Cerpen: Otang K.Baddy
Malam melaju ke pukul 23 wib. Terminal di kota
kecamatan itu tampak sepi. Seluruh aktivitas nyaris lumat dengan kantuk. Satu
dua bus terfarkir lesu, menanti hari esok yang tak menentu. Maklum jalur ini
merupakan yang terakhir dari aktivitas bus AKDP. Selebihnya, sarana penghubung
antar kecamatan dan antar desa, kalau tak dengan angdes (angkutan pedesaan)
tentunya dengan ojek. Itu pun hanya beroperasi siang hari. Sedang malam ojek
pun hanya satu dua orang yang bertahan, mungkin hanya sekedar mencari peruntungan.
Ya, seperti malam itu. Dua ojek masih
mangkal di dekat terminal, tepatnya kedai kopi. Berselang ngopi dan makan
pisang goreng hangat, dalam mengusir sepi dan gigil kadang ngobrol tak menentu.
Yang tentunya obrolan itu sekedar menghibur diri. Musik penghantar malam mengalun di radio.
Tak jauh dari mereka,
seorang lelaki muda tampak gelisah. Ia kadang tiduran di bangku milik penjual
sirop yang ditinggal pemiliknya. Merokok. Terbatuk-batuk, menatap langit dan
sesekali mengeluhi keberadaan nyamuk yang nakal. Kadang pula terpengaruh dengan
suara dangdut di radio, manggut-manggut dan menghentak-hentakkan kaki.
Selebihnya mendesah.
Lelaki itu cerita, tadinya mau pulang ke
kampungnya, setelah sekian lama malang melintang di kota. Pulang menemui
keluarganya di kampung Cimanuk, sebuah desa terpencil di ujung selatan pulau itu.
Ia tadi turun dari bis sebelum magrib, para tukang ojek menawarkan jasanya,
namun ia selalu geleng kepala. Alasannya ia tak punya ongkos yang cukup –mengingat
ongkos ojek malam pada umumnya mahal.
“Biarlah, esok pagi saja naik angdes!”
katanya dengan datar. Masuk akal memang. Sebab perjalanan ke kampungnya yang
berjarak 30 kilometer itu dalam ukuran saku akan lebih aman dengan naik angdes,
ketimbang dengan ojek yang dalam keadaan kantong kering. Betapa tidak, naik
angdes tak sampai 10 ribu, sedang ojek memintanya 40 ribu.
“Kalau
dihitung dengan segala resikonya itu masih murah, Kang,” ujar tukang ojeg tadi.
Memang perjalanan ke kampung Cimanuk malam-malam masih di batas teka-teki.
Selain jalannya yang rusak dan banyak kubangan, juga harus melintasi wilayah
yang jauh dari penduduk. Yakni harus nembus area hutan mahoni dan jati –milik
perhutani-- yang tak kurang dari 5 kilometer. Bagaimana jika ban meletus dan
mesin mogok, juga berbagai kemungkinan lainnya yang mesti diperhitungkan.
Ya, ia pun mengerti itu. Dan sejujurnya
telah ia ceritakan tadi. Bukan tak mau bayar ongkos ojek yang layak, namun
keberadaannya tengah seret. Bahkan lebih dari sekedar itu, kepulangannya ke
Cimanuk pun semata-mata hanya mencari dana tambahan untuk mengobati istrinya
yang tengah sakit di kota. Menurutnya, ia akan berunding dengan saudara tua
tentang sebidang tanah yang dulu kerap dimintanya. Saat itu kerap dipertahankan
--di samping harganya ditawar murah, ia pun berpikir lebih jauh, karena suatu
saat kalau tak betah di kota kemana lagi kalau tak pulang kampung. Namun dalam
situasi mendesak, apa hendak dikata? Berapa pun lakunya sebidang tanah warisan
itu kini akan dijual. Begitulah beberapa jam tadi ia bertutur santai, terutama
pada dua orang ojek yang kini masih mangkal.
**
Malam telah mendekati puncaknya. Lelaki
itu tampak ketiduran di atas bangku. Dengkurnya terdengar jelas di telinga
seorang ojek yang masih melek. Seorang ojek ini memang berpenyakit susah tidur,
terutama jika mendekati tanggal setoran.
Setelah beberapa kali mengisap rokok, dan
beberapa kali pula membuang puntungnya. Beberapa kali pula mulutnya
berkomat-kamit. Membaca do,a, mungkin intinya meminta pada Yang Kuasa, mohon
diberi jalan keluar dalam segala resah
dan masalah.
“Ya, Allah, kepada siapa lagi hamba
mengadu, selain kepadaMu,” batinnya perih.
Sementara ojek satunya telah jauh larut
menyelami mimpi. Begitu pun lelaki yang hendak
ke Cimanuk tadi, terus saja mendengkur. Mungkin kepenatan yang terbawa
dari kota telah membuat lupa segalanya.
Namun tiba-tiba lelaki tak dikenal itu
mendadak menggeragap terbangun. Sepertinya ada kecemasan di sana. “Jam
berapa,Kang?”katanya seraya mendekati ojek yang belum tidur itu.
