26 Oktober 2014

Haji Karun

Cerpen: Joe Mawardy (Radar Surabaya 26 Oktober 2014)
       JAUH-JAUH hari sebelum memutuskan hendak mendaftar haji, Karun berulang-ulang kali berpikir, siapkah dirinya berhadapan dengan pembalasan atas dosa-dosanya di tanah  Haram nanti? Menurut kabar orang-orang yang telah pulang
dari menunaikan ibadah haji, di tanah Suci nanti, akan bertemu balasan atas dosa-dosanya sebelum berhaji.
       Mekkah itu kota suci, kota kelahiran nabi terakhir, Muhammad SAW. Madinah itu kota cahaya, tempat orang-
orang berlindung dari kegelapan kaum kafir yang merongrong. Dengan sendirinya  Allah hendak mensterilkan kota- kota pilihan itu dari dosa-dosa dan kemaksiatan manusia. Dan di dua kota inilah orang-orang bertemu balasan atas dosa-dosanya.
      Memang, tidak lantas hukuman seperti yang dibayangkan akan diterima di neraka seumpama di gambar-gambar komik jaman dulu tentang neraka itu. Orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa nanti akan dililit ular besar berlidah api sampai tidak bisa bernapas. Orang yang kikir dan tidak pernah menzakatkan hartanya akan disetrika dengan pemanas api neraka. Orang yang suka berzinah akan dirajam dengan batu-batu berapi neraka. Orang yang suka memamerkan aurat akan digantung kaki di atas kepala di bawah dan di bawahnya api neraka yang panasnya tiada tara berkobar-kobar. Orang yang suka bergunjing akan memakan daging sesame manusia sepanas api neraka. Dan seterusnya jenis-jenis dosa berikut hukuman-hukumannya.
      Tapi tidak akan ada hukuman seperti itu ketika menunaikan ibadah haji. Balasan hukumannya tidak akan sedahsyat itu. Tidak ada keterangan tentang suatu kota di dunia, yang akan menjadi cikal bakal lokasi neraka di hari pembalasan nanti. Termasuk kota yang paling laknat di dunia sekalipun tidak disebutkan akan menjadi calon medan api neraka. Apalagi kota suci Mekkah dan kota cahaya Madinah.
      Hanya saja, dari tahun ke tahun, sejak dahulu, dari kisah-kisah para jamaah haji yang telah pulang dari tanah suci, mereka selalu saja bertemu dengan suatu kejadian yang ditafsirkan sebagai balasan dan hukuman dari dosa yang dilakukan sebelum naik haji ke Baitullah. Pun, orang-orang yang beramal shaleh selama sebelum naik haji akan mendapatkan kemudahan dalam perjalanan dan selama beribadah di tanah suci nantinya. Itu menjadi  reward Allah atas kebaikannya sebagai hamba.
       Begitulah, Karun sempat ragu untuk menunaikan rukun Islam yang terakhir ini. Padahal dirinya sudah mampu. Bukan cuma harta tapi juga tenaga, waktu. Hingga akhirnya Karun memutuskan untuk mendaftar haji bersama istrinya.
       Sebenarnya Karun tidak pernah memiliki dosa besar seperti berzinah, syirik karena mempercayai dukun, durhaka pada orang tua ataupun membunuh. Tidak. Karun juga tidak pernah mencuri. Sejak dulu dirinya sudah sangat berkecukupan sehingga tak ada alasan untuk mencuri. Karun juga bukan pejabat yang sekalipun kaya masih saja suka mencuri uang negara, uang rakyat. Tapi Karun merasa bahwa
dirinya memiliki dosa yang mungkin akan dibalas dengan suatu hukuman entah apa nanti di tanah suci itu. Dosanya itu adalah bakhil alias pelit.
