Cerpen: Joe Mawardy (Radar Surabaya 26 Oktober 2014)
JAUH-JAUH hari sebelum memutuskan hendak mendaftar haji, Karun berulang-ulang kali berpikir, siapkah dirinya berhadapan dengan pembalasan atas dosa-dosanya di tanah Haram nanti? Menurut kabar orang-orang yang telah pulang
dari menunaikan ibadah haji, di tanah Suci nanti, akan bertemu balasan atas dosa-dosanya sebelum berhaji.
Mekkah itu kota suci, kota kelahiran nabi terakhir, Muhammad SAW. Madinah itu kota cahaya, tempat orang-
orang berlindung dari kegelapan kaum kafir yang merongrong. Dengan sendirinya Allah hendak mensterilkan kota- kota pilihan itu dari dosa-dosa dan kemaksiatan manusia. Dan di dua kota inilah orang-orang bertemu balasan atas dosa-dosanya.
Memang, tidak lantas hukuman seperti yang dibayangkan akan diterima di neraka seumpama di gambar-gambar komik jaman dulu tentang neraka itu. Orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa nanti akan dililit ular besar berlidah api sampai tidak bisa bernapas. Orang yang kikir dan tidak pernah menzakatkan hartanya akan disetrika dengan pemanas api neraka. Orang yang suka berzinah akan dirajam dengan batu-batu berapi neraka. Orang yang suka memamerkan aurat akan digantung kaki di atas kepala di bawah dan di bawahnya api neraka yang panasnya tiada tara berkobar-kobar. Orang yang suka bergunjing akan memakan daging sesame manusia sepanas api neraka. Dan seterusnya jenis-jenis dosa berikut hukuman-hukumannya.
Tapi tidak akan ada hukuman seperti itu ketika menunaikan ibadah haji. Balasan hukumannya tidak akan sedahsyat itu. Tidak ada keterangan tentang suatu kota di dunia, yang akan menjadi cikal bakal lokasi neraka di hari pembalasan nanti. Termasuk kota yang paling laknat di dunia sekalipun tidak disebutkan akan menjadi calon medan api neraka. Apalagi kota suci Mekkah dan kota cahaya Madinah.
Hanya saja, dari tahun ke tahun, sejak dahulu, dari kisah-kisah para jamaah haji yang telah pulang dari tanah suci, mereka selalu saja bertemu dengan suatu kejadian yang ditafsirkan sebagai balasan dan hukuman dari dosa yang dilakukan sebelum naik haji ke Baitullah. Pun, orang-orang yang beramal shaleh selama sebelum naik haji akan mendapatkan kemudahan dalam perjalanan dan selama beribadah di tanah suci nantinya. Itu menjadi reward Allah atas kebaikannya sebagai hamba.
Begitulah, Karun sempat ragu untuk menunaikan rukun Islam yang terakhir ini. Padahal dirinya sudah mampu. Bukan cuma harta tapi juga tenaga, waktu. Hingga akhirnya Karun memutuskan untuk mendaftar haji bersama istrinya.
Sebenarnya Karun tidak pernah memiliki dosa besar seperti berzinah, syirik karena mempercayai dukun, durhaka pada orang tua ataupun membunuh. Tidak. Karun juga tidak pernah mencuri. Sejak dulu dirinya sudah sangat berkecukupan sehingga tak ada alasan untuk mencuri. Karun juga bukan pejabat yang sekalipun kaya masih saja suka mencuri uang negara, uang rakyat. Tapi Karun merasa bahwa
dirinya memiliki dosa yang mungkin akan dibalas dengan suatu hukuman entah apa nanti di tanah suci itu. Dosanya itu adalah bakhil alias pelit.
Bakhil memang sering tidak dianggap sebagai dosa karena toh bakhil/kikir pada milik sendiri, bukan kikir pada milik orang lain. Bakhil juga dianggap tidak merugikan orang. Tapi tetap saja bakhil dalam hal tertentu itu melangar aturan dan ketentuan. Sebab sudah ada peraturan bahwa sekian banyak harta yang dimiliki seseorang haruslah dibayarkan zakatnya sebagai ‘pembersih’ harta itu sendiri. Tepatnya, dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak orang lain sehingga wajib diberikan, begitu menurut ketentuan agama.
