8 Desember 2014

Sepotong Sayap Teronggok di Pinggiran Kali Baya

Cerpen Dadang Ari Murtono (Radar Surabaya 7 Desember 2014)

Di pinggir Kali Baya, hanya di pinggir Kali Baya, akan kaudapati
betapa Nawangwulan, bidadari dalam dongeng
yang terjebak itu, terasa begitu dekat, terasa begitu nyata.
Segenap orang yang tinggal di perkampungan sepanjang aliran kali itu
dengan fasih akan bercerita kepadamu – dengan mimik dan gerak
tangan sedikit berlebihan untuk memastikan kamu yakin dengan
cerita mereka – bahwa Nawangwulan, dulu sekali memang pernah
ada dan tinggal di sana, bukan di tempat lain.
“Puing-puing bangunan tembok batu yang ada di sana, kau lihat,” kata
orang-orang, “adalah tempat di mana Nawangwulan mengurung dirinya
sendiri setelah tahu kecurangan Jaka Tarub yang menyembunyikan selendangnya
hanya agar dapat memperistrinya,” lanjut mereka.
Dan puing-puing yang mereka maksudkan itu memang ada, terletak
di pinggir sebelah kedung, tersusun dari batu-batu gunung yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga menjadi kubus-kubus yang ditata dan – konon
– direkatkan satu sama lain dengan putih telur. Kalau kau pernah sedikit
belajar sejarah, maka kau akan tahu bahwa puing-puing itu berasal dari
masa yang lebih lampau dari jaman Majapahit. Bangunan-bangunan yang
berasal dari masa kerajaan terbesar di Nusantara itu selalu terbuat dari
batubara merah. Dan kalau kau pernah berkunjung ke petirtaan Raja
Airlangga, Jolotundo di Trawas, maka kau akan berkesimpulan bahwa ada
kesamaan antara batu-batu di sana dengan batu-batu di puing-puing
bangunan Nawangwulan.
Dalam kepercayaan penduduk penghuni perkampungan di sepanjang
aliran Kali Baya, Nawangwulan tidak pernah kembali ke langit, ke surge konon
berada, sekali pun ia berhasil menemukan selendang terbangnya yang terbenam
di bawah tumpukan padi dalam lumbung. Tikus-tikus selalu saja memiliki cara untuk
menemukan dan mencuri padi-padian. Dalam upaya tak kenal menyerah, mereka
mengerati selendang itu pula. Dalam keadaan compang-camping,
selendang ajaib tersebut tak lagi punya kesanggupan memberi tekanan pada
udara untuk membuat penggunanya melayang, terbang tinggi menuju surga.
Dan Nawangwulan yang kecewa sekaligus marah itu, sekali pun tahu tidak
bakal bisa kembali ke tempat asalnya, tetap bersikeras meninggalkan
Jaka Tarub. Bahkan lebih dari sekadar meninggalkan, Nawangwulan
tidak mau lagi bertemu dengan lelaki yang telah membawa dan menimpakan nasib
buruk kepadanya. Karena itulah, dengan cara yang tidak terjelaskan dalam cerita
penduduk perkampungan sepanjang aliran Kali Baya, Nawangwulan membangun
tempat bagi dirinya sendiri, mengasingkan dirinya sendiri dari dunia
luar dan orang-orang yang menurut Nawangwulan dipenuhi dosa.
“Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa, aku dari surga!” teriak
Nawangwulan setiap kali dilihatnya Jaka Tarub, dengan raut yang teramat
menyedihkan dan langkah tertatih kepayahan memanggul penyesalan tak terperi
menuju tempat itu. Seorang penyair, Subagio Sastrowardoyo namanya, kemudian
menggunakan kalimat itu dalam puisinya yang berjudul Nawangwulan.
Nawangwulan kemudian tidak pernah keluar lagi dari benteng
batunya. Ia juga tidak keluar ketika pada suatu hari, Jaka Tarub meninggal
dalam kenelangsaan yang begitu purba tepat di depan tempat pengasingan
diri Nawangwulan. Namun semenjak kematian Jaka Tarub,
orang-orang tidak pernah lagi mendengar teriakan Nawangwulan.
Bertahun-tahun berlalu dan tidak ada yang tahu bagaimana keadaan
Nawangwulan. Sampai kemudian, satu-satu batu penyusun tembok
bangunan pelindung Nawangwulan itu jatuh, menciptakan lubang intip
di sana-sini. Awalnya, hanya seseorang yang entah bagaimana, datang
ke sana dan mengintip lalu mendapati bahwa bangunan itu telah kosong
belaka. Lalu beberapa orang ikut datang untuk memastikan. Lalu