      Bakhil memang sering tidak dianggap sebagai dosa karena toh bakhil/kikir pada milik sendiri, bukan kikir pada milik orang lain. Bakhil juga dianggap tidak merugikan orang. Tapi tetap saja bakhil dalam hal tertentu itu melangar aturan dan ketentuan. Sebab sudah ada peraturan bahwa sekian banyak harta yang dimiliki seseorang haruslah dibayarkan zakatnya sebagai ‘pembersih’ harta itu sendiri. Tepatnya, dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak orang lain sehingga wajib diberikan, begitu menurut ketentuan agama.
     Dan Karun mengetahui betul hal itu. Akan tetapi  ogah melaksanakannya. Karun bahkan berpikir kenapa harus ada peraturan seperti itu? Bukankah peraturan itu hanya akan menambah kemalasan bagi orang yang malas dan merugikan bagi orang yang telah bekerja keras menumpuk harta tapi masih harus dibaginya sekian puluh persen untuk orang lain.
      Karun lupa bahwa di dunia ini orang yang kaya tidak akan ada yang mengakui bahwa orang itu kaya jika tidak ada orang yang miskin. Karun lupa bahwa Allah memberikan peraturan itu agar orang kaya mau berbagi kegembiraan dengan orang yang papa. Dan bertahun-tahun menjadi orang kaya, tetap saja Karun enggan melaksanakan perintah menunaikan  zakat mal itu.
      Kini, ketika hendak ber-haji, Karun masih ketar-ketir, balasan hukuman apakah yang akan diterimanya nanti? Tak satu pun yang dapat dibayangkannya.
       Perjalanan Karun mulai keluar gerbang rumahnya yang megah tak terhalangi oleh aral apapun. Karun juga mendapatkan banyak kemudahan selama di tanah Suci. Mulai urusan maktab (asrama), urusan makan, proses ibadah yang dipandu oleh ketua rombongan, Karun merasa semuanya baik-baik saja.
      Karun terus menunggu dengan waspada. Terutama ketika berada di Mekkah dan Madinah. Sebab, kabarnya, di dua kota ini sering terjadi sesuatu yang aneh atau semacam peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai balasan dosa.
      Karun lantas berpikir bahwa Allah pasti telah mengampuni dosanya sehingga sejak berangkat dari tanah air, selama beribadah sampai kepulangan tak terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.
      Karun ingat beberapa kisah pembalasan dosa itu. Ada tetangganya yang matanya bengkak tanpa sebab selama berada di kota Mekkah. Ketika diingat-ingat, tetangganya itu punya kebiasaan mengintip perempuan mandi di sungai. Ada pula yang selalu kehilangan sandalnya ketika beribadah di masjid Nabawi kota Madinah. Ternyata orang tersebut memang sering menukar sandal usangnya dengan sandal bagus milik jamaah lain di masjid desanya.
       Ada pula temannya yang selalu tersesat ketika hendak pulang ke  maktab, padahal sudah membawa peta yang dibuatnya sendiri. Rupanya temannya itu sangat senang mengelabui istrinya soal ada lembur di kantor padahal dirinya sedang  clubbing dengan teman-temannya dari kafe ke kafe.
       Ada pula seorang tetangga yang berkisah bahwa selama di tanah suci ia kerapkali merasa selalu mencium bau kotoran tahi manusia padahal benda itu tidak terdapat di sekitarnya. Usut punya usut ternyata si tetangga adalah seorang pengusaha ayam petelor yang kotoran ayam-ayamnya ia biarkan berhembus tajam pada tetangganya dan ia tak merasa bersalah sudah mencemari lingkungannya itu.
      Tapi Karun bebas dari semua itu. Bebas sensor. Berarti istighfarnya selama ini diterima oleh Allah. Bukankah Allah menegaskan bahwa sebagian dosa memang bisa dihapus dengan istighfar dan perbuatan yang baik? Di luar soal kikir itu dirinya baik pada sesama. Bukankah itu sudah cukup?
