25 Maret 2015

Ternyata Bukan Ayahku

    Cerpen: Afsir Mlajah (Radar Surabaya 22 Maret 2015)
 

      Lelaki itu bernama Pak
Broto. Siapa yang tidak
mengenalnya? Ia adalah
seorang wakil rakyat yang
terkenal di mana-mana.
Tapi, aku merasa heran.
Banyak orang mencibirnya. Banyak
rakyat membencinya. Termasuk juga
aku. Aku sangat membencinya. Entah
apa yang membuatnya dibenci sedemikian
rupa. Aku tak tahu.
      “Aku benci Ayah,” ungkapku pada Bi
Suci, pembantu yang telah bekerja di
rumahku semenjak aku kecil, pada
suatu hari.
      “Mengapa, Mas?” Bi Suci bertanya
heran.
      “Entahlah. Ayah selalu tidak punya
waktu untukku setiap kali aku butuh
padanya,” jawabku. “Aku juga heran,
mengapa teman-temanku membenci
Ayah? Apa karena Ayah seorang wakil
rakyat?”
       “Ya tidak begitu, Mas.” Bi Suci menyangkal.
“Wakil rakyat kan dipilih oleh rakyat. Tentunya, ayahmu
Adalah sosok yang baik sehingga rakyat memilihnya,”
hiburnya.
       “Kalau benar begitu, lalu, mengapa
banyak orang memandang sinis padaku?
Setiap kali aku pergi ke suatu tempat,
mereka selalu mencemoohku. Setelah
itu, lantas mereka menyebut-nyebut
nama Ayah.” Aku menggerutu. Bi
Suci lantas mengusap keningku, mencoba
menenangkan.
       “Mungkin itu hanya perasaanmu
saja, Mas,” ucapnya.
       “Nggak mungkin, Bi. Pasti ada sesuatu
di balik itu.” Aku membantah.
Bi Suci hanya tersenyum.
       “Ssst. Sudahlah. Jangan dipikirkan,”
pesannya. Aku hanya bisa diam. Mau
bagaimana lagi? Mau bagaimanapun,
aku sudah terlanjur membencinya.
        ***
      Hari-hari kulalui begitu saja tanpa
ada arti. Mungkin hanya ibu, Bi Suci,
dan seorang lelaki misterius yang menemaniku
ketika diriku tertimpa masalah.
Bukan ayah! Sekali lagi, lelaki
itu bukan ayah! Ayah terlalu sibuk.
Sepertinya dia bukan lagi seorang manusia
yang mempunyai perasaan; rasa
lelah, rasa rindu, atau rasa cinta. Ia
lebih mirip robot yang bekerja tanpa
mengenal waktu dan lelah. Tapi anehnya,
tetap saja banyak orang yang
membencinya. Termasuk juga aku!
      Banyak orang berkata bahwa ayah
seperti ini seperti itu. Tak kapoknya
mereka membicarakan ayahku yang
kini mulai berusia setengah abad.
Hingga suatu hari, ketika ayah mendapat
mobil baru, mereka datang berbondong-
bondong ke rumah. Entah apa
yang mereka inginkan. Mereka datang
bukan hanya dengan tangan kosong,
tapi masing-masing orang membawa
sesuatu di tangannya. Ada pentongan
kayu, sapu lidi, pisau, celurit, parang,
bahkan senapan! Dengan amarah yang
meluap-luap mereka menyuruh ayah
keluar. Untungnya, saat itu ayahku
sedang dinas di luar kota. Sehingga,
orang-orang itu pulang dengan tangan
hampa dan masih dengan amarah yang
membara. Mereka mengumpat, mencaci,
bahkan mengancam. Saat itu, aku
bersembunyi di balik pintu, takut-takut
mengintip punggung mereka
menghilang di kelokan jalan.
***
       Sore harinya, seperti biasa, aku duduk
sendiri termenung di depan rumah.
Kulihat bunga-bunga di taman
tampak indah dijilat cahaya jingga.
Dan di pojok pagar sana, kulihat seseorang
berjalan sambil menggendong
sebuah keranjang besar. Dialah
lelaki misterius yang sangat
kukagumi. Meski hanya
menjadi seorang pemungut
sampah, ia disenangi
banyak orang, termasuk
diriku. Ia ramah pada siapa
saja. Sangat berbeda
dengan sosok ayah yang
kukenal selama ini.
       Cepat kuberlari ke arah
pintu gerbang untuk
menantinya. Dari kejauhan, kulihat ia
menyunggingkan kedua bibirnya. Beberapa detik
kemudian, kami bertemu. Kuajak ia
masuk ke dalam. Namun, ia tak mau. Malu, katanya.
       Jadilah kami duduk bersama di pos
jaga satpam dekat pintu gerbang.
       “Jangan sering melamun,” katanya
membuka pembicaraan. “Ada masalah?”
       Aku meliriknya sekilas. “Ya,” jawabku
singkat. “Mengapa tadi pagi para
warga datang ke rumah? Apa yang
mereka inginkan dari ayah?” Aku
mengutarakan apa yang sedang berkecamuk
dalam pikiran.
      “Ha ha ha.” Lelaki misterius itu tertawa.
“Warga hanya meminta hak yang semestinya
mereka terima, Mas. Tapi, ayahmu
tidak pernah memberikannya,” ujarnya.
      Aku mengernyitkan dahi. “Itukah
alasannya mengapa mereka datang
seperti orang kesurupan?”
       “Ha ha ha.” Ia tertawa lagi. “Kurasa
memang begitu.”
       “Hhh.” Kuhembuskan nafasku panjang.
       “Aku juga benci ayah,” ungkapku.
       Lelaki itu terperanjat. “Kau benci
ayahmu sendiri?” Ia bertanya lantas
diiringi gelak tawa. “Sepatutnya itu
tidak terjadi, Mas. Apa alasanmu sehingga
dapat membencinya?”
       Aku tersenyum kecut, mengingat harihari
yang kulalui dengan atau tanpa ayah
itu sama saja. Tapi, perkataannya juga
betul. Apa alasanku untuk bisa membencinya?
       “Dimas, Dimas. Ayahmu itu orang
hebat. Coba lihat, apa yang ia inginkan
selalu bisa diwujudkannya.” Lelaki
misterius itu menepuk-nepuk pundakku
lantas tertawa getir. Sejenak
kudapati airmukanya sedikit berubah,
seperti ada sesuatu yang dipendamnya.
       “Apakah ayah pernah melakukannya
padamu?” Aku iseng bertanya.
Ia tertegun. “Apa maksudmu?”
      “Hm. Apakah ayah pernah menginginkan
sesuatu darimu?” Aku
mencoba menjelaskan.
Ia menundukkan kepala. Sorot matanya
tiba-tiba berubah. “Mengapa kau
bertanya seperti itu?”
      “Ha ha ha.” Kini aku yang tertawa.
“Aku ingin kau lebih baik daripada
sekarang. Bila memang ayah
pernah menginginkan sesuatu
darimu dan telah mengambilnya,
siapa tahu aku dapat mengembalikannya
padamu!”
      “Hm? Ha ha ha.” Lagi-lagi ia
tertawa getir. “Kau tidak akan
bisa melakukannya, Mas,” ujarnya.
“Lagipula, terlalu sulit bagiku
untuk menerimanya kembali!”
       “Huh? Memang apa yang
telah ayah ambil darimu?”
Aku menyatukan kedua alis.
        “Ha ha.” Ia tertawa getir, lagi.
“Sesuatu, Mas. Sesuatu yang
sangat berharga bagiku,” katanya .
      “Aku harus pergi, Mas .
Sampai jumpa kembali di lain waktu!”
Tiba-tiba saja ia beranjak pergi. Aku
mencoba mencegahnya, tapi tidak
bisa. Sempat kulihat matanya berkaca-
kaca menahan airmata.
       “Tenang saja, Pak.
Aku akan berusaha mengembalikannya
untukmu!”
       Aku bertekad dalam hati.