entah bagaimana, muncullah cerita bahwa Nawangwulan telah muka.
“Apakah suatu hari Nawangwulan akan kembali?” seorang turis lokal
dari kota yang jauh pernah bertanya. Tapi siapa yang dapat menjawab
pertanyaan semacam itu? Orangorang penghuni perkampungan di
sepanjang aliran Kali Baya hanya dapat menggelengkan kepala. Tapi
cukup jelas terlihat bahwa gelengan itu tidak bermakna “tidak” sebagai
jawaban dari pertanyaan si turis. Melainkan lebih cenderung pada
ketidakmengertian. Ketidakpastian. Ragu-ragu antara “iya” dan “tidak”.
Namun beberapa waktu yang lalu, perkampungan di sepanjang aliran
Kali Baya itu diributkan dengan ditemukannya sepasang sayap
berukuran besar dengan bulu-bulu berwarna putih bersih dan tampak
empuk seperti awan-awan putih yang bergumpal-gumpal di langit. Putih
yang begitu putih sehingga rasanya tidak ada lagi warna putih yang lebih
putih dari warna putih sepasang sayap misterius tersebut.
Di pangkal kedua sayap itu, ada darah yang telah mengering. Dan
berdasarkan bentuk pangkal kedua sayap itu, orang-orang berkeyakinan
bahwa sayap-sayap itu dipotong menggunakan
benda tajam. Tapi tidak ada pisau di sana, tidak pula ada pedang,
atau golok, atau kapak, atau benda tajam lainnya. Bahkan silet pun tidak
ada di sana. Dan tidak ada pula bekas tetesan darah di tanah sekitarnya.
Polisi, seperti biasa, dengan segera mengamankan lokasi tersebut. Beberapa
petugas dari kabupaten datang ke puing-puing petilasan Nawangwulan
di mana sepasang sayap tersebut teronggok tak berdaya.
Mereka membawa sepasang sayap itu untuk melakukan pemeriksaan.
Namun sampai berhari-hari, sekumpulan orang ahli yang sengaja dikumpulkan
untuk melakukan penelitian atas sepasang sayap itu, gagal memberikan
penjelasan yang masuk akal. Mereka hanya mampu memberikan
keterangan bahwa sepasang sayap tersebut adalah sayap asli dan tidak
ada unsur rekayasa manusia di dalamnya. Tetapi sayap-sayap itu
begitu berbeda dengan sayap yang dimiliki oleh spesies makhluk hidup
apa pun yang telah dikenal ilmu pengetahuan saat ini.
“Berdasarkan ukurannya,” terang para ahli tersebut, “pemilik sayap itu
pasti makhluk seukuran manusia.” Begitu saja. Tidak ada penjelasan
kenapa dan bagaimana sayap-sayap itu bisa terpotong dan berada di
puing-puing petilasan Nawangwulan. Dan kemisteriusan tersebut membuat
penduduk perkampungan sepanjang aliran Kali Baya serta
banyak turis lain melahirkan dugaan- dugaan sendiri.
“Mungkin itu sayap bidadari.”
“Nawangwulan.”
“Nawangwulan terbang pake selendang, bukan sayap.”
“Berarti itu bidadari yang lain, yang lebih modern. Mangkanya pake sayap.”
“Mungkin juga itu bidadari pendatang.
Bidadari Jawa sejak dulu sampek kapan pun ya tetap pake selendang.”
“Tapi kenapa dipotong?”
“Ya itulah masalahnya.
“Ya.”
“Ruwet.”
“Hufth!”
Perihal penemuan dan kemisteriusan sepasang sayap itulah yang
membuat aku jauh-jauh datang ke perkampungan ini. Aku benar-benar
penasaran dan bermaksud mengumpulkan
segala cerita yang bersangkutan dengan ini, segala cerita,
bahkan bila ada sepotong atau beberapa cerita yang teramat tidak
masuk akal. Tuhan mengirimkan seorang perempuan dengan rambut
dikuncir kuda bernama Mia di kursi sebelahku dalam bis yang membawaku
ke perkampungan ini. Perempuan dengan suara ringan dan
renyah, gampang tertawa, bercelana jeans belel serta kaos oblong berwarna
merah bertuliskan “Lagu kita masih sama Indonesia Raya”, serta
memiliki ketertarikan yang sama denganku perihal sepasang sayap
misterius tersebut.
Sesungguhnya, Mia tidak begitu cantik. Namun
entah kenapa, setiap kali melihatnya, aku seperti dipaksa untuk membuat
pengandaian semacam ini: andai saja aku bertemu dengannya di perkampungan
sepanjang aliran Kali Baya, dan tidak seperjalanan, tentu aku
akan yakin bahwa dialah pemilik sepasang sayap misterius tersebut!
(*)