      Hingga dirinya pulang dari haji dan sampai di rumah dengan selamat. Karun amat sangat lega. Berarti selama ini dirinya percuma merasa khawatir dan hendak lari dari kejaran dosa tidak menunaikan zakat harta itu, sehingga selalu menunda keinginannya untuk berangkat haji dari tahun ke tahun. Rukun Islam yang kelima memang telah ditunaikannya meski yang keempat alias zakat harta santai saja dilewatkannya.
      Rupanya manusia tidak perlu lari dari dosa. Cukup membaca istighfar yang banyak pasti diampuni Allah, pasti dihapus dosanya dan bebas hama dari balasan hukuman dalam bentuk apapun. Apalagi kata sebagian orang, selama empat puluh hari pertama seseorang pulang dari ibadah haji, malaikat Rahmat terus menemaninya di sekelilingnya, barokah tanah Suci masih melingkupinya.
       Haji Karun sumringah menerima setiap tamu yang datang ke rumahnya. Banyak nian yang mengucapkan selamat karena telah menggenapi rukunIslam, menyempurnakan hingga kebagian yang paling purna. Teman-teman dekatnya bertanya adakah peristiwa aneh yang dialaminya di sana?
      Sambil tersenyum dikulum haji Karun menjawab dengan penuh wibawa. “Insyaallah jika doa dan istighfar seseorang telah diterima sebagai taubat, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Allah itu maha Rahman maha Rahim, mahapengampun, pengasih dan penyayang”
      Orang-orang pun manggut-manggut. Senyum haji Karun semakin mekar ketika banyak tetangganya mengatakan bahwa wajahnya semakin bersih, seperti ada cahaya dari dalam.
      “Mungkin ibadah Sampeyan diterima, Pak Haji... sampeyan mendapat haji mabrur,” kata seseorang pula.
      “Amin...” ucap haji Karun dengan lega.
Haji Karun ingat ucapan seorang pemuka agama. Jika setelah pulang haji seseorang menjadi lebih baik akhlak dan ibadahnya, berarti ibadah hajinya diterima. Tetapi jika ia kembali melakukan dosa-dosanya yang lama, bisa jadi ibadahnya tertolak. Diam-diam haji Karun berpikir, adakah mulai tahun ini ia akan menunaikan rukun Islam bernama  zakat mal itu?
      Dilihatnya seisi rumahnya yang mentereng dan mewah. Betapa kaya dirinya. Gudang-gudang tembakau dan puluhan ekor ternak yang dari tahun ke tahun menjadi pundi-pundi kesejahteraan bagi keluarganya. Lumbung rejekinya tak pernah kosong tak perduli musim tembakau musim Padi atau sekedar musim  mangga. Belum lagi minimarketnya di kota kecamatan yang terus mengalirkan laba. Rasanya jika ia mau, ia bisa naik haji tiap tahun dan bisa pergi umroh empat kali setahun. Menjadikan tanah suci sebagai kampung halaman kedua, tempat mudik bagi ruhaninya. Jika untuk itu semua tak eman rasanya merogoh kocek. Tapi jika untuk ditabur sebagai zakat?
      Nanti dulu. Kenapa ia harus sedermawan itu? Tiap tahun harus menyerahkan sekian prosen bagi orang lain? Bukankah apa yang diperolehnya adalah hasil jerih payahnya? Bukan harta warisan turun temurun hasil korupsi? Ia baru naik haji satu kali ini. Itu pun dengan ketar-ketir karena takut akan pembalasan dosa tak berzakat.
      Sekarang, dirinya telah berhaji, tak terjadi apa-apa padanya. Orang-orang justru semakin hormat padanya. Mungkin ada baiknya ia mendaftar haji lagi tahun depan. Mungkin juga dua bulan lagi dirinya berangkat umroh. Melepas kangen pada tanah suci. Tak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Untuk apa mengkhawatirkan hal yang tak perlu?
      Seminggu kemudian haji Karun menghubungi biro perjalanan umroh. Ia memutuskan untuk berangkat umroh lebih awal dari rencananya semula. Sehabis musim haji ini ia akan segera berangkat umroh.
