25 Oktober 2015

Monalisa

Syahdan, di antara kepungan kawanan randu yang menjulang rimbun, terdapatlah sebuah rumah tua yang kusam dan penuh oleh belu­kar menjejali dinding-dinding bambunya. Rumah kosong. Terletak jauh dari pemukiman warga, sehingga sepilah ia berdiri di sana. Kecuali sebuah sumur kering yang setia menemani beserta makam bisu di sisi be­randanya.

Sekitar jam sembilan malam, kami – aku dan Yudha – tiba di kampung Toni, di daerah pinggiran kota Pesisir Selatan. Tapi rumah yang dituju belum terlihat. Gelapnya malam menyusahkan kami me­ne­lusuri jalanan yang tak be­ras­pal dan kadang ber­gel­om­bang. Toni tak bisa di­hu­bungi karena sinyal yang tak mendukung. Singkat cerita, ide untuk bertanya pun men­jadi jalan keluarnya.

Awal-awal tak ada seo­rang pun yang bisa kami temui di sekitar sana. Kami melaju terus sambil me­noleh ke sana ke mari. Sam­pai tampaklah seorang pe­rem­puan melintas di ke­jauhan. Kami langsung meng­hampiri dan Yudha meng­hentikan laju sepeda motor ketika si perempuan telah beberapa meter saja jaraknya. Dia terpaku dan aku melompat turun dengan se­genap keramahan.

“Permisi,” sapaku manis, “saya mencari rumah teman saya, Toni Oktafrian, di mana ya? Katanya di dekat mushala Al Hikmah.” Dia tak langsung menjawab. Be­berapa detik diam. Aku masih menunggu seraya memperhatikan raut wajah­nya yang samar-samar can­tik juga. Yudha belum me­ma­tikan mesin motor, se­hingga bunyinya bersaing melawan nyanyian-nyanyian jangkrik dan kodok di balik semak-semak.

Dalam kekaburan pe­sona, tiba-tiba si perempuan memberi semacam petunjuk arah dengan telunjuk kiri. Arahnya menuju pada layar hitam yang disesaki rumpun po­hon dan bayangan-baya­ngan malam yang hening. Tak lama kemudian pe­rem­puan tersebut pergi dan aku ma­sih terpusat pada pe­tun­juk yang telah diberikan. Entah lewat mana untuk pergi ke sana, aku tidak tahu. Aku tak sempat me­nany­akannya. Dia terlanjur hi­lang ditelan kabut hitam dan gulita yang menyelimuti.

“Di sana!” sahutku pada Yudha sambil menunjuk seperti yang diinformasikan si perempuan. “Masih jauh,” tambahku ketika menaiki sepada motor dengan secuil tan­da tanya. Keraguan me­nari-nari di dalam kepala. Kami meneruskan perjalanan.

Meski jalan yang ter­bentang tak kunjung me­nuntun kami ke arah yang sedang dipatokkan, Yudha tetap menggas sepeda mo­tor bersemangat. Di be­lakang, aku sibuk mencari-cari titik terang yang mung­kin bisa memudahkan kami sampai pada tempat tujuan. Hanya rembulan dan bintang-bin­tang saja yang bersinar mem­bantu penglihatan kami

Lama menjelajahi negeri orang, cahaya itu pun akhir­nya muncul dari sebuah pen­juru. Cahaya yang perlahan mendekat dan semakin lama semakin jelas siapa yang mem­bawanya. Ternyata orang ter­sebut adalah Toni. Dia sedang berjalan kaki menjinjing len­tera merah yang menyala-nyala. Kami lega sekali. Se­ju­rus kemudian, sekulum se­nyum pun tercipta di wajah lelah kami.

“Aduh, syukurlah aku menemukan kalian. Dari tadi aku menunggu di dekat mushala. Katanya akan sam­pai sesudah isya?” ucap Toni dan memimpin kami ke rumahnya.

“Iya, tadi motornya Yu­dha bermasalah sedikit di Tarusan, jadi kami harus me­nunda perjalanan beberapa menit,” ucapku sembari menepuk pundak Yudha.

“Maklumlah, barang kan­tau,” tangkas Yudha bersahaja.

Sesampainya di rumah Toni, kami disambut Fem­my, sang istri. Kami duduk di ruang tamu untuk me­lepas penat di sekujur tubuh. Beberapa basa-basi me­mu­lai percakapan. Toni me­nga­takan bahwa di kampungnya ini memang sering me­nga­lami pemadaman listrik. Terutama beberapa hari belakangan. Seperti ada se­buah masalah yang sedang di­ha­dapi oleh PLN setempat. Namun rumah Toni meng­gunakan mesin diesel, se­hing­ga cukup terang dengan beberapa lampu pijar yang temaram.

“Hanya beberapa rumah saja di sekitar sini yang memanfaatkan per­kem­ba­ngan teknologi,” jelas Toni. “Kebanyakan dari warga suka memilih tidur lebih awal jika keadaan sudah gelap-gelap begini.”

