8 Desember 2014

Sepotong Sayap Teronggok di Pinggiran Kali Baya

Cerpen Dadang Ari Murtono (Radar Surabaya 7 Desember 2014)

Di pinggir Kali Baya, hanya di pinggir Kali Baya, akan kaudapati
betapa Nawangwulan, bidadari dalam dongeng
yang terjebak itu, terasa begitu dekat, terasa begitu nyata.
Segenap orang yang tinggal di perkampungan sepanjang aliran kali itu
dengan fasih akan bercerita kepadamu – dengan mimik dan gerak
tangan sedikit berlebihan untuk memastikan kamu yakin dengan
cerita mereka – bahwa Nawangwulan, dulu sekali memang pernah
ada dan tinggal di sana, bukan di tempat lain.
“Puing-puing bangunan tembok batu yang ada di sana, kau lihat,” kata
orang-orang, “adalah tempat di mana Nawangwulan mengurung dirinya
sendiri setelah tahu kecurangan Jaka Tarub yang menyembunyikan selendangnya
hanya agar dapat memperistrinya,” lanjut mereka.
Dan puing-puing yang mereka maksudkan itu memang ada, terletak
di pinggir sebelah kedung, tersusun dari batu-batu gunung yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga menjadi kubus-kubus yang ditata dan – konon
– direkatkan satu sama lain dengan putih telur. Kalau kau pernah sedikit
belajar sejarah, maka kau akan tahu bahwa puing-puing itu berasal dari
masa yang lebih lampau dari jaman Majapahit. Bangunan-bangunan yang
berasal dari masa kerajaan terbesar di Nusantara itu selalu terbuat dari
batubara merah. Dan kalau kau pernah berkunjung ke petirtaan Raja
Airlangga, Jolotundo di Trawas, maka kau akan berkesimpulan bahwa ada
kesamaan antara batu-batu di sana dengan batu-batu di puing-puing
bangunan Nawangwulan.
Dalam kepercayaan penduduk penghuni perkampungan di sepanjang
aliran Kali Baya, Nawangwulan tidak pernah kembali ke langit, ke surge konon
berada, sekali pun ia berhasil menemukan selendang terbangnya yang terbenam
di bawah tumpukan padi dalam lumbung. Tikus-tikus selalu saja memiliki cara untuk
menemukan dan mencuri padi-padian. Dalam upaya tak kenal menyerah, mereka
mengerati selendang itu pula. Dalam keadaan compang-camping,
selendang ajaib tersebut tak lagi punya kesanggupan memberi tekanan pada
udara untuk membuat penggunanya melayang, terbang tinggi menuju surga.
Dan Nawangwulan yang kecewa sekaligus marah itu, sekali pun tahu tidak
bakal bisa kembali ke tempat asalnya, tetap bersikeras meninggalkan
Jaka Tarub. Bahkan lebih dari sekadar meninggalkan, Nawangwulan
tidak mau lagi bertemu dengan lelaki yang telah membawa dan menimpakan nasib
buruk kepadanya. Karena itulah, dengan cara yang tidak terjelaskan dalam cerita
penduduk perkampungan sepanjang aliran Kali Baya, Nawangwulan membangun
tempat bagi dirinya sendiri, mengasingkan dirinya sendiri dari dunia
luar dan orang-orang yang menurut Nawangwulan dipenuhi dosa.
“Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa, aku dari surga!” teriak
Nawangwulan setiap kali dilihatnya Jaka Tarub, dengan raut yang teramat
menyedihkan dan langkah tertatih kepayahan memanggul penyesalan tak terperi
menuju tempat itu. Seorang penyair, Subagio Sastrowardoyo namanya, kemudian
menggunakan kalimat itu dalam puisinya yang berjudul Nawangwulan.
Nawangwulan kemudian tidak pernah keluar lagi dari benteng
batunya. Ia juga tidak keluar ketika pada suatu hari, Jaka Tarub meninggal
dalam kenelangsaan yang begitu purba tepat di depan tempat pengasingan
diri Nawangwulan. Namun semenjak kematian Jaka Tarub,
orang-orang tidak pernah lagi mendengar teriakan Nawangwulan.
Bertahun-tahun berlalu dan tidak ada yang tahu bagaimana keadaan
Nawangwulan. Sampai kemudian, satu-satu batu penyusun tembok
bangunan pelindung Nawangwulan itu jatuh, menciptakan lubang intip
di sana-sini. Awalnya, hanya seseorang yang entah bagaimana, datang
ke sana dan mengintip lalu mendapati bahwa bangunan itu telah kosong
belaka. Lalu beberapa orang ikut datang untuk memastikan. Lalu