24 November 2014

PROTES


  Cerpen: Putu Wijaya  (Kompas 23 Nov 2014)
Orang kaya di ujung jalan itu jadi bahan gunjingan. Masyarakat gelisah. Pasalnya, ia mau membangun gedung tiga puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan penduduk di sekitarnya. Di samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet, kelab malam, dan kafe musik.

”Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata Baron sambil senyum. ”Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan, watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita harus membina karakter kita. Arti kemerdekaan adalah: sejak detik merdeka itu, nasib kita ke depan adalah tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita mau hidup layak, harus bekerja. Kalau mau maju, harus membangun. Kalau mau membangun, buka mata, buka baju, buka sepatu, buka kepala batu, singsingkan celana, bergerak, gali, cangkul, tembus semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak ada yang akan memerintah kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka! Hidup kita milik kita dan adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab kita, semua mesti dilakukan sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti yang ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin dan dipikul sendiri! Itu baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati! Betul tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk berembuk, hanya bisa mengangguk. Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia baru sadar kedatangannya hanya untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
”Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang sangat memikirkan kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah semakin sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan. Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk bernapas lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di rumah untuk beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung hidup dalam sangkar, kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan, tempat pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru buatan supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di lingkungan kita ini. Sebab tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus segar. Begitu strategi saya dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak sendiri, kita juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia. Dengan begitu kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain, karena ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kok sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan lingkungan. Ck-ck-ck! Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan ini, kan, bukan semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama serentak, take off, berkembang, maju, sejahtera, dan nyaman! Masak sudah 69 tahun merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Central Park. Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas, bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita, ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam saja, sebagai tamu, terasa kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka, Baron sudah memotong.
”Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat. Tapi uang itu bukan jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan, apalagi korupsi! Bukan dan bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja mati-matian. Kenapa? Karena saya ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena saya kerja keras! Itu lingkaran setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran setan kemajuan! Kalau mau maju, harus kerja keras. Kalau kerja keras pasti maju! Kalau tidak begitu mana mungkin saya kaya? Tapi apa salahnya kaya? Apa orang berdosa kalau kaya? Tidak kan??? Tidak! Tapi sebenarnya saya tidak kaya, Pak Amat, orang-orang itu salah kaprah! Orang kaya itu, orang yang menaburkan uangnya. di mana-mana. Misalnya itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main petasan, membagi-bagikan duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian sosial, yang bikin orang tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet mengawasi tiap sen yang keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut saya sendiri. Kalau bisa jangan satu sen pun ada duit saya yang keluar. Uang yang saya pakai membangun itu, bukan uang sendiri, itu utang semua! Utang! Paham?”
”Tidak."
”Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah faktanya! Orang kaya itu tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!? Tapi jangan salah! Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya bukan orang kaya Pak Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa saya kelebihan duit? Tidak! Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit bank, jaminannya kepala saya, kepala anak-bini saya! Kalau saya salah perhitungan, kami semua akan hidup tanpa kepala! Tapi saya tidak takut. Yah sebenarnya takut juga. Tapi kalau kita memanjakan takut, kalau kita memanjakan takut, kita akan ditelan iblis. Saya tidak mau ditelan mentah-mentah. Saya yang harus menelan. Tuhan memberikan saya tangan, kaki, badan dan otak untuk bukan, bukan saja menelan, tapi mengunyah nasib dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata pepatah: tiada batang akar pun berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak Amat. Siapa yang bisa bebas dari rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak bebas dari takut, Pak Amat! Tapi tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang membuat waspada, takut yang bikin mawas diri dan berani. Ada takut yang menyebabkan kita tidak takut. Takut yang membuat kita menyerang garang. Takut itu tidak semuanya takut. Takut itu penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus takut, kapan pura-pura takut. Kapan takut untuk nekat. Yang saya haramkan satu: jangan jadi penakut! Karena itu pembangunan saya ini harus dilanjutkan. Oke, sekarang Pak Amat tahu, saya kelihatannya saja asosial, padahal saya sosialis. Amat sangat peduli sekali pada warga. Saya ingin semua kita di sini maju. Jangan, kalau ada orang punya duit, padahal itu karena dia banting tulang, lalu iri, sewot, sirik, menuduh orang itu kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi sekarang. Makanya saya ngajak bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor sudah merasa masuk surga. Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak! Jangan! Banyak yang harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib menyadari dirinya masih kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun, marah! Jangan marah sama saya-marahi nasib! Jangan takut pada perubahan. Takutilah takut! Ambil risiko! Perubahan itu berkah, cabut uban, berhenti cari kutu! Aahhh, capek saya menghadapi orang-orang kecil yang kampungan!! Risih! Mau wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di otaknya.
”Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
”Sudah.”
”Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah dikatakan Baron.
”Terus Bapak bilang apa?”
”Ya, tidak membantah.”
”Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan protes warga?!”
”Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau dipangkas nanti malah makin meranggas!”
”Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
”Kok mikir? Sudah atau belum?”
”Ya. Tapi dengan cara lain.”
”Masudnya?”
”Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah. Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin, teh manis pun seperti air surga!”
”Dan Baron mengerti?”
”Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran berita. Buat pesawat yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi tambah cuaca buruk, yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
”Maksudnya apa?”
”Ya, seperti black campaign, di masa pemilu, buat pendukung lawan, akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang bersangkutan, justru lelucon segar!”
Bu Amat mulai kesal.
”Pak Baronnya nyadar tidak?”
”Nah itu masalahnya.”
”Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”
” Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”
”Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan orang bodoh. Katanya dia punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya itu beli. Apalagi sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat Tapi apa tanggapannya pada protes kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen, kompleks perbelanjaannya benar-benar berdiri, pasar tradisional kita akan mati. Ratusan orang akan kehilangan mata pencahariannya. Apalagi kalau warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi. Amat keburu menjawab:
”Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata pepatah:
Dalam lubuk bisa diduga, dalam ....”
”Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa apa yang harus disampaikan!”
”Kalau lupa sih, tidak. Hanya ...”
”Hanya apa?”
”Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
”Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah tahu, bahwa kita, penduduk di sini semuanya menolak!”
”Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
”Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
”Semua.”
”Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan menawarkan tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-mentah. Masak hunian kita mau dijadikan...”
”Dijadikan hotel dan apartemen!”
”Betul!”
”Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
”Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan tidak bisa bikin rumah bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga yang tidak mampu? Di samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan sejarah, karena di sinilah dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan. Rumah-rumahnya tetap kita pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.
”Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita ini air sumurnya paling bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian lain di sekitar sudah keruh dan asin? Sudah disampaikan ....”
”Kalau itu belum.”
”Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang lain-lain, sudah kan?”
”Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
”Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak menyampaikannya!”
”Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
”Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
”Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
”Ah? Bagaimana?!”
”Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang omong. Amat pun tahu apa yang mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar mendengarkan.
”Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung membantah. Renungkan saja, apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu kali saja. Paham?”
Amat mengangguk.
”Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas. Karena, orang besar itu, sudah banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam, kata-kata dan perbuatan yang sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan tanggapannya. Orang sudah tahu apa yang tak diucapkannya. Itu bedanya dengan kita, orang kecil. Kita kalau diam berarti bego. Menyerah. Atau manut-manut saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri, juga monggo. Diam itu ya, kosong melompong. Tidak ada yang tahu apa isi hati kita. Jangankan diam, kita ngomong sampai mulut robek dan perut gembung juga orang tidak mendengar apa mau kita sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
”Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan diicantolkan kepada kita. Mau? Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk menyampaikan isi hati mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di lingkungan kita ini. Meskipun tidak dipilih seperti caleg-caleg itu dan tidak diangkat secara resmi. Bapak juga memang tidak disumpah untuk mewakili warga. Tapi begitu Bapak masuk rumah Pak Baron, semua orang Bapak wakili. Begitu Bapak keluar, mereka menuntut, apa hasilnya. Jadi kalau besok ada pertanyaan, hasilnya, apa yang harus saya jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam, karena tak ingin memotong curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
”Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak. Puluhan tahun kita hidup bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati kecilmu. Kamu bicara meskipun diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau istrinya saja mengerti isi hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang doktor itu tidak. Jauh di sana dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika ia bilang orang kecil diamnya tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: ”Orang kecil yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: ”Tetangga kasak-kusuk Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.”
***
Putu Wijaya, sastrawan produktif yang telah menulis ratusan cerpen, novel, dan naskah drama. Putu berkali-kali menjadi pemenang sayembara penulis novel dan lakon Dewan Kesenian Jakarta. Ia menerima SEA Write Award 1980 di Bangkok.

