26 Juli 2015

Merpati Nuh


Cerpen; Genthon Hsa (Kompas 12 Juli 2015)
Cerpen ini karangan belaka, hasil imajinasi penulis berdasar banyak bacaan, termasuk buku agama Samawi.

Sebelum turun dari bahteranya ketika air bah telah surut, Nuh mengutus burung Merpati putih berjambul memeriksa, sudahkah air tuntas terserap bumi, demikian sahibul hikayat. Yang pertama, merpati kembali membawa daun-daun pohon Zaitun. Yang kedua tujuh hari kemudian, merpati kembali dengan kaki-kaki terbalut lumpur.

Jauh hari sebelum kisah merpati ini, Lembah Tengah Dua Sungai, Mesopotamia, dilanda kekeringan hebat. Lama hujan ditunggu tak kunjung bertamu, ketika akhirnya tiba, ia turun sedemikian lebatnya. Kaum Bani Rasib yang berlega-hati ketika itu was-was, khawatir Wadd, Suwwa, Nasr, Ya’uq maupun Yaghuts habis sabar, menunggu persembahan lengkap yang belum dihaturkan. Menurut Ubara-Tutu dari Shuruppag, hanya berkurban dua gelundung kepala musuh dan dua ekor kerbau jantan jelas tidak cukup. Dibutuhkan kurban jiwa anak-anak yang masih murni, laki-laki dan perempuan.

Mungkinkah terjadi isi orakel Lembah Sungai Nil, ’bah’ akan menggenangi muka bumi?! Per-Wadjet, Ular Cobra Kuil Mesir yang diagungkan, membisikkan akan datangnya air bah, tidak sendirian. Nahm atau Nuh, anak Lamik Lamaka cucu Matu Salij, mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, memperingatkan hal yang sama. ”Hukuman Tuhan atas orang-orang yang tak mau beriman kepada-Nya bisa berupa apa saja,” katanya. ”Bila Tuhan Seru Sekalian Alam berkehendak, betapa mudah bagi-Nya menenggelamkan seluruh muka bumi ini,” tambahnya.

Kebebalan manusia tetapi, suka menantang celaka. Sebelum ada peristiwa mereka tidak percaya, pongah mengundang bencana. Nuh dengan tekun dan prihatin terus berusaha menyadarkan kaumnya, para penyembah berhala. Dan bukannya sadar, mereka malah mendirikan ziggurat, kuil persembahan, yang lebih besar lagi. Di Bukit Buto, baru setahun yang lalu ziggurat dengan tiga ratus anak tangga, didirikan. Patung-patungnya terbuat dari batu khusus asal Kirk’uk, yang dikerjakan sangat teliti oleh Togrodus dari Eshnunna. Sejak Ziggurat Bukit Buto berdiri, upacara penyerahan kurban dilakukan di sini. Orang berduyun datang. Bila ada anak manusia yang dikurbankan, orangtua dan keluarganya mendapat tempat kehormatan di baris pertama. Tangis mereka dibutuhkan untuk meyakinkan para dewa, betapa kurban adalah anak-anak yang dikasihi dan disayangi.

Saat hujan badai terjadi, tak ada yang sempat ke Bukit Buto. Air sungai meninggi, luapan tinggal dinanti. Orang berdoa menyebut nama dewa mereka dengan gemetar, ndremimil memohon perlindungan, agar banjir yang pernah melanda tidak terjadi lagi. Banjir yang menghancurkan, banjir mematikan. Ladang pertanian ludes, ternak lenyap, penduduk Ur seperempatnya hilang tak pernah pulang. Doa mereka terjawab petir terang-benderang, gemuruh guntur dan bunyi gedebum keras menderak bumi, sungguh menciutkan hati.

Nuh sedang membangun perahu. Sebuah perahu besar dari kayu, sangat besar, disebutnya bahtera. Perahu raksasa itu untuk mengangkut keluarga dan pengikutnya, bila bah tiba. Tetapi Nuh membangun perahunya di punggung bukit, tidak di pinggir pantai. Entah bagaimana ia akan meluncurkannya ke laut, bahtera seukuran kandang sapi isi tiga ribu ekor itu menjelang jadi. Orang berkelakar tentang keledai pembuat angsa gembung di puncak gunung, berencana tamasya membawa keluarga ke tengah laut, diiring gelak-tawa tak ada habisnya. Nuh biasa dicemooh orang. Kemana pun ia pergi mengajak orang beriman kepada Tuhan, ia dicibir, dimaki, dilempari sandal, batu, dilempari kotoran lembu. Beberapa kali ia pingsan kepala berdarah, terkena batu atau pukulan kayu. Bila itu yang terjadi, seekor merpati putih akan datang menghampiri memasukkan sebutir kurma ke mulutnya. Baru ketika sadar Nuh tahu, dirinya telah dibuang orang ke pecomberan.

Nuh dan kaumnya hidup di daerah yang sangat subur, kawasan peluberan air sungai Eufrat dan sungai Tigris itu dilapisi sedimen aquatik, endapan lumpur yang menjadikannya layak ditanami dan dihuni. Di luar keluasan tanah pertanian bumi gersang-kerontang, tanah gurun berbatu, tak tampak pohon walau hanya sebatang. Selain beternak ayam, kambing, babi dan sapi, warga bertanam gandum, biji-bijian, sayuran, ubi-ubian, bumbu dapur dan obat-obatan. Meniru bangsa Mesir, mereka mengatur pengairan ladangnya dengan bantuan instalasi irigasi, membuat kanal-kanal, membangun bendungan dan waduk tandon air. Mereka juga membangun sarana pengendalian banjir, yang kerap memberi manfaat.

Hujan badai sederas itu membuat warga curiga dewa-dewa marah, orang gila itu dibiarkan hidup bersama mereka. Nuh, siapa lagi! Orang mengumpatnya ’Keledai Dogol’, perangai halus mulut bodhol. Mereka benci melihat Nuh mengajak orang menyembah Tuhan Yang Satu, lalu mengejek tuhan-tuhan kaumnya sebagai dewa semati batu. Wadd bersaudara disebutnya tuhan tanpa kesaktian, lebih bodoh dari kerbau. Memelihara diri sendiri pun berhala tidak mampu, bagaimana bisa berkuasa atas manusia? Nuh mengakui, kaumnya bukan bangsa pemalas dan dungu, tetapi mengapa menyembah berhala, patung buatan sendiri?! Patung yang bahkan tak bisa marah bila ada anak nakal mengencingi mukanya.

”Anak Lamik Lamaka harus mati!”

”Nuh harus mati, Nuh harus mati......,” terdengar suara geram sementara orang. Namun...., mendadak hujan berhenti. Begitu saja, tanpa tanda-tanda. Sedemikian deras, bagai dituang dari langit jatuhnya air, lalu tiba-tiba mandeg. Orang tercengang tak percaya. Lalu matahari muncul dari balik awan, bersinar indah sekali. Mereka keluar, berdiri di depan pintu. Seluruh pemukiman dikepung air, air. Bila hujan tidak berhenti, segera semuanya akan tersapu banjir, pasti.

Meski sejauh mata memandang hanya air, lantai rumah tidak terbenam. Mereka bergerak menuju ladang, yang begitu mereka khawatirkan. Baru pekan depan hasil akan dipanen, hujan badai tiba di tengah malam buta. Dan mereka melangkahkan kaki, perlahan, tak bisa berlari. Hingga mereka terhenti, takjub. Ladang masih ada, lengkap bersama hasilnya. Kerusakan kecil ada di sana-sini, tak seberapa, siapa percaya?! Segera mereka berlari ke arah datangnya suara berdentum saat hujan tadi, ke ziggurat Bukit Buto. Orang pun gemetar ketakutan, ziggurat ambrol. Patung-patung dewa roboh, pecah berantakan.

Walaupun kaum Nuh pandai matematika, menghitung lingkaran 360 derajat, memiliki kalender 12 bulan berdasar perhitungan bulan dan perhitungan matahari, Nuh dianggap dukun dengan segudang ilmu sihir. Berapa kali orang mencarinya untuk dijahati, Nuh tersembunyi, tak dijumpai. Kalau orang sudah melupakannya, ia muncul lagi mengajak orang beriman kepada Tuhan. Ketika ada yang berniat membakar perahunya, Nuh beserta perahu sebesar itu lenyap. Dan di sekitar rumahnya mendadak banyak singa berkeliaran.

Waktu berjalan, peristiwa berlalu. Bahtera selesai dibangun, sempurna. Langit biru, awan tipis bagai kapas putih menyaput rata. Matahari terik, udara panas, angin mati. Kerbau bersungut mencari lumpur tempat berkubang. Di atas Ur gagak-gagak hitam terbang gelisah mengitari kota, menggambar gelap, berkaok serak menusuk gendang telinga. Ziggurat-ziggurat dipenuhi persembahan, kegersangan kembali bersinggasana.

Benar-benar hanya gagak, burung yang lain tak tampak. Dari sebuah pondok di pinggiran kota, Rahmah istri Sam anak Nuh pergi tergesa-gesa, mencari bapak mertuanya. Bukan kebetulan, pasti, yang dicari sedang berjalan ke arah dari mana ia datang. Terbata-bata ia mengabarkan, air telah memancar keluar dari tempat pemanggangan roti di dapurnya, sangat deras. Bergegas Nuh mempercepat langkahnya dan benarlah, dari rumah anaknya air membanjir dan mulai menggenangi pekarangan, terus mengalir menuju lembah bawah. Nuh meniup terompetnya, cangkang kerang laut bersuara merdu, panjang berulang. Lalu ia mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya meninggalkan rumah mereka.

Kesibukan di lokasi bahtera terutama memuatkan barang dan ransum makanan untuk jangka waktu panjang. Segala jenis binatang, sepasang-sepasang, lengkap makanan mereka, diikutsertakan. Ketika terdengar suara jeritan diiring bunyi barang jatuh, Nuh mengusap muka dan dadanya, memohon ampun ke hadirat Ilahi. Ia menyesalkan sebagian anak buahnya yang belum mantap beriman. Nuh mendatangi dua orang lelaki yang jatuh terpeleset saat meniti anak tangga, hendak memasuki bahtera. Mereka mengerang.

”Tak usah mengaduh, bangun kalian,” perintah Nuh. Dengan susah-payah kedua orang itu berdiri. ”Semua yang naik bahtera harus memulai dengan menyebut Asma Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah kalian lakukan?” Terdengar jawaban ”Ya,” walau tidak serentak. ”Lalu, mengapa kalian terjatuh?!” Nuh menggelengkan kepalanya lalu berkata, ”Cepat, mintalah ampun ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha Pengampun.” Kedua orang itu segera melakukannya dengan bersujud mencium bumi.

Mereka kembali bekerja, memuatkan yang masih tertinggal. Dari bawah terdengar gemuruh air yang mulai membanjiri seluruh lembah. Kecuali di sekitar perahu Nuh, hujan turun dengan derasnya. Ketika kedua orang yang jatuh tadi meniti tangga hendak memasuki bahtera, lagi-lagi mereka terpeleset dan jatuh ke tanah. Tak ada keributan. Semua takut memandang Nuh, yang mendekati keduanya sambil berkata, ”Ada apa dengan kalian? Jangan engkau menaiki perahuku membawa kesangsian dan kotornya pikiran. Berserah-dirilah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah kalian telah berdoa dan menyebut Asma-Nya?” Kedua orang itu mengangguk.

”Apa kalian membawa sesuatu yang mengotori hati, memberati iman?” Kedua orang itu menggelengkan kepalanya. Nuh lalu bersiul, seekor merpati yang ia lepas terbang dan telah kembali, datang menghampiri, menjatuhkan secuil pecahan batu di tangannya. Setelah memeriksanya Nuh bertanya, ”Batu apakah ini?” Kedua orang itu geleng kepala sambil menunduk. Lengang...., sekian lama sunyi. Semua orang takut, bahkan hanya untuk bernapas.

Lalu seorang perempuan berteriak dari atas perahu, ”Itu batu pecahan patung Ziggurat Buto, ia yang bawa. Ia suami saya.” Segera Nuh memerintahkan kepada siapa saja, membuang batu pecahan berhala bila ada yang membawa. Ternyata selain kedua lelaki itu tak ada yang melakukannya. Dan setelah mereka membuang batu-batunya, termasuk yang dipakainya sebagai mata cincin, batu akik, di jari tangannya, kedua lelaki itu berhasil menaiki bahtera. Kelegaan nampak di wajah-wajahnya, beban serasa hilang. Air semakin tinggi, bahtera telah diangkat air kaki-kakinya dan mulai bisa mengapung, bisa berlayar.

