15 Desember 2015

Dua Penyanyi

Cerpen Budi Darma (Kompas 6 Desember 2015)

Di sebuah kota yang tidak perlu disebut namanya, ada dua rumah sakit besar dan terkenal, yaitu Rumah Sakit Kandang Kerbau di kota bagian barat, dan Rumah Sakit Kandang Lembu di kota bagian timur. Kendati tidak khusus mengurusi kelahiran, dua rumah sakit itu menjadi terkenal karena banyak bayi yang dilahirkan di sana akhirnya menjadi orang-orang terkenal.

Menurut catatan, dua Menteri Luar Negeri India, tiga Duta Besar Filipina untuk PBB, dan seorang Perdana Menteri Australia lahir di Rumah Sakit Kandang Kerbau, dan seorang Perdana Menteri Thailand, seorang Menteri Luar Negeri Malaysia, seorang Duta Besar Indonesia untuk Amerika, dan seorang konglomerat paling kaya di Indonesia lahir di Rumah Sakit Kandang Lembu.

Bunga Lili Di Tenda Pengungsi


Cerpen; Triyanto Triwikromo (Kompas, 13 Desember 2015)

Rencana untuk membakar seluruh gedung dan tenda-tenda pengungsi itu kudengar semalam dari mulut Adonis Perseus, suamiku. Tentu saja aku heran. Aku yakin dia tidak sedang mabuk. Karena itu, aneh jika penulis cerita yang biasanya lembut hati itu, ingin melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan. Atau jangan-jangan tanpa sepengetahuanku Adonis1) ternyata seorang pemuja bangsa yang radikal?

2 Desember 2015

Ayahku Terjatuh

Cerpen Otang K.Baddy (Tribun Jabar, 8 November 2015)

Sedih jika teringat nasib ayah, yang tersiksa akibat terjatuh.
Ayah terjatuh dari pohon, kepalanya membentur batu. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6 meter. Ia menaiki pohon itu karena memerlukan kulit dahan muda sebagai tali pengikat batangan padi jika panen di ladang tiba. Petaka terjadi sore hari ketika ayah kala itu tengah menuju pulang dari ladang bersama ibu. Di Ciwaru, nama blok dari tempat itu yang memang banyak pohon warunya, di tepi jalan setapak itulah
ayah bersusah-payah menahan sesak dada, sakit di kepala serta tubuh bermandikan darah. Demikianlah kronologi singkatnya sebelum kemudian mengurainya dalam kisah.