19 November 2014

Jika Haji Edi Gantung Diri



       Senja merona saga. Detik beringsut merah menua. Bebera menit lagi magrib menggema. Malam perlahan menghimpun dayanya yang sempat dijarah siang.
       Lelaki itu tertegun di samping rumahnya. Tatapnya kuat terpaku pada seutas tali terjuntai yang terikat di dahan pohon mangga. Ujung bawahnya terbentuk kolongan, cukup untuk memasukan kepala.
       Angin berhembus. Gemeresik, dedaunan kering berjatuhan. Tali itu bergoyang-goyang.
       Kalau sudah mati apa yang terjadi? Ia bisa membayangkan, istri dan anak-anaknya akan kaget dan menjerit-jerit. Para tetangga berdatangan, mereka pun hampir tak percaya dengan apa yang terjadi.
      “Haji Edi mati? Gantung diri?!”
       “Ya!”
      “Haji Edi mana, yang ajengan(1) itu?”
      “Iya, dia gantung diri di pohon mangga, samping rumahnya!”
      “Duh, Masya Allah!”
      Orang-orang hanya kaget, berteriak histeris dan memandangi tubuhnya yang bergoyang-goyang dengan lidah menjulur. Untuk menurunkan tubuhnya harus dipanggilkan polisi dan pejabat setempat. Jenazahnya tak segera dimandikan dan dikubur, tapi harus diperiksa dulu oleh dokter yang telah ditunjuk pihak kepolisian. Sebab siapa tahu ada unsur kesengajaan bahwa korban dibunuh orang lain. Setelah dokter menyatakan bahwa korban benar-benar bunuh diri, barulah jenazah sepenuhnya diserahkan pada keluarga untuk diurus sebagaimana mestinya.
       Sebagaimana biasanya, kematian yang terjadi karena bunuh diri selalu heboh dan beritanya cepat tersebar. Tak terkecuali di dunia maya semacam facebook jejaring pun muncul. Bahkan lengkap dengan fotonya, seorang lelaki berpeci putih tergantung dengan mata melotot dan lidah terjulur. Dengan sebuah keterangan:
       Bunuh diri kini ternyata tak cuma terjadi di kalangan awam buta agama, seorang alim model Haji Edi pun ternyata bisa melakukannya”
       Sudah logis, sebagaimana biasa kemunculan suatu info-foto unik di dunia maya, kadang ada yang percaya dan tidak. Sebab, kalau tak dianggap lelucon foto itu dianggap hasil rekayasa dari efek teknologi digital yang tak terelakan. Makanya, tak sedikit yang menanggapinya dengan memberikan jempol (like), mungkin sekedar tak dianggap menyimaknya. Namun tak sedikit yang percaya, terutama mereka yang berada di wilayah terdekat dengan TKP.
       Di dunia nyata, Utisah –istrinya Haji Edi, pingsan seketika. Sedang lima anaknya cuma bisa  menangis. Yang sulung, lelaki beranak satu, diam-diam mengutuk perbuatan almarhum. Tindakan ayahnya tak sekedar konyol, tapi sungguh memalukan. Kenapa mati saja harus gantung diri? Kalau benar-benar payah memikirkan soal hidup, kenapa tak minum racun serangga atau memegang kabel listrik yang lecet? Biar proses matinya cepat dan tak bikin heboh? Dan satu lagi pertanyaan yang terasa mengusik; memangnya ada apa sampai bunuh diri?
       Orang-orang hanya menghibur, bahwa semua yang terjadi hanyalah takdir yang tak bisa dipungkir. Hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan. Yang mesti dilakukan sekarang hanyalah berdo’a, mohon pengampunan agar arwah almarhum lewat di jalan yang semestinya.
       Saudara-saudara jauh berdatangan. Juga orang-orang yang dulu pernah nyantri  di Haji Edi. Mereka ikut berduka. Bahkan seorang murid Haji edi ada yang pingsan di perjalanan, alasannya tak menduka gurunya bisa senekat itu. Sedang yang masih tegar, mencoba menghibur keluarga yang ditingggalkan. Dan tak lupa memberi uang sekedarnya.
       Dalam situasi seperti itu para wartawan, baik elektronik maupun cetak, berdatangan. Mereka tidak menghiraukan betapa sedih dan dukanya hati istri dan anak-anak almarhum. Yang mereka lakukan justru mencerca dengan berbagai pertanyaan.
       “Berapa usia korban?” tanya seorang wartawan seakan mewakili lainnya. Mereka bak semut mengerumuti gula pada Utisah.
       “60 tahun.”
       “Profesi?”
       “Nganggur aja, tadinya sih ngurus anak-anak mengaji .”
       “Semacam pesantren,gitu?”
        “Iya, ngurus santri kalong(2). Namun sebelumnya kadang sering diundang dalam acara keagamaan, seperti pada acara Maulud Nabi atau Isra Mi’raj, kadang juga pada acara kenduri.” 
       “Ngurus pesantren, juga seorang da’i?”
       “Ya, sebatas kecamatan lah. Tapi kami sempat bersyukur Alhamdulillah, ternyata suami saya dibutuhkan orang.”
       “Kalau boleh tahu, berapa tarif yang mesti dibayar oleh pihak pengundang atas jasa beliau dalam memberikan ceramah?”
       “Tak ada tarif-tarifan. Suami saya tak memasang tarif, berdakwah kan harus karena Allah. Namun pihak mengundang pada umunya ngerti, dan memberi, ya terimalah.”
       “Rata-rata, dalam kisaran berapa isi amplop itu?”