***
       Beberapa hari kemudian...
       Malam itu mungkin adalah sebuah
malam yang sangat berarti bagiku.
Semua anggota keluarga berkumpul
di meja makan untuk makan malam.
Tak terkecuali ayah. Tak biasanya ia
hadir di antara kami; aku, ibu, dan Bi
Suci. Aku sangat bahagia malam itu.
Sayangnya, kebahagiaan tersebut hanya
datang sementara. Belum selesai
acara makan malam bersama itu,
terdengar suara pintu digedor-gedor
dari luar. Siapa sih yang tak tahu adab
bertamu itu? Aku mendengus kesal.
Bi Suci lalu beranjak membukakan
pintu. Sejurus kemudian terdengar
suara berat beberapa orang lelaki. Apakah
mereka yang datang mencari ayah
beberapa hari yang lalu? Aku menduga-
duga. Takut, khawatir.
Tak berselang lama setelah berbincang
sebentar, Bi suci memanggil ayah.
“Tuan Broto, ada yang ingin bertemu!”
Ia berseru.
      Ayah cepat-cepat cuci tangan lalu
pergi ke ruang depan. Diam-diam aku
membuntutinya dari belakang. Dan betapa
terkejutnya diriku setelah kulihat
ada banyak personel polisi berdiri berjejer
di luar sana. Bukan hanya itu, di
belakang mereka kulihat orang-orang
berkerumun sambil riuh rendah
bersorak-sorai. Seorang polisi melangkah
tegap menghampiri ayah.
      “Selamat malam, Pak!” Sapanya
sambil berhormat.
      “Selamat malam.” Ayah menjawab.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Anda yang bernama Bapak Broto?”
Polisi itu bertanya.
      “Iya, benar, Pak. Ada masalah apa, ya?”
      “Anda kami tangkap sebagai dugaan
tersangka atas kasus penggelapan
dana rakyat!” Polisi itu mengeluarkan
borgol lalu meraih tangan ayah.
       CKELK! Seketika tangan ayah sudah
diborgol.
      “Loh, Pak? Apa yang Anda lakukan?
Saya tidak melakukan apa-apa! Mana
bukti Anda?” Ayah memberontak.
      “Kami melakukan apa yang harus kami
lakukan. Anda dapat memberikan
pembelaan di pengadilan nanti.” Polisi
itu menggiring ayah menuju mobil
tahanan yang sudah berada di luar pagar.
Ibu yang baru saja keluar berlari
menghampiri ayah. “Tunggu, Pak!
Tunggu! Apa salah suami saya?” Ia
berteriak histeris.
      “Bapak Broto diduga telah melakukan
penggelapan dana rakyat sebesar tiga
miliar rupiah. Oleh karena itu, Bapak
harus kami tangkap.” Polisi tadi menjelaskan,
lalu naik ke atas mobil tahanan.
       Ibu terus saja mengoceh bertanya ini
itu, tapi para polisi tidak menggubrisnya.
Orang-orang yang berkerumun di
luar sana ikut-ikutan berkomentar
meriuhkan suasana. Mobil tahanan itu
segera pergi meninggalkan kami.
Seiring dengan itu, orang-orang yang
berkerumun tadi membubarkan diri.
Kini, tinggal diriku yang tercenung
bingung dan ibu yang terisak menangis.
***
      Malam semakin larut. Aku tidak bisa
tidur malam itu. Aku duduk di ruang
tamu. Tak berapa lama kemudian Bi
Suci datang.
     “Tidak tidur, Mas?” Ia bertanya. Aku
menggelengkan kepala.
     “Bi, aku ingin tahu tentang seseorang,”
ungkapku.
     “Seseorang? Siapa? Mungkin Bibi
bisa menjawab.”
     “Hhhh. Hmmm.” Aku mengatur nafas
sejenak. “Bibi tahu, lelaki pemungut
sampah yang biasa lewat di depan
rumah? Siapa dia sebenarnya?” Kulihat
Bi Suci terperanjat. Ia lantas menghela
nafasnya panjang.
      “Dimas, mungkin sudah saatnya kau
tahu akan hal ini,” ujarnya. Aku mengernyitkan
dahi mencoba menebaknebak
apa yang akan dikatakannya.
     “Sebenarnya kamu bukan anak Pak
Broto, Mas.” Seketika kata-kata itu
seakan mencekik jantungku. Kalau
bukan anak dia, lalu aku ini anak siapa?
     “Ibumu menikah dengan Pak Broto ketika
kamu berusia dua tahun. Percaya
atau tidak, kamu bukanlah anak kandung
Pak Broto.” Mata Bi Suci berkacakaca.
     “Lalu, aku ini anak siapa, Bi? Siapa
ayahku sebenarnya?” Aku tak sabar
bertanya.
      “Ayahmu...” Bi Suci memelankan
suaranya. “Ayahmu adalah lelaki
pemungut sampah itu, Mas. Dialah
ayahmu yang sebenarnya. Dialah
suami pertama ibumu. Ibumu dulu
meminta cerai pada lelaki itu karena
ia tak mampu mencukupi kebutuhan
keseharianmu. Di samping itu, Pak
Broto adalah orang kaya yang sejak
lama mencintai ibumu. Dengan imingiming
harta, ibumu memilih pisah dari
ayahmu lantas menikah dengannya.”
Kulihat Bi Suci tercenung menatapku.
Aku sendiri entah mengapa merasa
sesak mendengar penjelasannya.
Langit seolah-olah jatuh menimpaku.
Kini, telah kuketahui rahasia di balik
semua ini. Kini kutahu mengapa aku
harus membencinya. Ternyata, ia
bukanlah ayahku (*)

24 Maret 2015

Jejak Langkah dan Ajaran Sosrokartono




          “Nun di suatu masa nanti, Terusan Suez bakal mandi darah, api berkobar dahsyat di Benua Asia dan Afrika. Akhirnya kedua benua, akan berpaut menyatu padu di kota ini (Bandung)”
                                                                                     Ramalan Sosrokartono, 1940.