Badai kencang sekali, bersuit-suit membekukan hati. Warga Ur berlarian mendaki bukit dan kaki gunung, berusaha menyelamatkan diri. Yang jatuh ke air melolong minta tolong, tak ada yang bisa mendekat meraihnya, kecuali gulungan ombak yang segera menelannya. Kan’an putera Nuh, menolak datang ke perahu ketika ayahnya memanggilnya. Dengan sombong ia berteriak, ia pasti selamat naik ke puncak bukit tertinggi. Nuh kecewa, hanya bisa mengusap air matanya. Dan air terus meninggi. Merpati putih Nuh yang selalu setia menemani tuannya hinggap di pucuk tiang utama bahtera. Ia perkasa kerna ia tanpa dosa.
14 Juli · Publik · di Foto Kronologi
Tampilkan Ukuran Penuh · Kirim sebagai Pesan · Laporkan
Nurlaeli Umar dan 116 orang lainnya menyukai ini.
Tulis komentar...

Lampirkan Foto · Menyebut Teman
Mada Mahli
cerpen ini bagusnya dimana ya? nggak ngerti
Suka · 2 · Balas · Laporkan · 14 Juli
Azizah Masdar
kadang penikmat jdi memaksa untuk sepaham sama penulis...
Suka · 2 · Balas · Laporkan · 14 Juli
Nurvianti Siti
bagaimana bila dosa dan tak dosa sudah tergaris di lauhul mahfudz sebagaimana surga dan neraka? masihkah kita melawan takdir untuk yg berdosa? hahahaha
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 14 Juli
1 balasan
Damar Hening Sunyiaji
saya selalu suka cerita bahtera Nuh, yang ini banyak sekali referensi keren yang belum begitu banyak diekspos smile emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
1 balasan
Adnan Azhari
Juru selamat dari tanah nan tandus
Suka · Balas · Laporkan · 16 Juli
Arif Zindagi
merpati putih, simbol ruh al-quds kah?
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
Alzhou Pramudya
Hikayat
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
Maman Suryaman Kuningan
bercerita seperti metamorfosanya Tuhan terhadap Nusantara abad terkini.......... warning,

6 Juli 2015

Cincin Akik di Kamar Mandi

Cerpen Kompas 5 Juli 2015
Oleh Harris Effendi Thahar

Belum selesai jamaah berzikir sehabis shalat subuh, terdengar garin masjid meraih mikrofon.Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa adawarga yang meninggal.Benar saja, Haji Jamal pensiunan Kantor Pajak, meninggal dini hari tadi di Rumah Sakit Besar. Kabarnya, sebelum masuk Rumah Sakit Besar seminggu sebelumnya, Haji Jamal terjatuh di kamar mandi sehabis buang air besar.

Memang, beberapa hari belakangan Haji Jamal tidak kelihatan ikut shalat magrib dan subuh berjamaah di masjid.Biasanya, kalau Wen duluan datang ke masjid, ia mendatangi dan menyalami Wen.Gampang menandainya, karena kebiasaan Haji Jamal memakai peci hitam bersulam benang emas, seperti biasa dipakai engku-engku datuk di tanah Minang serta berbaju koko berenda-renda.Hanya dia yang memakai peci seperti itu.Selain itu,Haji Jamal selalu memakai parfum khas Arab tiap datang ke masjid. Wen suka shalat di samping dia, ketimbang di samping Bang Malo, penjual ayam potong,berkumis ubanan yang bau tembakau dan apak asap rokok.Wen juga tidak suka shalat di samping lelaki muda penjual pulsa telepon yang kebiasaannya tiap sebentar mendehem dan sendawa seperti habis menegak tuak meski sedang shalat.

Haji Jamal orang baik, setidaknya di mata Wen.Dia selalu memberi kabar bahwa dia sudah baca tulisan Wen di koran lokal dan dia senang, lalu menyalami Wen. Tempo-tempo Wen menulis kolom dan kadang-kadang menulis komentar.Sejak Wen pensiun, Wen semakin gencar menulis untuk koran lokal, sekadar untuk menangkal atau menunda datangnya pikun, andaikata usia Wen dipanjangkan Allah.Kata orang, kalau usia senja tidak dibarengi dengan kegiatan membaca, kalau dapat sekalian menulis, bakal cepat pikun.Sejak muda Wen memang terbiasa menulis di koran-koran lokal sekadar menyalurkan hobi.Hobi itulah yang dilanjutkannya lagi setelah pensiun.

Belum lagi seminggu, Senin sebelumnya, Ustad Qamat pula yang meninggal.Beliau sering menjadi imam pengganti shalat subuh di masjid kalau imam tetap berhalangan.Akhir-akhir ini imam tetap memang sibuk setelah diangkat menjadi salah seorang anggota MUI.Ustad Qamat belum tua benar, tapi konon mengidap tekanan darah tinggi. Menurut kabar yang berkembang, Ustad Qamat terjatuh di kamar mandi rumah istri mudanya, lalu pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit Besar.Sampai meninggal dua hari kemudian, dia tak sadar-sadarkan diri.

Sewaktu melayat di rumah duka Ustad Qamat, Wen duduk bersebelahan dengan Haji Jamal.Malah terlibat percakapan serius mengenai ajal manusia. Satu kalimat Haji Jamal yang masih terngiang di telinga Wen waktu di rumah duka itu adalah, ”Inilah rahasia Allah.Siapa yang tahu, tak berapa lama lagi, salah seorang di antara kita yang hadir ini menyusul Ustad Qamat.Entah besok entahlusa…”

”Ya, Ji. Allah yang tahu,” balas Wen.

Mengingat itu, Wen jadi bergidik.Sepertinya Haji Jamal meramalkan sendiri hari kematiannya.Kata orang, biasanya jika seseorang sudah dekat ajalnya, akan keluarlah ucapan-ucapan yang mengarah ke pintu kubur dari mulutnya.Kadang-kadang diikuti oleh tingkah laku aneh yang tidak biasa dilakukannya.

Wen masih ingat, setahun lalu, subuh pertama Wen shalat di masjid yang cuma tak sampai tiga ratus meter dari rumahnya itu, Wen merasa asing.Masjid itu terletak di antara dua kompleks perumahan yang dibangun bersamaan dengan kepindahan Wen ke salah satu kompleks itu dulu, lebih tiga puluh tahun lalu.Bukan apa-apa, hanya karena selama ini Wen khawatir terlambat karena terjebak macet pergi ke kantor, maka shalat subuh Wen selesaikan saja di rumah.Setelah sarapan, cepat-cepat Wen berangkat ke tempat kerja meski masih pagi sekali.Begitu juga sore hari, Wen sampai di rumah hampir selalu bertepatan dengan waktu magrib. Barulah ketika masa pensiun itu datang Wen berusaha menjadi jamaah tetap masjid Almakmur, terutama untuk waktu magrib, isya, dan subuh.

Masjid Almakmur sepertinya ditakdirkanuntuk orang-orang pensiunan. Tidak banyak memang, lebih kurang dua puluhan untuk jamaah harian laki-laki. Jamaah perempuan lebih kurang sama karena sebagian besar ikut suami ke masjid.Oleh karena itu, Wen hafal betul wajah-wajah jamaah harian masjid Almakmur.

Sebutlah Pak Mul, bendaharawan masjid, paling gampang menemuinya. Sebelum waktu shalat masuk, biasanya ia telah duduk di samping tiang besar sayap kanan masjid sambil bersandar.Pak Mul selalu berbaju koko putih dan berpeci putih menandakan bahwa ia sudah berhaji.Sepengetahuan Wen dia tak pernah pakai batik.Batik panjang lengan selalu dipakai mantan Ketua RT yang juga pensiunan kepala tata usaha sebuah SMA ternama.Ia selalu membawa sajadah kecil berwarna biru dan setia mengambil tempat di belakang imam.

Akan tetapi, Pak RT ini, begitu ia dipanggil, tidak bersedia disuruh menjadi imam pengganti meskipun ia berada tepat di belakang sajadah imam. Biasanya, orang yang tepat berdiri di belakang imam harus bersedia menggantikan imam apabila sewaktu-waktu diperlukan.Tidak demikian halnya Pak RT, meski ia tetap berdiri di situ, di belakang imam.Seolah-olah tempat itu sudah menjadi miliknya sejak dulu kala. Jamaah lain seperti tidak mau mengusiknya kalau dia datang.

Lain lagi Profesor Kuman, wajahnya selalu cerah, klimis dan murah senyum.Senyumnya selalu mengambang seakan memamerkan kerapian gigi tiruannya yang putih kekuning-kuningan.Meski usianya sudah di atas tujuh puluh, pecinya selalu modis, berganti-ganti setiap hari.Kadang memakai peci Pakistan, kadang seperti orang Arab, kadang memakai peci hitam ala Soekarno, dan ada kalanya memakai peci Makassar yang pernah dipromosikan Gus Dur sewaktu menjadi presiden. Profesor Kuman inilah orang yang paling rajin berjabat tangan.Begitu dia masuk masjid, langsung menyalami setiap orang, tua-muda, besar-kecil, tidak peduli anak-anak balita.Begitu juga kalau dia mau keluar masjid, juga bersalaman dulu hampir ke setiap orang.Wen tahu betul, begitu melihat Profesor Kuman datang, ia langsung menyodorkan tangan kanannya, bersalaman, lalu bertanya sedikit mengenai nama batu akik yang sedang dipakai Profesor Kuman di jari manisnya.Biasanya dia mengganti setiap kali ke masjid cincin akiknya yang aneka warna.Menurut dia, semua itu merupakan kiriman anaknya yang bekerja di sebuah kota di Kalimantan.

”Apa ada cincin akik yang Prof kurang suka, saya bersedia menerimanya,” kata Wen merayu.

”Oh, jangan begitulah Pak Wen.Jika Pak Wen mau, besok setelah shalat Jumat saya kasih Pak Wen.Cincin akik saya banyak. Ha-ha-ha.... Alhamdulillah.”

Kamis malam, sebelum tidur Wen ceritakan juga pada istrinya bahwa kalau Profesor Kuman tidak lupa, sehabis shalat Jumat esok ia akan mendapatkan cincin akik.Akan tetapi, setelah selesai shalat sunat sehabis shalat Jumat, Wen tidak melihat Profesor Kuman.Padahal, malamnya Wen bermimpi menerima segenggam cincin akik dari Profesor Kuman di halaman masjid. Akhirnya Wen menafsirkan sendiri mimpinya bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan cincin akik dari lelaki tua itu. Tapi, apakah dia sakit? Kabar itulah yang belum didapat Wen.

Barulah selesai shalat magrib Wen dapat cerita bahwa Profesor Kuman masuk rumah sakit akibat terjatuh di kamar mandi.Konon, Profesor Kuman terpeleset sewaktu mau mengeruk lubang WC mengambil cincin akiknya yang jatuh ke situ.Kemungkinan besar lantai kamar mandinya licin karena lelehan sabun cair yang tumpah.Tidak ada yang tahu persis bagaimana peristiwa itu sesungguhnya, karena istrinya yang juga sudah tua juga baru tahu setelah ia ingin menggunakan WC, tiba-tiba melihat suaminya sudah tergeletak.

Sambil mengikat tali sepatu Wen berpikir-pikir tentang Profesor Kuman yang kini sedang dirawat di ICU Rumah Sakit Besar.Wen meneguhkan hatinya untuk jalan kaki tiga kilometer Sabtu pagi itu.Olahraga jalan kaki itu telah rutin dilakukannya tiga kali seminggu kalau tidak hujan dan kalau tidak sedang sakit. Menurut Wen, hanya jalan kakilah olahraga yang paling murah agar tetap sehat dan bersemangat.Sejak pensiun, Wen selalu menambah butir doanya dengan meminta disehatkan dan dijauhkan dari segala macam penyakit.Tentulah tidak serta merta dikabulkan Tuhan kalau tidak diiringi dengan usaha, antara lain dengan berolahraga dan tidak merokok.

”Apa yang bapak pikirkan?”

”Banyak.Orang setua saya tentu banyak pula yang dipikirkan.”