Seperti pada umumnya masyakarat tani saat itu, ayah pun berladang bersama ibu. Mereka membabat pohon-pohon liar, semak blukar serta kawanan ilalang, sebelum kemudian dilakukan pembakaran. Kegiatan itu dilakukan masyarakat tani di desaku setiap tahun. Setiap lahan yang digarap tanahnya sangat subur, gembur, mengingat jarak garapan persatu tempatnya berkisar antara 8 sampai 12 tahun. Semua itu terjadi karena area hutan garapan sangatlah luas, beratus hektar termasuk area hutan yang melintas desa lain. Saat itu tak menanam pohon macam albu atau jati, karena kayu-kayu macam itu belum laku seperti sekarang. Masalah utama yang menghambat, sarana transportasi berupa jalan dan kendaraannya masih jauh terbatas. Makanya tak heran jika pohon-pohon jati besar pun banyak tercampak dan sebagian terbakar di area ladang. Tak terkecuali di ladang ayah, daripada lembab merimbuni tanaman padi dan jagung pohon-pohon macam jati atau wangkal pun kerap ditebang begitu saja.
Sebagai anak perempuan satu-satunya --dan memang anak ayah cuma aku sendiri, aku jarang sekali ikut ke ladang. Paling jika musim tanam padi-jagung (kami menyebutnya ‘usum ngaseuk’) aku ikut rame-rame. Ya, memang pada musim ngaseuk selalu ramai dan meriah. Soalnya musim tanam ini dikerjakan dengan cara gotong-royong. Saling membantu antara si peladang satu ke peladang lainnya. Begitu menyenangkan dan kerukunan warga benar-benar masih terjaga. Lebih senangnya, selain bisa makan bersama dengan olah hiu juga pulangnya dibekali calangaren (serupa cendol berbahan tepung ketan). Hanya musim itu saja bisa ikut pergi ke tanah huma. Itupun jika pas hari libur sekolah. Musim-musim garapan selanjutnya, termasuk musim panen, aku tak pernah ikut selain hanya memasak di rumah.
Musim menuai padi yang tengah menguning serta ranum itu agaknya mendadak terhambat ketika ayah dikabarkan terjatuh. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6 meter, kepala Ayah di bagian belakangnya membentur batu. Ayah katanya bermandikan darah. Namun Ayah masih bisa mengerang dan biacara patah-patah. Konon jika seorang kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah yang wajar kadang masih ada harapan hidup ketimbang yang tak keluar darah. Duh…Ayah, semoga ingatanku ini bukan sekedar menghibur diri menutupi kecemasan, namun semoga nyata-nyata Ayah bisa diselamatkan, demikianlah batinku.
“Pokoknya kamu harus secepatnya menyusul ke Ciwaru, Nina,” kata Mang Karlin, tetanggaku. Lelaki yang pertama menyampaikan kabar itu, disamping tetangga rumah terdekat ia pun bisa dikatakan tetangga ladang terdekat pula. Setelah memberi kabar buruk tentang Ayah, lelaki itu sangat cepat berlalu, mungkin ia mandi dulu atau sekedar membagi kabar kepada yang lain.
Karenanya aku segera mengabaikan pasakan lodeh iwung dan nasi jagung, toh soal keselamatan ayah aku kira jauh lebih penting ketimbang masakan bambu muda itu.
Dengan segera aku pun menyusul ke Ciwaru, lokasi dimana Ayah celaka. Setengah melompat dan tergesa menyusuri jalan setapak yang terjal berbatu, menanjak, menurun dan kadang berkelok, akhirnya sampai juga di lokasi. Disamping sudah banyak orang –mereka umumnya kaum tani, disana ada Mang Kosim, adik Ayah satu-satunya. Mungkin sama dengan yang lainnya, ia pun sepertinya baru pulang dari ladang. Kulihat kepala Ayah sudah diikat dengan kain, mungkin kain milik ibu. Dan bekas darah pun masih tercecer di sana-sini.
“Tadi aku dijemput ibumu, Nina. Untung saja ladang mamang agak dekat dari sini,” cerita Mang Kosim, pamanku satu-satunya itu.
Menurut ibu ayah jatuh terlentang, bagian kepala belakang Ayah terkena batu. Bahkan kata Paman sebelumnya ada pecahan batu bersarang di luka Ayah, tapi kini sudah bisa dicongkel.
