Cerpen: Afsir Mlajah (Radar Surabaya 22 Maret 2015)
Lelaki itu bernama Pak
Broto. Siapa yang tidak
mengenalnya? Ia adalah
seorang wakil rakyat yang
terkenal di mana-mana.
Tapi, aku merasa heran.
Banyak orang mencibirnya. Banyak
rakyat membencinya. Termasuk juga
aku. Aku sangat membencinya. Entah
apa yang membuatnya dibenci sedemikian
rupa. Aku tak tahu.
“Aku benci Ayah,” ungkapku pada Bi
Suci, pembantu yang telah bekerja di
rumahku semenjak aku kecil, pada
suatu hari.
“Mengapa, Mas?” Bi Suci bertanya
heran.
“Entahlah. Ayah selalu tidak punya
waktu untukku setiap kali aku butuh
padanya,” jawabku. “Aku juga heran,
mengapa teman-temanku membenci
Ayah? Apa karena Ayah seorang wakil
rakyat?”
“Ya tidak begitu, Mas.” Bi Suci menyangkal.
“Wakil rakyat kan dipilih oleh rakyat. Tentunya, ayahmu
Adalah sosok yang baik sehingga rakyat memilihnya,”
hiburnya.
“Kalau benar begitu, lalu, mengapa
banyak orang memandang sinis padaku?
Setiap kali aku pergi ke suatu tempat,
mereka selalu mencemoohku. Setelah
itu, lantas mereka menyebut-nyebut
nama Ayah.” Aku menggerutu. Bi
Suci lantas mengusap keningku, mencoba
menenangkan.
“Mungkin itu hanya perasaanmu
saja, Mas,” ucapnya.
“Nggak mungkin, Bi. Pasti ada sesuatu
di balik itu.” Aku membantah.
Bi Suci hanya tersenyum.
“Ssst. Sudahlah. Jangan dipikirkan,”
pesannya. Aku hanya bisa diam. Mau
bagaimana lagi? Mau bagaimanapun,
aku sudah terlanjur membencinya.
***
Hari-hari kulalui begitu saja tanpa
ada arti. Mungkin hanya ibu, Bi Suci,
dan seorang lelaki misterius yang menemaniku
ketika diriku tertimpa masalah.
Bukan ayah! Sekali lagi, lelaki
itu bukan ayah! Ayah terlalu sibuk.
Sepertinya dia bukan lagi seorang manusia
yang mempunyai perasaan; rasa
lelah, rasa rindu, atau rasa cinta. Ia
lebih mirip robot yang bekerja tanpa
mengenal waktu dan lelah. Tapi anehnya,
tetap saja banyak orang yang
membencinya. Termasuk juga aku!
Banyak orang berkata bahwa ayah
seperti ini seperti itu. Tak kapoknya
mereka membicarakan ayahku yang
kini mulai berusia setengah abad.
Hingga suatu hari, ketika ayah mendapat
mobil baru, mereka datang berbondong-
bondong ke rumah. Entah apa
yang mereka inginkan. Mereka datang
bukan hanya dengan tangan kosong,
tapi masing-masing orang membawa
sesuatu di tangannya. Ada pentongan
kayu, sapu lidi, pisau, celurit, parang,
bahkan senapan! Dengan amarah yang
meluap-luap mereka menyuruh ayah
keluar. Untungnya, saat itu ayahku
sedang dinas di luar kota. Sehingga,
orang-orang itu pulang dengan tangan
hampa dan masih dengan amarah yang
membara. Mereka mengumpat, mencaci,
bahkan mengancam. Saat itu, aku
bersembunyi di balik pintu, takut-takut
mengintip punggung mereka
menghilang di kelokan jalan.
***
Sore harinya, seperti biasa, aku duduk
sendiri termenung di depan rumah.
Kulihat bunga-bunga di taman
tampak indah dijilat cahaya jingga.
Dan di pojok pagar sana, kulihat seseorang
berjalan sambil menggendong
sebuah keranjang besar. Dialah
lelaki misterius yang sangat
kukagumi. Meski hanya
menjadi seorang pemungut
sampah, ia disenangi
banyak orang, termasuk
diriku. Ia ramah pada siapa
saja. Sangat berbeda
dengan sosok ayah yang
kukenal selama ini.
Cepat kuberlari ke arah
pintu gerbang untuk
menantinya. Dari kejauhan, kulihat ia
menyunggingkan kedua bibirnya. Beberapa detik
kemudian, kami bertemu. Kuajak ia
masuk ke dalam. Namun, ia tak mau. Malu, katanya.