”Bukan berarti saya melarang Bapak berpikir. Tapi, janganlah yang berat-berat, yang bisa menyebabkan Bapak stres.”

Wen hanya tersenyum kecut sambil berpikir-pikir, ”Hal apa ya, yang menyebabkan saya berpikir hingga stres?”

”Bapak kebanyakan nonton berita televisi ya?”

”Biasalah dokter, namanya orang pensiun.”

”Bapak suka berita politik apa gosip?”

”Kalau politik bagaimana?”

”Nah. Itu!”

”Kenapa dokter?”

”Saya saja yang masih muda bisa stres menyimak berita politik sekarang.Apalagi Bapak? Soal KPK dikriminalisasi saja, saya stres.”

”Sama dok. Tapi, bukankah itu normal?”

”Bapak harus segera periksa tekanan darah kalau sudah merasa tidak enak badan.Ini, kalau sudah 180 ini, Bapak harus hati-hati. Jangan dibiarkan,” kata dokter Askes itu sambil memanggil pasien giliran berikutnya.

Baru saja shalat magrib selesai, garin masjid terdengar meraih mikrofon.Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa ada warga yang meninggal.Jangan-jangan jamaah tetap masjid. Memang, seperti yang diduga Wen, Profesor Kuman meninggal senja tadi.Semua jamaah magrib diminta untuk melayat serentak ke rumah duka yang tidak seberapa jauh dari masjid.

Di rumah duka, didorong rasa penasaran, Wen sempat nyelonong memeriksa kamar mandi Profesor Kuman.Kamar mandi itu berlantai keramik putih bersih. Wen penasaran, lalu masuk dan mencoba menginjak lantainya yang bersih itu dengan debaran jantung seperti gendang.Ternyata tidak licin.Wen mencoba membuka penutup kloset, spontan saja memeriksa kalau-kalau masih ada cincin akik Profesor Kuman seperti yang diberitakan di dalamnya.Ketika Wen secara spontan mencoba memasukkan tangan kirinya ke dalam gua kloset itu, pintu kamar mandi itu berderit, seseorang membukanya.Wen kaget, tidak menduga akan dipergoki, ditimpa rasa sesal mengapa tidak mengunci pintu dari dalam. Dalam keadaan kaget itulah iaterlonjak dan terpeleset jatuh.Wen merasa pusing sepusing-pusingnya, tertelentang, sementara orang yang tadi membuka pintu dan melihat ada orang, juga kaget dan cepat-cepat pergi.

Wen merasa melayang-layang dan berusaha berdiri.Akan tetapi semua anggota tubuhnya seperti tidak mau digerakkan. Lidahnya pun kelu. Tiba-tiba pandangannya gelap dan akhirnya tersadar setelah berada di kamar rawat inap Rumah Sakit Besar.

Begitu tersadar, kata pertama yang keluar dari mulut Wen adalah, ”kamar mandi.”

”Kenapa kamar mandi?” tanya istrinya.

”Kamar mandi kita harus dipasang pegangan di dinding-dindingnya,” katanya terbata-bata.

”Pegangan apa?”

”Besi pegangan, tempat berpegang agar tidak jatuh...,” kata Wen.

Setelah menyampaikan pesan itu kepada istrinya, Wen tidak berkata-kata lagi hingga dinyatakan meninggal seminggu setelah percakapan itu.

Ketika jasad Wen dimandikan di rumahnya, pemasangan pegangan tangan di kamar mandi Wen belum selesai dikerjakan tukang.

MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI

Cerpen Kompas
Oleh Ahda Imran

Ketika Mey memulai cerita ini dengan adegan orang mati yang mendatangi Istana Presiden, tiba-tiba saja Bapak muncul dalam kepala Mey. Menghadang dan menyeret orang mati itu keluar sebelum mencapai gerbang istana, memasukkan tubuh yang penuh bekas penyiksaan itu ke dalam drum, menutup drum dengan cara mengelas, memberinya pemberat, membuangnya ke laut.

Tak ada yang bisa dilakukan Mey, selain membayangkan bahwa ia tak bisa lagi menemukan orang mati itu sepanjang hari berdiri di bawah pepohonan, di tepi jalan, memandang lurus ke arah Istana Presiden.

Yang tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati dan peristiwa kematiannya. Tidak, bukan sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak lagi pohon serupa itu, tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air di seluruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan dahannya. Bila kau melewatinya lalu tempias datang dari arah pepohonan itu, kau akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah.

Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi pertumbuhannya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan Bapak untuk menyakiti ingatan Mey.

Kau tahu bukan, Bapak tak pernah berubah. Sejak kecil Mey menemukan Bapak sebagai orang yang pandai bersiasat, bukan hanya mengawasi tetapi juga menciptakan ingatan bagi Mey, Adik, dan Ibu.

Bahkan Bapak bisa menciptakan ingatan dari sebatang pohon tomat. Ini pernah terjadi ketika Bapak membunuh kucing kesayangan Mey dan Adik. Seorang pembantu diam-diam memberitahu bahwa ia melihat Bapak mengubur kucing itu hidup-hidup di halaman samping rumah, meski cerita Bapak kucing itu, mati tertabrak truk sewaktu lari ke jalan.

Mey menduga Bapak melakukannya bukan hanya karena Si Meong, kucing itu, sering berak di dalam rumah sehingga beberapa kali tahinya terinjak Bapak, tetapi ia memang tidak menyukai Mey dan Adik terlalu menyayangi kucing itu. Atau, mungkin ada sebab lain yang Mey tidak tahu. Yang terang, Bapak hanya mengatakan bahwa ia sudah mengubur kucing itu dan menanam sebatang pohon tomat di atasnya.

Mey dan Adik mememandang pohon tomat itu, tumbuh di atas kubur kucing kesayangan mereka. Semakin tumbuh besar, pohon tomat itu semakin menghubungkan ingatan Mey dan Adik dengan Si Meong, sehingga pernah Adik bercerita bahwa ia ditertawakan temannya-teman karena mengatakan kucingnya berubah jadi pohon tomat.

Ketika pohon tomat itu berbuah lebat, Mey dan Adik membiarkan tomat-tomat bergelantungan di batang pohonnya dengan indah. Ibu lalu memasang kayu penyangga agar di dahan pohon itu tidak rubuh karena digelantungi oleh buah-buahnya. Suatu hari Bapak memetik buah-buah tomat itu, lalu dengan sengaja memakannya bulat-bulat di depan Mey dan Adik. Bapak menggigit dan mengunyah tomat besar dari pohon yang akarnya menghisap sari makanan dari tubuh Si Meong dengan lahap, perlahan, sambil memandang ke arah Mey dan Adik dengan wajah puas. Mey dan Adik terpaku ngeri melihat air tomat itu berleleran dari mulut Bapak, menetesi pakaiannya, bening sedikit kemerahan seperti cairan tubuh Si Meong. Dan itu telah cukup membuat Adik menjerit-jerit…

Ibu dan Bapak lalu bertengkar. Ibu akhirnya membiarkan Bapak terus berteriak-teriak dari loteng. Mey dan Adik tak mengerti apa yang dikatakan Bapak. Mey ketakutan sambil memeluk Adik, memandang Ibu yang mengambil parang, menebang dan membuang pohon tomat itu bersama semua buahnya. Bapak berdiri di teras loteng.

Sebulan setelah itu Bapak membawa seekor anjing untuk Mey dan Adik. Anjing kampung warna hitam dengan airnya liur yang selalu menetes. Entah dari mana Bapak mendapatkan binatang yang kelihatan tak terurus itu. Walau tak terbiasa dengan anjing, Mey dan Adik akhirnya merasa senang juga bermain dengan binatang itu. Bapak lalu memberi nama anjing itu ”Fao”. ”Nama yang pantas untuk seekor anjing, bukan?” kata Bapak pada Ibu, Mey dan Adik setuju, ibu hanya diam.

Kesenangan Mey dan adik bermain dengan anjing itu tidak pernah membuat Bapak marah. Bapak selalu tertawa senang setiap kali melihat anjing itu menyalak-nyalak dan mendekat jika namanya dipanggil. Ia tertawa keras dan terdengar berlebihan. Saat itu Adik berpikir Bapak ternyata lebih senang mereka memelihara anjing ketimbang kucing, Mey setuju dengan pikiran Adik.

Malah Bapak sering menyuruh Mey atau Adik menggoda Ibu dengan membawa Fao ke dekatnya. Mereka senang sekali melihat Ibu bersikap serba salah dan tergesa menjauh pergi, menutup pintu kamar. Mey dan Adik menduga mungkin Ibu memang tidak suka pada anjing seperti Bapak tidak menyukai kucing. Sampai suatu kali ketika Mey dan Adik melakukannya lagi, wajah serta suara Ibu membuat kedua anak itu terdiam, kaget, takut. ”Tanyakan pada dia, mengapa tidak sejak dulu dia menguburku hidup-hidup!” Mey dan Adik merasa tidak sedang berhadapan dengan Ibu.

Dan di kemudian hari barulah Bapak mengatakan pada Mey dengan puas mengapa ia dulu memberi nama ”Fao” pada anjing itu. ”Fao adalah nama lelaki yang pernah menjadi kekasih gelap Ibumu!”

Mey ingin menceritakan hal itu pada Adik, tetapi Mey tidak tahu di mana adik lelakinya itu berada, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Diam-diam Mey merasa Bapak sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Adik. Bapak memang selalu menganggap Adik suka menghasut, merongrong, bahkan berani menentang Bapak. Mey bertambah cemas ketika suatu hari Bapak menanam sebatang pohon tomat di halaman samping rumah.

Mey memanggil pelayan, memintanya membawa kembali pesanannya yang baru datang untuk menyingkirkan irisan-irisan tomat dari makanannya. Mey melarikan pandangan ke luar sewaktu pelayan mengangkat piring makanan berisi irisan tomat itu dari meja. Di luar, dari ketinggian tingkat sebuah gedung di mana kafe itu berada, ia melihat garis-garis hujan yang melayang berjatuhan, deras seperti jutaan anak panah.

Setelah pelayan itu menghilang, Mey memanggil pelayan yang lain, memesan menu yang lain, sambil mengatakan agar pelayan sebelumnya tidak perlu membawa kembali makanannya tadi. ”Sebaiknya dia membawakan saya segelas air putih daripada membawa lagi makanan yang sudah terkena irisan tomat itu,” kata Mey.

Irisan-irisan tomat itu telah menghubungkan Mey dengan Bapak. Seseorang yang sejak kecil Mey tak pernah mengenalnya melebihi segala ingatan buruk tentang loteng. Loteng yang pelan-pelan mengubah Bapak menjadi sesuatu yang tak pernah dikenali, selalu mengirimkan bisikan-bisikan yang menakutkan. Bisikan yang menjadi amarah ketika ia ditentang sebagaimana Mey selalu mengingatnya, ketika tiba-tiba rumah dipenuhi api. Dalam kobaran api Mey melihat tubuh Ibu hangus terbakar, di tengah suara Bapak yang tertawa sambil menyeret dan menindih tubuh Mey.

Mey menatap halaman kosong layar laptopnya, setelah tadi ia menghapus alinea pertama cerita ini. Orang mati itu dicegat Bapak sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Kau pasti paham benar, Bapak mustahil membiarkan seseorang menghidupkan kembali orang mati itu meski Mey hanya ingin menuliskannya dalam suatu cerita. Mey hanya boleh memiliki masa lalu sebagaimana Bapak menginginkannya sebab masa lalu hanya milik Bapak. Untuk Mey, Bapak hanya memberi masa lalu berupa ingatan tentang orang-orang mati dan seorang anak. Anak perempuan yang lahir tanpa lidah.

Semestinya Mey hidup dengan masa depan di kota yang lain. Mey bukan tidak tahu bahwa itulah yang juga diinginkan Bapak agar ia pergi dan melupakan kota itu, satu-satunya cara untuk keluar dari ingatan yang dikuasai Bapak. Mey hanya tersenyum setiap kali pikiran itu muncul, seakan ingatan itu berupa lorong yang terputus ketika kau memasuki kota yang lain. Mey tahu bahwa sebenarnya ia diam-diam sedang menentang Bapak, bertahan di kota itu untuk menerima semua ingatan tentang masa lalu, untuk merebutnya dari Bapak.