       Apa yang dikatakan oleh Drs.RMP Sosrokartono (1877 – 1952), kakak kandung pahlawan nasional RA Kartini, ternyata menjadi kenyataan. Terbukti pada tahun 1955, Kota Bandung dijadikan ajang Konferensi Asia-Afrika. Suatu tiang pancang awal kebangkitan dan persatuan bangsa-bangsa di benua Asia-Afrika yang baru merdeka, terlepas dari penindasan dan penjajahan oleh kaum kolonialis. Dan itu dimulai dengan “Krisis Suez” yang terjadi di awal tahun 1950-an, dan meibatkan kekuatan militer Inggris dan Prancis. Menghadapi Mesir yang mendapat bantuan dan simpati negara-negara Arab dan Asia-Afrika lainnya. Kejadian itu persis, sesuai dengan ramalan atau “visi gaib” dari Sosrokartono, 15 tahun sebelumnya.
       Sastria pendita nan waskita
       Sosrokatono memilki kekuatan spiritual yang hebat. Waskita dan waspada! Sebagian orang menyatakan bahwa beliau memiliki ‘indera keenam’ dan ‘mata ketiga’, istilah-istilah yang kurang dipahami oleh orang awam.
       Sejak usia muda, beliau sudah terlihat bakat paranormalnya. Pada suatu hari di tahun 1880, Sosrokarto
yang baru berusia tiga tahun, mengumpulkan semua barang mainannya. Kemudian dikemasi dalam suatu wadah, siap untuk dibawa, bila sewaktu-waktu keluarga RM Samingun (ayah Kartono-Kartini) harus alih tugas dari Mayong.
     Orang-orang di rumah bertanya pada Kartono kecil: “Mengapa alat-alat permainanmu kau kumpulkan?”
     Jawab Kartono :    “Mau pindah rumah”
     Penanya            :    “Siapa yang mau pindah?”
     Jawab Kartono :     “Ayah !”
     Penanya           :      “Pindah ke mana?”
     Jawab Kartono:      “Ke Jepara”.
      Bukan main! Sungguh aneh kala itu! Tiga bulan kemudian masih di tahun 1880 itu  juga, ayahnya menerima ‘Surat Besluit Gepernemen’ yang memindahkan RM Samingun ke Jepara, untuk menduduki jabatan Bupati Jepara. Menggantikan kedudukan ayah mertuanya.
      Semua tepat seperti ramalan “si Kakek Kecil” , nama julukan Sosrokartono di lingkungan keluarga RM Samingun. Memang  si Kakek Kecil ini memiliki sifat ‘terang-pandang’ atau ‘clairvoyance’ sebagaimana terjadi dalam kisah berikut ini:
      Tahun 1918, Perang Dunia I di Eropa usai sudah. Prancis dan Jerman mengadakan perundingan rahasia di tengah hutan Campienne, Prancis. Tempat perundingan diajaga ketat, tak ada wartawan yang dipernenankan hadir dalam pertemuan itu. Sebelum keluar pengumuman resmi, surat kabar ‘New York Herald Tribune’ telah menyiarkan hasil perundingan. Pengirim beritanya adalah seorang koresponden di Eropa dengan kode ‘bintang tigs’, kode Drs.Sosrokartono. Kejadian tersebut sempat mengejutkan pers dunia, sehingga belia diberi julukan “wartawan agung”.
       Keanehan-keanehan atau keajaiban lain seputar beliau, banyak terjadi dan dialami oleh para pengikutnya, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Sidho Mukti, Kudus tahun 1952.
       Drs.RMP Sosrokartono yang lulusan Universitas I eiden, tergolong genius. Menguasai 36 bahasa, terdiri dari 17 macam bahasa Eropa, 9 macam bahasa Timur dan 10 bahasa daerah Indonesia.
       Beliau menguasai bahasa sampai ke dialek-dialeknya. Sebagaimana terjadi di zaman pendudukan Jepang. Masa itu beliau lebih tekun hidup prihatin. Puasa, mengurung diri beberapa hari di kamar pribadinya. Tiba-tiba dating seorang Nyonya Eropa, uluk salam –“Good morning doctor!” Masih belum ada jawaban.
       Baru setelah si nyonya mengucap salam buat ketigakalinya, Sosrokartono keluar dari kamarnya, menyambut salam si nyonya dan mempersilahkan tamunya masuk. Kemudian terjadilah obrolan yang asyik, diseling tawa-ria, dengan menggunakan bahasa yang tak dipahami leh para hadirin yang siang malam selalu membanjiri rumah Darussalam di Jl.Pungkur No.19 Bandung.
        Mengapa si Nyonya Eropa harus uluk salam sampai tiga kali? Ssrokartono member penjelasan kepada para pengikutnya. Dari logat ucapan ‘good morning’ yang pertama, Sosrokartono langsung mengetahui bahwa si nyonya bukan orang Inggris. Dari logat salam yang kedua, diketahui bahwa si nyonya adalah orang Rusia. Selanjutnya, ucapan ‘good morning’  yang ketiga, Sosrokartono memastikan si nyonya berasal dari daerah Ukrania. Ternyata benar, nyonya tadi adalah orang Rusia. Tokoh dunua theosofi yang terkenal dan misterius. Datang dan meninggalkan tempat dalam waktu sekejap mata.