       Utisah tak menjawab. Mungkin ia tak tahu pasti jumlah nominal isi amplop yang kerap diterima suaminya saat itu. Alasannya, saat laris-larisnya Haji Edi sebagai mubalig ia belum menjadi istrinya. Waktu itu Utisah masih menjadi santri kalong-nya saat kyai itu beristrikan Hajah Warsah. Hanya dari bisik-bisik ia pernah dengar amplop yang diterima almarhum usai saat itu berkisar antara 100-400 ribu. Untuk tidak nengurangi kehormatannya sebagai penceramah, sebut standar umum saja.
       “Apakah almarhum punya musuh?”
       Utisah menggeleng.
      “Selain ngurus pesantren dan seorang da’i, almarhum punya hoby apa?”
       Wanita itu menggeleng.
       “Apakah almarhum termasuk senang istri? Maksud kami tak ingin menambah istri lagi, seperti berfoligami gitu?”
       Wanita muda itu tersenyum. Mungkin ia alergi dan tabu untuk mendengar kata foligami. Kendati agama tidak melarang, sebagai istri pembawa agama yang saleha ia harus rela jika suatu saat dimadu. Ya, serela dan seridha almarhumah Hajah Warsah saat kyai Edi meminang dirinya untuk dijadikan istri mudanya. Begitu seharusnya. Namun peristiwa itu menurutnya jangan sampai terjadi lagi. Entahlah, dalam diri wanita itu diam-diam merasa senang juga tatkala Hajah Warsah pergi menghapNya. Mungkin lelaki terhormat itu seutuhnya ingin untuk Utisah serta satu anaknya, disamping empat anak lainnya dari Hajah Warsah.
       Para wartawan itu terus mencerca, mencatat, merekam, membidikkan kameranya sepenuh jiwa. Utisah, wanita muda, cantik dan luwes itu serasa jadi bintang. Bahkan sejenak ia nyaris lupa pada persoalan. Jiwanya mengembang bak seorang selebritis idola semua golongan.
      Sebenarnya para wartawan ingin mengorek lebih jauh, namun mereka disuruh pergi. Tetua kampung dan para tokoh terkemuka telah hadir. Pemburu berita itu angkat kaki dan berjanji nanti sore akan kembali. Semua mata memandang punggung mereka dengan tatapan sinis.
       “Kita semua yang hadir di sini,” sepuh kampung, tersedu mengawali pembicaraannya,”Benar-benar kaget, sedih, duka yang dalam, dan entah perasaan apa lagi berkecamuk. “Kami merasa kehilangan. Benar-benar kehilangan, mengingat jasa almarhum begitu besar dalam usaha kemajuan kampung kita. Beliau telah kami anggap sebagai obor dalam kehidupan kami yang kadang tersesat di kegelapan. Tak cuma ilmunya yang mumpuni, beliau merupakan kyai jembar lahir-batin. Artinya tak cuma memberikan ceramah dan mengajarkan ilmu pada muridnya –lantas mendamba belas kasih, tidak, tapi beliau pun pro-aktif di bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Tak sedikit segala pembangunan, seperti perbaikan jalan, balai dusun, serta lainnya yang ditunjang pendanaannya oleh almarhum dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.”
       Para hadirin manggut-manggut.
       “Perpisahan yang benar-benar menyakitkan, sekaligus menimbulkan luka yang dalam. Namun sangat tak baik bagi almarhum, jika kepergiaannya harus disesali dan ditangisi. Sebab, apa pun yang telah terjadi adalah sudah kehendakNya,” lelaki setengah umur itu berusaha menahan tangis. Tampaknya seperti berat sekali, seolah hatinya tercekam kepedihan yang sangat dalam.
        Seorang pengurus kampung lainnya tak mau ketinggalan. Seperti biasa pada umumnya, ia memberi sambutan yang tentunya juga mewakili yang lain.
        “Ya, kita memang turut belasungkawa yang sedalam-dalamnya. Kita semua benar-benar merasa kehilangan atas kepergian beliau ini. Dulu di sekitar kita marak penjudian dan pelacuran, namun atas perjuangan beliau perlahan kebathilan itu hilang. Selamat jalan Sang Guru, jasa-jasamu akan kami kenang sepanjang zaman,” begitulah, seorang yang senang dipanggil tokoh terkemuka mengakhiri sambutannnya.
                                                           **
       Keranda berisikan jenazah itu akhirnya diberangkatkan. Diusung lelaki para muda perkasa, yang satu di antaranya ada si sulung putra almarhum. Diiringi para pelayat, dengan iringan yang panjang. Laksana iringan ngantar pengantin pria atau agustusan.
       Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, tak henti-hentinya para pengantar itu membicarakan kebaikkan almarhum semasa hidupnya. Sebab, kendatipun ada sedikit kejelekkan tak baik untuk dibicarakan. Bahkan sangat sia-sia, karena almarhum sangat tak mungkin untuk kembali. Maka untuk mencegah gunjingan itu, sebagian membacakan kalimah-kalimah thoyibah dan salawat nabi.
       Sampailah di liang lahat.
       Tak ada upacara khusus di sini. Selain doa penyerahan jasad kepada bumi, serta semoga almarhum diterima iman islamnya, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang layak. Setelah itu acara penguburan selesai. Para pengantar pulang ke rumahnya masing-masing.
                                                                 **