Tetapi, nyatanya Mey harus menghapus adegan dalam alinea pertama cerita ini. Mey tak bisa merebut ingatan itu dari Bapak. Ia tak berani berbuat apa pun, membiarkan Bapak menyingkirkan orang mati itu ke dasar laut yang paling gelap sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Selama belasan tahun, setiap sore Mey mendatangi kafe itu untuk menulis cerita ini dengan alinea pertama yang selalu dihapusnya kembali dan ditulisnya kembali di hari berikutnya, lalu berjam-jam ia hanya memandangi halaman kosong laptopnya dengan tangan yang terkulai lemas. Bapak selalu muncul dari arah yang tak terduga dalam ingatan Mey.

Di luar hujan telah reda dan pelayan di kafe itu hafal benar kebiasaan Mey; menutup laptopnya, meminta segelas air putih lagi, memandang ke luar, lalu meminta bill. ”Ceritanya sudah selesai, Tante?” Begitu selalu pelayan bertanya meski ia sudah tahu jawaban Mey, ”Besok, besok, Tante akan datang lagi, sedikit lagi ceritanya selesai.” Hari itu Mey mengucapkannya dengan suara perlahan.

Mey tidak menuju basement mengambil mobilnya. Ia terus berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Pohon tempat orang mati itu berdiri menatap Istana Presiden. Hanya pohon itu yang tersisa sebagai ingatan Mey karena Bapak selalu menyembunyikan orang mati itu di dasar laut, juga orang-orang mati lainnya. Dan ketika kau sampai di kalimat terakhir sebuah cerita yang tak pernah bisa ditulis oleh Mey, Mey sedang berdiri di bawah pohon itu, memandang dan berjalan ke arah Istana Presiden. Lalu Bapak….
27 Mei · Publik · di Foto Kronologi
Tampilkan Ukuran Penuh · Kirim sebagai Pesan · Laporkan
Lukas Jono dan 120 orang lainnya menyukai ini.
Tulis komentar...

Lampirkan Foto · Menyebut Teman
Ade Ubaidil
Kenapa istana presiden? Terlalu banyak turunan dan variabel. Menurut saya plot ceritanya jadi kurang fokus.
Suka · 4 · Balas · Laporkan · 27 Mei
1 balasan
Ai Rinn
Jika tokoh Mey memang sengaja digambarkan seperti penderita gangguan mental, skizofernia, kacau dan fikirannya liar tak terarah serta tak mampu dimengerti maksud dan tjuan dari semua yg ia lakukan. Maka, cerita ini berhasil menampilkan semua itu.
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 6 Juni
Atunk Nrimoingpandum
Tokoh "Fao" muncul lalu tenggelam begitu saja...
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 28 Mei
Ade Ubaidil
Semakin sulit mengklasifikasi cerpen seperti apa yg dicari kompas selain karya2 senior...
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei
Fadli Changed ToBe Better
luar biasa... saya baru menemukan gaya penulisan yang seperti ini.... saya mengulang 2... 3.... lebih, tapi tak cukup untuk memahami keseluruhan dari isi kepala sang penulis.... saya juga kadang menemukan karya yang endingnya menggantung, tapi tidak separah ini tergantungnya....
Suka · Balas · Laporkan · 7 Juni
1 balasan
Anggi Ridho Habibi
bingung ceritanya mau dibawa kemana, dan pada akhirnya memang tidak dibawa kemana2. sedikit kecewa sama yg minggu ini frown emotikon padahal tiap hari berusaha ngecek cerpen kompas udh update atau blm. but its ok, its a good story at all...
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei
Khoir Al-faroli
Dua kata yang membuatku bingung. "Istana Presiden" haha

Ada tanggapan. Komen" smile emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 31 Mei
Adnan Azhari
Terkesan keluarga yang terkekang. Bapak dengan ambisinya yang selalu menyudutkan
Suka · Balas · Laporkan · 31 Mei
Novriani Hanna
Keren,, tpi kurang menangkap ada apa dg istana presiden?
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei
Saifule Anware
kampret. kompas kalo ngga nerbitin karya senior2 yg sudah mapan, seringkali mendobrak konsep mainstream para penggiat kata2. asem! geleng2.

Dewi Gylispisan Uy

. cerpen ini rasanya udh pnh aq baca sebelumnya
Suka · Balas · Laporkan · 30 Mei

Mansur Muhammad

Mey-kah orang mati itu.?
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Itha Febriyanti

Bapak akhirnya bunuh Mey. Di istana presiden emg ada apanya sih?
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Ayu Widia

belum bisa menangkap maksud sebenarnya.. tpi halus pembawaannya..
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

S Kopsah

kurang di garis bawahi...ceritana
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Tania Kurniawati

sadar betul sulitnya bikin cerita dengan plot kayak gini -,-
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Elisa Apriliani

Klo beleh tau tadi bahas apa y...
Suka · Balas · Laporkan · 30 Mei

Tutus Damayanti

Lalu bapak menyeret mey keluar, memasukkan tubuh mey kedalam drum, menutup, memberinya pemberat lalu membuangnya kelaut.
Seremmmmm
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Qizink La Aziva

Mey. kematian. istana presiden. masa lalu.... keren.
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Rihan Nan

Ide ceritanya apa ya?
 
 

Fajar Ütomo

keren. tapi plotnya cukup ngebingungin.
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Naira Zania

Mey laki-laki ....
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Arif Zindagi

maauuu dibawaaa ke manaaa ceritanyaaaa.. ..
Suka · Balas · Laporkan · 12 Juni

Aldo Balado

Gak paham grin emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 9 Juni


Kehidupan Setelah Kematian

1-IND-after-death

Abstraksi

Kasus-kasus penelitian tercatat yang tak terhitung jumlahnya mengenai pengalaman-pengalaman kehidupan masa lampau menunjukkan jelas tentang kehidupan setelah kematian. Dalam semua kasus yang tercatat tentang reinkarnasi, ditemukan bahwa ada jeda waktu tidak tetap antara kematian seseorang dan reinkarnasi berikutnya di Bumi. Jadi, kemana kita pergi setelah kematian sampai dengan reinkarnasi kita kembali di Bumi? Apakah tempat tersebut berupa alam eksistensi/ keberadaan tunggal atau terdiri dari berbagai alam eksistensi? Jika demikian, apa faktor-faktor yang menentukan kemana kita pergi setelah kematian? Pada artikel ini, kami menyajikan jawaban untuk hal tersebut dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tentang topik ini. Jawaban-jawaban ini diperoleh melalui penelitian spiritual yang dilakukan oleh para pencari Tuhan dari Yayasan Penelitian Ilmu Spiritual (SSRF) dengan indra keenam yang mendalam (ESP).

Catatan: Untuk memahami artikel ini dengan lebih baik, dianjurkan agar anda membaca artikel tentang tiga komponen-komponen dasar halus sattva, raja dan tama.

Daftar isi [Tampilkan]
1. Apakah yang terjadi setelah kematian?

Penelitian spiritual telah menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat tubuh dasar sebagai berikut:

Fisik
Mental
kausal atau intelektual (kecerdasan)
Suprakausal atau ego halus (tak kasat mata)

Gambar di bawah adalah diagram representasi dari terdiri dari apakah manusia.

2-IND-comprised-of
3-IND-Subtle-body-after-death

Ketika seseorang meninggal, tubuh fisiknya berhenti untuk hidup. Namun, sisa eksistensi atau kesadarannya terus berlanjut. Eksistansi orang tersebut, minus tubuh fisiknya dikenal sebagai tubuh halus (lingga deha) dan terdiri dari tubuh-tubuh mental, kausal (intelek) dan supracausal (ego halus). Tubuh halus ini kemudian pergi ke salah satu dari 13 tempat (alam-alam) eksistensi halus selain alam Bumi.
2. Ke-14 alam-alam/ tempat eksistensi di alam semesta

Ada 14 tempat utama di dalam alam semesta ini. Tujuh (7) dari mereka adalah tempat positif dan tujuh lainnya adalah tempat negatif. Ke tujuh tempat negatif biasanya dinamakan sebagai Neraka (Pataal). Terdapat banyak divisi lainnya di setiap ke 14 tempat tersebut.

Definition of Dharma (Righteousness)Tujuh alam-alam eksistensi positif: Tempat ini ditempati oleh tubuh rohani yang melakukan perbuatan baik dan melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan positif dari ajaran spiritualitas. Dengan jalan positif, kita artikan sebagai orientasi praktik spiritual menuju kesadaran Tuhan atau bersatu dengan Tuhan seutuhnya (Pencerahan). Bersatu dengan Tuhan seutuhnya, adalah tujuan paling utama dalam pertumbuhan spiritual.

Alam Bumi adalah satu-satunya alam fisik eksistensi di alam semesta dan juga merupakan alam eksistensi pertama dalam hirarki alam-alam eksistensi positif di alam semesta.

Tujuh alam-alam eksistensi negatif: Tempat ini kebanyakan ditempati oleh tubuh rohani yang telah melakukan kejahatan serta melakukan praktik spiritual sesuai dengan jalan yang negatif dari ajaran spiritualitas. Dengan jalan negatif, kita artikan sebagai orientasi praktik spiritual dengan kekuatan-kekuatan spiritual, misalkan kekuatan supranatural atau ilmu kesaktian. Kekuatan spiritual ini digunakan untuk tujuan yang negatif. Dengan demikian semua tubuh rohani/ halus yang pergi ke salah satu alam-alam eksistensi neraka, menjadi hantu berdasarkan niat-niat jahat mereka.

Lihat di arikel, ‘Apakah hantu itu’?

Sub alam eksistensi dari Neraka (Narak): Setiap alam eksistensi neraka (Paataal) memiliki sub/ bagian alam yang dikenal sebagai Narak. Contohnya, alam eksistensi pertama dari Neraka akan memiliki di dalamnya sub alam yang dikenal sebagai Narak pertama. Narak dicadangkan untuk hantu terburuk (setan, iblis, energi negatif, dll) di dalam Neraka. Para hantu (setan, iblis, energi negatif, dll) yang mendiami Narak pertama ini menghadapi hukuman yang lebih parah dan untuk durasi yang lebih lama dibandingkan dengan mereka yang mendiami alam eksistensi pertama dari neraka.

Diagram di bawah ini menunjukkan ke-14 alam-alam eksistensi di Alam Semesta.

4-IND-Regions

Mohon dicatat:

Untuk lebih sederhana, meskipun kami telah menunjukkan alam-alam eksistensi satu di atas yang lain dalam diagram ini, pada kenyataannya mereka ada di sekitar kita di segala penjuru. Hanya saja bumi karena merupakan alam fisik yang nyata bisa terlihat: sedangkan alam lainnya semakin lebih halus sehingga tak terlihat dengan kasat mata. Bahkan, berbeda orang meskipun hidup di alam eksistensi Bumi mengalami pemikiran-pemikiran dan emosi-emosi yang sesuai dengan alam-alam eksistensi yang berbeda sesuai tingkat spiritual atau pemikiran mereka. Contohnya untuk Saints (orang-orang Suci), yaitu orang yang telah berkembang secara spiritual melebihi tingkat spiritual 70%, menyebabkan eksistensi/ keberadaan yang sesuai dengan alam-alam eksistensi positif Surga dan seterusnya. Sebaliknya seseorang yang merencanakan pencurian mengalami pemikiran-pemikiran terkait dengan alam eksistensi ke-1 dari Neraka, seseorang yang merencanakan beberapa tindakan yang bertujuan merugikan orang lain terkait dengan alam ke-2 dari Neraka dan sebagainya dan orang yang merencanakan pembunuhan mengalami pemikiran-pemikiran terkait dengan alam eksistensi ke-7 dari Neraka. Namun 2 alam eksistensi tidak dapat dialami secara bersamaan, yaitu seseorang tidak bisa mengalami pemikiran-pemikiran terkait dengan 2 alam yang berbeda, misalnya Surga dan Mahālok.
Alam eksistensi Nether (Bhūvalok) tepatnya adalah daerah yang menjauh dari Tuhan, karenanya adalah alam negatif. Kami bagaimanapun telah menggambarkannya sebagai alam positif karena tubuh-tubuh halus dari alam ini masih memiliki kesempatan untuk dilahirkan di Bumi untuk maju secara spiritual. Sekali tubuh-tubuh halus mundur ke salah satu dari alam-alam Neraka, maka kemungkinannya kecil untuk mereka dilahirkan di Bumi dan maju ke arah Tuhan.