       Karena kemahirannya berbahasa, maka Sosrokartono diminta menjadi juru bahasa tunggal di forum Volkenbond  (cikal bakal PBB) di Geneva. Swiss pada tahun 1918. Kemudian Sosrokartono diangkat oleh pemerintah Prancis menjadi pegawai tinggi pada Kedutaan Prancis di Den Haag, tahun 1921. Tatkala beliau di Jenewa (tahun 1918 – 1920), Sosrokartono sering mengadakan perjalanan keliling, singgah di Negara-negara Eropa sesuai dengan hasrat hatinya, ingin mengenal bangsa-bangsa di dunia.
      Dalam perjalanan dari Swiss menuju Italia, sesampainya di lereng Pegunungan Alpen yang membatasi kedua Negara, Sosrokartono dibegal oleh sekawanan penyamun bangsa Italia. Selain barang bawaannya dirampas, para penyamun berniat membubuhnya. Maka dengan bahasa Italia bernada halus Kartono meminta barang waktu sesaat untuk mengerjakan shalat dan menulis sepucuk surat buat ibunya di Pulau Jawa. Timbul perdebatan. Kartono mengajukan alas an, bahwa ibundanya yang selalu akan menunggu kedatangannya, mrasa cemas tanpa berita dari putranya yang jauh di rantau orang. “Bila aku telah memberi kabar kepada ibuku tentang kematianku, silahkan anda bunuh aku”, begitu kata Kartono kepada para penyamun. Mendengar kata-kata tadi, bajingan-bajingan Italia itu merasa terharu. Lalu mengembalikan seluruh harta milik Kartono, dan mengantarkannya dengan naik pedati memasuki perbatasan Italia.
        Kejadian itu membuktikan, bahwa sikap berhikmat kepada Ibunda, dapat menjadi doa restu selamat bagi dirinya. Sosrokartono telah membuktikan kebenaran ungkapan; tiada keramat yang paling ampuh di dunia selain doa Ibu, atau istilah Sunda –‘Indung Tunggul Rahayu!
       Sejak kejadian di lereng Pegungan Alpen itu, Sosrokartono amat rindu kepada ibundanya yang tinggal di Salatiga. Maka pulanglah beliau ke tanah air. Dan memilih Kota Bandung pada tahun 1927 sebagai tempat huniannya.
       Pada akhir 1927-an beliau aktif menjadi pendidik di Perguruan Taman Siswa, selain juga menjadi tokoh spiritual, pendukung pergerakan nasional di Kota Bandung. Para tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, juga mahasiswa TH yang lagi menghadapi ujian, sering sowan kepada beliau, untuk memohon doa restu. Kala Soekarno muda jadi ‘singa podium’ di Bandung, dapat dipastikan Sosrokartono hadir ‘diam’ memberikan dukungan moral di sisinya.
       Pada suatu ketika, Sosrokartono yang yang dituakan di Perguruan Taman Siswa, mendapat undangan untuk meresmikan gedung sekolah milik perguruan itu di Garut dan Cianjur. Repotnya, hari, tanggal dan peresmian waktunya bersamaan. Namun entah bagaimana caranya, ternyata pada saat yang bersamaan di dua tempat yang berjauhan (Garut dan Cianjur) peresmian gedung sekolah, dapat dilaksanakan oleh beliau. Hal itu terbukti dari dua lembar foto dan berita surat kabar, yang menyiarkan pristiwa tersebut.
       Sejak Sosrokartono mendiami rumah ‘Darussalam’ di Jl.Pungkur No.19, beliau sering menolong orang yang susah, sakit, dan kesulitan mental maupun spiritual. Beliau menolong ‘pasiennya’ dengan member air putih sebagi media penyembuhan. Oleh karena itu beliau sering disebut sebagai ‘Dokter Cai’.
       Tatkala Sosrokartono masih hidup, pernah mengatakan bahwa beliau tidak mengajarkan sesuatu, tidak mempunyai murid atau menjadi guru. Baginya: “Murid gurune pribadi, guru muride pribadi, pamulangane sengsara sesame, ganjarane ayu lan arume sesame”  (‘Guru sang murid adalah pribadi murid sendiri, murid sang guru adalah pribadi guru sendiri, bahan pelajarannya adalah kesengsaraan dan penderitaan sesame manusia, pahalanya adalah kebahagiaan bagi sesama hidup’).
       Hakikat hidup ini adalah cinta kasih manusia kepada Tuhan. Cinta kasih itu hendaknya disalurkan dengan mengambakan diri kepada hamba Tuhan (sesama  manusia).
      Pandangan hidup Sosrokartono, memegang teguh ‘laku’, tindakan dan perbuatan, yang disebut ‘Catur Murti’.  Catur Murti ini merupakan perilaku kehidupan. Maka bagi mereka yang ingin mempelajarinya, berdatangan ke tempat kediaman beliau di Bandung kala itu. Mereka disebut ‘monosuko’, yaitu orang-orang yang suka rela datang tanpa diundang ke tempat itu ***@
                                                                                (sumber: Ir.Harry Kunto-ITB)

