Cerpen Raedu Basha
(Kedaulatan Rakyat 18 Januari 2015)
Juni 1999
Janadin.
Lelaki berkumis tebal itu merasa degup
jantungnya tak berdetak. Matanya bersemburat merah seketika, duduk
bersila di antara hadirin yang melingkar di mihrab masjid. Sebuah upacara
pernikahan tak biasa akan dilaksanakan.
Dia
menatap runcing seorang anak muda yang mengenakan setelah jas-sarung rapi tak
ubahnya mempelai pria. Santab. Ia penolong Janadin dari sial. Tetapi sial itu
kini seolah pekat langit kembali burat, dan menjadi. Kecemburuan bergejolak.
Batin
Janadin berteriak, ”Tidak! Ini cuma helah. Bagiku hanya pernikahan
dusta.” Mata merahnya kemudian menatap seorang perempuan yang tengah duduk
menunduk. Perempuan itu berdandan kebayasampir, penampilan janda Madura dalam
pernikahannya, gaun dan tatarias lebih apa adanya. Perempuan itu adalah Sanah,
janda Janadin.
Ingin saja
Janadin pergi dari acara itu, tak kuasa
hati tergolak cemburu. Namun apa daya, justru dia pengupaya
pernikahan dilangsungkan, demi menolong nasibnya sendiri.
Janadin
kini sedingin batu. Diam. Menahan kecamuk sendiri.
Maret 1993
Umurnya 26
tahun kala itu, Janadin memang tak lagi perjaka. Dia pernah menikah tapi tak
langgeng karena Janadin kepergok selingkuh. Dan pada suatu kesempatan yang tak
disengaja, dia berjumpa gadis yang membuatnya tak dapat tidur. Sanah. Lelaki
itu merasa dirinya seolah Poday bersua Potre Koneng dalam legenda cinta Soengenep.
Seminggu
berikutnya, Janadin berjumpa lagi. Sebagai bajingan dia paham gengsi, bagaimana
mesti tampak dingin pada wanita, berdeham tanpa kata di hadapan Sanah. ”Biarkan
aku yang membayar semua belanjaanmu hari ini!” ucap Janadin seraya mengeluarkan
dompet di kantong gombor-nya. Dompet hasil mencopet.
Sanah
kaget akan kehadiran Janadin.
”Kalangkong.”
Malu-malu dan tersenyum. Ronarona segar membias dalam gurat pipi gadis desa itu
saat senyum, membuat jantung Janadin tergetar dan tambah tergoda untuk lebih
mengenalnya.
”Ah, biasa
saja,” sahut Janadin, ”Oya, apa ada yang mengantarmu pulang? Kalau tak ada,
biar anak buahku mengantarmu.” Janadin anggak menawarkan jasa.
Sanah tak menggubris.
”Alangkah
mahalnya Potre Koneng ini!” batin Janadin. Tak sekali gadis itu menoleh atau
balas menatapnya lewat lirikan yang menancap relung Janadin. Sebagai duda,
namun kala itu tergolong muda, dia kesal. Tapi sadar bahwa gadis itu
menakjubkannya.
Juli 1996
Janadin
sadar, dirinya hanya lelaki desa biasa yang kerjanya tak tentu. Bekerja di
tegal tak. Kuli juga tak. Sesekali bekerja bila butuh uang banyak. Sekiranya
mendesak bisa saja memeras. Nyopet adalah termudah baginya.
Sekian lama Sanah tak menggubris bila disapa.
Di pasar,
di jalan, atau di mana pun. Tapi tekadnya bulat, Janadin memberanikan diri datang
ke rumah Sanah dan langsung meminang gadis itu pada orang tuanya. Tapi sial,
Ayah Sanah malah membusungkan dada dan mengatai Janadin dengan keserapahan:
”Katak
buntung! Berandal, silsilahmu tak jelas mirip udang sungai!”
Nyalinya
carut. Bahkan Janadin digiring oleh anak buah juragan tembakau itu, dikaparkan
ke sawah.
Pada hari
pasaran berikutnya tiba-tiba Sanah
melambaikan tangan dari jauh. Janadin setengah tak
percaya melihat sikap ”Potre Koneng”-nya itu. Sanah
mengajak duduk di bawah pohon siwalan yang rindang
tepi pagar pasar, di mana tampak ujung-ujung
batang pohon jagung berayunan di ladang.
”Maafkan
atas sikap bapakku, Cak,” kata Sanah terbata. Dan sapaan ”cak” membuat dada
Janadin berdegub. ”Aku tahu kau datang ke rumahku. Aku senang kau meminangku,
Cak....” Janadin terbelalak menelan ludah di tenggorokan, dia pun tahu Sanah menyukainya.