Penjelasan di balik skema warna yang digunakan

Bumi digambarkan berwarna kemerahan karena mewakilkan aksi/ tindakan (yaitu komponen dasar non-fisik/ halus raja), di mana Bumi adalah satu-satunya alam di mana kita memiliki tubuh fisik untuk melakukan sesuatu.
Surga telah digambarkan dalam warna merah muda, yang mewakili berlimpahnya kebahagiaan.
Kuning mewakili pengetahuan spiritual dan peningkatan dalam komponen dasar halus sattva. Warna kuning Ini akhirnya akan menjadi hampir putih pada tahap tertinggi, yang menggambarkan kedekatan dengan prinsip Tuhan tak berwujud.
Wilayah-wilayah Neraka diwakili oleh warna gelap sampai hitam, karena adanya peningkatan dalam komponen dasar non-fisik tama.

3. Surga dan alam-alam eksistensi positif lainnya di Alam Semesta (setelah kematian)
Kehidupan setelah kematian mati

Catatan (berdasarkan nomor-nomor merah pada tabel di atas) :

Setiap alam eksistensi positif dan negatif di luar batasan alam (fisik) eksistensi Bumi menjadi semakin halus (tak kasat mata) sesuai dengan hirarkinya. Maksud kami dengan ‘Halus/ non-fisik’ adalah yang melampaui pemahaman panca indera, pikiran dan intelek. Satyaloka adalah yang terhalus, yaitu yang paling sulit untuk dilihat atau dipahami kecuali indra keenam (ESP) tingkat tertinggi telah dicapai.
Akibat kurangnya praktik spiritual, kebanyakan orang di zaman sekarang pergi ke dunia Nether ataupun alam-alam eksistensi Neraka setelah kematian. Kita biasanya pergi ke dunia Nether setelah kematian ketika proporsi kejahatan (yang timbul akibat perbuatan-perbuatan salah di Bumi) sekitar 30%. Kejahatan, pada umumnya termasuk niat jahat terhadap orang lain dan banyaknya hasrat keinginan seseorang. Di dunia Nether, kemungkinan akan diserang oleh hantu-hantu dengan tingkat yang lebih tinggi dari alam eksistensi lebih rendah di Neraka hampir dipastikan.
Bumi adalah satu-satunya alam eksistensi di mana terdapat suatu penggabungan dari orang-orang dengan berbagai tingkat spiritual. Namun, setelah kematian kita pergi ke alam eksistensi yang sesuai dengan tingkat spiritual kita.
Tingkat spiritual minimum yang diperlukan untuk mencapai Surga setelah kematian adalah 60%. Silakan mengacu kepada artikel, yang menggambarkan apa itu tingkat spiritual dan rincian populasi dunia pada tahun 2006 sesuai dengan tingkat spiritual. Pada dasarnya, dari sudut pandang ilmu pengetahuan spiritual, perbuatan-perbuatan mulia untuk mencapai Surga atau alam eksistensi positif yang lebih tinggi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencapai kesadaran Tuhan. Tiga kriteria berikut dapat diterapkan sebagai acuannya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa doership, yaitu dengan pandangan bahwa Tuhan sendiri melakukan tindakan itu atas diri kita dan oleh sebab itu saya tidak dapat mengklaim pengakuan apapun.
Dilakukan tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan.
Dilakukan tanpa mengharapkan hasil.Lebih dari tindakan semata, adalah sikap atau pandangan di balik tindakan tersebut yang lebih diperhitungkan.
Untuk mencapai alam eksistensi lebih tinggi yang melampaui Surga, seseorang harus berada pada tingkat spiritual di atas 80%. Ini hanya dapat dicapai dengan praktik spiritual yang konsisten sesuai dengan enam hukum-hukum dasar dari praktik spiritual, bersamaan dengan pengurangan besar dalam ego.
Dengan tubuh dominan, maksud kami adalah tubuh yang paling aktif, yaitu tubuh mental, intelek (kecerdasan) atau ego halus. Sebagai contoh, pada alam eksistensi Nether (Bhuvalok), tubuh halus masih memiliki banyak hasrat keinginan dan kemelekatan. Akibatnya, sering kali mereka menjadi hantu yang kerap berusaha untuk memenuhi beberapa hasrat keinginan mereka. Hal ini membuat mereka terbuka terhadap serangan hantu-hantu dengan tingkat lebih tinggi dari anak tangga lebih rendah di Neraka yang ingin mengambil keuntungan dari ketergantungan-ketergantungan mereka dengan tujuan untuk mempengaruhi orang-orang di Bumi.
Di dalam alam eksistensi Nether kita mengalami beberapa kebahagiaan. Namun, ketidakbahagiaan di alam tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan ketidakbahagiaan yang dialami di Bumi.
Dalam alam eksistensi Surga, tubuh-tubuh halus/ rohani mengalami kelimpahan berlebih dari kebahagiaan. Kebahagiaan ini jauh melebihi kebahagiaan yang dialami di Bumi baik dalam jumlah, kualitas maupun durasinya. Ketika kita bergerak menaiki alam eksistensi positif, terdapat peningkatan dalam kualitas kebahagiaan dan tidak ditemukannya ketidakbahagiaan.
Kebahagiaan Sattvik berarti kebahagiaan yang berasal dari membantu orang lain tanpa harapan atau pamrih. Ketika ego terlibat dalam bertindak, tindakan itu menjadi raajasik.
Serenity (ketenangan abadi) adalah pengalaman spiritual yang lebih tinggi daripada Bliss (Kebahagaian abadi).

3.1 Alam-alam eksistensi positif dan reinkarnasi di Bumi

Setelah kematian, orang-orang yang berada di alam-alam eksistensi di bawah Mahālok perlu be reinkarnasi di alam Bumi untuk melunasi takdir dan menyelesaikan akun-akun memberi-dan-mengambil (give-and-take account) yang mereka miliki.

Jika seseorang mencapai Mahālok dan Janalok setelah kematian, itu berarti tingkat spiritual mereka di atas 80%. Jiwa-jiwa ini tidak perlu bereinkarnasi lagi karena semua takdir yang tersisa (akumulasi akun) dapat diselesaikan dari alam-alam eksistensi itu sendiri. Namun tubuh-tubuh halus yang telah berevolusi ini boleh memilih untuk dilahirkan atas kehendak mereka sendiri. Mereka melakukannya terutama untuk bertindak sebagai pemandu-pemandu spiritual bagi umat manusia.

Dalam beberapa kondisi tertentu, orang-orang yang meninggal di tingkat spiritual 60% dapat mencapai Mahālok. Di sini potensi seseorang untuk pertumbuhan spiritual lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Melalui penelitian spiritual, kami telah menemukan adanya 5 faktor yang mempengaruhi potensi untuk pertumbuhan spiritual lebih lanjut dari orang tersebut.

Memiliki jumlah emosi spiritual (bhāv) yang tinggi,
Memiliki ego yang rendah,
Memiliki keinginan yang kuat untuk pertumbuhan spiritual,
Melakukan praktik spiritual teratur dengan tingkatan yang semakin tinggi,
Terpengaruh atau tidak terpengaruh oleh energi-energi negatif.

Dipengaruhi oleh energi-energi negatif sangatlah menghambat kemampuan seseorang untuk dapat tumbuh secara spiritual. Maka, jika seseorang berada di tingkat spiritual 65% tetapi sangat terpengaruh oleh energi-energi negatif, kemampuannya untuk mencapai alam-alam spiritual yang lebih tinggi seperti Mahālok, menjadi terbatas.

Jika seseorang mencapai Tapalok atau Satyalok setelah kematian, maka orang tersebut tidak mengambil kelahiran lagi di alam eksistensi Bumi tetapi terus melakukan praktik spiritual di alam eksistensi itu sampai ia bersatu sepenuhnya dengan Tuhan.
3.2 Pentingnya alam eksistensi Bumi

Alam eksistensi Bumi amatlah penting. Ini adalah satu-satunya alam eksistensi di mana kita bisa membuat pertumbuhan spiritual yang cepat dan melunasi perhitungan/ akun memberi-dan-mengambil kita dalam periode waktu yang paling singkat. Alasan utama untuk hal ini adalah dengan bantuan tubuh fisik, kita bisa melakukan banyak hal untuk meningkatkan pertumbuhan dan tingkat spiritual kita serta mengurangi komponen dasar non-fisik tama.

Selain dari Bumi, pertumbuhan spiritual kemungkinan besar hanya terjadi di wilayah-wilayah di atas Surga seperti Mahaaloka dll. Hal ini disebabkan oleh karena, tubuh halus di Surga menjalani resiko akan terperangkap dalam kesenangan tanpa akhir yang ditawarkan di Surga. Dalam alam-alam eksistensi Bawah (Nether) dan Neraka (setelah kematian), hukuman yang begitu berat dan juga tekanan dari hantu-hantu dengan tingkat yang lebih tinggi adalah sedemikian rupa, sehingga menjadi sangat sulit bagi seseorang untuk bangkit dari penderitaan yang dialaminya di alam-alam tersebut untuk melakukan suatu praktik spiritual yang bernilai.
4. Apakah itu Neraka, siapa yang pergi ke Neraka dan seperti apakah Neraka itu?

Perjalanan kita setelah kematian meninggal kehidupan

Sewaktu seseorang pergi ke alam eksistensi lebih rendah dari Neraka, akibat semakin berkurangnya komponen dasar halus sattva secara bertahap, lingkungan menjadi semakin kurang kondusif untuk mengalami kebahagiaan.
Dalam alam eksistensi Neraka, ada beberapa hantu/ iblis yang melakukan beberapa jenis praktik spiritual tertentu untuk mendapatkan kekuatan spiritual. Dalam hirarki para hantu, yang tertinggi adalah penyihir dari alam eksistensi ketujuh Neraka. Mereka memiliki kekuatan spiritual sangat besar yang hampir setara dengan Saint (orang-orang suci) pada tingkat spiritual 90%. Mereka mengendalikan semua jenis hantu lainnya yang kekuatan spiritualnya lebih rendah.
Ketika seseorang pergi lebih dalam ke berbagai alam-alam eksistensi Neraka, yaitu dari tingkat ke-1 sampai ke-7, tingkat kebahagiaan yang dialami oleh tubuh/ roh halus di dalam alam eksistensi tersebut terus menurun dan tingkat ke tidakbahagiaannya terus berlipat ganda. Minimnya pengalaman akan kebahagiaan di akibatkan juga karena tenggelam dalam kenangan peristiwa-peristiwa positif di masa lalu, kenangan yang menyenangkan akan harta kekayaan dalam kehidupan masa lalu, dst. Pengalaman ke tidakbahagiaan disebabkan karena kenangan akan rasa sakit fisik dan peristiwa-peristiwa penghinaan, kenangan dari hasrat keinginan yang tidak terpenuhi, misalnya tentang pendidikan, rumah, karir, harapan akan kebahagiaan anak-anak dalam kehidupan masa lalu orang tersebut.
Besarnya hukuman/ rasa sakit yang harus dijalani di berbagai alam eksistensi Neraka (Paataal) dan Narak yang terkait, terus meningkat sesuai dengan alam eksistensi Neraka berikutnya. Masa hukuman yang akan dialami di setiap Narak juga lebih besar dibandingkan dengan alam eksistensi Neraka yang terkait dengan Narak tersebut. Jika kita mempertimbangkan hukuman di alam eksistensi pertama Neraka sebagai 100%, maka hukuman di wilayah Narak pertama yang terkait adalah 50% lebih besar, yaitu 150%.

Tabel berikut merupakan gambaran dari contoh-contoh kebahagiaan dan ketidakbahagiaan beserta intensitas rata-ratanya yang kita alami di dalam berbagai alam eksistensi Neraka

Perjalanan manusia kehdiupan setelah meninggal kematian
5. Pergerakan di antara alam-alam eksistensi halus di Alam Semesta

Alam eksistensi ditentukan untuk seseorang sesuai dengan sifat dasar orang tersebut dalam hal sattva, raja dan tama. Penentuan alam eksistensi tersebut juga merupakan satu fungsi dari tingkat spiritual seseorang. Oleh karena itu, tubuh halus dari alam eksistensi positif yang lebih rendah tidak bisa pergi ke alam eksistensi positif yang lebih tinggi dan mereka yang berasal dari alam eksistensi negatif pertama dan kedua tidak bisa pergi ke alam eksistensi Neraka yang lebih dalam (ketiga dst). Hal ini serupa dengan bagai mana orang yang tinggal di bidang datar merasa sulit bernapas pada ketinggian yang lebih tinggi, tapi orang-orang yang tinggal diketinggian lebih tinggi dapat menangani kondisi itu dengan baik.
6. Apa yang menentukan kemana kita pergi setelah kematian?