      Sore itu, suasana di rumah korban sudah agak sepi. Tinggal beberapa wanita yang sibuk menyiapkan kenduri. Saat itulah wartawan-wartawan tadi datang lagi, dan mengajukan satu-dua pertanyaan.
      “Berapa lama kira-kira ibu bertahan menjadi janda muda?”
     “Entahlah.”
     “Tapi ada kemungkinan berumahtangga lagi, kan?”
     “Mungkin.”
       “Jika ada seorang laki-laki yang mencintai ibu dan ingin langsung menyuntingnya, apakah ibu mau? Misalnya seorang konglomerat, gitu?”
       “Hmm..”
        Masya Allah!, seketika Haji Edi tersentak dan geleng kepala. Ia tersadar dan seolah tergelitik atas sikap Utisah dalam lamunannya itu.
       “Lho, kok tertawa sendiri, memangnya ada apa Kang?” merasa penasaran akan tawa suaminya, Utisah tiba-tiba melongokan kepala di jendela, “memangnya Akang ini sudah gila , ya?”
       “Hmm..” (*).
                                                                                          (Ciamis, Awal Juni 2012)
      Keterangan: (1).  Ajengan=  kyai
                           (2).  Santri kalong = Santri lokal


     

       



             
      

17 November 2014

Karma Tanah


Cerpen: Ketut Syahruwardi Abbas  (Kompas 16 Nov.2014)


”Aku lelah. Boleh aku tidur?”
Komang Warsa memegang tangan istrinya dengan lembut.
”Tidurlah. Besok tidak perlu bangun pagi. Tuan dan Nyonya tidak ada.”
Dek Tini memandang wajah suaminya. Ia terpaksa memutar kepala dan harus menahan rasa nyeri di tulang belakang lehernya.
”Hati-hati lehermu sakit lagi,” kata Komang Warsa setelah tahu istrinya memutar kepala untuk memandanginya. ”Tidur sajalah. Mudah-mudahan besok lehermu bisa sembuh.”
Suami istri itu masih berpegangan tangan ketika mereka saling pandang. Seharian mereka bekerja membereskan apa saja di vila milik warga negara Belanda yang beristrikan perempuan Jakarta. Keduanya mendapatkan satu kamar di bagian belakang vila dengan satu tempat tidur, satu lemari, dan satu meja rias sederhana.
”Aku rindu pada anak-anak,” kata Dek Tini lirih. ”Berhari-hari telepon dan SMS tidak dijawab. Aku ingin Galungan nanti kita berkumpul.”

”Sudahlah. Mereka pasti baik-baik saja. Mungkin terlalu sibuk. Maklumlah, kerja menjadi polisi di tempat jauh.” Komang Warsa tidak mampu melanjutkan kata-katanya ketika melihat istrinya menitikkan air mata.

Hening.

”Tidur, yuk....”

Mereka masih berpegangan tangan ketika mencoba memejamkan mata.

”Tidak bisa tidur. Aku rindu anak-anak. Aku ingin Galungan nanti mereka pulang.” Dek Tini bangkit dan duduk di sisi pembaringan. ”Tapi, kalaupun pulang, mereka pulang ke mana?” kata perempuan itu sambil tetap membelakangi suaminya yang berbaring sambil tengadah. ”Kita tidak lagi punya rumah.” Kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang tampak jauh lebih tua dari umurnya yang kini menginjak 52 tahun itu terdengar sayup, lamat-lamat, dan putus-putus.

”Sudahlah. Tidurlah. Nanti kita bangun gubuk kecil di Tabanan. Ah, sudah lama kita tidak menjenguk ladang kita itu. Lumayan, lho. Di sini kita menjual sepetak sawah dengan satu rumah, kita bisa membeli ladang cukup lebar. Kita juga bisa....”

”Tapi sekarang kita tidak punya rumah. Kalau Putu dan Made pulang, mereka pulang ke mana? Arooohhhh... tidak jelas pula mereka harus membanjar di mana?”

”Janganlah semua hal dipikirkan sekarang. Tidurlah. Siapa tahu nanti kita bisa minta izin dan kita bisa nengok tegalan di Tabanan....”

”Aku rindu pada anak-anak kita.”

”Aku juga. Tapi ini sudah sangat larut.”

Tini merebahkan tubuhnya di kasur. Beberapa kali terdengar anjing menggonggong dan derum kendaraan melintas. Angin lembut memasuki kamar melalui celah-celah jendela menjadikan malam terasa lebih dingin. Tini memegang tangan suaminya dengan lembut. Tangan itu kasar dan hangat, khas milik petani. Tangan itulah yang dulu dikaguminya. Tangan itulah yang dengan perkasa membopongnya di malam pernikahan mereka.

”Aku ingat ketika kita menikah dulu. Di sini. Di atas tanah ini. Tanah kita, rumah kita. Sekarang kita numpang di atas tanah yang dulu menjadi milik kita. Aneh sekali, ya.” Hening.