Saat itu kami --aku, Ibu dan Paman, merasa cemas dan sedih. Alasannya, disamping lokasi jauh dari rumahku–dan juga tentu jauh dari rumah penduduk lainnya, hari pun berangsur gelap. Sementara Ayah harus segera ditangani secepatnya. Terlebih masalah luka di bagian kepala belakang, setidaknya harus dijahit biar darah yang keluar segera mampet. Setelah berembuk dan dipertimbangkan dengan matang, akhirnya Ayah hendak dibawa langsung ke Puskesmas. Solusi itu lebih baik, mengingat jarak ke Puskesmas lebih dekat ketimbang dibawa ke rumah dulu. Selisihnya hampir dua kilometer. Hanya saja yang menjadi kendala, perjalanan ke Puskesmas yang terletak di kota kecamatan itu harus melewati jembatan gantung yang panjangnya tak kurang dari 40 meter.
Akhirnya Ayah yang masih mengerang kesakitan itu dimasukan ke dalam sarung. Lalu digotong pakai batang bambu, saling bergantian antara Paman dan yang lainnya. Perjalanan kami dari pinggiran hutan itu diterangi dengan obor sekedarnya yang dibuat dari bambu dan reranting kering. Untuk mencapai jalan desa yang masih berbatu, kami pun berusaha mencari jalan pintas. Kami tak ambil pusing manakala tubuh atau pakaian kami tercakar duri-duri dan ujung ranting.
“Ini demi segera mencapai tujuan, Ayah,” hibur aku ketika didengar erangan Ayah agak keras, mungkin semacam protes terhadap tindakan kami yang dipandang kasar. Betapa tidak, tubuh Ayah yang terbaring di dalam sarung, bak ayunan bayi, dengan sepasang kaki ngelonjor keluar, selain teratuk kadang pula terbanting ke kiri dan kanan.
Ketika sampai di mulut jembatan gantung, kami pun berhenti dulu. Tujuannya, selain melepas pegal dan letih, kelayakan jembatan ayun itu perlu diperiksa. Sebab, biasanya tak boleh dilewati dengan orang banyak dalam waktu bersamaan. Ini agar jangan sampai terjadi putus di tali gantungan atau terperosok di selasar bambu, mengingat jembatan ayun penghubung antar desa itu umurnya sudah tua. Jadi tak mustahil segala hal yang mencemaskan pun bisa saja terjadi. Tapi, setelah Paman memeriksanya lebih dari 25 meter, hal buruk pun tak perlu dicemaskan.
“Insa Allah, aman!” tegas Paman meyakinkan. Memang untuk sampai ke tujuan, yakni Puskesmas, lebih kurangnya 1 km lagi. Lebih dekat ketimbang sebelumnya yang tak kurang 5 km dari blok Ciwaru. pinggiran hutan itu.
Dalam situasi itu batin kami pun tak luput berdo’a, semoga hal-hal buruk itu jangan sampai terjadi. Ayah pun kembali digotong. Paman menggotong paling depan seraya pegang obor yang nyaris habis, dan ujung panggul belakang digotong Mang Karlin, menggantikan penggotong sebelumnya.. Sementara aku, Ibu dan yang lainnya mengikuti di belakang.
Namun suasana panik pun terjadi manakala iringan berada di tengah jembatan. Anyaman bilahan bambu, selasar yang kami pijak itu terasa bergoyang-goyang. Bahkan goyangannya makin keras, terlebih ketika beberapa diantara perempuan pengikut terdengar menjerit-jerit. Namun Paman bersama mang Karlin tampak berlari menggotong Ayah nyaris ke ujung jembatan sambil teriak-teriak memberi peringatan.
“Belakang munduur..! Yang belakang munduur…!” kata Paman seraya mengacung-acung obor yang talinya mulai terbakar. Karenanya obor berbahan bambu dan reranting pun tiba-tiba jatuh mengurai dan tanpa diduga apinya membakar sarung yang digotong itu. Karuan saja, Ayah yang belum mati rasa itu berteriak-teriak, malah saking tersiksanya ia pun tanpa sadar sampai menjatuhkan dirinya ke dalam sungai.
“Ayah, ayaaahh……!” teriakku nyaris pingsan.
Tapi dalam kepanikan itu Paman mencoba bersikap tenang dan menghiburku. “Sepertinya ayahmu tak sampai terjatuh ke sungai, Nina,” katanya sebelum kemudian mengumpulkan obor yang terpencar itu hingga kembali menyala. Mungkin ucapan Paman ada benarnya, sebab tak terdengar bunyi ‘plak..!’ atau ‘byarrr’ layaknya benda terjatuh.
“Kang.., Kang…! Kang Komaar….!” Paman melongokan kepala ke samping luar jembatan ayun itu seraya mengayun-ayunkan obornya. Tampak di bawah ujung jembatan itu rimbunan pohon, sepertinya waru doyong yang pangkal pohonnya dari tepi sungai.
“Kang…, Kang…., Kang Komaaar…!” suara Paman agak gemetar, kembali memanggil-manggil Ayah. Dalam rasa penasaran itu lagi-lagi obor yang tinggal beberapa senti pun tiba-tiba jatuh terurai dan masuk celah rimbunan daun waru bawah ujung jembatan itu.