      Seminggu berikutnya, sebuah gudang tembakaunya terbakar tanpa diketahui muasal apinya.
 Haji Karun mengalami kerugian ratusan juta rupiah.
(*)
Tanah Berkapur, 2014

22 Oktober 2014

Musim Baratan



Cerpen: Suantoko (Radar Surabaya, 19 Okt 2014)

      Ombak pindah ke daratan.
         Rumah-rumah di bibir pantai, temboknya habis dikikis.
Ya, sampai habis, layaknya kotoran mengambang, dikerikiti ikan keting yang kelaparan.
       Begitu pun kotoran yang menempel di tembok penangkis itu. Bekas
kotoran juga dijilati ikan-ikan keting, hampir tak tersisa. Tembok penangkis, hanya menyisakan karat dan asin di rangka beton. Akibatnya, atap-atap rumah penduduk berdenyut ketakutan. Khawatir ombak ganas tiba-tiba menerjang tengah malam.
         Pukul 01.00 seperti petir menyambar. Gemuruhnya mengalahkan badai di tengah laut. Sementara di daratan, gerombolan keringat dingin berselancar di leher dan kerut kening para penduduk kampung .
Berserak kembali.
Ombak besar dini hari.
Merembeslah airmata Sutiyem.
Anak balitanya tibatiba hilang, usai bermain undur-undur di teras rumah.
Sementara suaminya, berkalikali
menggulung tubuhnya di kamar. Dirundung kegalauan. Berbulan- bulan tak melaut.
Musim baratan seperti ini, ikan di laut pun enggan ke permukaan. Sementara,
dapur dan perut istri–anaknya harus selalu beroperasi tiap hari layaknya mesin kapal.
“Kang! Kang Sakiran! Anak kita
hilang,” teriakan Sutiyem dari teras, usai gebyuran ombak ganas dini hari itu.
Tak kunjung ada jawab. Mungkin teriakannya terhalang oleh gemuruh ombak. Sesekali ia menangis. Anak berusia 4 tahun satu-satunya, entah di mana. Bingung. Sementara, suaminya tak peduli lagi.
“Kang!” serunya masuk rumah bersamaan gempuran ombak dini hari.
“Ada apa kau teriak-teriak. Menangis juga. Berisik! Mengganggu tetangga.
Belum lagi, ombak di laut menerjang atap rumah, sudah membuat pusing. Apa kau tak mengerti. Kepalaku pusing direndam ombak! Kau ini mengganggu saja.”
“Anak kita hilang, Kang?!” jawabnya dalam tangisan.
“Tidak mungkin. Tadi, baru saja bermain
undur-undur, usai aku kencing.”
“Anak kita terseret ombak.”
“Ah, tidak mungkin. Bukankah, penangkis ombak pesisir Tuban, di samping rumah kita sudah kuat. Tidak mungkin
ombak menerjang rumah kita.”
“Tangkisnya jebol, Kang! Kini aku tak
tahu, apa yang harus kulakukan.”
“Janganlah khawatir, istriku. Bukankah ranjang ini masih lebar untuk kita,” jawabnya mengusir kesedihan.
         Hanya debur ombak yang melintaslintas.
Dari luar, ombak semakin gemuruh.
Berlarian ke rumah-rumah penduduk. Sementara, di kamar rumah keluarga Sakiran, semakin menderu kesedihan. Silih berganti dengan gemuruh ombak.
“Fitri anakku. Di mana kamu?”
“Tidak usah risau. Sebentar lagi, Ratu Laut Lor pasti mengembalikan anak kita. Lebih baik, ke sini berbaring di
sampingku. Bukankah musim baratan,
waktunya seranjang?” ucap Sakiran tidak jelas.
“Kamu ngawur1! Mabuk lagi, Kang?
Kang, sudahilah mabukmu! Anak kita
hilang,” dalam tangis mendayu-dayu. Matanya pun berkaca-kaca.
“Siapa yang mabuk? Ah! Kau terlalu
membuat-buat. Ada uang untuk beli rokok dan kopi?”