entah bagaimana, muncullah cerita bahwa Nawangwulan telah muka.
“Apakah suatu hari Nawangwulan akan kembali?” seorang turis lokal
dari kota yang jauh pernah bertanya. Tapi siapa yang dapat menjawab
pertanyaan semacam itu? Orangorang penghuni perkampungan di
sepanjang aliran Kali Baya hanya dapat menggelengkan kepala. Tapi
cukup jelas terlihat bahwa gelengan itu tidak bermakna “tidak” sebagai
jawaban dari pertanyaan si turis. Melainkan lebih cenderung pada
ketidakmengertian. Ketidakpastian. Ragu-ragu antara “iya” dan “tidak”.
Namun beberapa waktu yang lalu, perkampungan di sepanjang aliran
Kali Baya itu diributkan dengan ditemukannya sepasang sayap
berukuran besar dengan bulu-bulu berwarna putih bersih dan tampak
empuk seperti awan-awan putih yang bergumpal-gumpal di langit. Putih
yang begitu putih sehingga rasanya tidak ada lagi warna putih yang lebih
putih dari warna putih sepasang sayap misterius tersebut.
Di pangkal kedua sayap itu, ada darah yang telah mengering. Dan
berdasarkan bentuk pangkal kedua sayap itu, orang-orang berkeyakinan
bahwa sayap-sayap itu dipotong menggunakan
benda tajam. Tapi tidak ada pisau di sana, tidak pula ada pedang,
atau golok, atau kapak, atau benda tajam lainnya. Bahkan silet pun tidak
ada di sana. Dan tidak ada pula bekas tetesan darah di tanah sekitarnya.
Polisi, seperti biasa, dengan segera mengamankan lokasi tersebut. Beberapa
petugas dari kabupaten datang ke puing-puing petilasan Nawangwulan
di mana sepasang sayap tersebut teronggok tak berdaya.
Mereka membawa sepasang sayap itu untuk melakukan pemeriksaan.
Namun sampai berhari-hari, sekumpulan orang ahli yang sengaja dikumpulkan
untuk melakukan penelitian atas sepasang sayap itu, gagal memberikan
penjelasan yang masuk akal. Mereka hanya mampu memberikan
keterangan bahwa sepasang sayap tersebut adalah sayap asli dan tidak
ada unsur rekayasa manusia di dalamnya. Tetapi sayap-sayap itu
begitu berbeda dengan sayap yang dimiliki oleh spesies makhluk hidup
apa pun yang telah dikenal ilmu pengetahuan saat ini.
“Berdasarkan ukurannya,” terang para ahli tersebut, “pemilik sayap itu
pasti makhluk seukuran manusia.” Begitu saja. Tidak ada penjelasan
kenapa dan bagaimana sayap-sayap itu bisa terpotong dan berada di
puing-puing petilasan Nawangwulan. Dan kemisteriusan tersebut membuat
penduduk perkampungan sepanjang aliran Kali Baya serta
banyak turis lain melahirkan dugaan- dugaan sendiri.
“Mungkin itu sayap bidadari.”
“Nawangwulan.”
“Nawangwulan terbang pake selendang, bukan sayap.”
“Berarti itu bidadari yang lain, yang lebih modern. Mangkanya pake sayap.”
“Mungkin juga itu bidadari pendatang.
Bidadari Jawa sejak dulu sampek kapan pun ya tetap pake selendang.”
“Tapi kenapa dipotong?”
“Ya itulah masalahnya.
“Ya.”
“Ruwet.”
“Hufth!”
Perihal penemuan dan kemisteriusan sepasang sayap itulah yang
membuat aku jauh-jauh datang ke perkampungan ini. Aku benar-benar
penasaran dan bermaksud mengumpulkan
segala cerita yang bersangkutan dengan ini, segala cerita,
bahkan bila ada sepotong atau beberapa cerita yang teramat tidak
masuk akal. Tuhan mengirimkan seorang perempuan dengan rambut
dikuncir kuda bernama Mia di kursi sebelahku dalam bis yang membawaku
ke perkampungan ini. Perempuan dengan suara ringan dan
renyah, gampang tertawa, bercelana jeans belel serta kaos oblong berwarna
merah bertuliskan “Lagu kita masih sama Indonesia Raya”, serta
memiliki ketertarikan yang sama denganku perihal sepasang sayap
misterius tersebut.
Sesungguhnya, Mia tidak begitu cantik. Namun
entah kenapa, setiap kali melihatnya, aku seperti dipaksa untuk membuat
pengandaian semacam ini: andai saja aku bertemu dengannya di perkampungan
sepanjang aliran Kali Baya, dan tidak seperjalanan, tentu aku
akan yakin bahwa dialah pemilik sepasang sayap misterius tersebut!
(*)