15 Maret 2015

Freak Love

Cerpen Putri Maal CB (Radar Surabaya 15 Maret 2015)


    Tuhan, kembali aku bersimpuh di hadapan-Mu
     Bukan karena aku lagilagi ingin mengeluh tentang hidupku.
     Tapi aku bersimpuh karena rasa syukur yang tiada tara ini
    Aku tau, Engkau telah memberikan sesuatu yang kubutuhkan
   Tuhan, tolong terus jaga hatiku
   Jangan sampai dia mengkhianati-Mu
   Karena aku yakin
   Kau tidak akan memberikan cobaan
yang tidak sanggup kulalui
   Aku, Afla Aisyah Maghfira, yang
terus berjuang mencari makna di balik
cinta yang telah kupupuk dengan awal
yang salah, tapi tetep berusaha untuk
tidak mengkhianati-Nya. Ini kisahku.
   Awal pertemuanku dengannya pada
30 Juni 2013. Aku melihatnya menampilkan
dance cover bersama temanteman
yang lain di suatu even yang
kebetulan aku juga salah satu panitianya.
Awal aku tertarik padanya karena
dia meng-cover salah satu idolaku,
SHINee Minho. Aku kagum. Aku sangat
tidak kecewa melihat Minho-ku
yang berkharisma. Setelah mereka
selesai tampil, aku kembali melanjutkan
aktivitasku. Aku lupa padanya.
Aku tidak lagi mencari keberadaannya.
    Tapi semua berubah saat acara telah
selesai. Ketua panitia acara tersebut
memperkenalkan aku kepada panitia
yang lain. Dia yang terakhir mengenalkan
dirinya padaku. Sosok berkaca
mata itu mendatangiku dan menjabat
tanganku. Aku menyambut uluran tangannya
dengan tatapan kosong.
Entah apa yang ada di pikirannya saat
itu aku tidak peduli. Yang aku pedulikan,
aku seolah melihat sosok cinta
pertamaku satu-satunya orang yang
membuatku jatuh cinta pada pandangan
pertama di sana. Aku melihat
senyum tipisnya, matanya yang bersinar
ramah, dan pipinya yang terkadang
bersemu kemerahan di kulitnya
yang putih. Sosokku yang tadinya ceria,
yang tadinya sangat gemar
berkenalan dan berceloteh ria, mendadak
kaku saat bersentuhan dengannya.
Dada ini bergemuruh cepat. Apa
cinta ini muncul kembali? Apa hati ini
mulai terbuka lagi setelah bertahuntahun
lamanya kututup? Ini bukan
yang pertama kalinya bagiku. Jadi aku
kenal betul dengan perasaan ini. Perasaan
yang sangat tidak ingin kurasakan
lagi. Perasaan yang sukses
membuatku menjadi murung. Aku
tidak ingin mengenalnya. Detik itu aku
bertekad untuk tidak terlalu dekat
dengan seorang Bima Alfredo Immanuel.
Dia akan menghancurkanku,
itulah yang kupikirkan.
    Seolah imanku sedang diuji, Tuhan tidak
membiarkanku. Saat perjalanan pulang,
dia memintaku untuk duduk di
sampingnya dengan alasan ingin mengenalku.
Aku hanya diam, aku tidak
ingin memulai percakapan dengan orang
yang kuyakini akan membuatku
kehilangan keceriaanku lagi. Tapi dia
terus memberikan keramahannya padaku.
Dia bertanya apapun tentangku.
Saat mengetahui aku sedang kuliah di
PTN yang akan dimasukinya, dia makin
tertarik. Sesekali dia menyelipkan
ceritanya. Aku menanggapinya dengan
sopan. Percapakan itu terus berlanjut
seru, aku pun semakin lupa dengan
tekadku di awal. Aku suka dengan gaya
bicaranya. Aku nyaman bercerita dengannya.
Bodohnya, aku tertarik untuk
mengenalnya lebih jauh lagi.
    Tuhan benar-benar memberi cobaan pa
daku. Fakta bahwa kami memiliki tanggal
lahir yang sama membuat pikiranku
makin kacau. Aku semakin memikirkannya.
Kemungkinan-kemungkinan
apa lagi yang akan terjadi kedepannya.
    Sejak hari itu, kami semakin dekat.
Dia atau aku rutin untuk memulai percakapan
di sebuah aplikasi chatting.
Saat kami dan teman-teman yang lain
merayakan kesuksesan acara kami di
kolam renangpun, dia selalu bersamaku.
Aku ingat ucapannya saat itu, “Fla,
hari ini kamu sama aku aja ya. Janji.”
Benar, sepanjang hari itu, tidak sedetik
pun aku jauh darinya. Ada apa
denganku? Aku tidak ingin seperti ini.
    Di hari pengumuman kelulusannya, dia
menggenggam tanganku erat, dia
mengungkapkan betapa bahagianya dia.
“Fla, akhirnya kita sekampus!”. Iya, kita
sekampus, dan cobaanku makin bertambah
berat.
    Saat liburan semester, aku harus pulang ke
rumah orangtuaku yang memang beda
kota, dia terus bertanya kapan aku
akan kembali lagi, bagaimana dia bisa
cepat menghubungiku. Apa maksudnya?
Dia mulai Membutuhkanku atau apa?
    Di rumah, keluargaku mengetahui
perbedaanku. Aku jadi sering tersenyum, aku tidak
lagi cuek, dan aku tidak pernah
lepas dari handphoneku.
Saat aku lengah, Mama memeriksa
handphoneku. Dia tau, aku
jatuh cinta. Tapi aku mendalihnya.
Aku tau reaksi apa
yang akan diberikannya
saat mengetahui aku mencintai
orang yang ‘berbeda’. Ini cinta
terlarang.
    Aku berusaha menahan perasaanku.
Tapi TIDAK BISA!!! Apalagi saat aku
kembali aku datang ke suatu gathering
yang dia adalah salah satu adminnya
dia menyambutku dengan pelukannya
dan langsung memintaku duduk
di sampingnya.
    Hari-hariku penuh dengannya. Malam
itu, 21 Agustus 2013, aku tidak bisa
lagi menutupi fakta bahwa aku mencintainya.
Aku mengungkapkannya. Dia
mengingatkanku tentang ‘perbedaan’
kami. Tapi aku tidak peduli! Aku benarbenar
mencintainya. Dia mengatakan
bahwa dia juga menyukaiku, dia nyaman
bersama denganku. Aku bahagia.
    Sejak saat itu aku menjadi pribadi
yang berbeda. Semua orang menyukai
perubahanku, tapi tidak sedikit dari
mereka yang kecewa setelah tau apa
penyebab perubahanku yang membaik
itu. Tapi aku sangat mencintainya.
Salah satu sahabatku mengingatkanku,
“Nanti kamu bisa ngerasain sendiri apa
akibatnya. Pikirkan orangtuamu, Fla.”
Aku sangat mengerti apa maksud
perkataannya, tapi aku bisa apa?
    Petaka itu mulai muncul. Aku makin
posesif kepadanya. Walaupun tidak
secara langsung aku mengungkapkannya,
tapi aku yakin dia merasakannya.
Aku semakin takut kehilangannya.
    Siang malam aku berdoa agar selalu
dipersatukan oleh-Nya. Tapi seolah
menertawakan kebodohanku, Tuhan
mempertemukanku dengan Mamanya.
Saat itu dia sedang sakit, jadi aku ke
rumahnya. Anak kecil sekali pun pasti
akan langsung tau bahwa aku bukan
hanya sekedar teman dengannya melihat
perhatianku yang mungkin terkesan
agak berlebihan. Seharusnya
aku agak menahan diri agar Mamanya
tidak mengetahui hubungan kami. Aku
terlalu bodoh waktu itu.
   Semua terungkap pada 5 Oktober 2013.
Bima mengatakan semua yang dikatakan
oleh Mamanya. Aku sudah sangat tau
hari ini akan datang, tapi kenapa secepat
ini? Aku tidak sanggup kehilangan
cintaku lagi. Aku tidak mau sendiri lagi.
Malam itu aku memeluknya sangat erat,
aku juga memberikan first kiss ku. Aku
menunjukkan semua perasaanku. Saat
aku menciumnya, dengan mengalirnya
air mata ini, yang juga membasahi pipi
dan bibirnya, aku ingin dia tau bahwa
aku benar-benar mencintainya. SANGAT
MENCINTAINYA.
     Cobaanku tidak hanya berhenti di situ.
Dengan putusnya kami, aku kira akan
benar-benar lepas darinya, ternyata
tidak. Kami semakin dekat. Aku dan