Jadilah kami duduk bersama di pos
jaga satpam dekat pintu gerbang.
“Jangan sering melamun,” katanya
membuka pembicaraan. “Ada masalah?”
Aku meliriknya sekilas. “Ya,” jawabku
singkat. “Mengapa tadi pagi para
warga datang ke rumah? Apa yang
mereka inginkan dari ayah?” Aku
mengutarakan apa yang sedang berkecamuk
dalam pikiran.
“Ha ha ha.” Lelaki misterius itu tertawa.
“Warga hanya meminta hak yang semestinya
mereka terima, Mas. Tapi, ayahmu
tidak pernah memberikannya,” ujarnya.
Aku mengernyitkan dahi. “Itukah
alasannya mengapa mereka datang
seperti orang kesurupan?”
“Ha ha ha.” Ia tertawa lagi. “Kurasa
memang begitu.”
“Hhh.” Kuhembuskan nafasku panjang.
“Aku juga benci ayah,” ungkapku.
Lelaki itu terperanjat. “Kau benci
ayahmu sendiri?” Ia bertanya lantas
diiringi gelak tawa. “Sepatutnya itu
tidak terjadi, Mas. Apa alasanmu sehingga
dapat membencinya?”
Aku tersenyum kecut, mengingat harihari
yang kulalui dengan atau tanpa ayah
itu sama saja. Tapi, perkataannya juga
betul. Apa alasanku untuk bisa membencinya?
“Dimas, Dimas. Ayahmu itu orang
hebat. Coba lihat, apa yang ia inginkan
selalu bisa diwujudkannya.” Lelaki
misterius itu menepuk-nepuk pundakku
lantas tertawa getir. Sejenak
kudapati airmukanya sedikit berubah,
seperti ada sesuatu yang dipendamnya.
“Apakah ayah pernah melakukannya
padamu?” Aku iseng bertanya.
Ia tertegun. “Apa maksudmu?”
“Hm. Apakah ayah pernah menginginkan
sesuatu darimu?” Aku
mencoba menjelaskan.
Ia menundukkan kepala. Sorot matanya
tiba-tiba berubah. “Mengapa kau
bertanya seperti itu?”
“Ha ha ha.” Kini aku yang tertawa.
“Aku ingin kau lebih baik daripada
sekarang. Bila memang ayah
pernah menginginkan sesuatu
darimu dan telah mengambilnya,
siapa tahu aku dapat mengembalikannya
padamu!”
“Hm? Ha ha ha.” Lagi-lagi ia
tertawa getir. “Kau tidak akan
bisa melakukannya, Mas,” ujarnya.
“Lagipula, terlalu sulit bagiku
untuk menerimanya kembali!”
“Huh? Memang apa yang
telah ayah ambil darimu?”
Aku menyatukan kedua alis.
“Ha ha.” Ia tertawa getir, lagi.
“Sesuatu, Mas. Sesuatu yang
sangat berharga bagiku,” katanya .
“Aku harus pergi, Mas .
Sampai jumpa kembali di lain waktu!”
Tiba-tiba saja ia beranjak pergi. Aku
mencoba mencegahnya, tapi tidak
bisa. Sempat kulihat matanya berkaca-
kaca menahan airmata.
“Tenang saja, Pak.
Aku akan berusaha mengembalikannya
untukmu!”
Aku bertekad dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian...
Malam itu mungkin adalah sebuah
malam yang sangat berarti bagiku.
Semua anggota keluarga berkumpul
di meja makan untuk makan malam.
Tak terkecuali ayah. Tak biasanya ia
hadir di antara kami; aku, ibu, dan Bi
Suci. Aku sangat bahagia malam itu.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut hanya
datang sementara. Belum selesai
acara makan malam bersama itu,
terdengar suara pintu digedor-gedor
dari luar. Siapa sih yang tak tahu adab
bertamu itu? Aku mendengus kesal.
Bi Suci lalu beranjak membukakan
pintu. Sejurus kemudian terdengar
suara berat beberapa orang lelaki. Apakah
mereka yang datang mencari ayah
beberapa hari yang lalu? Aku menduga-
duga. Takut, khawatir.
Tak berselang lama setelah berbincang
sebentar, Bi suci memanggil ayah.
“Tuan Broto, ada yang ingin bertemu!”
Ia berseru.