“Masih sempat kau memikirkan rokok
dan kopi? Berapa pekan kau tidak melaut?”
“Kira-kira 4 pekan,” jawabnya tak acuh, sambil menyilangkan kaki.
“Anak kita hilang, Kang!”
“Anak kita hilang,” pura-pura gugup.
Lanjutnya, “Kita buat lagi. Begitu saja repot. Orang-orang repot saja tidak seperti
itu,” guraunya mengusir kepenatan.
“Kau semakin nglindur2!”
Sutiyem di sudut dipan kembali menangis,
bagai deburan ombak menyantap dinding rumahnya. Airmatanya berlinang
bagai aliran air rob yang menggenang di teras. Malam itu, amukan ombak pasang semakin menjadi-jadi.
Dahsyat! Seperti tsunami. Sama seperti tangis Sutiyem, gemulung berkali-kali,
kemudian pecah di pipinya.
Sakiran kembali mendengkur. Tak
peduli anaknya hilang ataukah di ajak
bertamasya oleh Kanjeng Ratu Laut
Lor. Wajahnya dalam tidur nampak
pasrah menjalani roda kehidupan.
“Kang! Bangun! Bangun, Kang! Apa
kau tidak peduli lagi dengan nasib istri
dan anakmu! Sudah berapa pekan tidak
kau nafkahi. Sementara bawang dan
cabai di dapur, sudah habis. Ditambah
lagi, anak kita sekarang hilang,” dalam
tangisannya.
Sakiran masih berbaring seperti perahu-perahu yang ditambatkan.
Hanya menggulingkan badan sambil bergeliat.
“Bangun untuk apa? Melaut. Saya
harus mencari anak kita ke dasar laut.
Tidak mungkin, cuaca baratan semacam
ini, aku pergi melaut. Apa mau setor nyawa! Lihatlah tetangga-tetangga
kita. Apa lakinya melaut! Pekan
ini enaknya tidur sambil menunggu cuaca membaik,” ungkapnya mendengkus di bantal, kemudian Sakiran
kembali mendengkur.
Kamar berukuran dua meter persegi, seakan sesak. Tersekat di antara tangis
dengan dengkuran. Semakin sempit.
Bahkan, tak ada kesepahaman perasaan di antara dua penghuninya.
Satunya batu karang. Satunya lagi, meluber seperti air rob di teras rumah.
Setiap ombak menyambar dinding rumahnya, menambah risau hati ibu satu
anak itu. Keras sekali menerpa kegugupan
Sutiyem. Kadang ia meceburkan
mukanya ke air. Mengusap-usap wajahnya
dengan air asin. Berharap anaknya
dikembalikan oleh Ratu Laut Lor.
Teras rumahnya tergenang. Berbarengan
dengan pipi Sutiyem yang berkalikali
dialiri airmatanya. “Ke mana kamu, Nak,” gumamnya dalam percikan air rob.
“Mengapa kau tak pulang-pulang?”
Sutiyem rupanya tak sabar. Ia ingin mencari anaknya ke laut. Ketika sampai
di penangkis, ia terhantam ombak.
Daster lusuh, ia kenakan seketika lengket di badan. Sementara, gigi-giginya
menggigil ketakutan.
“Tenang saja, Nak. Emak akan mencarimu.”
Hantaman ombak kedua, tak dihiraukan. Hantaman ombak ketiga, ia menjerit.
“Kang! Tolong Sutiyem,” jeritannya melebihi gemuruh ombak. Tak satu pun menanggapi, termasuk tetangganya.
“Kang Sakiran, mungkin sudah mati,” celetuknya geram.
Dini hari itu, tak satu pun tetangga yang keluar rumah, walaupun Sutiyem menjerit. Seakan dini hari itu bertambah sepi. Percakapan orang-orang melaut tak seperti biasanya. Pukul 02.00 biasanya ramai seperti pasar nelayan di seberang jalan. Di depan rumah biasanya berbaris orang-orang membawa jaring. Sekarang, hanya suara perahu, kadang berbenturan. 