”Di sini pula kita membesarkan Putu dan Made. Ah, anak-anak itu. Sekarang pasti sedang lelap tidur dengan istri dan suami masing-masing di pulau seberang. Mungkin mereka lelah setelah seharian bekerja. Putu sibuk berpatroli di pedalaman, Made sibuk melayani ibu-ibu yang mau melahirkan. Ya, mereka pasti sangat sibuk di siang hari dan sangat lelah di malam hari sehingga tidak sempat menghubungi kita.”

Hening sejenak. Terdengar lolongan anjing, suara mobil berhenti, dan orang bercakap dalam bahasa Inggris. Sepertinya itu suara penghuni vila sebelah yang baru pulang entah dari mana.

Kampung ini, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Badung, Bali, kini berubah menjadi perkampungan internasional. Ratusan vila milik orang asing memenuhi perkampungan ini. Mereka membeli tanah penduduk dan menjadikannya bangunan-bangunan megah dengan pagar tinggi. Pada mulanya hanya satu dua vila didirikan. Kian lama, kian banyak saja tanah persawahan yang dijual dan berubah menjadi bangunan-bangunan megah milik orang asing. Penduduk di sana sangat tergiur melihat limpahan uang yang jauh melampaui bayangan mereka. Belakangan, ketika harga tanah kian melonjak tinggi, para petani pemilik tak mampu lagi membayar pajak yang kian membebani. Maka kian tinggi pulalah minat masyarakat menjual tanahnya.

Warsa pun tak sanggup bertahan. Sepetak sawah beserta gubuk kecil miliknya dijual dengan harga tinggi. Sebagian uang itu digunakannya untuk membeli beberapa meter tanah perkebunan di kawasan Tabanan, selebihnya digunakan untuk ”pelicin” agar Putu, anak pertamanya, diterima di kepolisian dan biaya kuliah anak keduanya, Made, di akademi kebidanan di Yogyakarta. Tak bersisa. Warsa dan Tini tak sanggup membangun rumah baru. Mereka mengontrak satu rumah kecil. Dalam setahun, ia tak sanggup membayar kontrak rumah. Mereka pun tinggal di sebuah kamar kos.

Pada saat seperti itulah muncul tawaran untuk bekerja di vila yang berdiri di bekas tanah miliknya. Di sana Warsa dan istrinya mendapatkan kamar di bagian belakang. Mereka bertugas membersihkan vila, merawat kebun, dan berbagai pekerjaan lain. Untuk itu, mereka mendapatkan upah bulanan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari.

Malam ini adalah malam kesekian Tini menunggu kabar dari kedua anaknya. Sesekali mereka menelepon, menanyakan kabar. Tetapi tak pernah lama. Pembicaraan selalu terputus setelah mereka berbicara beberapa kalimat. Tak sekali pun mereka menyinggung keinginan untuk pulang.

”Aku kangen pada mereka. Ingin mereka ada di sini bersama kita. Tapi, aroooooohhhhh, di mana mereka harus tidur? Sangat aneh kalau mereka pulang, tetapi harus menginap di hotel.” Tini kembali berkata-kata dengan suara lemah diselingi isak tertahan.

”Nanti kita buat rumah yang besar di Tabanan,” hibur Warsa. ”Kita bikin kamar-kamar yang besar untuk kedua anak kita. Di depan rumah kita buat halaman yang luas agar cucu kita bisa berlarian sekehendak hati mereka.”

Hening. Komang Warsa tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Karena itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa datar dan hambar.

”Jangan mimpi,” sahut istrinya. ”Sangat mungkin mereka enggan pulang karena sudah tahu tidak lagi punya banjar. Tidak lagi punya sanggah. Apa gunanya pulang kalau tidak bisa maturan, mebakti pada leluhur. Untuk apa pulang kalau tidak tahu harus pulang ke mana....”

Hingga malam tergelincir ke pagi, kedua suami-istri ini tak juga berhasil memejamkan mata. Pikiran mereka berkelana ke mana-mana, terutama ke masa lalu, ke masa ketika anak-anak masih kecil, ketika mereka menggarap sawah sempit di belakang gubuk yang mereka huni. Dulu mereka memupuk harapan kelak anak-anak itu menjadi petani hebat, memiliki sawah luas dan perkebunan berhektar-hektar. Mereka tak pernah jemu menyaksikan Putu dan Made berlarian, bertelanjang, tubuh penuh lumpur. Mereka selalu tertawa menyaksikan Made tersaruk-saruk di sawah basah, sesekali terjatuh, dan bangun dengan susah payah. Tak pernah mereka membayangkan tanah yang membahagiakan itu akan berubah menjadi vila megah milik lelaki berkulit putih dengan bulu di sekujur tubuh. Mereka tidak pernah membayangkan, sanggah tempat biasa bertutur sapa dengan para leluhur kini berubah menjadi kolam renang.

Ingat itu semua, Komang Warsa mengeluh. Ternyata ia hanyalah lelaki yang lemah. Ia merasa tak sanggup mempertahankan tanah yang diwariskan oleh ayahnya, oleh kakeknya, oleh para leluhur.

”Sudah lewat. Sudah telanjur. Apa lagi yang bisa dilakukan selain berharap nanti kita bisa membangun yang lebih besar di tegalan kita di Tabanan,” kata Warsa, lebih kepada diri sendiri. ”Mungkin kalau tanah ini tidak kita jual, kita tidak akan mampu menyekolahkan anak-anak, mungkin Putu tidak menjadi polisi, mungkin hanya akan menjadi pemabuk di sini karena tanah kita tidak bisa ditanami padi lagi. Sudah tidak ada saluran air. Subak tidak berfungsi. Kita pun tak sanggup membayar pajak. Sudahlah, sudahlah, mungkin memang harus begini. Mungkin karma kita memang harus begini.”

