergoki menjelma ketakutan!
(Cerpen Karya: RIKI FERNANDO, Dimuat di Harian Haluan, 19 September 2015)
Sekitar jam sembilan malam, kami – aku dan Yudha – tiba di kampung Toni, di daerah pinggiran kota Pesisir Selatan. Tapi rumah yang dituju belum terlihat. Gelapnya malam menyusahkan kami menelusuri jalanan yang tak beraspal dan kadang bergelombang. Toni tak bisa dihubungi karena sinyal yang tak mendukung. Singkat cerita, ide untuk bertanya pun menjadi jalan keluarnya.
Awal-awal tak ada seorang pun yang bisa kami temui di sekitar sana. Kami melaju terus sambil menoleh ke sana ke mari. Sampai tampaklah seorang perempuan melintas di kejauhan. Kami langsung menghampiri dan Yudha menghentikan laju sepeda motor ketika si perempuan telah beberapa meter saja jaraknya. Dia terpaku dan aku melompat turun dengan segenap keramahan.
“Permisi,” sapaku manis, “saya mencari rumah teman saya, Toni Oktafrian, di mana ya? Katanya di dekat mushala Al Hikmah.” Dia tak langsung menjawab. Beberapa detik diam. Aku masih menunggu seraya memperhatikan raut wajahnya yang samar-samar cantik juga. Yudha belum mematikan mesin motor, sehingga bunyinya bersaing melawan nyanyian-nyanyian jangkrik dan kodok di balik semak-semak.
Dalam kekaburan pesona, tiba-tiba si perempuan memberi semacam petunjuk arah dengan telunjuk kiri. Arahnya menuju pada layar hitam yang disesaki rumpun pohon dan bayangan-bayangan malam yang hening. Tak lama kemudian perempuan tersebut pergi dan aku masih terpusat pada petunjuk yang telah diberikan. Entah lewat mana untuk pergi ke sana, aku tidak tahu. Aku tak sempat menanyakannya. Dia terlanjur hilang ditelan kabut hitam dan gulita yang menyelimuti.
“Di sana!” sahutku pada Yudha sambil menunjuk seperti yang diinformasikan si perempuan. “Masih jauh,” tambahku ketika menaiki sepada motor dengan secuil tanda tanya. Keraguan menari-nari di dalam kepala. Kami meneruskan perjalanan.
Meski jalan yang terbentang tak kunjung menuntun kami ke arah yang sedang dipatokkan, Yudha tetap menggas sepeda motor bersemangat. Di belakang, aku sibuk mencari-cari titik terang yang mungkin bisa memudahkan kami sampai pada tempat tujuan. Hanya rembulan dan bintang-bintang saja yang bersinar membantu penglihatan kami
Lama menjelajahi negeri orang, cahaya itu pun akhirnya muncul dari sebuah penjuru. Cahaya yang perlahan mendekat dan semakin lama semakin jelas siapa yang membawanya. Ternyata orang tersebut adalah Toni. Dia sedang berjalan kaki menjinjing lentera merah yang menyala-nyala. Kami lega sekali. Sejurus kemudian, sekulum senyum pun tercipta di wajah lelah kami.
“Aduh, syukurlah aku menemukan kalian. Dari tadi aku menunggu di dekat mushala. Katanya akan sampai sesudah isya?” ucap Toni dan memimpin kami ke rumahnya.
“Iya, tadi motornya Yudha bermasalah sedikit di Tarusan, jadi kami harus menunda perjalanan beberapa menit,” ucapku sembari menepuk pundak Yudha.
“Maklumlah, barang kantau,” tangkas Yudha bersahaja.
Sesampainya di rumah Toni, kami disambut Femmy, sang istri. Kami duduk di ruang tamu untuk melepas penat di sekujur tubuh. Beberapa basa-basi memulai percakapan. Toni mengatakan bahwa di kampungnya ini memang sering mengalami pemadaman listrik. Terutama beberapa hari belakangan. Seperti ada sebuah masalah yang sedang dihadapi oleh PLN setempat. Namun rumah Toni menggunakan mesin diesel, sehingga cukup terang dengan beberapa lampu pijar yang temaram.