Namun dalam suasana gelap yang menyergap kami pun dikejutkan oleh teriakan orang bak kesakitan. “Panaass…, aduuh…!” Meski proses penyelamatannya agak rumit bukan masalah, yang penting Ayah tak sampai terjatuh ke dalam sungai yang terjal (*)

28 November 2015

Batu Lumut Kapas

Oleh Gus TF Sakai (Kompas 15 November 2015)

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh Tuak Ije bagai menggigil ketika tangan Wan Ijun keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu menyorongkan sangat dekat ke mata Tuak Ije. Kata Wan Ijun, ”Lihatlah. Airnya sangat bening. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. Melenggok-lenggok seperti menari.”

Gemetar, tangan Tuak Ije pelan terangkat. Hati-hati, meraih akik itu dari jari-jari Wan Ijun, lalu menerawangkannya ke matahari. ”Batu … lumut kapas?” suaranya juga gemetar.

”Ya, batu lumut kapas,” suara Wan Ijun tegas.

”Lumut … Suliki?”

”Ya, batu kampung sini lumut Suliki.”

Mata Tuak Ije menyipit, mengamati akik itu. Mendekat dan menjauhkan dari matanya. Memutar, membolak-balik si akik, mendekatkan lagi, menjauhkan lagi, menerawangkan lagi ke matahari. Benar-benar jernih! Dan serat lumutnya, benar-benar kapas! Pelan, dialihkannya tatap ke mata Wan Ijun. Tubuhnya masih menggigil, suaranya masih gemetar, ”Bagaimana … bagaimana kau mendapatkannya?”

”Jakarta. Dari Rawabening. Di Rawabening batu ini melimpah!”

Melimpah? M-e-l-i-m-p-a-h? Dari menggigil, dari menegang, wajah Tuak Ije pelan berubah: pias, layu, mrucut. Seperti kerupuk disiram. Serupa karung goni bocor. ”Me … limpah?” suaranya melemah.

”Ya, melimpah!”

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Setelah peristiwa itu, Tuak Ije, lelaki tua tinggi bedegap yang terkenal sebagai pengumpul dan pemilik semua jenis batu akik lumut Suliki itu, seperti lenyap dari kampung. Konon, batu lumut kapas yang ia lihat dari Wan Ijun, telah menghancurkan hidupnya. Batu lumut kapas, itulah satu-satunya jenis batu lumut Suliki yang belum ia punya. Batu itu hanya dimiliki oleh orang-orang tua zaman ratusan tahun lalu di Suliki, dan Tuak Ije telah mencari batu lumut kapas itu sepanjang hidupnya.

Ya, sepanjang hidup. Bukan hanya kini, ketika semua orang bagai dijangkiti oleh demam akik.

Dan lalu, tiba-tiba, batu itu muncul. Bukan ditemukan di kampungnya, melainkan dibawa dari Jakarta.

Dan pula, kata Wan Ijun, melimpah!

Melimpah … sungguh tak mungkin, sungguh Tuak Ije tak percaya. Tetapi begitulah kenyataannya. Saat Tuak Ije pertama mendengar batu lumut kapas itu ada pada Wan Ijun, ia segera menduga kabar itu pastilah bohong. Ia tahu siapa Wan Ijun, sang semenda jelatang, lelaki kampung lain yang menikah dengan perempuan kampung sini dan selalu ribut dengan istrinya. Pekerjaannya tak jelas. Istrinya yang di kampung sini adalah istri yang entah keberapa setelah istri-istrinya di kampung lain yang juga tak jelas. Yang Tuak Ije tahu, Wan Ijun sering ke mana-mana, termasuk ke Jakarta dan, sejak musim akik, Wan Ijun ikut mencari akik-akik berkualitas super di Suliki ini lalu menjualnya ke lain kota. Pernah, beberapa kali, Wan Ijun meminta Tuak Ije agar melepas atau menjual koleksi akik Tuak Ije kepadanya. Tetapi tentu, Tuak Ije tak mau. Bukan hanya karena Wan Ijun menawar dengan harga sangat murah, tetapi juga karena sikap Wan Ijun yang seperti meremehkan atau memandang akik-akik lumut Suliki Tuak Ije dengan rendah.

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Batu lumut kapas yang diperlihatkan Wan Ijun kepada Tuak Ije waktu itu bukanlah batu lumut kapas sebenarnya. Batu itu ia dapatkan di Rawabening, tak sengaja, dari seorang penjual akik yang bahkan si penjual pun juga tak tahu entah batu apa dan entah dari mana asalnya. Saat pertama Wan Ijun melihat akik itu, pikirannya langsung berkelebat kepada Tuak Ije dan sebuah rencana di kepalanya.