dia ternyata punya banyak kesamaan
yang membuat kami seolah tidak
terpisahkan. Aku tidak lagi sungkan
untuk main ke rumahnya karena status
kami yang hanya teman. Mama dan
kakaknyapun semakin baik padaku. Aku
harap perasaan ini bisa bertahan.
    Tapi lagi-lagi Tuhan mengujiku.
Malam itu, 29 November 2013, kami
pulang terlalu larut. Pintu kostku sudah
tertutup dan tidak diperbolehkan untuk
dibuka lagi. Bima, yang kebetulan
rumahnya sedang kosong, menawariku
tempat tinggal. Kami tidur bersebelahan.
Sebagai perempuan normal, wajar
kalau dadaku bergemuruh di situasi
seperti ini. Tapi aku terus mencoba
tidur, aku yakin Bima tidak akan
melakukan apapun padaku.
    Saat bangun, hal yang pertama kulihat
adalah wajahnya yang sangat dekat
denganku. Aku merasakan hembusan
nafasnya di pipiku. Aku menelusuri setiap
lekuk wajahnya. Aku kembali mengaguminya.
Tanpa sadar, bibirku menyentuh
permukaan bibirnya. Lembut, agak basah,
dan menenangkan. Refleks akupun
bangun. Mungkin dia tersadar atas apa
yang telah kulakukan, dia mulai menggeliat.
Takut dengan apa yang akan
dikatakannya, aku segera ke kamar mandi
dan membasuh wajahku. Tak lama, terdengar
teriakannya, “Fla, kita langsung
siap-siap ya!” Syukur, dia tidak menyadarinya.
    Aku semakin tidak bisa lepas darinya
sejak ciuman itu. Tapi dia tidak mencegah
ataupun menolak apapun yang kulakukan.
    Berita mengejutkan itupun terungkap.
Aku mengetahui masalahnya yang paling
besar. Bukannya menjauhinya, aku
malah semakin agresif padanya. Mungkin
dia jenuh deganku. Dia benar-benar menjauhiku.
Sekitar sebulanan aku tidak lagi
berada dekat dengannya sampai temanteman
kami membuat kami rukun lagi. Seharusnya
setelah mengetahui semuanya
aku bertobat. Tidak lagi memulai apapun
dengannya. Tapi seolah aku sudah
bebal, aku tahan banting.
    Aku mencari celah untuk dekat
dengannya lagi, dan aku berhasil.
Dia masih membutuhkanku.
Bahkan dia tidak ragu
menulis kata ‘date’ denganku di salah
satu akun sosial media miliknya. Seolah
aku punya harapan, di 27 April 2014 saat
itu kami sedang mengikuti event khusus kolam
renang kami kembali berciuman di
bawah air. Dia tidak menolakku. Untuk
pertama kalinya dia membalas ciumanku, dan ciuman itu
terjadi bukan hanya sekali. Aku tidak
tau kalau itu akan menjadi kali terakhir
kami melakukannya. Hari itu dia
memelukku erat dan memimbisikkan
kata ‘makasih’ di telingaku.
    Mungkin waktu itu adalah ungkapan
perpisahan darinya, tapi aku tidak mengerti.
Aku terlalu bodoh untuk memahami
apa maksud dari perlakuannya
selanjutnya. Dia tidak lagi membahas
rentetan pesanku, bahkan
mengacuhkan semua perbuatanku.
    Aku mulai tidak tahan, aku mulai
melakukan sesuatu seolah dia masih
milikku. Aku hanya takut dia kembali ke
masalahnya lagi dan hari itu pun datang.
    27 Juni 2014. He said, “Iya, aku masih
kayak gitu. Dan itu bukan urusanmu.
Kamu harus tau, Fla, aku ga butuh
kamu lagi. Pergi dari hiduku!”
    Dia mengusirku. Berminggu-minggu
selanjutnya aku hidup dalam kesedihanku.
Aku tidak lagi menjadi sosok
yang sosial, aku tidak peduli terhadap
apapun lagi. Perlahan, dengan bantuan
teman-temanku, aku kembali menata
hidupku. Aku mulai kembali kepada-Nya.
Aku curahkan semua penyesalan dan
kebodohanku. Tapi doaku untuknya tidak
pernah pupus. Aku ingin dia melepaskan
masalahnya, walau tanpa aku.
    Entah apa yang telah direncanakan oleh
Tuhan, setelah semua yang telah dia
lakukan padaku belakangan aku mengetahui
bahwa dia selalu menjelek-jelekkan
aku di depan semuanya, dia tidak pernah
merasa kalau dia membutuhkanku, dan
dia selalu benci tiap dekat denganku aku
memaafkannya begitu saja. Aku bertekad
untuk tidak lagi memikirkan yang duludulu.
Bahkan akupun mau untuk kembali
ke rumahnya, tempat dia dulu mengusirku,
untuk meminta izin kepada Mama
dan kakaknya agar dia ikut liburan
bersama kami ke pantai. Aku sangat
berusaha untuk bersikap normal, seolah
tidak ada masalah di antara kami.
Untungnya, dia juga bersikap sama.
    Akhir Agustus 2014, dia kembali
menghubungiku. Dia meminta bantuanku.
Aku tidak menolak. Tanpa memikirkan
apa-apa, aku memulai semuanya lagi.
    Bima selalu ada di saat aku membutuhkannya,
sebagai tempat pelampiasan
emosi, cerita, impian bodoh, dan
dia selalu memberikan celetukan-celetukan
yang katanya tidak disengaja
tapi sukses merubahku. Semua yang
kubutuhkan ada pada dirinya. Aku
juga selalu berusaha untuk ada di saat
dia membutuhkanku. Entah siapa
yang memulai, kami sudah memanggil
diri kami sebagai BEST BUDDY.
    Semua berjalan biasa saja. Akupun
tidak lagi mempunyai perasaan khusus
kepadanya. Sampai 21 Februari 2015
lalu, dia kembali membuka semuanya.
Dia meminta maaf atas semua perbuatannya
yang dulu, dia mengatakan
bahwa sebenarnya dia sangat membutuhkanku,
dan dia menceritakan dari
awal tentang masalahnya itu. Dia
terlihat begitu rapuh. Sangat ingin aku
merangkulnya, memeluknya, menggenggam
tangannya, menenangkannya,
dan meyakinkannya bahwa dia
pasti bisa berubah. Ada aku di sini.
Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
selalu mendukungnya dan membantunya.
Tapi kutahan semua itu.
Jika aku melakukannya, hal itu hanya
akan menyakitiku lagi. Sekuat mungkin
aku tahan untuk tidak lagi melakukan
kontak fisik dalam bentuk
apapun dengannya. Aku takut perasaan
itu akan muncul kembali. Aku tidak
ingin persahabatan ini putus kembali
hanya karena keegoisanku.
    Aku tersenyum ke arahnya, dan mengatakan,
“Kamu ga perlu takut, Bi.
Kamu ga sendiri. Coba buka matamu,
masih banyak tempat yang bisa menjadi
pengalih perhatianmu dan melupakan
semuanya, terutama masalahmu
itu. Cuma kamu yang bisa merubah
diri kamu, bukan orang lain, bukan juga
aku. Yang penting, kamu harus yakin.
Kamu ga boleh nyerah. Dan kamu
jangan berpikiran sempit. Inget, masih
ada aku. Oke?”
    Dia menatap dalam mataku. “Makasih
banyak karna kamu selalu tau apa
yang aku butuhin, Fla. Sekarang aku
ngerti. Semua yang udah kamu lakukan,
hanya untuk kebaikanku. Tolong
jangan tinggalin aku, Fla. Sehina
apapun yang akan aku lakukan
selanjutnya, tolong ingatkan aku.”
    “Sip!”
    Sepulang dari rumahnya, aku kembali
menangis. Apa aku bisa selalu ada
untuknya dengan mengabaikan perasaanku?
Apa aku yakin perasaan ini
akan sanggup ku tahan? Aku sangat
ingin membantunya, tapi aku takut
akan semakin menyakiti diriku lagi.
   Ya Tuhan, rencana apa lagi yang
akan Kau ciptakan untukku? Tolong,
bukakan pintu hidayah-Mu untukku,
agar aku bisa mengerti apa yang akan
aku lakukan selanjutnya.
    Aku untuk kamu, kamu untuk aku
    Namun semua apa mungkin iman
kita yang berbeda
    Tuhan memang satu, kita yang tak sama
    Haruskah aku lantas pergi meski
cinta takkan bisa pergi. (*)