“Hanya beberapa rumah saja di sekitar sini yang memanfaatkan perkembangan teknologi,” jelas Toni. “Kebanyakan dari warga suka memilih tidur lebih awal jika keadaan sudah gelap-gelap begini.”
Perkenalan tentang Femmy yang baru dikawini Toni setahun lalu pun menjadi topik menarik berikutnya. Obrolan berjalan santai, sampai-sampai Yudha dengan begitu lancangnya memuji Femmy. “Ton, ada lagi nggak yang seperti Femmy di kampung ini?”
Aku hanya tersenyum tipis mendengar kalimat Yudha. Dia memang sering begitu, Toni pun pasti telah meinsyafinya. “Wah, sayangnya nggak ada lagi, Yud. Femmy adalah satu-satunya gadis tercantik di kampung ini.” Toni menjawab dengan nada bercanda. Femmy pun sekilas tampak malu menerima pujian sang suami. Pipinya memerah.
Mendadak terbersitlah di benakku potret seorang perempuan yang tadi kutemui. Karena penasaran, aku pun angkat bicara dan bertanya pada Toni. Siapa tahu dia kenal.
“Eh, tadi aku bertemu perempuan yang cantik juga. Dari wajah-wajahnya, mungkin hampir sebaya dengan Femmy.” Toni terdiam dan Yudha memperbaiki posisi duduknya.
“Maksudmu yang tadi memberi petunjuk jalan?” tanya Yudha serius.
“Ya. Tapi, Yud,” kataku tersentak, “kalau dipikir-pikir, rasanya arah yang dia informasikan tadi bukanlah ke sini.”
“Ke mana?” potong Toni ingin tahu. Sejenak aku pun tenggelam dalam ingatan yang bimbang. Tanganku bergerak-gerak mencari arah yang mungkin sesuai dengan gambaran di kepala. Sementara Yudha juga terbawa-bawa berpikir di bangkunya.
“Kurang lebih di ujung sana. Dekat kaki bukit itu,” ucapku sembari menunjuk pada pemandangan di luar kaca jendela yang sangat kelam. Toni mengerutkan dahi ketika menatap pada tempat yang kutunjuk. Femmy ikut terheran dan Yudha terpaksa memutar lehernya karena membelakangi jendela.
Sejurus kemudian Toni memandang pada Femmy dan sebaliknya. Ekspresi wajah mereka yang serius membuatku menjadi terpancing untuk segera meminta keterangan.
“Ada apa, Ton?”
Dengan air muka yang belum berubah, Toni pun menoleh kepadaku sembari istighfar. “Semoga dia bukan Monalisa.”
“Monalisa?”
“Siapa Monalisa?” tanya Yudha antusias.
“Begini,” sebentar Toni menghela nafas, “dulu ketika kampung ini masih sepi dan sedikit sekali penghuninya, pernah terjadi kasus pembunuhan yang tragis dan bejat. Monalisa adalah korbannya kala itu. Dia kabarnya menjadi kembang desa yang diperebutkan banyak lelaki bujang sebayanya. Sampai-sampai pernikahannya kemudian dengan seorang alim pun menjadi kecemburuan massal kawula muda. Terlebih saat dia telah melahirkan seorang putra. Pada suatu hari sekelompok pemuda yang bersekongkol, menjebak suami Monalisa dan membunuhnya. Usai pembunuhan tersebut, mereka menyusup masuk ke dalam rumah Monalisa yang masih setia menanti sang suami bersama buah hati tercinta. Di sana, Monalisa diperkosa secara bergilir, lalu dibunuh! Anaknya yang merengek-rengek pun tak ketinggalan mendapat hujaman belati yang berlumuran darah. Akhirnya mereka semua mati dalam kemalangan.”
Aku terpana menyimak kisah yang baru saja tersaji memprihatinkan itu. Yudha belum berani berkomentar dan Femmy hanya tertunduk, bungkam.
“Semenjak itulah,” lanjut Toni, “konon katanya arwah Monalisa jadi gentayangan di kampung kami. Dia – kata orang – berkeliaran mencari keberadaan sang suami terkasih. Hingga hari ini!”