Tuak Ije dan batu lumut kapas, memang, sudah jadi rahasia umum di Suliki.

Setelah memiliki akik-akik bagus dan indah dari 99 jenis batu lumut Suliki, Tuak Ije masih mencari satu jenis batu lumut lagi yang konon bernama batu lumut kapas. Dikatakan konon, karena tak seorang pun pernah melihat seperti apa batu itu sebenarnya. Semua orang di Suliki hanya mendengar turun-temurun, dari orang-orang tua, dari mulut ke mulut, bahwa batu itu sangat keras dan bening seperti jenis batu lumut Suliki dari Sauik, tetapi memiliki serat sangat halus, lebih halus dan indah dari serat lumut Suliki dari Ulu Banda. Sauik, Ulu Banda, adalah nama-nama kampung di Suliki tempat di mana batu-batu akik itu digali. Selain Sauik dan Ulu Banda, masih ada sejumlah kampung galian lain dengan ciri batu yang tentu juga lain.

Sudah ke semua tempat itu Tuak Ije menggali, tetapi tetap tak ia temukan batu lumut kapas. Sudah Tuak Ije coba membuka galian baru di sejumlah lokasi, tetap juga tak ia temukan. Bahkan Tuak Ije sampai pernah melakukan ritual mistik seperti disarankan seorang ”pintar”, tetapi hasilnya tetap: batu lumut kapas bagai ditakdirkan bukan milik Tuak Ije.

Dan, hal itulah yang dimanfaatkan oleh Wan Ijun. Akan ia runtuhkan mental Tuak Ije: agar Tuak Ije tak lagi angkuh, agar Tuak Ije tak lagi sok jual mahal dengan akik-akiknya.

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tuak Ije bukan lenyap dari kampung, melainkan mengurung diri di rumahnya. Dan pada hari Tuak Ije keluar menampakkan diri, betapa orang-orang sangat terkejut. Tubuh lelaki tua yang dulu besar bedegap itu, sekarang menjelma jadi kurus. Kesan gagah yang dulu masih kentara, sama sekali hilang, sirna, berganti jadi seorang tua yang kuyu, renta, tak ubahnya kakek-kakek dalam usia senja.

Dan yang juga sangat mengejutkan, Tuak Ije membawa akik-akiknya, lalu memberikan kepada orang-orang. Memberikan! Bukan menjual! Akik-akik yang ia sayang. Akik-akik yang ia cinta. Akik-akik yang telah dengan susah-payah ia kumpulkan selama puluhan tahun. Sejak remaja. Sejak belia.

Semua orang kampung, tentu, jadi bertanya-tanya. Kenapa Tuak Ije jadi berubah? Apakah yang telah terjadi pada Tuak Ije?

Kecuali seorang, tentu, yang jauh dari rasa heran. Wan Ijun. Si semenda jelatang itu bungah dalam rasa lega. Bahagia.

Hanya saja, Wan Ijun tak menyangka. Ia memang berpikir, berharap, Tuak Ije tak lagi bangga akan akik-akiknya. Tetapi ternyata, bukan hanya hilang bangga, Tuak Ije malah memberi menyerahkan akik-akiknya kepada orang-orang. Ya, bukan menjual. Bukan menjual murah seperti harapan Wan Ijun. Dan, tubuh itu, tubuh yang tiba-tiba menjelma renta, juga jauh dari sangkaan Wan Ijun. Bisa begitu terpukulkah, bisa begitu hancurkah Tuak Ije, hanya oleh batu lumut kapas?

Dan ternyata pula, bukan hanya hancur. Melainkan, sungguh-sungguh hancur. Tak sampai sebulan setelah hari Tuak Ije pertama keluar dari rumah, kabar itu pun beredar: Tuak Ije meninggal.

Semua orang kampung terpana.

Tak terkecuali Wan Ijun.

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh Wan Ijun bagai menggigil ketika tangan Din Kudil keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu menyorongkan sangat dekat ke mata Wan Ijun. Kata Din Kudil, ”Lihatlah. Airnya sangat bening. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. Melenggok-lenggok seperti menari.”