Ayah cepat-cepat cuci tangan lalu
pergi ke ruang depan. Diam-diam aku
membuntutinya dari belakang. Dan betapa
terkejutnya diriku setelah kulihat
ada banyak personel polisi berdiri berjejer
di luar sana. Bukan hanya itu, di
belakang mereka kulihat orang-orang
berkerumun sambil riuh rendah
bersorak-sorai. Seorang polisi melangkah
tegap menghampiri ayah.
“Selamat malam, Pak!” Sapanya
sambil berhormat.
“Selamat malam.” Ayah menjawab.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Anda yang bernama Bapak Broto?”
Polisi itu bertanya.
“Iya, benar, Pak. Ada masalah apa, ya?”
“Anda kami tangkap sebagai dugaan
tersangka atas kasus penggelapan
dana rakyat!” Polisi itu mengeluarkan
borgol lalu meraih tangan ayah.
CKELK! Seketika tangan ayah sudah
diborgol.
“Loh, Pak? Apa yang Anda lakukan?
Saya tidak melakukan apa-apa! Mana
bukti Anda?” Ayah memberontak.
“Kami melakukan apa yang harus kami
lakukan. Anda dapat memberikan
pembelaan di pengadilan nanti.” Polisi
itu menggiring ayah menuju mobil
tahanan yang sudah berada di luar pagar.
Ibu yang baru saja keluar berlari
menghampiri ayah. “Tunggu, Pak!
Tunggu! Apa salah suami saya?” Ia
berteriak histeris.
“Bapak Broto diduga telah melakukan
penggelapan dana rakyat sebesar tiga
miliar rupiah. Oleh karena itu, Bapak
harus kami tangkap.” Polisi tadi menjelaskan,
lalu naik ke atas mobil tahanan.
Ibu terus saja mengoceh bertanya ini
itu, tapi para polisi tidak menggubrisnya.
Orang-orang yang berkerumun di
luar sana ikut-ikutan berkomentar
meriuhkan suasana. Mobil tahanan itu
segera pergi meninggalkan kami.
Seiring dengan itu, orang-orang yang
berkerumun tadi membubarkan diri.
Kini, tinggal diriku yang tercenung
bingung dan ibu yang terisak menangis.
***
Malam semakin larut. Aku tidak bisa
tidur malam itu. Aku duduk di ruang
tamu. Tak berapa lama kemudian Bi
Suci datang.
“Tidak tidur, Mas?” Ia bertanya. Aku
menggelengkan kepala.
“Bi, aku ingin tahu tentang seseorang,”
ungkapku.
“Seseorang? Siapa? Mungkin Bibi
bisa menjawab.”
“Hhhh. Hmmm.” Aku mengatur nafas
sejenak. “Bibi tahu, lelaki pemungut
sampah yang biasa lewat di depan
rumah? Siapa dia sebenarnya?” Kulihat
Bi Suci terperanjat. Ia lantas menghela
nafasnya panjang.
“Dimas, mungkin sudah saatnya kau
tahu akan hal ini,” ujarnya. Aku mengernyitkan
dahi mencoba menebaknebak
apa yang akan dikatakannya.
“Sebenarnya kamu bukan anak Pak
Broto, Mas.” Seketika kata-kata itu
seakan mencekik jantungku. Kalau
bukan anak dia, lalu aku ini anak siapa?
“Ibumu menikah dengan Pak Broto ketika
kamu berusia dua tahun. Percaya
atau tidak, kamu bukanlah anak kandung
Pak Broto.” Mata Bi Suci berkacakaca.
“Lalu, aku ini anak siapa, Bi? Siapa
ayahku sebenarnya?” Aku tak sabar
bertanya.
“Ayahmu...” Bi Suci memelankan
suaranya. “Ayahmu adalah lelaki
pemungut sampah itu, Mas. Dialah
ayahmu yang sebenarnya. Dialah
suami pertama ibumu. Ibumu dulu
meminta cerai pada lelaki itu karena
ia tak mampu mencukupi kebutuhan
keseharianmu. Di samping itu, Pak
Broto adalah orang kaya yang sejak
lama mencintai ibumu. Dengan imingiming
harta, ibumu memilih pisah dari
ayahmu lantas menikah dengannya.”
Kulihat Bi Suci tercenung menatapku.
Aku sendiri entah mengapa merasa
sesak mendengar penjelasannya.
Langit seolah-olah jatuh menimpaku.