Dingin kian menggigilkan. Warsa memeluk istrinya. Keharuan sangat kuat menguasai kamar mereka. Warsa menyeka air di ujung mata istrinya. Kembali terdengar anjing menyalak mengikuti suara sepeda motor melintas di depan vila. Tak lama kemudian Komang Warsa tak ingat apa-apa lagi. Ia tertidur dengan posisi memeluk Tini. Perempuan itu tetap tak bisa memejamkan mata. Tetap menatap nanar ke arah langit-langit putih kamarnya. Pikirannya berputar-putar, kepalanya terasa sangat pening, dan beberapa butir air mata menggelinding jatuh ke bantal. Kini ia hanya diam. Sekuat tenaga ia menahan agar tak sesenggukan. Takut suaminya terbangun. Ia tahu suaminya pun sangat sedih. Sangat pedih. Sangat kecewa dengan perjalanan hidup yang mereka lalui. Berkali-kali suaminya itu mengeluhkan kelemahannya sebagai lelaki dan sebagai suami yang menyeret Dek Tini ke ruang sempit di belakang vila ini, bekerja sebagai jongos di vila yang dibangun di bekas tanah milik mereka.

Tini sangat mencintai suaminya. Tini tidak mau suaminya merasa tidak berguna. Maka ia tak ingin Warsa terbangun dan kembali menyadari posisinya. Sakit di leher ia tahan sekuat tenaga.

Hingga pagi tiba.

Ketika matahari memancarkan cahayanya di balik atap vila-vila yang berjajar sepanjang jalan kampung, Komang Warsa terjaga. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur. Dilihatnya Dek Tini tertidur. Sisa air mata masih terlihat di sudut mata yang terpejam. Beberapa kali ia lihat istrinya itu mengeluh dalam tidur dan menyebut-nyebut nama kedua anaknya. Warsa tak kuasa menahan haru. Ia segera keluar kamar, mencuci muka, pergi ke kolam renang dan membersihkan guguran daun-daun yang mengambang di atas air.

Kali ini ia tidak sepenuhnya berkonsentrasi. Pikirannya menerawang pada istrinya, pada kedua anaknya, juga kepada sanggah yang telah berganti kolam renang. Komang Warsa tidak bisa menampik kebenaran kata-kata istrinya. Rumah tidak ada. Sanggah tidak ada. Banjar pun tak jelas pula, karena kampung ini telah berubah total. Tak ada lagi warga asli yang menjadi warga banjar. Semuanya telah menjual sawah dan rumah mereka dan kini berpencaran entah di mana. Maka terbayanglah masa akhir hidupnya: ”Kelak kalau mati siapa yang akan ngabenkan jasadku, jasad istriku, dan anak-anakku?”

Komang Warsa lahir dan besar di kampung ini. Istrinya pun lahir di sini. Keluarga mereka semuanya lahir di sini. Nenek moyang mereka pun lahir di sini. Karena itu, hanya di sini mereka mebanjar. Tidak di tempat lain. Lalu, jika banjar itu bubar, banjar mana lagi yang bisa mereka datangi agar kelak ada orang yang mengurus jasad mereka.

Komang Warsa memandang nanar pojokan kolam. Di sanalah sanggah mereka berdiri. Dulu. Di sanalah ia dan istrinya menghaturkan sesembahan kepada para leluhur. Di sanalah ia merasa bisa bertemu dengan para leluhur dan meminta agar mereka senantiasa melindungi keluarganya, senantiasa memberi petunjuk kebenaran dan jalan kehidupan. Kini sanggah itu telah lenyap. Ia merasa tak menemukan tempat untuk bisa berkomunikasi dengan para leluhur. Ada kekosongan besar dalam dadanya, dalam hatinya, dalam pikirannya.

Ketika kekosongan itu kian melimbungkan, Warsa dikejutkan suara istrinya yang terdengar letih.

”Aku mau maturan. Bisa tolong belikan canang?”

”Kenapa harus beli canang. Mari aku petikkan beberapa bunga yang ada di sini. Bersembahyanglah dengan itu,” jawab Warsa sambil berdiri dan memetik beberapa jenis bunga di kebun halaman vila. Mereka meletakkan bunga-bunga itu di atas daun pisang yang dibentuk seperti piring. Dengan sarana sederhana itu Dek Tini bersembahyang di pinggir kolam, persis di lokasi sanggah mereka dulu.

Dengan khusyuk perempuan berkulit coklat itu mencakupkan tangan dengan satu kelopak bunga di ujung jari. Tangan itu diangkat hingga ke atas kepala diiringi ucapan-ucapan yang tak jelas. Lama sekali Dek Tini melakukan persembahyangan itu. Terlalu lama untuk ukuran biasa. Terlalu lama untuk ukuran Komang Warsa. Lelaki itu pun cemas. Ia segera mendekati istrinya. Tapi belum sampai di tempat istrinya sembahyang, ia lihat Dek Tini limbung dan jatuh.

Komang Warsa panik. Ia mengangkat tubuh istrinya. Berlari keluar vila. Berteriak minta tolong. Orang-orang berlarian mengerumuni. Warsa bingung karena hampir semua orang yang mengerubutinya berkulit putih dan bertanya-tanya dalam bahasa asing.



Banjar: komunitas warga setingkat RW

Sanggah: tempat suci keluarga

Maturan: menghaturkan sesaji

Mebakti: bersembahyang

Canang: sesaji dari janur/daun dan bunga

SukaSuka · · Bagikan · 9 November