 Thuk, thuk, thuk, suara perahu bergandengan dengan kelebat bendera yang di terjang angin.
Sutiyem menunduk di tepi penangkis ombak, kemudian berlari ke sana kemari. Mengetuk pintu rumah para tetangganya satu per satu. Tidak ada jawab. Ia bingung, lalu pergi ke pos ronda. Ternyata, tidak ada satu pun penjaga malam di situ.
“Ke mana lagi aku meminta bantuan
untuk mencari anakku?” sambil mengoyak rambutnya yang tergerai.
Ombak kembali tenang. Sutiyem pulang, lalu ke kamarnya. Di kamar, iam seakan muak dengan tak acuhnya
Sakiran, suaminya. Lampu petromak yang biasa dinyalakan, bergelantung di matanya. Ia teringat, dini hari biasanya menyalakan lampu untuk persiapan suaminya melaut. Kerinduannya berpekan-pekan, ia jamu dengan mengelus-elus tabungnya, karena agak
berdebu. Ia turunkan dari gantungan. Kain tetoron bekas, ia jadikan lap. Lampu petromak itu, diisi pula dengan minyak tanah. Layaknya, ia tak mau melupakan kebiasaan itu. Kadang gagang pompa ditarik–dorong, sambil mengecek klap, karena sudah 4 pekan tidak disentuh, apalagi dipompa.
Kecemasannya tak kunjung padam.
Ia kembali membangunkan suaminya.
“Kang! Bangun, Kang! Anak kita belum ditemukan.”
“Apalagi! Sudah kubilang, ranjang kita masih luas, kan? Kau dengar tetanggatetangga
kita. Apa ada yang berteriak dini hari? Mereka menikmati musim baratan. Kau tahu kan, musim baratan hanya terjadi tiga bulan dalam setahun. Akankah kita tak merayakannya
“Kau seharusnya mengerti. Situasinya
berbeda, Kang!” bantah Sutiyem dalam sesenggukan.
“Itu hanya alasanmu saja. Apa karena aku tidak melaut, sehingga ranjang ini sempit bagimu?”
       Tangis Sutiyem kembali meluber bersamaan hantaman ombak yang semakin menjadi-jadi. Tak ayal, jika air rob masuk ke kamarnya. Ia pun tak kaget. Memang musim baratan, inilah yang biasa terjadi.
Ombak kembali memuncak, laksana airmata membanjiri pipi halus Sutiyem.
Berulang-ulang ombak berkejaran di teras lalu masuk ke kamar. Air rob dalam kamar sudah selutut. Tidak terasa, kakinya pun tenggelam. Sementara, lampu petromak yang di lantai, hanya terlihat kepalanya.
“Yem. Apakah rumah kita sudah hanyut.”
 Hanya sesenggukan tangis Sutiyem yang menjawabnya.
“Yem! Lampu petromak kita, Yem.”
Airmata Sutiyem bertambah deras.
“Kau gila, Yem! Lampu itu mahal.”
“Kang?” nadanya halus. “Lebih mahal
mana antara lampu petromak ini dengan anak kita?”
“Barang tentu, lebih mahal lampu
petromak itu daripada anak kita.
Lampu petromak butuh minyak tanah,
sedangkan dari pemerintah tidak ada subsidi. Tentu, kita harus membeli mahal. Perlu kau ketahui, anak tidak usah membeli seperti minyak tanah. Bukankah ranjang ini gratis, Yem?”
“Kang! Hati ini perih, layaknya luka
di kakiku, terkena air asin. Masih saja kau bergurau.”
Sakiran hanya membalas senyum gelitik.
“Kang! Apa kau tidak peduli lagi dengan anak kita?” tanya Sutiyem.
“Saya peduli. Bahkan, rencananya mau menambah lagi.”
“Apa kamu bilang? Satu saja tidak kau urus. Anak kita hilang, kau malah menawarkan ranjang untuk menambah lagi?”