Perkenalan tentang Fem­my yang baru dikawini Toni setahun lalu pun menjadi topik menarik berikutnya. Obrolan berjalan santai, sampai-sampai Yudha de­ngan begitu lancangnya me­muji Femmy. “Ton, ada lagi nggak yang seperti Femmy di kampung ini?”

Aku hanya tersenyum tipis mendengar kalimat Yudha. Dia memang sering begitu, Toni pun pasti telah meinsyafinya. “Wah, sa­yang­nya nggak ada lagi, Yud. Femmy adalah satu-satunya gadis tercantik di kampung ini.” Toni menjawab dengan nada bercanda. Femmy pun sekilas tampak malu me­nerima pujian sang suami. Pipinya memerah.

Mendadak terbersitlah di benakku potret seorang perempuan yang tadi ku­temui. Karena penasaran, aku pun angkat bicara dan bertanya pada Toni. Siapa tahu dia kenal.

“Eh, tadi aku bertemu perempuan yang cantik juga. Dari wajah-wajahnya, mung­kin hampir sebaya dengan Femmy.” Toni terdiam dan Yudha memperbaiki posisi duduknya.

“Maksudmu yang tadi memberi petunjuk jalan?” tanya Yudha serius.

“Ya. Tapi, Yud,” kataku tersentak, “kalau dipikir-pikir, rasanya arah yang dia informasikan tadi bukanlah ke sini.”

“Ke mana?” potong Toni ingin tahu. Sejenak aku pun tenggelam dalam ingatan yang bimbang. Tanganku bergerak-gerak mencari arah yang mungkin sesuai dengan gambaran di kepala. Sementara Yudha juga ter­bawa-bawa berpikir di bang­kunya.

“Kurang lebih di ujung sana. Dekat kaki bukit itu,” ucapku sembari menunjuk pada pemandangan di luar kaca jendela yang sangat kelam. Toni mengerutkan dahi ketika menatap pada tempat yang kutunjuk. Fem­my ikut ter­heran dan Yudha terpaksa memutar lehernya karena membelakangi jendela.

Sejurus kemudian Toni memandang pada Femmy dan sebaliknya. Ekspresi wajah mereka yang serius membuatku menjadi ter­pan­cing untuk segera meminta keterangan.

“Ada apa, Ton?”

Dengan air muka yang belum berubah, Toni pun menoleh kepadaku sembari istighfar. “Semoga dia bukan Monalisa.”

“Monalisa?”

“Siapa Monalisa?” tanya Yudha antusias.

“Begini,” sebentar Toni menghela nafas, “dulu keti­ka kampung ini masih sepi dan sedikit sekali peng­huni­nya, pernah terjadi kasus pembunuhan yang tragis dan bejat. Monalisa adalah kor­ban­nya kala itu. Dia ka­barnya menjadi kembang de­sa yang diperebutkan ba­nyak lelaki bujang seba­ya­nya. Sampai-sampai pe­r­ni­kahannya kemudian dengan seorang alim pun menjadi kecemburuan massal ka­wula muda. Terlebih saat dia telah melahirkan seorang putra. Pada suatu hari se­kelompok pemuda yang ber­sekongkol, menjebak suami Mo­nalisa dan mem­bu­nuh­nya. Usai pem­bunuhan ter­sebut, mereka menyusup masuk ke dalam rumah Mo­nalisa yang masih setia me­nan­ti sang suami bersama buah hati tercinta. Di sana, Monalisa diperkosa secara bergilir, lalu dibunuh! Anak­nya yang merengek-rengek pun tak ketinggalan mendapat hu­jaman belati yang ber­lu­muran darah. Akhir­nya me­reka semua mati dalam ke­malangan.”

Aku terpana menyimak kisah yang baru saja tersaji memprihatinkan itu. Yudha belum berani berkomentar dan Femmy hanya tert­un­duk, bungkam.

“Semenjak itulah,” lan­jut Toni, “konon katanya arwah Monalisa jadi gen­tayangan di kampung kami. Dia – kata orang – ber­keliaran mencari ke­bera­daan sang suami terkasih. Hingga hari ini!”

Tiba-tiba suasana diam. Semua tampak hanyut da­lam perenungan. Hingga kemudian Toni memecah sunyi dengan suara me­ya­kinkan. “Sebenarnya aku tak percaya juga dengan arwah-arwah gentayangan.”

Pernyataan itu tak men­dapat tanggapan. Hanya Yudha yang kembali bert­a­nya soal si perempuan mis­terius. “Jadi, di sana rumah Monalisa itu?” Tangan Yu­dha merujuk pada arah yang tadi kutunjuk.

“Ya. Rumah hidup dan matinya.”

“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti akan pe­nger­tian dari ‘rumah hidup dan mati’.

“Di sanalah dulu dia ting­gal bersama suami dan anak­nya. Di sana pulalah – tepat­nya di beranda rumah – dia dan sang anak diku­burkan oleh warga kampung.”

Malam bertambah larut dan percakapan beralih pa­da cerita-cerita masa kuliah dulu yang penuh kenakalan. Yudha adalah yang paling ha­fal dengan kenangan ter­sebut. Semua detail pe­ris­tiwa seakan-akan terekam baik di dalam otaknya. Se­deret tawa kini terus-terusan menghiasi malam. Untuk sesaat, kisah horor yang sempat mengusik perhatian pun jadi terlupa.