Kini, telah kuketahui rahasia di balik
semua ini. Kini kutahu mengapa aku
harus membencinya. Ternyata, ia
bukanlah ayahku (*)
Lelaki itu bernama Pak
Broto. Siapa yang tidak
mengenalnya? Ia adalah
seorang wakil rakyat yang
terkenal di mana-mana.
Tapi, aku merasa heran.
Banyak orang mencibirnya. Banyak
rakyat membencinya. Termasuk juga
aku. Aku sangat membencinya. Entah
apa yang membuatnya dibenci sedemikian
rupa. Aku tak tahu.
“Aku benci Ayah,” ungkapku pada Bi
Suci, pembantu yang telah bekerja di
rumahku semenjak aku kecil, pada
suatu hari.
“Mengapa, Mas?” Bi Suci bertanya
heran.
“Entahlah. Ayah selalu tidak punya
waktu untukku setiap kali aku butuh
padanya,” jawabku. “Aku juga heran,
mengapa teman-temanku membenci
Ayah? Apa karena Ayah seorang wakil
rakyat?”
“Ya tidak begitu, Mas.” Bi Suci menyangkal.
“Wakil rakyat kan dipilih oleh rakyat. Tentunya, ayahmu
Adalah sosok yang baik sehingga rakyat memilihnya,”
hiburnya.
“Kalau benar begitu, lalu, mengapa
banyak orang memandang sinis padaku?
Setiap kali aku pergi ke suatu tempat,
mereka selalu mencemoohku. Setelah
itu, lantas mereka menyebut-nyebut
nama Ayah.” Aku menggerutu. Bi
Suci lantas mengusap keningku, mencoba
menenangkan.
“Mungkin itu hanya perasaanmu
saja, Mas,” ucapnya.
“Nggak mungkin, Bi. Pasti ada sesuatu
di balik itu.” Aku membantah.
Bi Suci hanya tersenyum.
“Ssst. Sudahlah. Jangan dipikirkan,”
pesannya. Aku hanya bisa diam. Mau
bagaimana lagi? Mau bagaimanapun,
aku sudah terlanjur membencinya.
***
Hari-hari kulalui begitu saja tanpa
ada arti. Mungkin hanya ibu, Bi Suci,
dan seorang lelaki misterius yang menemaniku
ketika diriku tertimpa masalah.
Bukan ayah! Sekali lagi, lelaki
itu bukan ayah! Ayah terlalu sibuk.
Sepertinya dia bukan lagi seorang manusia
yang mempunyai perasaan; rasa
lelah, rasa rindu, atau rasa cinta. Ia
lebih mirip robot yang bekerja tanpa
mengenal waktu dan lelah. Tapi anehnya,
tetap saja banyak orang yang
membencinya. Termasuk juga aku!
Banyak orang berkata bahwa ayah
seperti ini seperti itu. Tak kapoknya
mereka membicarakan ayahku yang
kini mulai berusia setengah abad.
Hingga suatu hari, ketika ayah mendapat
mobil baru, mereka datang berbondong-
bondong ke rumah. Entah apa
yang mereka inginkan. Mereka datang
bukan hanya dengan tangan kosong,
tapi masing-masing orang membawa
sesuatu di tangannya. Ada pentongan
kayu, sapu lidi, pisau, celurit, parang,
bahkan senapan! Dengan amarah yang
meluap-luap mereka menyuruh ayah
keluar. Untungnya, saat itu ayahku
sedang dinas di luar kota. Sehingga,
orang-orang itu pulang dengan tangan
hampa dan masih dengan amarah yang
membara. Mereka mengumpat, mencaci,
bahkan mengancam. Saat itu, aku
bersembunyi di balik pintu, takut-takut
mengintip punggung mereka
menghilang di kelokan jalan.
***
Sore harinya, seperti biasa, aku duduk
sendiri termenung di depan rumah.
Kulihat bunga-bunga di taman
tampak indah dijilat cahaya jingga.
Dan di pojok pagar sana, kulihat seseorang
berjalan sambil menggendong
sebuah keranjang besar. Dialah
lelaki misterius yang sangat
kukagumi. Meski hanya
menjadi seorang pemungut
sampah, ia disenangi
banyak orang, termasuk
diriku. Ia ramah pada siapa
saja. Sangat berbeda
dengan sosok ayah yang
kukenal selama ini.
Cepat kuberlari ke arah
pintu gerbang untuk
menantinya. Dari kejauhan, kulihat ia
menyunggingkan kedua bibirnya. Beberapa detik
kemudian, kami bertemu. Kuajak ia
masuk ke dalam. Namun, ia tak mau. Malu, katanya.