Tiba-tiba suasana diam. Semua tampak hanyut dalam perenungan. Hingga kemudian Toni memecah sunyi dengan suara meyakinkan. “Sebenarnya aku tak percaya juga dengan arwah-arwah gentayangan.”
Pernyataan itu tak mendapat tanggapan. Hanya Yudha yang kembali bertanya soal si perempuan misterius. “Jadi, di sana rumah Monalisa itu?” Tangan Yudha merujuk pada arah yang tadi kutunjuk.
“Ya. Rumah hidup dan matinya.”
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti akan pengertian dari ‘rumah hidup dan mati’.
“Di sanalah dulu dia tinggal bersama suami dan anaknya. Di sana pulalah – tepatnya di beranda rumah – dia dan sang anak dikuburkan oleh warga kampung.”
Malam bertambah larut dan percakapan beralih pada cerita-cerita masa kuliah dulu yang penuh kenakalan. Yudha adalah yang paling hafal dengan kenangan tersebut. Semua detail peristiwa seakan-akan terekam baik di dalam otaknya. Sederet tawa kini terus-terusan menghiasi malam. Untuk sesaat, kisah horor yang sempat mengusik perhatian pun jadi terlupa.
Esoknya, kunjungan silaturahmi itu berakhir dengan hangat. Kami pun bersiap-siap untuk pamit pulang kepada tuan rumah. Rencana awalnya kami akan berangkat sore hari. Tapi lantaran hujan turun begitu deras, perjalanan pun jadi terpaksa diundur. Satu jam, dua jam, tak ada perubahan. Hujan masih turun dengan riuh. Hingga langit menjadi gelap dan jam menunjukkan pukul sembilan malam, barulah ia reda dan angin berhembus dingin menusuk kulit. Untungnya listrik tidak sedang padam. Sehingga beberapa rumah yang tampak bercahaya membuat kami semakin mantap untuk memulai perjalanan balik ke Padang.
Tanah dan rumput basah kuyup. Becek tampak di berbagai sisi jalan yang kami tempuh.
Baru beberapa menit saja berlalu, tiba-tiba kesialan menimpa kami. Sepeda motor Yudha mati lagi. Pemukiman warga sudah agak jauh di belakang. Dari posisi kami berada, hanya secercah titik-titik pelita saja yang bisa terlihat. Yudha kesal dan aku patah semangat menerima keadaan.
“Bagaimana?” tanyaku. Yudha tampak sedang mengecek busi – bagian mesin motornya yang sering bermasalah. Dia tidak merespon dan larut dalam usaha yang terkesan sia-sia. Pikiranku mulai kalut, sampai-sampai tak menyadari seseorang dari arah belakang yang berjalan mendekat. Seorang perempuan berambut panjang.
Aku sedang berjongkok dan Yudha yang gelisah mendatangi perempuan tersebut dengan tergesa-gesa. “Maaf, bengkel terdekat di mana ya?”
Tak ada suara. Pertanyaan itu hanya dijawab pakai isyarat tangan kiri yang mengacung pada titik jauh di kaki bukit, dekat pemukiman warga. Kami spontan melemparkan pandangan ke arah yang dimaksud, hingga lupa bahwa si perempuan yang memberi informasi barusan telah pergi saja menjauh di belakang – dia putar balik.
Sejenak, ada semacam energi yang menyetrum tepat di jantungku. Bergetar dan kejang! Entah mengapa serasa ada de ja vu saja saat itu. Kini aku teringat akan cerita Toni kemaren malam: Monalisa. Secepat kilat, bulu kuduk pun merinding, saraf-saraf tegang, dan aliran darah terasa tersendat-sendat menyusuri nadi yang ciut. Aku tak berani lagi memalingkan wajah kepada si perempuan yang masih terdengar jelas bunyi langkah kakinya. Aku sungguh-sungguh terpaku dalam bayangan mengerikan yang bersemayam di kepala. Tak lama sesudah pikiran itu hadir, ketegangan semakin merenggut nafas ini. Lampu di seantero kampung padam. Sekeliling mulai gelap dan hening yang memergoki menjelma ketakutan!
(Cerpen Karya: RIKI FERNANDO, Dimuat di Harian Haluan, 19 September 2015)