“Itu kecerobohanmu, karena anakmu tidak kau kawal.”
“Anakku, kau bilang? Jadi, kau tidak mengakuinya. Anak kita, Kang! Baiklah, aku akan mencari sendiri ke dasar laut,” tegasnya sambil menenteng lampu petromak.
“Yem! Kau jangan gegabah. Ombak laut Lor sedang mengamuk.”
Tiba-tiba ayam petarung milik tetangga sudah berkokok. Fajar mulai menjemput. 
Tangis Sutiyem reda. Sumber airmatanya berhenti menyembur.
Disekanya perlahan, ketika mendengar
suara genteng pecah. Ternyata, anak mereka tidur di atas atap rumah. Itu pun saran bapaknya, Sakiran. Dia khawatir kalau ombak besar menghanyutkan anaknya. Musim baratan memang rawan. Bukan hanya perahu saja, kemungkinan besar, anak-anak pun ikut tersambar ombak, kalau orang tua tidak waspada.
“Yem, apa kau tidak peka atas kelakuanku?” kata Sakiran. Tambahnya,
“Yem, ini musim baratan. Tentunya ranjang kita bertambah lebar.”
“Iya. Kang. Sutiyem tahu. Tapi dapur kita kosong. Nanti, kita mau makan apa? Sementara, Fitri, baru saja kita temukan.”
“Kita puasa,” bisikan Sakiran penuh hasrat atas ranjangnya.
“Mengapa tidak sekarang saja, kita memulai puasa, Kang,” kekesalah Sutiyem sambil menarik nafas sesenggukan.
“Kurang ajar!’ celetuk Sakiran (*)

10 Oktober 2014

Heboh Seorang Pria di Jawa Timur Menikah dengan Makhluk Halus!

  • Heboh Seorang Pria di Jawa Timur Menikah dengan Makhluk Halus! Heboh Seorang Pria di Jawa Timur Menikah dengan Makhluk Halus!
     
DREAMERSRADIO.COM - Tak masuk akal memang saat mendengar bahwa manusia menikah dengan sesosok makhluk halus, namun inilah yang terjadi di Ngawi, Jawa Timur di mana seorang kakek berusia 63 tahun menikah dengan makhluk halus yang diklaim sebagai peri bernama Roro Setyowati.
Dikarenakan ini merupakan sebuah kejadian yang tak lazim, pernihakan ini pun dikemas sebagai bentuk seni yang disebut sebagai seni kejadian atau ‘Happening arts’. Pria bernama Bagus Kodok Ibnu Sukodok ini dijelaskan oleh seorang seniman pantomim asal Yogyakarta, Jemek Supardi sebagai sebuah wujud budaya pernikahan adat Jawa.
Meski tak bisa dilihat dengan mata, namun upacara pernikahan Eko Kodok dengan Roro Setyowati ini berhasil ditonton oleh ribuan pasang mata. "Unsur budayanya oke, bisa menyerap banyak penonton. Tapi ini kan absurd, konsep imajinasi, jadi ya tidak bisa ditonton dengan kasat mata," tutur Jemek, seperti dikutip dari Kompas.com.
Eko Kodok meresmikan hubunganya dengan mahluk astral bernama Peri Roro Setyowati setelah sebelumnya saling bertemu beberapa tahun yang lalu. Dalam sebuah kunjungan ke Alas Ketangga di daerah Paron, Ngawi, Bagus Kodok buang air besar di sungai dan ditegur oleh Peri Setyowati, seperti dikutip dari Merdeka.
Menurut Jemek, pernikahan manusia dengan makhluk halus diterima atau tidak oleh masyarakat bukanlah sebuah persoalan, namun yang terpenting adalah bagaimana mempersembahkan sebuah karya seni. Tak hanya warga biasa, pernikahan ini pun bahkan disaksikan oleh pejabat pemerintahan di Ngawi. Wah, ada-ada saja ya..
(Kompas/Merdeka/ctr)