Jadilah kami duduk bersama di pos
jaga satpam dekat pintu gerbang.
“Jangan sering melamun,” katanya
membuka pembicaraan. “Ada masalah?”
Aku meliriknya sekilas. “Ya,” jawabku
singkat. “Mengapa tadi pagi para
warga datang ke rumah? Apa yang
mereka inginkan dari ayah?” Aku
mengutarakan apa yang sedang berkecamuk
dalam pikiran.
“Ha ha ha.” Lelaki misterius itu tertawa.
“Warga hanya meminta hak yang semestinya
mereka terima, Mas. Tapi, ayahmu
tidak pernah memberikannya,” ujarnya.
Aku mengernyitkan dahi. “Itukah
alasannya mengapa mereka datang
seperti orang kesurupan?”
“Ha ha ha.” Ia tertawa lagi. “Kurasa
memang begitu.”
“Hhh.” Kuhembuskan nafasku panjang.
“Aku juga benci ayah,” ungkapku.
Lelaki itu terperanjat. “Kau benci
ayahmu sendiri?” Ia bertanya lantas
diiringi gelak tawa. “Sepatutnya itu
tidak terjadi, Mas. Apa alasanmu sehingga
dapat membencinya?”
Aku tersenyum kecut, mengingat harihari
yang kulalui dengan atau tanpa ayah
itu sama saja. Tapi, perkataannya juga
betul. Apa alasanku untuk bisa membencinya?
“Dimas, Dimas. Ayahmu itu orang
hebat. Coba lihat, apa yang ia inginkan
selalu bisa diwujudkannya.” Lelaki
misterius itu menepuk-nepuk pundakku
lantas tertawa getir. Sejenak
kudapati airmukanya sedikit berubah,
seperti ada sesuatu yang dipendamnya.
“Apakah ayah pernah melakukannya
padamu?” Aku iseng bertanya.
Ia tertegun. “Apa maksudmu?”
“Hm. Apakah ayah pernah menginginkan
sesuatu darimu?” Aku
mencoba menjelaskan.
Ia menundukkan kepala. Sorot matanya
tiba-tiba berubah. “Mengapa kau
bertanya seperti itu?”
“Ha ha ha.” Kini aku yang tertawa.
“Aku ingin kau lebih baik daripada
sekarang. Bila memang ayah
pernah menginginkan sesuatu
darimu dan telah mengambilnya,
siapa tahu aku dapat mengembalikannya
padamu!”
“Hm? Ha ha ha.” Lagi-lagi ia
tertawa getir. “Kau tidak akan
bisa melakukannya, Mas,” ujarnya.
“Lagipula, terlalu sulit bagiku
untuk menerimanya kembali!”
“Huh? Memang apa yang
telah ayah ambil darimu?”
Aku menyatukan kedua alis.
“Ha ha.” Ia tertawa getir, lagi.
“Sesuatu, Mas. Sesuatu yang
sangat berharga bagiku,” katanya .
“Aku harus pergi, Mas .
Sampai jumpa kembali di lain waktu!”
Tiba-tiba saja ia beranjak pergi. Aku
mencoba mencegahnya, tapi tidak
bisa. Sempat kulihat matanya berkaca-
kaca menahan airmata.
“Tenang saja, Pak.
Aku akan berusaha mengembalikannya
untukmu!”
Aku bertekad dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian...
Malam itu mungkin adalah sebuah
malam yang sangat berarti bagiku.
Semua anggota keluarga berkumpul
di meja makan untuk makan malam.
Tak terkecuali ayah. Tak biasanya ia
hadir di antara kami; aku, ibu, dan Bi
Suci. Aku sangat bahagia malam itu.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut hanya
datang sementara. Belum selesai
acara makan malam bersama itu,
terdengar suara pintu digedor-gedor
dari luar. Siapa sih yang tak tahu adab
bertamu itu? Aku mendengus kesal.
Bi Suci lalu beranjak membukakan
pintu. Sejurus kemudian terdengar
suara berat beberapa orang lelaki. Apakah
mereka yang datang mencari ayah
beberapa hari yang lalu? Aku menduga-
duga. Takut, khawatir.
Tak berselang lama setelah berbincang
sebentar, Bi suci memanggil ayah.
“Tuan Broto, ada yang ingin bertemu!”
Ia berseru.