Dan Karun mengetahui betul hal itu. Akan tetapi ogah melaksanakannya. Karun bahkan berpikir kenapa harus ada peraturan seperti itu? Bukankah peraturan itu hanya akan menambah kemalasan bagi orang yang malas dan merugikan bagi orang yang telah bekerja keras menumpuk harta tapi masih harus dibaginya sekian puluh persen untuk orang lain.
Karun lupa bahwa di dunia ini orang yang kaya tidak akan ada yang mengakui bahwa orang itu kaya jika tidak ada orang yang miskin. Karun lupa bahwa Allah memberikan peraturan itu agar orang kaya mau berbagi kegembiraan dengan orang yang papa. Dan bertahun-tahun menjadi orang kaya, tetap saja Karun enggan melaksanakan perintah menunaikan zakat mal itu.
Kini, ketika hendak ber-haji, Karun masih ketar-ketir, balasan hukuman apakah yang akan diterimanya nanti? Tak satu pun yang dapat dibayangkannya.
Perjalanan Karun mulai keluar gerbang rumahnya yang megah tak terhalangi oleh aral apapun. Karun juga mendapatkan banyak kemudahan selama di tanah Suci. Mulai urusan maktab (asrama), urusan makan, proses ibadah yang dipandu oleh ketua rombongan, Karun merasa semuanya baik-baik saja.
Karun terus menunggu dengan waspada. Terutama ketika berada di Mekkah dan Madinah. Sebab, kabarnya, di dua kota ini sering terjadi sesuatu yang aneh atau semacam peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai balasan dosa.
Karun lantas berpikir bahwa Allah pasti telah mengampuni dosanya sehingga sejak berangkat dari tanah air, selama beribadah sampai kepulangan tak terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.
Karun ingat beberapa kisah pembalasan dosa itu. Ada tetangganya yang matanya bengkak tanpa sebab selama berada di kota Mekkah. Ketika diingat-ingat, tetangganya itu punya kebiasaan mengintip perempuan mandi di sungai. Ada pula yang selalu kehilangan sandalnya ketika beribadah di masjid Nabawi kota Madinah. Ternyata orang tersebut memang sering menukar sandal usangnya dengan sandal bagus milik jamaah lain di masjid desanya.
Ada pula temannya yang selalu tersesat ketika hendak pulang ke maktab, padahal sudah membawa peta yang dibuatnya sendiri. Rupanya temannya itu sangat senang mengelabui istrinya soal ada lembur di kantor padahal dirinya sedang clubbing dengan teman-temannya dari kafe ke kafe.
Ada pula seorang tetangga yang berkisah bahwa selama di tanah suci ia kerapkali merasa selalu mencium bau kotoran tahi manusia padahal benda itu tidak terdapat di sekitarnya. Usut punya usut ternyata si tetangga adalah seorang pengusaha ayam petelor yang kotoran ayam-ayamnya ia biarkan berhembus tajam pada tetangganya dan ia tak merasa bersalah sudah mencemari lingkungannya itu.
Tapi Karun bebas dari semua itu. Bebas sensor. Berarti istighfarnya selama ini diterima oleh Allah. Bukankah Allah menegaskan bahwa sebagian dosa memang bisa dihapus dengan istighfar dan perbuatan yang baik? Di luar soal kikir itu dirinya baik pada sesama. Bukankah itu sudah cukup?
Hingga dirinya pulang dari haji dan sampai di rumah dengan selamat. Karun amat sangat lega. Berarti selama ini dirinya percuma merasa khawatir dan hendak lari dari kejaran dosa tidak menunaikan zakat harta itu, sehingga selalu menunda keinginannya untuk berangkat haji dari tahun ke tahun. Rukun Islam yang kelima memang telah ditunaikannya meski yang keempat alias zakat harta santai saja dilewatkannya.