Tapi dia tak bicara, hanya bisa menatap paras gadis itu yang pucuk-pucuk
kerudungnya berkelebat disapu udara. Sanah juga terdiam, matanya dilempar ke
ujung-ujung jagung yang terus berayun. Janadin mengangguk pelan. Jari-jemari
tangan gadis itu diraihnya, digenggam erat. Pada satu sisi dia geram atas sikap
ayah Sanah, di sisi lain dia tak dapat menggambarkan gayung bersambut
perasaannya.
Setelah
hari itu, Janadin sering menemui Sanah, terutama di pasar. Mereka merajut
tangkai asmara. Dan lelaki itu lebih serius memikirkan bagaimana cara
mendapatkannya secara sah dan halal. Dia tak ingin terus menduda. Juga
sebagaimana tradisi orang Madura sangat mengagungkan adat-agama, termasuk
urusan cinta. Pacaran tak boleh lama-lama. Begitu juga martabat bajingan juga harus dijaga.
Janadin
sekali lagi memberanikan diri ke rumah Sanah. Tapi lagi-lagi. Dia ditindas
lagi. Ingin saja bajing itu menyantet Ayah Sanah. Tetapi Sanah meminta sikap
terbaik Janadin.
Lelaki itu
menemui seorang kiai, minta petunjuk, namun si kiai berfatwa, ”Anak perawan
harus direstui wali.”
Lalu
Janadin bertemu seorang santri muda. Lazimnya santri muda, menyukai fatwafatwa
nyeleneh. Santri itu menyarankan kawin lari ke seberang pulau.
Janadin
membawa Sanah nikah lari, lari ke Banyuwangi dengan wali hakim. Sedangkan di
Madura, orang tua Sanah gelisah akan anak perempuannya yang hilang.
Oktober1996
Keduanya
memutuskan pulang. Setibanya, orang tua Sanah mendamprat Janadin dan
menggunjing pada orang-orang desa bahwa Janadin adalah penculik. Tapi lama-lama
memberi restu namun bersyarat:
”Kau harus
membangun rumah dan memberi emas satu kilogram. Kalau gagal, kau akan tahu
akibatnya. Camkan, anak muda!” ancam Ayah Sanah. Janadin minta izin pada
istrinya untuk merantau, guna memenuhi persyaratan mertuanya. Ditatapnya Sanah,
berlelehan air mata, isak tangis mereka berdua seolah rintih luka yang
bersahutan. Dia peluk istrinya erat.
Seminggu
kemudian, Janadin berangkat merantau ke Sambas Kalimantan.
Desember 1998
Dua tahun
di rantau, bekerja keras sebagai kuli tambang emas, setidak-tidaknya tabungan
upahnya hampir memenuhi syarat mertuanya. Sudah dua kali lebaran tak pulang. Janadin baru menerima kabar dari teman
kerjanya yang baru pulang dari Madura. Katanya, Sanah kangen dan mencemaskan
Janadin. Ada yang mengejutkannya, manakala si teman berkabar, Sanah sedang
hamil muda. Janadin terperanjat mendengar
kabar itu. Antara percaya dan tidak. Lalu dia putuskan mudik secepat mungkin.
Dalam
perjalanan mudik, di atas kapal feri perasaan lelaki itu campur aduk, pasang
mata nanar beradu hawa panas Laut Jawa. Ingin rasanya, bila kabar temannya benar,
sesampainya di Madura, menceraikan Sanah. Karena rupanya Sanah hamil dalam
kurun waktu aneh. Dua tahun dia tinggal tapi baru hamil muda. Tapi dia setengah
yakin bahwa kabar temannya dusta. Tapi bisa juga benar. Dia gelisah.
Manakala
Janadin menapakkan kaki di halaman rumah. Lelaki yang selama Perantauan membiarkan
kumisnya tebal itu menyaksikan Sanah sedang bersenda-tawa dengan seorang pria
muda di teras rumah. ”Sanah, dasar kau istri durhaka!” Spontan kalap tanpa ucap
salam.
Sanah dan
pria muda yang bersamanya sama tersentak, wajah keduanya bagai menyimpan panik dan
tanya. Janadin memandangi perut istrinya: ternyata tak bunting.
”Teganya
kau bermain serong di belakangku. Alaah. Kau menduakanku ketika aku di rantau. Lihatlah,
bersama siapa kau saat ini, hah? Siapa selingkuhanmu itu?” Janadin menuding
telunjuk kirinya ke arah muka pria muda yang sedang bersama Sanah.