Pada saat kematian, sewaktu tubuh fisik menjadi tidak aktif, energi vital yang digunakan untuk fungsi tubuh fisik di bebaskan ke Alam Semesta. Energi vital ini mendorong tubuh halus menjauh dari wilayah Bumi pada saat kematian. Sama seperti berat proyektil menentukan seberapa jauh roket dapat mendorong nya, demikian pula berat dari tubuh halus menentukan ke alam eksistensi mana tubuh halus tersebut pergi dalam alam-alam eksistensi halus di kehidupan setelah kematian.

‘Berat’ dari tubuh halus itu terutama merupakan fungsi dari jumlah komponen dasar halus tama dalam diri kita.

IND-Sattva-Raja-Tama-Chart

Ke-3 komponen dasar halus: Kita masing-masing terdiri dari tiga komponen dasar halus/ non-fisik (tak kasat mata) atau gunas.Komponen ini bersifat spiritual dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka menentukan kepribadian-kepribadian kita. Ketiga komponen itu adalah:

Sattva: Kemurnian dan pengetahuan
Raja: Aksi dan gairah
Tama: Ketidaktahuan dan inersia. Di dalam rata-rata orang di era saat ini, komponen halus dasar tama mereka mencapai 50%.

Silahkan baca artikel tentang 3 komponen dasar halus

Semakin kita dipenuhi dengan komponen-komponen raja dan tama, semakin kita menampilkan karakteristik-karakteristik berikut yang menambah ke dalam ‘berat’ kita dan berdampak pada alam eksistensi mana kita pergi dalam kehidupan setelah kematian:

Lebih melekat pada hal-hal duniawi dan keegoisan
Lebih banyak hasrat keinginan yang tak terpenuhi
Perasaan-perasaan balas dendam
Lebih tingginya jumlah kekurangan atau perbuatan-perbuatan salah
Lebih tingginya jumlah gangguan kepribadian seperti marah, takut, keserakahan, dll.
Jumlah ego yang lebih tinggi: Dengan ego maksud kami adalah berapa banyak seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan tubuh, pikiran dan intelek (kecerdasan) dan bukan dengan jiwa (roh/ atma) di dalam
Menghasilkan tingkat spiritual yang lebih rendah

Penurunan permanen dalam proporsi komponen dasar halus tama dan karakteristik-karakteristik terkaitnya seperti yang disebutkan di atas, dapat terjadi hanya dengan melakukan praktik spiritual terus-menerus yang sesuai dengan enam hukum dasar dari praktik spiritual. Perbaikan psikologis melalui buku-buku perbaikan diri atau mencoba bersikap baik hanyalah bersifat dangkal dan sementara.
6.1 Pentingnya keadaan mental sesaat sebelum meninggal

Keadaan mental sesaat sebelum kematian, selain dari apa yang telah disebutkan di atas, sangatlah penting. Keadaan mental kita pada umumnya berhubungan dengan proporsi komponen-komponen dasar non-fisik di dalam diri kita.

Jika seseorang benar-benar melakukan praktik spiritualnya seperti mengucap dan merepetisikan (mengulang) Nama Tuhan pada saat kematian, maka pengaruh dari hasrat keinginan, kemelekatan, hantu, dst menjadi seminimal mungkin bagi orang itu dibandingkan dengan keadaan di mana dia tidak mengucap dan merepetisikan. Hal ini membuat tubuh halusnya menjadi lebih ringan. Oleh karena itu, jika ia meninggal dunia seraya mengucap dan merepetisikan, ia akan mencapai alam eksistensi yang lebih baik di antara alam-alam eksistensi, dari apa yang seharusnya ia capai jika ia meninggal tanpa mengucap dan merepetisi.

Sesaat sebelum kematian, jika seseorang mengucap dan merepetisikan Nama Tuhan YME dan juga dalam keadaan berserah pada kehendak Tuhan, maka ia mencapai alam eksistensi yang bahkan lebih baik dalam kehidupan setelah kematiannya (akhirat). Perhentian sementaranya pun ditempuh dengan kecepatan cahaya. Hal ini disebabkan oleh karena orang yang berada dalam keadaan berserah di alam eksistensi Bumi itu sendiri, memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk meningkatkan egonya dalam kehidupan setelah kematiannya. Seluruh tanggung jawab atas kesejahteraannya dalam kehidupan setelah kematian orang tersebut juga telah di ambil alih oleh pembimbing spiritualnya yang telah berevolusi (Guru).
6.2 Siapakah yang pergi ke Neraka setelah kematian?

Berikut ini adalah jenis-jenis perbuatan dalam kehidupan kita di Bumi yang biasanya menempatkan kita dalam salah satu alam eksistensi Neraka.

Kehidupan setelah kematian meninggal

Jangkauan, durasi dan tujuan di balik perbuatan-perbuatan salah/ pelanggaran merupakan faktor penting yang menentukan alam eksistensi Neraka mana yang di capai setelah kematian dibandingkan dengan hanya tindakan itu semata.
7. Bunuh diri dan kehidupan di akhirat (setelah kematian)

Ada dua jenis kematian yang berkaitan dengan waktunya.

Kematian akhir yang ditakdirkan: Ini adalah saat kematian tidak bisa dihindari oleh seseorang.

Kematian yang ‘mungkin’ terjadi: Ini adalah keadaan di mana seseorang ‘kemungkinan’ dapat meninggal. Setiap orang dapat mengalami ‘kemungkinan’ meninggal ketika orang itu hampir meninggal, tetapi dapat diselamatkan akibat dari jasa-jasa/ kebaikan-kebaikannya.

Untuk informasi lebih lanjut tentang jenis-jenis kematian silakan lihat artikel kami – Saat Kematian

Dalam kasus-kasus di mana seseorang sedang mengalami krisis yang tidak dapat diatasi dalam hidupnya atau memiliki gangguan-gangguan kepribadian yang parah, ia mungkin berpikir untuk mengambil hidupnya sendiri dalam keadaan tertekan tersebut. Hantu-hantu (setan, iblis, energi-energi negatif, dll) juga menyulut keadaan depresi dari orang yang ingin bunuh diri tersebut dan kadang-kadang memberikan pengaruh dalam mendorong orang tersebut melewati batas untuk bunuh diri. Namun, bunuh diri tetap merupakan tindakan disengaja yang terjadi ketika seseorang sedang mengalami fase kematian yang ‘mungkin’ terjadi sesuai dengan takdir mereka.

Kehidupan di alam eksistensi Bumi sangatlah berharga dan diberikan kepada kita terutama untuk pertumbuhan spiritual. Ketika kita membunuh orang lain, kita membuat akun kārmic memberi-dan-mengambil (give-and-take account) dengan mereka. Namun dengan melakukan bunuh diri, kita menyia-nyiakan kesempatan untuk pertumbuhan spiritual dan karenanya menanggung dosa yang terberat. Konsekuensinya dari seseorang yang melakukan bunuh diri adalah pergi ke bagian Narak dari alam ke-7 eksistensi Neraka untuk jangka waktu 60.000 tahun Bumi, dalam kehidupan setelah kematiannya (akhirat). Ini adalah tempat yang tanpa cahaya; sesuatu yang menyerupai kurungan isolasi dalam penjara. Karena tiada seorang pun dalam wilayah Narak yang dapat memberikan nasihat tentang praktik spiritual, tubuh halus/ rohani dari orang yang melakukan bunuh diri tersebut tetap berada dalam kegelapan dari ketidaktahuan/ kebodohan spiritual.
8. Mengapa ada jeda waktu di antara dua reinkarnasi?

Dalam proses penelitian dengan menggunakan trans hipnosis untuk melacak kehidupan masa lalu seseorang, telah ditemukan bahwa jeda waktu antara dua reinkarnasi di Bumi rata-rata berkisar antara 50 hingga 400 tahun. Alasan-alasan untuk jeda waktu ini adalah sebagai berikut:

Tubuh halus tetap berada di Surga atau alam eksistensi Nether dalam jangka waktu yang tidak tentu untuk menjalankan hasil dari kebaikan-kebaikan dan dosa-dosanya.
Keadaan di alam eksistensi Bumi harus menguntungkan untuk menyelesaikan akun memberi-dan-menerima (give-and-take account) dari kelahiran-kelahiran sebelumnya dengan berbagai orang-orang terkait. Hal ini sesuai dengan hukum Karma. Reinkarnasi dari tubuh halus ditunda sampai tiba saatnya berbagai orang lainnya, dengan siapa mereka memiliki akun memberi-dan-menerima tersebut, juga siap untuk bereinkarnasi.
Dalam regresi kehidupan masa lalu, kadang-kadang seseorang tidak melaporkan reinkarnasi dalam keadaan trans. Alasan untuk hal ini adalah reinkarnasi tertentu telah terjadi dengan sangat lancar dan singkat sehingga orang tersebut mungkin tidak mengingat perincian apapun dari reinkarnasi itu.

Dalam kasus di mana tubuh halus/ rohani telah diturunkan ke alam eksistensi Neraka yang lebih dalam, jeda waktu antara ke dua reinkarnasi mungkin bisa ribuan tahun. Mereka tinggal di masing – masing alam eksistensi Neraka sampai tiba saatnya mereka telah menyelesaikan hukumannya. Dalam kebanyakan kasus, ini berarti mereka akan mendekam di alam eksistensi Neraka dalam kehidupan setelah kematian (akhirat) hingga pembubaran/ disolusi Alam Semesta.
9. Kehidupan setelah kematian – dalam rangkuman

Fakta-fakta di atas tentang berbagai alam eksistensi memberikan kita suatu gambaran mengenai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin kita hadapi dalam kehidupan setelah kematian, yang disebabkan oleh bagaimana cara kita menjalani kehidupan di Bumi. Hanya dengan praktik spiritual atau dengan kebaikan-kebaikan yang ekstrim/ luar biasa, seseorang dapat pergi ke alam eksistensi yang lebih tinggi dan oleh sebab itu ia dapat menghindari ketidakbahagiaan dan hukuman serta menikmati tingkatan-tingkatan kebahagiaan yang lebih tinggi. Terdapat juga kesempatan yang lebih baik untuk bereinkarnasi di alam eksistensi Bumi dalam keadaan-keadaan yang kondusif untuk melakukan praktik spiritual. Maksud dari hal ini adalah supaya seseorang dapat bergerak lebih jauh ke atas alam-alam eksistensi halus di Alam Semesta. Sehubungan dengan berjalannya kita lebih jauh ke dalam Era Perselisihan (Kaliyuga) sekarang ini, kemungkinan seseorang untuk dapat pergi ke alam-alam eksistensi yang lebih tinggi menjadi lebih sedikit.

Sekali kita pergi ke alam-alam eksistensi yang lebih rendah seperti alam eksistensi Nether atau alam-alam eksistensi Neraka lainnya, kita tinggal di sana dan mengalami ketidakbahagiaan parah selama berabad-abad sampai kita benar-benar membayar kekurangan-kekurangan kita (dosa-dosa) dengan penderitaan berupa hukuman berat yang dijatuhkan di sana dan kembali mendapatkan kesempatan untuk bereinkarnasi di Bumi.

Untuk melakukan praktik spiritual secara konsisten di alam eksistensi Bumi sesuai dengan 6 hukum dasar praktik spiritual adalah seperti berenang melawan arus di era saat ini. Namun, itu juga merupakan jalan yang terjamin untuk maju ke alam-alam eksistensi yang lebih tinggi dalam kehidupan kita setelah kematian.

Sumber:  http://www.spiritualresearchfoundation.org/indonesian/alam-setelah-kematian/kehidupan-setelah-kematian/ atau lebih detil dan komplit klik di SINI

Pesta Harus Berakhir

Cerpen: Otang K.Baddy (Suara Daerah no.495 edisi Juni 2013)


Sesaat ruangan itu sepi. Tak ada suara tanya dan jawab, keduanya bergeming. Benak mereka hanyut dalam pemburuansolusi akan sebuah misi.