“Jam satu kurang lima menit.”
“Hati saya tak enak nih, mungkin istri
saya sakitnya makin parah. Yang bener ongkos ke Cimanuk berapa tadi,Kang.
Harganya yang bersahabat lah, kasihan saya lagi sedih nih,” lelaki itu seakan
merajuk.
“Ya itu tadi, 40 ribu. Tak menghitung
segala resiko, itu pun termasuk murah.”
“30 ribu, tariklah. Lebih cepat lebih
baik, bahkan kalau perlu pulang pergi.” Mendengar kata pulang-pergi, si ojek
itu seketika mengembang.
“35 ribu, naik!”
“Ya, terpaksa lah, daripada gelisah!”
ujar lelaki itu, seakan tak sabar ia mendahului naik ke boncengan motor itu.
Sementara tukang ojek itu, setelah merapikan jaket dan memasang helm ia pun melilitkan
handuk kecil di lehernya. Buat penawar gigil katanya. Setelah semuanya beres,
termasuk memeriksa bensin, keberangkatan pun dimulai.
**
Motor ojek itu melesat kencang ke arah
selatan. Suaranya yang berdesis dan terkesan luwes, tak mampu menyembunyikan
fakta bahwa motor itu masih baru. Sehingga membuat nyaman bagi pemakainya, baik
pengemudi maupun penumpangnya. Kecuali ban meletus dan habis bensin, tak perlu
ada yang dicemaskan bagi keduanya.
Sekira limabelas kilometer perjalanan
nyaris mulus, tak ada kerusakan yang berarti. Hanya lubang-lubang kecil serta
beberapa aspal mengelupas. Dilewatinya perkampungan penduduk, pesawahan dan jembatan-jembatan
pendek. Di antara desir angin malam, perjalanan mereka pun terasa hangat karena
keduanya ngobrol asyik tentang apa saja.
Perjalanan hampir memakan waktu dua jam
ketika mereka memasuki hutan mahoni dan jati. Mungkin sudah mencapai
tigaperempat perjalanan, selebihnya mendekati kampung Cimanuk. Benar apa yang
sering diceritakan banyak orang, selain badan jalan rusak --banyak kubangan di
sana-sini—juga medannya agak berat. Entah sudah berapa kali mereka menemui
tanjakkan dan tikungan tajam. Mungkin karena banyak turun gigi, mesin motor pun
agak terasa panas.
Tukang ojek itu seketika terhenyak
manakala ditemui jalanan yang menurun tajam. Bukan soal licin dan di
kiri-kanannya diapit tebing terjal, melainkan ia ingat sesuatu. Yakni tentang
peristiwa setahun lalu. Seorang ojek malam jadi korban penganiayaan, ia jatuh
tersungkur setelah sebelumnya kepala tukang ojek itu dibacok. Paginya ia
ditemukan tergeletak dengan kepala berdarah. Memang tak sampai meninggal,
selain kritis motornya pun raib.
“Allahu Akbar!” tiba-tiba tukang ojek
ini bertakbir. Mungkin untuk membesarkan hatinya yang sempat menciut. Dan entah
kenapa, mendengar apa yang baru diucapkan, lelaki di boncengan itu mendadak
gemetar. Namun segera ia mengatasi keadaan, hingga tak kentara ada kelainan di
jiwanya.
“Jangan kuatir Kang, di daerah sini
konon kini sudah aman,” seolah tahu kecemasan tukang ojek itu, lelaki di
boncengan itu mencoba menghiburnya.
“Memang di tempat inilah kejadiannya.
Saat ojek itu melaju lambat lehernya dijerat, setelah terjatuh kepalanya
dibacok. Kemudian motornya dibawa kabur oleh si pelaku.”
Di
tengah jalanan yang kadang terantuk dan berguncang, tukang ojek itu tak banyak
komentar selain menanggapinya dengan anggukkan. Paling cuma bilang “oh” dan
“oh” saja karena cerita itu sebelumnya pun ia telah dengar. Namun lelaki di
boncengan itu terus berceloteh, seolah ingin berbagi informasi lebih jauh.
“Bukan orang jauh, pelakunya masih orang
kampung Cimanuk. Ya, anak kurang kerjaan lah. Kalau tak berdua, sendiri pun ia
berani melakukannya. Caranya ia membentangkan tali di tengah jalan biar motor
itu terjatuh. Namun kini jangan kuatir, keduanya telah kabur entah kemana. Dan
sangat mustahil mereka kembali dalam waktu dekat ini. Sebab nyawa dan raganya
pun sangat terancam, warga Cimanuk dan sekitarnya sudah merasa gemas. Jika
mereka datang lagi, tak mustahil tubuhnya akan dibakar dalam suatu pesta amarah
kemenangan,” ujar lelaki tak dikenal itu panjang-lebar.
Tukang ojek itu hanya manggut-manggut.
Ia tak tahu, kalau pelaku kriminal yang kerap bikin heboh itu sebenarnya adalah
lelaki yang kini ia bonceng sendiri(*)