Rupanya manusia tidak perlu lari dari dosa. Cukup membaca istighfar yang banyak pasti diampuni Allah, pasti dihapus dosanya dan bebas hama dari balasan hukuman dalam bentuk apapun. Apalagi kata sebagian orang, selama empat puluh hari pertama seseorang pulang dari ibadah haji, malaikat Rahmat terus menemaninya di sekelilingnya, barokah tanah Suci masih melingkupinya.
Haji Karun sumringah menerima setiap tamu yang datang ke rumahnya. Banyak nian yang mengucapkan selamat karena telah menggenapi rukunIslam, menyempurnakan hingga kebagian yang paling purna. Teman-teman dekatnya bertanya adakah peristiwa aneh yang dialaminya di sana?
Sambil tersenyum dikulum haji Karun menjawab dengan penuh wibawa. “Insyaallah jika doa dan istighfar seseorang telah diterima sebagai taubat, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Allah itu maha Rahman maha Rahim, mahapengampun, pengasih dan penyayang”
Orang-orang pun manggut-manggut. Senyum haji Karun semakin mekar ketika banyak tetangganya mengatakan bahwa wajahnya semakin bersih, seperti ada cahaya dari dalam.
“Mungkin ibadah Sampeyan diterima, Pak Haji... sampeyan mendapat haji mabrur,” kata seseorang pula.
“Amin...” ucap haji Karun dengan lega.
Haji Karun ingat ucapan seorang pemuka agama. Jika setelah pulang haji seseorang menjadi lebih baik akhlak dan ibadahnya, berarti ibadah hajinya diterima. Tetapi jika ia kembali melakukan dosa-dosanya yang lama, bisa jadi ibadahnya tertolak. Diam-diam haji Karun berpikir, adakah mulai tahun ini ia akan menunaikan rukun Islam bernama zakat mal itu?
Dilihatnya seisi rumahnya yang mentereng dan mewah. Betapa kaya dirinya. Gudang-gudang tembakau dan puluhan ekor ternak yang dari tahun ke tahun menjadi pundi-pundi kesejahteraan bagi keluarganya. Lumbung rejekinya tak pernah kosong tak perduli musim tembakau musim Padi atau sekedar musim mangga. Belum lagi minimarketnya di kota kecamatan yang terus mengalirkan laba. Rasanya jika ia mau, ia bisa naik haji tiap tahun dan bisa pergi umroh empat kali setahun. Menjadikan tanah suci sebagai kampung halaman kedua, tempat mudik bagi ruhaninya. Jika untuk itu semua tak eman rasanya merogoh kocek. Tapi jika untuk ditabur sebagai zakat?
Nanti dulu. Kenapa ia harus sedermawan itu? Tiap tahun harus menyerahkan sekian prosen bagi orang lain? Bukankah apa yang diperolehnya adalah hasil jerih payahnya? Bukan harta warisan turun temurun hasil korupsi? Ia baru naik haji satu kali ini. Itu pun dengan ketar-ketir karena takut akan pembalasan dosa tak berzakat.
Sekarang, dirinya telah berhaji, tak terjadi apa-apa padanya. Orang-orang justru semakin hormat padanya. Mungkin ada baiknya ia mendaftar haji lagi tahun depan. Mungkin juga dua bulan lagi dirinya berangkat umroh. Melepas kangen pada tanah suci. Tak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Untuk apa mengkhawatirkan hal yang tak perlu?
Seminggu kemudian haji Karun menghubungi biro perjalanan umroh. Ia memutuskan untuk berangkat umroh lebih awal dari rencananya semula. Sehabis musim haji ini ia akan segera berangkat umroh.
Seminggu berikutnya, sebuah gudang tembakaunya terbakar tanpa diketahui muasal apinya.
Haji Karun mengalami kerugian ratusan juta rupiah.
(*)
Tanah Berkapur, 2014