Sang Mayor menundukkan kepala, keraguan dan kecemasan terasa menyungkup dikepala. Betapa tidak, ia harus memilih satu diantara tiga pilihan. Menyerah,mengelak, atau malah menembak? Menyerahkan diri dan berterus terang bahwadirinya pernah membelot dari perjuangan? Mengelak dengan cetus seribu lidah,atau senjata harus menyalak? Siapa yang bakal tahu kalau orang itu ditembaknya,lagi pula bukankah mereka berada di lantai atas?

Dahiberkerenyit, bibir pun digigit.

Tidak!Jangan! Jangan lagi terjadi pembuhunan itu. Persoalan yang sudah berat ini jangan samapai bertambah berat!

Sang Mayor mengangkat wajahnya, menatap orang yang sejak tadi menghujanipertanyaan.

“Bagaimana, jelas Mayor?” tanya Komisarisyang tetap bersabar. Yang ditanya memalingkan muka. Keraguan dan pikiran yanglabil terasa menyergap. Menyerah atau legawa, adalah sikap mulia dan bakalmeringkan hukum. Tapi bagaimana soal keluarga, anak maupun isteri menghapihujat dan cemooh masyarakat banyak. Namun agama telah mengajarkan, dan segeralahbertobat sebelum dosa itu berlipat. Tapi..ah, betapa beratnya untuk mengambilsatu keputusan.

Semulapersoalannya tak sejauh itu. Komisaris cuma bertanya bagaimana ceritanya ketikaia masuk jadi pejuang hingga kini berpangkat Mayor. Lalu menanyakan berapabesar gaji Mayor sebulan dan juga tentang kekayaan orangtuanya. Berlanjutmenanyakan kekayaan hasil merampas dari Kolonel Vanderland di masa lampau.Dijawab tak tahu, Komisaris tetap menekan, sebab mana mungkin itu tak tahu.

Sebelum kedatangan Komisaris pun gejala penelusuran ini sudah terdengar.Diawali dengan sikap pemerintah yang tiba-tiba ingin mengadakan penelitiantentang Kolonel Vanderland. Diduga tak akan pernah diusut, sang Mayor tenang-tenangsaja hidup di bergelimang harta dan canda manja para wanita. Pikirnya takmungkin kebrobrokan ini terungkap, apalagi kejadiannya jauh di masa lalu. Kalausaja tahu akan terjadi begini, kenapa tidak dari jauh hari ia kabur ke luarnegeri. Pasti aman, pikirnya.

Lelaki itu menarik napas. Berat sekali. Menyalakan rokok, sekedarmengusir cemas.

Seraya membenahi kancing bajunya yang terlucut, jidatnya berkerut seakanberpikir sesuatu. Dan sekejap kemudian bola matanya berbinar seakan menemukanpencerahan dan rumus jitu. Demi keselamatan tentu harus ada pengorbanan.Tapibagaimana kalau dia menolak? Ah, jaman kini siapa orangnya yang akan menolakjika diberi uang. Bukankah uang itu telah segalanya dalam hidup ini?

“Komisaris….,” katanya tiba-tiba dengan suara tertahan.

“Ya, Mayor..,” jawab lelaki itu dengan sopan, menghargai kemayorannya.

“Menurut hemat saya, kejadian itu sudah tak ada artinya jika kinidiungkit lagi. Sebab kalau seumpama makanan sudah kadaluwarsa. Sudah basi.Dengan begitu untuk menyelesaikan masalah ini sebaiknya Komisaris bekerjasamadengan saya. Apa yang kau inginkan,terus terang utarakanlah sekarang. Dalam hal ini saya tak akan menghitunguntung dan rugi. Satu yang kupinta, asal kita sama-sama selamat. Itu pun jikaselama ini saya ditekan bersalah.”

“Pokonya, apa yang kau inginkan dariku sekarang, tak akan kutolak. Sebutlah..ayo.!” lanjutnya merajuk.

Untuk beberapa saat Komisaris terdiam. Rasamarah, juga kesan lucu dengan perkataan Mayor. Masa pangkat seorang Mayorbegitu merajuk dan cengeng, dan itu sama saja pada intinya menunjukkankebrobrokan yang nyata.

“Mayor, apa pun yang telah kau katakan telah kumengerti semuanya. Bahkanaku sangat berterimakasih atas tujuan dan kebaikan Mayor yang begitu mulia.Namun ingat, selaku petugas negara -- dalam hal ini di kekomisarisan, sungguhsuatu penghianat besar jika seorang bapak mewariskan tindakan tak terpujikepada anak buahnya. Bagaimana dampaknya nanti? Tentu ulah kotor itu akanberanak-pinak dan berkembang biak. Sebab mereka itu ibarat ekor yang senantiasamengikuti kepala. Jika kepala masuk ke tempat gelap ekor pun pasti mengikutinya,begitu pun sebaliknya. Kepala masuk ke tempat rawan dan berbahaya, tentu sangekor akan ikut celaka. Maka, di sinilah harus kita jauhi segala bentuk yangakan mencelakakan mereka. Maka dengan itu, bukan aku menampik pengasih, bukan pulaaku menyepelekan kebaikan bapak.”

Suasanahening kembali. Keduanya membisu. Musik klasik terdengar mengalun di kejauhan.Irama sedih bak menyanyikan kematian.

“Dengan tekad kebaikan bapak yang memelas, kini telah kudapatkan bukti kuat bahwa Mayortelah benar-benar nyeleweng!”

“Tak bisa begitu Komisaris. Perkataan serta niatku tadi itu hanyalahseumpama benar saya ditekan bersalah.”

“Seumpama? Tapi umpama itu, umpama yang mana, sebab pengertiannya banyak?”

“Ya, seumpama aku melakukan tindakan itu..” Sang Mayor mukanya memerah.

“Seumpama aku tak melakukan tindakan itu?” tegas Mayor, seolah mintakepastian.

“Jawab saja sendiri oleh Mayor!

“Sebab tidak mungkin Mayor punya kekayaan yangbegitu melimpah ruah!” tegas Komisaris.

Lalumereka saling pandang. keduanya tengah berperang rasa di dada.

“Kalau begitu agaknya kau merasa iri, Komisaris.”

“Tidak Mayor, tak ada sedikit pun rasa iri di hati. Kalau pun suatuucapan terlontar, itu semata-mata karena permintaan Mayor atas jawabanku.”

Hening lagi.

Mungkinperdebatan berkecamuk di hati keduanya.

**

Sang Mayor akhirnya kini merasa tiga kali sesal. Satu, sesal kenapa duluia tak mau menuruti keinginan dua sobatnya, Warlan dan Misran. Kedua, sesalketika mendengar pemerintah tengah mengadakan penelitian harta KolonelVanderland ia tak cepat kabur ke luar negeri. Dan yang ketiga, ia menyesal akanperkataannya tadi yang jelas-jelas pasti telah menjadi kekuatan bagi Komisaris.

Ya, dengan sistem prepentif tak kelar kenapatidak dengan refrensip? Mestikah senjata harus menyalak? Tembak! Tembak! Takakan ada orang tahu! Oya, soal mayatnya? Ya..itu gampang, masukkan saja ke dalamsumur, aman! Ya, ya, hatinya manggut-manggut dan kemudian ia bicara.

“Jadi apa maksudnya sekarang ini, Komisaris?”

“Pilih satu diantara dua!” tegasnya, “Menyerah, atau aku harus bertindakyang nantinya akan mencemarkan nama Mayor?”

Mayor itu tersenyum mendengar pernyataan Komisaris.

“Hmh..baguslah kalau begitu. Namun inilah jawabanku yang terakhir!” Sang Mayor berdiri seraya mengeluarkan pistoldari balik bajunya, lantas ditaruh di meja.

Agak tersentak juga lelaki yang berada dihadapannya. Betapa tidak, kaliini ia merasa tengah berhadapan dengan maut. Apalagi dirinya saat inibenar-benar bertangan kosong, tanpa sebilah pisau atau pun pistol. Wajar kalaugugup, karena kejadian mencekam ini tanpa diduga sebelumnya. Namun ia mencobamenguasai diri. Bukan seorang komisaris jika harus takut kehilangan nyawa deminegara, pikirnya. Lalu berdiri danmelangkah mendekati gorden kaca.

“Keberanian Mayor memang bukan cuma cerita atau isapan jempol belaka,”ujarnya kemudian seraya berdiri mematung. “Tapi semua itu percuma dan sia-siabelaka jika melakukannya hanya untuk ketidakbenaran. Kini mayor memberi jawabandengan senjata, tapi selaku petugas negara saya tidak takut kehilangan nyawa.Segeralah tembak aku ini, Mayor. Pilih tulang rapuhku, dan incar dagingrawanku. Namun sebelumnya aku beri tahu, walau pun Mayor sanggup membunuhkutapi tetap akan terborgol, sebab kedatanganku tidak sendiri. Tapi..” segera iamenyibakkan gorden kaca. Dan tampak di bawah sana beberapa anak buah komisaristengah berjaga-jaga di setiap pintu dan mengepung bangunan itu. Dan tiga mobilkhusus operasional melengakapi kesiagaan mereka.

“Sudahkahkau lihat semuanya itu, Mayor?” tanya lelaki itu dengan tatapan tajam. Yangditanya tak mampu untuk menjawab selain melongo dan kaget.

Sungguh itu diluar dugaannya. Karenanya ia langsung menundukkan kepala.Api membara yang tadi berkobar perwujud amarah, kini padam sudah. Bahkanmenciut bak kapas diguyur hujan. Yang timbul di hatinya kini hanyalah kesadaran.Penyesalan. Hatinya mengakui telah hianat akan jalannya perjuangan. Membiarkan rakyatdan membunuh dua sobatnya, yakni Warlan dan Misran.

Seraya menarik napas yang ke sekian kalinya, kisah 35 tahun lalu kembalimuncul di benaknya. Terasa mengiris hati dan menggugah rasa.

***

Pembunuhan berdarah itu pun terjadi. Badri berlari lebih dulumeninggalkan TKP, dengan ransel lusuh di punggung yang entah berisikan benda apa. Ketika dirasasampai di tempat yang aman, seraya menunggu dua temannya, penasaran iamemeriksa isi ransel itu. Sebuah kotak serupa peti, penasaran ia buka. Hah, iaterbelalak tatkala di peti itu berisikan bermacam perhiasan yang begitu berharga.Intan, berlian, suasa dan sejenisnya. Emas batangan murni, gemerlap tertatarapih mendebar sejuta angan. Kahawatir terjadi sesuatu, segera aset berhargaitu tergesa ia benahi dan ransel pun kembali digendong

Demi teman seperjuangan harta ini harus dibagitiga, dan ini telah sesuai karena memangkita bekerja bertiga. Tapi apakah Warlan dan Misran setuju? Iya, pasti merekasetuju, bukankah keduanya dalam tindak-tanduk selalu bergantung padadirinya? Tapi entahlah, sebab misisebelumnya dengan membunuh Kolonel Vanderland dan merampas hartanya tiada lainuntuk modal perjuangan. Para pejuang lain yang tengah dalam kesulitan dankelaparan perlu sumbangan. Tapi kenapa di hatinya jadi punya niat untukmembelot dari tujuan?

Kedua temannya memang selalu patuh pada dirinya. Tapi kepatuhan itutentunya dalam hal kebenaran dan kejujuran. Sedangkan ini bentuk kerakusan.Kalau keduanya menolak tentu kerunyaman yang didapat. Dan itu merupakan suatupenyakit yang harus ditumpas! Ya, keduanya harus dienyahkan jika tak sehaluan.Begitulah Badri berangan, lalu ia duduk pada sebuah tunggul.

Kedua orang yang jadi pergunjingan batinnyatiba-tiba muncul dengan nafas terengah. Tampak keringat bercucuran, rasa lelah dan bercampur kepuasan. BahkanMisran sampai menghempas-hempaskan tubuhnya ke tanah. Tangannya bersimbahdarah, bekas pembunuhan yang tak lama terjadi. Si Kolonel Vanderland telahbinasa!

Kemudianmereka saling rangkul, saling dekap. Luapan kegembiraan karena tindakkannyayang berjalan mulus.

“Cobalah buka Dri, apa isi dari peti itu..,” kata Misran penuh rasapenasaran.

“Buka saja sendiri, Ran!” ujarBadri yang sudah tahu isinya seraya melempar ransel berat itu. Tak beda denganBadri, Warlan dan Misran pun tercengang melihat isi peti itu. Jantung keduanyaberdegup. Setelah mampu menguasai diri, satu dua kepingan emas itu diciumnyapenuh suka cita.