Ayah cepat-cepat cuci tangan lalu
pergi ke ruang depan. Diam-diam aku
membuntutinya dari belakang. Dan betapa
terkejutnya diriku setelah kulihat
ada banyak personel polisi berdiri berjejer
di luar sana. Bukan hanya itu, di
belakang mereka kulihat orang-orang
berkerumun sambil riuh rendah
bersorak-sorai. Seorang polisi melangkah
tegap menghampiri ayah.
“Selamat malam, Pak!” Sapanya
sambil berhormat.
“Selamat malam.” Ayah menjawab.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Anda yang bernama Bapak Broto?”
Polisi itu bertanya.
“Iya, benar, Pak. Ada masalah apa, ya?”
“Anda kami tangkap sebagai dugaan
tersangka atas kasus penggelapan
dana rakyat!” Polisi itu mengeluarkan
borgol lalu meraih tangan ayah.
CKELK! Seketika tangan ayah sudah
diborgol.
“Loh, Pak? Apa yang Anda lakukan?
Saya tidak melakukan apa-apa! Mana
bukti Anda?” Ayah memberontak.
“Kami melakukan apa yang harus kami
lakukan. Anda dapat memberikan
pembelaan di pengadilan nanti.” Polisi
itu menggiring ayah menuju mobil
tahanan yang sudah berada di luar pagar.
Ibu yang baru saja keluar berlari
menghampiri ayah. “Tunggu, Pak!
Tunggu! Apa salah suami saya?” Ia
berteriak histeris.
“Bapak Broto diduga telah melakukan
penggelapan dana rakyat sebesar tiga
miliar rupiah. Oleh karena itu, Bapak
harus kami tangkap.” Polisi tadi menjelaskan,
lalu naik ke atas mobil tahanan.
Ibu terus saja mengoceh bertanya ini
itu, tapi para polisi tidak menggubrisnya.
Orang-orang yang berkerumun di
luar sana ikut-ikutan berkomentar
meriuhkan suasana. Mobil tahanan itu
segera pergi meninggalkan kami.
Seiring dengan itu, orang-orang yang
berkerumun tadi membubarkan diri.
Kini, tinggal diriku yang tercenung
bingung dan ibu yang terisak menangis.
***
Malam semakin larut. Aku tidak bisa
tidur malam itu. Aku duduk di ruang
tamu. Tak berapa lama kemudian Bi
Suci datang.
“Tidak tidur, Mas?” Ia bertanya. Aku
menggelengkan kepala.
“Bi, aku ingin tahu tentang seseorang,”
ungkapku.
“Seseorang? Siapa? Mungkin Bibi
bisa menjawab.”
“Hhhh. Hmmm.” Aku mengatur nafas
sejenak. “Bibi tahu, lelaki pemungut
sampah yang biasa lewat di depan
rumah? Siapa dia sebenarnya?” Kulihat
Bi Suci terperanjat. Ia lantas menghela
nafasnya panjang.
“Dimas, mungkin sudah saatnya kau
tahu akan hal ini,” ujarnya. Aku mengernyitkan
dahi mencoba menebaknebak
apa yang akan dikatakannya.
“Sebenarnya kamu bukan anak Pak
Broto, Mas.” Seketika kata-kata itu
seakan mencekik jantungku. Kalau
bukan anak dia, lalu aku ini anak siapa?
“Ibumu menikah dengan Pak Broto ketika
kamu berusia dua tahun. Percaya
atau tidak, kamu bukanlah anak kandung
Pak Broto.” Mata Bi Suci berkacakaca.
“Lalu, aku ini anak siapa, Bi? Siapa
ayahku sebenarnya?” Aku tak sabar
bertanya.
“Ayahmu...” Bi Suci memelankan
suaranya. “Ayahmu adalah lelaki
pemungut sampah itu, Mas. Dialah
ayahmu yang sebenarnya. Dialah
suami pertama ibumu. Ibumu dulu
meminta cerai pada lelaki itu karena
ia tak mampu mencukupi kebutuhan
keseharianmu. Di samping itu, Pak
Broto adalah orang kaya yang sejak
lama mencintai ibumu. Dengan imingiming
harta, ibumu memilih pisah dari
ayahmu lantas menikah dengannya.”
Kulihat Bi Suci tercenung menatapku.
Aku sendiri entah mengapa merasa
sesak mendengar penjelasannya.
Langit seolah-olah jatuh menimpaku.
Kini, telah kuketahui rahasia di balik
semua ini. Kini kutahu mengapa aku
harus membencinya. Ternyata, ia
bukanlah ayahku (*)