Perempuan
itu kaget, suaranya tersengal dan nyaris tak dapat bicara karena kedatangan
Janadin mengguruhkan tuduhan. ”Bu-bukan. Dia, dia keponakanku!” Sanah gugup.
”Jangan
banyak alasan!” sergah Janadin,
”Mungkin
kita lebih baik tak bersama. Biarlah kita cerai saja. Kau kutalak! Talak! Talak
Tiga!” Gunung api emosi meledak murka. Janadin tanpa berpikir jernih. Sanah
menangis keras minta ampun. Janadin tak menolehnya sedikit pun. Meninggalkan
perempuan itu dalam jeritan.
Januari 1999
Tetapi
betapa menyesal Janadin setelah itu!
Sesal ditanggung setelah tahu teman kerjanya sungguh
telah membuat fitnah. Sanah memang pernah
hamil setahun sebelumnya tapi gugur. Dan pria
muda yang bersama Sanah pada saat kedatangannya
dari rantau rupanya keponakannya yang sedang
bertamu, dan Janadin belum kenal. Sedangkan
orangtua Sanah yang galak itu masih menuntut syarat.
Janadin
menyesal telah menalak tiga. Dia menyampaikan salam lewat tetangganya bahwa
suatu hari dia bakal merujuk Sanah. Lalu lelaki itu
kembali ke Sambas. Namun malang, rumahnya telah rata dengan tanah. Konflik Dayak-Madura
bergejolak. Teman kerjanya banyak tewas, termasuk yang memfitnahnya. Tragedi Sambas
berdarah awal 1999. Tak sampai seminggu di rantau, Janadin mudik lagi bersama
rombongan pengungsi, menutup niat kembali ke Sambas. Sesampainya di Madura,
lelaki itu menemui kembali santri muda yang dulu menyarankannya kawin lari,
kini meminta petunjuk lagi: Bagaimanakah cara merujuk istri yang telah dijatuhkan
talak tiga?
Santri
muda yang tak lagi muda itu mengujarkan:
harus ada helah. Si helah harus menikahi si perempuannya dan
melakukan wathi. Setelah itu mantan suami baru boleh rujuk.
Hati
Janadin awalnya merasa berat menerima hukum helah. Tak mungkin
kekasihnya ”dihadiahkan cuma-cuma” pada pria lain, terlebih dalam pernikahan. Tapi
mau tak mau, demi harga diri harus diupayakannya.
Februari 1999
Janadin
mencari seorang pria untuk helah, yang kira-kira tak akan disukai
wanita, apalagi sampai mendapatkan hati Sanah. Hingga dia bertemu Santab, anak
muda dusun sebelah berkaki pincang. Oleh Janadin, Santab diimingi hadiah seekor
kambing. Janadin berpesan padannya, ”Kau janji, Santab. Setelah kau wathi segera
ceraikan Sanah. Ingat, kau hanya perantara rujukan kami.”
Mulanya
Sanah tak mau, karena janda itu masih sakit hati pada Janadin.
Juni 1999
Malam larut
usai acara ijab-kabul. Sial. Janadin melakukan kesalahan. Dia intip malam
pertama Santab dan Sanah melalui celah kayu kamar pengantin mereka, dia saksikan
Santab mulai merengkuh tubuh Sanah di atas ranjang kayu ukiran, yang pada awalnya perempuan itu
enggan.
”Jijik.
Dasar pincang!” teriak Janadin. Meludah. Kesabaran si bajing itu rubuh. Emosi
mengaum. Dia rusak malam pertama pengantin itu. Pintu kayu dilabrak, mengobrak-abrik
isi kamar itu. Membuat sepasang pengantin itu terperanjat. Janadin melemparkan batang
kayu ke arah kepala Santab. Tetapi anak muda pincang itu berlari gesit
terpincang-pincang ke luar....
Janadin
mengejar si helah. ”Santab, terkutuk kau...!” teriaknya mendedah
kesunyian malam. (62)
Catatan:
Helah: bahasa
lisan orang Madura dari istilah
hukum Islam ”muhalil”, yakni orang/perantara yang
menghalalkan pernikahan kembali orang yang telah
jatuh talak tiga. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat
dalam fikih Islam.
Gombor: celana
silat, biasa dipakai blater
Kalangkong: terima kasih
Wathi:
hubungan seksual yang harus dipenuhi
helah sebagai
syarat bolehnya rujuk talak tiga
— Raedu Basha, nama pena dari Badrus
Shaleh, sastrawan dan alumnus Pascasarjana Ilmu
Antropologi Budaya UGM