8 Maret 2015

Layar Tancap



Cerpen: Edy Firmansyah (Radar Surabaya 8 Maret 2015)
    
                   
     Fuad hanya terpaku ketika
Ripin, bapaknya, dimasukkan
ke dalam liang lahat.
Matanya sembab. Pikiran
berkecamuk. Mengapa Tuhan memanggil
bapaknya dengan cara keji begitu? Seandainya
ia menuruti bapaknya untuk
tak nonton layar tancap malam itu,
mungkin pagi ini ia masih bisa membuatkan
bapaknya kopi. Tapi takdir
berkehendak lain. Bapaknya telah
pergi untuk selamanya. Tuhan begitu
kejam. Fuad terus membatin. Fuad tak
tahan. Fuad tak sanggup sendiri.
      “BapakÖbapakÖ!” orang-orang terus
memegangnya erat.
      “Jangan sampai lepas. Nanti dia nekat”
teriak yang lain sambil terus
mencangkul.
      Pelan-pelan jasad bapaknya yang dibalut
kafan yang sebagian memerah karena
darah tak kelihatan lagi. Ditimbun
tanah. Fuad menangis sejadi-jadinya di
antara gemuruh langit dan lafal doa.
***
      Fuad baru saja melompat ke sungai,
ketika kawan-kawannya bergegas naik
dan meninggalkannya. Meski tak puas
menikmati sejuk air sungai, Fuad menepi
juga. Mengenakan celananya, tanpa
sempat mengenakan baju, lalu berlari
mengejar kawanannya ke lapangan.
Bajunya ia pegang di tangan.
      “Mobil itu datang. Mobil itu datang.”
Teriak kawannya, Kharis, yang berlari
paling depan.
      Mobil yang dimaksud adalah mobil
jenis van berpengeras suara dan digantungi
poster besar berbagai jenis film.
Mesin mobil itu bergerung memecah
kesunyian lapangan di terik siang di
tengah kampung. Suara mesin yang
tumpang tindih dengan suara pengeras
suara membuat soundtrack iklan KB
terdengar buruk. Bergemerisik dan
kerap membuat gendang telinga gatal.
      Kawanan itu terus berlari mendekati
mobil berwarna biru buram dengan beberapa
bagian cat terkelupas itu kemudian
membuntutinya dari belakang. Kharis
berhasil melompat ke belakang van sambil
terus tertawa jumawa. Yang lainnya masih
terus berlari di belakang mobil van itu
sambil bersorak sorai kegirangan.
      Fuad terus berlari agak jauh tertinggal
di belakang. Sambil berlari ia kenakan
bajunya yang sedari tadi digenggamnya.
Sebenarnya Fuad ingin terus mengikuti
kawan-kawannya berlari dan biasanya
berhenti di samping sekolah dasar di sisi
lapangan tempat mobil van itu juga
berhenti. Fuad memang terpesona dengan
segala peralatan bioskop keliling itu. ia
heran mengapa bisa dari proyektor film
dan gulungan pita itu keluar gambar di
layar putih yang ditancapkan di belakang
gedung SD itu. Tapi pikiran anak-anaknya
belum juga nyampek. Fuad hanya
melongo. Heran. Kemudian berdecak
kagum dalam hati.
      Tapi kali ini ia urungkan niatnya mengejar
kawanannya. Fuad kemudian
memutuskan berbelok, berlari lekas-lekas
menuju rumahnya. Dari pengeras suara
mobil van itu ia dengar nanti malam
akan digelar misbar. Layar tancap. Akan
diputar lima filem. Dua film horor, dua
film silat dan satu film komedi. Tutur
Tinular dan Koboi Cengeng adalah dua
film favoritnya. Dan ia harus memberi
tahu bapaknya, Ripin, bahwa ia akan
nonton misbar sampai malam. Misbar
adalah singkatan dari gerimis bubar.
Dinamakan demikian karena layar
tancap yang diputar akan dihentikan jika
gerimis turun. Sebab peralatan itu bisa
rusak jika terkena air.
      Sudah hampir satu tahun bioskop ke
liling itu tak mampir ke kampungnya
memberi hiburan. Biasanya hampir tiap
bulan misbar itu digelar. Dan orang-orang
kampung akan berduyun-duyun
datang ke lapangan. Duduk bersila sampai
larut malam menyaksikan film-film
yang barangkali hanya bisa dinikmati di
gedung-gedung biokop di Kabupaten.
       Ripin sedang mengasah batu akiknya
di ruang tamu, ketika Fuad tiba-tiba
berlari masuk menuju dapur, menyambar
kendi dan menenggak isinya,               
kemudian kembali ke ruang tamu.
      “Ada apa kok ngos-ngosan begitu. Seperti
dikejar demit aja.” Ujar bapaknya
sambil menimang-nimang bacan yang
baru saja digosoknya.
       Dengan nafas tersenggal-senggal Fuad
menceritakan keinginannya nonton
misbar di lapangan seusai mengaji di
surai haji Tholib malam nanti. Ia meminta
sejumlah uang jajan. Tapi Ripin
menggeleng tanda tak setuju. Fuad terus
merajuk. Tapi Ripin terus menggeleng
sambil menimang-nimang akiknya.
      “Bapak tak bisa antar. Nanti malam
bapak ada perlu ke rumah Haji Romli
ngurus acara sholawatan.”
      “Pak, Fuad bisa pergi sendiri. Nanti
berangkat ramai-ramai sama teman.”
      “Bahaya pulang malam-malam. Sekarang
banyak pembunuhan dan anak
hilang.”
      Ripin tahu bahwa ia memang terlalu
keras pada anak semata wayangnya
itu. Banyak melarang ini itu. terutama
aktivitas anaknya pada malam hari.
Tapi apa boleh buat. Ia tak mau anaknya
bernasib seperti dirinya. Jadi anak
jalanan, kemudian jadi preman. Ia
ingin anaknya tumbuh seperti anak
normal lainnya. Sekolah, mengaji,
membantu orang tua, setelah lulus bisa
cari kerja. Kalo bisa jadi pegawai negeri
atau guru ngaji.
      Masih lekat dalam ingatan Ripin hari
terakhirnya bertemu ibu dan bapaknya.
Malam itu, karena tak tahan dipukuli
terus sama bapaknya, emaknya akhirnya
memilih minggat dari rumah. Membawa
serta Ripin menyusuri jalan yang
semakin gelap ke arah kota. Tapi tanpa
tujuan pasti. Emaknya berjalan dengan
langkah-langkah cepat dan lebar, dan
Ripin yang waktu itu masih sekecil Fuad
sempat kepayahan mengimbanginya.
Tidak ada sepatah katapun diucapkan
Enaknya. Sedangkan Ripin melangkah
dengan penuh perasaan takut. Jalan raya
sudah dekat, kurang dari seratus meter.
Tiba-tiba Emak berhenti. Terlihat berpikir
keras, lalu berbalik arah. Setengah
bergumam, Emak bilang bahwa dia lupa
bawa uang. Tergesa-gesa, Emak menyuruh
Ripin menunggu. Tidak menunggu
jawaban, Emak berlari ke arah rumah,