Esoknya, kunjungan sila­turahmi itu berakhir dengan hangat. Kami pun bersiap-siap untuk pamit pulang kepada tuan rumah. Ren­cana awalnya kami akan berangkat sore hari. Tapi lantaran hujan turun begitu deras, perjalanan pun jadi terpaksa diundur. Satu jam, dua jam, tak ada perubahan. Hujan masih turun dengan riuh. Hingga langit menjadi gelap dan jam menunjukkan pukul sembilan malam, ba­rulah ia reda dan angin ber­hembus dingin menusuk kulit. Untungnya listrik tidak sedang padam. Se­hingga beberapa rumah yang tampak bercahaya membuat kami semakin mantap untuk memulai perjalanan balik ke Padang.

Tanah dan rumput basah kuyup. Becek tampak di berbagai sisi jalan yang kami tempuh.

Baru beberapa menit saja berlalu, tiba-tiba kesialan menimpa kami. Sepeda mo­tor Yudha mati lagi. Pe­mu­kiman warga sudah agak jauh di belakang. Dari posisi kami berada, hanya secercah titik-titik pelita saja yang bisa terlihat. Yudha kesal dan aku patah semangat me­nerima keadaan.

“Bagaimana?” tanyaku. Yudha tampak sedang me­ngecek busi – bagian mesin motornya yang sering ber­masalah. Dia tidak me­res­pon dan larut dalam usaha yang terkesan sia-sia. Piki­ran­ku mulai kalut, sampai-sam­pai tak menyadari se­seorang dari arah belakang yang berjalan mendekat. Seorang perempuan beram­but panjang.

Aku sedang berjongkok dan Yudha yang gelisah mendatangi perempuan ter­sebut dengan tergesa-gesa. “Maaf, bengkel terdekat di mana ya?”

Tak ada suara. Per­ta­nyaan itu hanya dijawab pakai isya­rat tangan kiri yang me­nga­cung pada titik jauh di kaki bukit, dekat pe­mu­kiman warga. Kami spontan me­lemparkan pandangan ke arah yang dimaksud, hingga lupa bahwa si perempuan yang memberi informasi ba­rusan telah pergi saja men­jauh di belakang – dia putar balik.

Sejenak, ada semacam energi yang menyetrum te­pat di jantungku. Bergetar dan kejang! Entah mengapa serasa ada de ja vu saja saat itu. Kini aku teringat akan cerita Toni kemaren malam: Monalisa. Secepat kilat, bulu kuduk pun merinding, saraf-saraf tegang, dan aliran darah terasa tersendat-sendat me­nyusuri nadi yang ciut. Aku tak berani lagi memalingkan wajah kepada si perempuan yang masih terdengar jelas bunyi langkah kakinya. Aku sungguh-sungguh terpaku dalam bayangan mengerikan yang bersemayam di kepala. Tak lama sesudah pikiran itu hadir, ketegangan semakin merenggut nafas ini. Lampu di seantero kampung padam. Sekeliling mulai gelap dan hening yang memergoki menjelma ketakutan!
(Cerpen Karya: RIKI FERNANDO, Dimuat di Harian Haluan, 19 September 2015)

23 Oktober 2015

Kematian Puisi

KEMATIAN PUISI

Cerpen: Sandi Firly (Kompas 4 Oktober 2015)

Kelopak matanya yang kendur dan keriput perlahan membuka. Kemudian menutup lagi—mungkin karena cahaya lampu ruangan yang putih terang terlalu menusuk matanya yang sudah tua. Sesaat, bola mata yang sudah tak lagi benar-benar hitam, lebih cenderung coklat, karena dimakan usia itu pelan-pelan terbuka lagi. Dan dilihatnya dua perempuan muda cantik berpakaian putih-putih sedang menatapnya dekat-dekat.

4 Oktober 2015

Cara Enteng Bikin Terasi


Karena makin mahalnya harga terasi colek di pasaran, siapapun Anda bisa bikin terasi sendiri. Jika kebetulan dekat  pesisir banyak ikan teri atau rebon dari hasil jaring, belilah. Atau bisa saja dicari di pasar ikan. jika agak mahal, cobalah pakai ikan rebon (anak udang). Prosesnya gampang, tinggal ditaburi garam sebanyaknya, ini untuk menghindari bakteri. Kemudian sebelum dijemur di terik matahari ditumbuk pakai alu. Campuri gula merah biar agak lunak. Kadang pula dijemur dan ditumbuk, dijemur lagi, tumbuk lagi, hingga tampilan terasi itu sempurna. Lagi pula terasi bikinan sendiri jauh lebih enak karena tak tercampur benda-benda yang tak layak.

Bahan ikan asin
Kalau mau gampang, ikan asin jadi pun bisa dibuat terasi, misal ikan asin teri, asin udang. Caranya ya..ditumbuk campur gula, diaduk-aduk sampai kental, bisa sedikit campur air hangat agar lunak. Jika kebasahan, ya jemur. Setelah itu bungkuslah dengan daun pisang kering. Demikianlah, selamat mencoba!