Melihat keduanya Badri hanya tersenyum, hatinya harap-harap cemas.Kadang tak bisa diam. Melangkah tegang ke sana kemari. Menjamak rumput, digigitdan dikunyah menahan gugup dalam pandangan. Bertautkah mereka dengan ide praktis keberuntungan ini? Rasanya takmungkin menolak. Bodoh, rezeki sudah di tangan kalau ditolak. Badri terusmengukir strategi agar meraih prestasi gemilang di otak kotornya.

“Lan, Ran,” Badri berucap pelan menggeram. “Selain puji syukur pada YangAgung, kita bertiga harus bangga karena mampu menjadi pejuang yang gigih. Taksatu pun suatu rencana kita yang pernah gagal. Setiap tindakkan selalu membuahkanhasil dan mengena sasaran. Tempo hari kita mampu menghadang musuh , berlanjutmenculik Kapten Nymilbosh dari baraknya. Dan apa yang barusan terjadi, lebihdari sekedar prestasi gemilang. Sedikit membusungkan dada pun wajar karenakebersamaan kita.”

Warlan dan Misran antusias mendengarkan Badri bertutur kata. Bak sebuahwejangan yang bijak dari seorang panutan.

“Kenapa perjuangan kita selalu mulus, tiada lain dan tiada bukan karenaridhaNya. Diridoi karena berjuang di jalan yang benar. Tak rela tanah air inidijarah penjajah, tak sudi bumi pertiwi ini dijamak

orang luar. Selain itu…,” tiba-tiba Badri berhenti berujar. Dahinya berkerenyit,seolah memikirkan sesuatu. Baru setelah beberapa saat kemudian ia melanjutkanperkataannya.

“Dengan keberhasilan merampas harta ini, dalam waktu tak lama kitabertiga akan menjadi orang yang kaya mendadak!”

Warlan dan Misran tiba-tiba tersentak mendengar perkataan terakhirBadri. Tersentak campur kaget. Seribu tanya, antara percaya dan tidak, semuanyabercampur galau di dada. Omongan Badri yang melenceng itu bak suara petir disiang bolong. Walau cuma pribahasa namun pada akhinya mereka tiba-tibamerasakannya. Keduanya saling tatap.

Danangin pun berkesiut dari utara, mengabarkan gumpalan jelaga di benak mereka.

Badri.Sang ujung tombak perjuangan gamang gemetar, cemas karena tak sampai menujusasaran. Raut wajahnya berubah-ubah. Adasesal dan kesal. Sesal dengan ucapan tanpa sambutan. Kesal karena misinyadianggap mainan. Keberanian dan keraguan berebut di tengah harap. Munculkepasrahan, mau ngerti syukur dan membodohkan diri jangan. Macan yang bersiagadatang kucing jadi kawan, datang banteng jadi lawan. Matanya beringas, bergulirke kiri dan kanan. Namun yang seolah pesakitan itu membisu seribu basa,berdebat hati beribu tanya, lelaki ini tak tahan memendam kata.

“Kenapa kalian semuanya diam diajak bicara, apa tidak mendengar?”

“Bukan. Tapi karena tidak mengerti.”

“Hah, tidak mengerti? Mananya yang tidakmengerti?”

“Tidak mengerti perkataanmu. Telingaku yang rusak ataukah lidahmu yangsalah?”

“Perkataan yang mana?”

“Itu..soal kita bertiga yang bakal kaya mendadak.”

“Ooh itu, memang tak salah!”

“Ya… tapi aku tak mengerti, bakal kaya mendadak dari jalan mana?” Warlandan Misran sebenak pertanyaan. Melihat itu Badri tertawa ngakak dan telunjuknyaikut berulah.

“Dasar otak udang. Harta yang ini dibagi tiga, tahu? Lantas dengan sembunyi-sembunyi jual ke cina. Atau timbun dulu!”

Kedua teman itu berdiam.

“Dibagi tiga, siapa saja orangnya?”

“Warlan, Misran, dan saya..!”

Namun keduanya tak setuju dengan gagasan itu. Di hati keduanya, percumaberjuang berbulan-bulan kalau pada akhirnya jadi penghianat. Kasihan banyakpejuang lain dan rakyat yang lapar. Kalau akan terjadi begini buat apa dulu mauterjun menjadi pejuang? Begitu pemikiran keduanya yang didengar Badri. Lagipula harta rampasan itu inti sebenarna milik bangsa kita sendiri yang daripemerasan tenaga dan pengorbanan nyawa. Karenanya kita tak perlu merasa rugiuntuk memberikan harta ini kepada yang punya khak. Bukankah dulu tekad kitaberjuang tanpa pamrih? Warlan dan Misran mencerca Badri tanpa segan. Bahkankeduanya menyuruh Badri membaca istigfar. Karuan saja lelaki itu merah mukanya.Antara malu dan kesal ia bermuram durja.

“Dasar kalian berotak bodoh. Tak tahu diuntung. Dengarlah Lan, Ran, perampasanharta berharga ini tak ada yang tahu, jadi kamu-kamu tak usah khawatir dantakut. Lagi pula perlu berpikir jernih, untuk memiliki harta ini bukan suatukerakusan atau penghianatan, tapi ini setimpal dengan pengorbanan. Coba pikir,coba rasakan, selama perjuangan dalam hidup ini kalian sudah punya apa? Takpunya apa-apa bukan? Juga nantinya belum tentu pemerintah memberi jaminan hidupkepada kita selain hanya berucap syukur dan terimakasih di balik jiwanya yangkorup. Jadi kesimpulannya harta ini harus dibagi tiga demi kehidupan kita kedepan yang gemilang. Ngerti tidak?”

Keduanyatetap bersikukuh. Tak akan terima keputusan itu.

Bersamaan pada itu, langit yang semula cerlang cemerlang. Mendadakberubah gumpalan awan yang pekat, sepekat pemikiran mereka. Berbulan, bertahunpenuh kebersamaan, pahit sama-sama, manis sama pula, di saat itu harus berpisahkarena berbeda haluan. Pemikiran mereka sungguh jauh bersebrangan.

“Kalian semua goblok! Tak tahu diuntung, kekayaan dan kesenangan sudahdi depan mata malah ditolak. Apakah kalian lebih senang sengsara?” Badri tak sungkan berkata-kata geram.

Kepekatanlangit adalah kepekatan jiwanya. Gelap terus menyergap. Tak ingat sobat, takingat teman seperjuangan. Kawan itu berubah lawan yang harus dikalahkan.Hatinya tumbuh murka dan angkara. Doorr….! door…! Warlan dan Misran jadi sasaranpeluru. Keduanya ambruk. Bahkan Warlan tak sedikit pun bergerak, sekejapnyawanya lenyap. Beda dengan Warlan, walau terbata-bata Misran mampu berucap.“Tak sedikit pun aku sangka kau akan berbuat durja. Dan hati-hatilah kawan,menanam kacang tak akan menjadi timun. Serapi apa pun aib kau sembunyikan,Allah Maha Tahu, suatu saat perbuatanmu akan terbongkar. Allahu Akbaaarr….!” Dan ia menghembuskan nafas terakhirnyamenyusul Warlan.

Hidup tergantung apa yang ditanamkan. Sedebu perbuatan tak akan luput dari perhitungan. Selihai apa pun akting demi menutupi kejahatan, toh akan terbongkar pula. Badri yang selama 35 tahun dimanja dengan harta, tahta dan wanita, kini pestaitu akan berakhir ketika seorang tamu bertandang ke rumahnya.***@





*OtangK.Baddy, penulis serabutan , tinggal di Pangandaran.




Suka · Komentari · Bagikan

Ainil Huri, Dadan Supardan dan 23 orang lainnya menyukai ini.

Nina Rahayu Nadea Hem, kabita lah ku abah. Cerpenna dimuat. Hiks...hiks...hiks
4 Juni 2013 pukul 16:24 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Ah lumayan wae daripada ngangin sareng ngasin mah. Komo Ibu mah langkung produktif batan abah, nyerat teh nanjung di dua bahasa..
4 Juni 2013 pukul 16:39 · Suka
Sam Edy makasih udah ditag, aku copas dulu, ntar baca di rumah ya, selamat selamat ditunggu traktirannya sate madura, colek Ibunda Muna Masyari...
4 Juni 2013 pukul 16:39 · Suka
Virgorini Dwi Fatayati Wah keren nih...bagus
4 Juni 2013 pukul 16:46 · Suka
Otang K Baddy Ini cerpen bertele-tele Sam Edy, cerpen lama yang lama menggelandang dan terbentur di sejumlah tembok redaktur. Mohon maaf jika banyak kata yg tak sikron. Jangan colek Bunda Muna Masyari ah, malu dan takut digeplak..hehe
4 Juni 2013 pukul 16:49 · Suka
Otang K Baddy Mungkin hanya judulnya saja yg keren Virgorini Dwi Fatayati
4 Juni 2013 pukul 16:50 · Suka
Virgorini Dwi Fatayati Aeh saya sudah baca isinya kok....bagus...
4 Juni 2013 pukul 16:58 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Begitu memang adanya Virgorini Dwi Fatayati, tak ada yang unik..maaf karyaku tak sekeren karya anda tentunya hehe..
4 Juni 2013 pukul 17:01 · Suka
Teguh Afandi Selamat abah.... Tapi baru dilike. Belum dibaca... Soale pakai hape
4 Juni 2013 pukul 18:25 · Batal Suka · 1
Junaidi Khab mantap...
4 Juni 2013 pukul 18:30 · Suka
Yatti Sadeli Hebat Abah, nembe diaos ..... sae pisan isina. Nuhunnya tos di tag. Eh judulna keren.
4 Juni 2013 pukul 18:35 · 1
Sihabuddin Cakep keren
4 Juni 2013 pukul 19:23 · Batal Suka · 1
Nur Latifah trimakasih ikutan ditag, selamat Abah, makin cetar aja nih..ditunggu tagnya lagi..kiki emotikon
4 Juni 2013 pukul 19:41 · Batal Suka · 1
Helatini Hela sippp, kbitaaa tapi teu mampu nurutan
4 Juni 2013 pukul 19:51 · Suka
Otang K Baddy Teguh Afandi makasih, mohon maf cerpennya masih acakadut. tentu banyak kata yg tak sikron..maaf
4 Juni 2013 pukul 19:57 · Suka
Otang K Baddy Yatti Sadeli, muhun judulna wungkul nu sae, eusina mah teu aya pestaan..
4 Juni 2013 pukul 19:58 · Suka
Otang K Baddy Nur Latifah, ya, semoga kita biisa mengarah ke karya yg lebih baik..
4 Juni 2013 pukul 19:59 · Suka
Otang K Baddy Helatini Hela, apan tos ngintun waktos harita ka Suara Daerah, mugi engal dimuat
4 Juni 2013 pukul 23:01 · Suka
Helatini Hela duka teuing sajak da,
4 Juni 2013 pukul 23:03 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Insa Allah dimuat, masalahnya terbit bulanan
4 Juni 2013 pukul 23:08 · Suka
Helatini Hela doakeun we,
4 Juni 2013 pukul 23:09 · Batal Suka · 1
Cipta Arief Wibawa cerpennya cukup menarik Mas smile emotikon
senang sudah di-tag.
5 Juni 2013 pukul 6:14 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Ya, sekedar memecah kebekuan imaji Bang Cipta Arief Wibawa hehe
5 Juni 2013 pukul 8:11 · Suka
Ida Refliana Maaf, Bah, belum sempat baca. Banyak cucian kotor, sumur kering lagi. Terimakasih tag-nya... smile emotikon
9 Juni 2013 pukul 8:42 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Gk apa-apa mba Ida Refliana, cerpennya jelek,tak beda jauh dengan yang dimuat di Pikiran Rakyat hari ini
9 Juni 2013 pukul 13:25 · Suka
Ida Refliana Uhuyy... Mantraaapppp! Sukses terus buat abah like emotikon
9 Juni 2013 pukul 14:04 · Batal Suka · 1
Meydiana Suandi Kang Otang K Baddy, selamaaat yaaaa....hari ini di PR....
9 Juni 2013 pukul 14:56 · Batal Suka · 1
Helatini Hela selamat makin eksis aja
11 Juni 2013 pukul 1:28 · Batal Suka · 1