meninggalkan Ripin sendirian
       Mulanya Ripin berdiri di jalan
kampung yang lengang itu dan bermaksud
menuruti Emaknya, namun kemudian
kecemasan bergumul dan meningkat
cepat. Ripin memutuskan berlari
sekencang-kencangnya ke arah rumah.
Tas besar yang dibawa Emaknya
ditinggalkannya tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan rumah, Ripin
mendapati pintu depan terbuka dan di
dalam ruang tengah, Ripin melihat
bapaknya sedang menjambak rambut
Emak dan sedang menghantamkan
kepala Emak yang kecil itu ke arah
dinding. Melihat itu, Ripin kemudian
berlari menjauhi rumah, menuju pasar
malam dan tak pernah kembali.
     Beruntung Ripin diambil anak seorang
guru ngaji. Dan kemudian jadi
pedagang ayam. Hidupnya tak lagi susah
seperti waktu masih kecil. Ia tak
harus menjadi preman seperti bapaknya
hanya sekedar untuk cari makan.
Sekali waktu, setelah tahu nasib
emaknya, ia datang ke kuburnya.
Membersihkan nisan Emaknya dan
memanjatkan doa agar Emaknya
tenang selalu di alam kubur. Sementara
bapaknya sendiri ia tak tahu. Setelah
mendengar cerita kalau bapaknya
ditembak petrus, Ripin tak pernah
tahu di mana kubur bapaknya.
      Karena itu Ripin tak mau Fuad seperti
dirinya. Cukup dia saja yang mengalami
hidup sebatang kara dan
sempat jadi anak jalanan dan pencopet.
Fuad jangan. Samasekali jangan.
      Fuad menghentikan rajukannya.
      Ketika bapaknya menyebut tentang
maraknya pembunuhan dan orang hilang,
bayangan tentang seonggok mayat
mengapung di kali tempat ia biasa
mandi melintas. Mayat itu perutnya sobek,
isinya terburai. Kata orang, mayat
itu orang jahat. Mati dibantai ramai-ramai
karena suka mengguna-gunai orang.
Mengerikan. Mayat yang mengapung
di kali itu membuat ia dan
kawan-kawannya tak pernah lagi mandi
di kali untuk beberapa waktu lamanya.
      Tapi Fuad lekas-lekas menghapus bayangan
itu. Ingatan tentang misbar menempel
lagi dalam kepalanya. Fuad merajuk
lagi. Kali ini dengan nada keras
dan mulai merengek sambil menangis.
Tapi bapak bergeming. Menggeleng dan
ngeloyor pergi ke kamar mandi, berwudhu,
lalu berjalan ke mushalla Haji Romli,
meninggalkan Fuad yang terus sesegukan
di ruang tamu, sendirian. Beberapa
saat kemudian terdengar suara bapaknya
mengumandangkan adzan
dhuhur dari toa mushalla.
     Tangis Fuad makin keras. Ia membayangkan
seandainya ibunya ada di sampingnya,
ia akan merajuk pada ibunya
untuk meluluhkan hati bapaknya agar
bisa menonton misbar. Tapi apa daya,
untuk meredakan tangisnya. Ibunya
sudah di surga bersama adiknya.
Ibunya mati saat hendak melahirkan
adiknya. Sementara adiknya hanya
bertahan seminggu di dunia kemudian
juga menyusul ibunya menuju surga.
Fuad kini berdua dengan bapaknya.
      Malam begitu bersahaja dengan beribu
bintang dan bulan berbentuk perahu di
langit. Angin membawa gigil udara ke
dalam kulit. Ripin sedang duduk diberanda
sambil menghisap kretek dan memutar
tasbih ketika Fuad pulang mengaji.
     “Cuci tangan, cuci kaki. Setelah itu
tidur” perintah Ripin.
      Fuad melengos masuk rumah. Langsung
naik ke tempat tidur tanpa menuruti
perintah bapaknya. Memejamkan mata.
Tapi tak bisa tidur. Ia membayangkan
kawan-kawannya sedang berlarian di
lapangan sambil makan ancang menunggu
misbar dimulai. Ia membayangkan
aroma sedap kacang rebus dan
gulali menyeruak ke dalam hidungnya.
      Beberapa saat kemudian Fuad mendengar
langkah kaki bapaknya menuju
kamar. Fuad lekas-lekas merapatkan
matanya. Pura-pura tertidur lelap.
Dirasakan tangan bapaknya membelas
rambutnya. Didengarnya suara shalawat
keluar dari mulut bapaknya sebaliknya
tiga kali. Kemudian dirasakan tiupan dari
mulut bapaknya di ubun-ubunnya. Fuad
terus merapatkan matanya. Tapi tak bisa
tidur. Bayang-bayang misbar masih
menerkam pikiran kanak-kanaknya.
      Rumah hening. Suara dengkur Ripin
bersautan dengan suara jangkrik di luar.
Dingin menyergap ke dalam sumsum ke
dalam tulang. Fuad pelan-pelan membuka
mata. Melihat ke arah bapaknya yang
rebah di sampingnya. Berkali-kali
mengguncangkan tangan bapaknya pelan
untuk memastikan bapaknya tertidur
pulas. Setelah yakin, ia pelan-pelan
beringsut dari ranjang menuju dapur.
Menaiki lemari dan mengambil kaleng
tempat bapaknya menyimpan uang hasil
jualan ayam. Selembar uang seribu ia
kantongi, lalu menuju pintu belakang,
membuka grendel dan bergegas berlari
menuju lapangan. Nonton misbar.
      Saat Fuad sampai di lapangan, film koboi
cengeng baru separuh jalan. Film komedi
yang diperankan Ateng, Iskak dan
Dartok Helm kesukaannya. Fuad segera
duduk di kerumuman kawan-kawannya
sambil menikmati kacang rebus yang baru
saja dibelinya. Ia terpingkal-pingkal
bersama kawannya tiap melihat adegan
lucu di film itu. Ia ngakak seakan lupa
bahwa siang tadi ia menangis hebat.
      Sementara itu, saat Fuad tertawa
lepas menonton layar tancap, sebuah
mobil jenis station wagon berhenti di
depan rumah Ripin. Tak lama kemudian
kabel listrik diputus. Listrik padam.
Tiga orang berbadan tegap dan
bertopeng ala ninja menerobos masuk
ke rumah Ripin dengan mendobrak
pintu. Tanpa kesulitan mereka menemukan
Ripin tengah terlelap tidur.
Tanpa banyak komentar mereka
mengeluarkan pisau dan pedangnya.
“Cras...crasss” Ripin langsung bersimbah
darah dan meninggal.
Lehernya nyaris putus digorok.
      Mayatnya kemudian diseret ke luar
rumah. Dilemparkan ke pinggir jalan.
Beberapa orang sempat melihat station
wagon itu. Berpenumpang empat
orang berambut cepak dan selalu
menenteng handy talky. Orang-orang
merubung mayat Ripin. Desas-desus
beredar, Ripin mati dibunuh ninja.
     Fuad masih tertawa terpingkal-
pingkal tiap berlangsung adegan lucu dalam
dalam koboi cengeng(*).