Gemetar, tangan Wan Ijun pelan terangkat. Hati-hati, meraih akik itu dari jari-jari Din Kudil, lalu menerawangkannya ke matahari. ”Batu … lumut kapas?” suaranya juga gemetar.

”Ya, batu lumut kapas,” suara Din Kudil tegas.

”Lumut … Suliki?”

”Ya, batu kampung kami lumut Suliki.”

Tak mungkin … tak mungkin batu lumut kapas ternyata benar-benar ada. Wan Ijun mengamati, membolak-balik batu itu tak percaya. Dialihkannya tatap ke mata Din Kudil. Tubuhnya makin menggigil, suaranya makin gemetar, ”Bagaimana … bagaimana kau mendapatkannya?”

”Makam Tuak Ije. Batu-batu di makam Tuak Ije.”

”Maksudmu?”

”Batu-batu tatok itu. Batu-batu tatok di makam Tuak Ije ternyata adalah batu lumut kapas.”

”Batu-batu tatok?!” mendadak, suara Wan Ijun berubah jadi menyentak. Wajahnya juga berubah drastis.

”Ya, cobalah lihat ke pengasahan. Orang-orang ribut, heboh, ramai mengasah batu lumut kapas.”

Cerita yang kau dengar itu benar belaka. Batu-batu tatok adalah batu-batu yang diletakkan di sekeliling gundukan makam untuk sementara, sebelum makam disemen atau ditembok beberapa hari sesudahnya. Tetapi, cerita yang tak pernah kau dengar adalah, batu-batu tatok itu berasal dari pemberian Wan Ijun! Ya! Batu-batu yang, konon, dulu sekali, diangkut dan dibawa oleh kakek istrinya. Batu yang kata si istri adalah bongkah-bongkah batu biasa dan, daripada menyempit di kolong rumah, ia berikan kepada keluarga Tuak Ije. Sebagai sumbangan, sebagai tanda ikut berdukacita. Atau, seperti yang biasa Wan Ijun lakukan, semacam cara untuk cari muka.

Dan makanya, bila kau datang ke kampung kami Suliki, kau akan mendengar cerita tentang Wan Ijun yang tiba-tiba juga meninggal. Dan, seperti halnya kematian Tuak Ije, orang-orang juga merasa heran. Tetapi, kita, kau dan aku, tak perlu merasa heran, bukan? Apalagi, seperti kata polisi, Wan Ijun mati bunuh diri.

(Sumber: harian Kompas edisi 15 November 2015, halaman 27 dengan judul "Batu Lumut Kapas.")


6 November 2015

Cara Mengedit Video Dengan Memotong Dan Menggabungkan Video

Cara Mengedit Video Dengan Memotong Dan Menggabungkan Video - Dalam  mengedit video ada bermacam-macam salah satu yang banyak di lakukan oleh para pemula adalah seperti merubah format video, memotong video, menggabungkan video, merubah suara volume video, bahkan merubah gambar yang ada di video, dan lain sebagainya yang masih banyak lagi.  Untuk mengedit Audio memang lebih mudah daripada mengubah video karena video adalah gabungan antara gambar dan suara sehingga terkesan lebih banyak waktu yang di butuhkan. Namun bagi yang gemar mengedit video ternyata mudah untuk dilakukannya asalkan ada alat bantu yang bisa sobat gunakan. untuk memotong dan menggabungkan video satu dengan video yang lainnya. sobat bisa menggunakan software yang gratis saya yakin untuk bisa menggunakan software ini tidak dibutuhkan waktu yang lama karena software ini di disain untuk para pemula seperti saya atau mungkin sobat. banyak sekali software yang bisa sobat gunakan untuk membantu pekerjaan mengedit video namun disini saya memberikan tutorial dengan program populer yaitu videopad yang bisa sobat download dengan gratis. untuk lebih lengkap silahkan simak panduan memotong dan men join video di bawah ini. mengedit video itu sangat banyak macam teknik yang digunakan namun panduan dasar ini semoga bisa memberikan sobat sedikit wawasan bagi sobat yang mungkin baru mengawali mengedit video. silahkan di coba. 

Contoh Cara Mengedit Video Sendiri untuk Pemula    

  1. Install program yang akan di gunakankan untuk mengedit video sobat bisa mendowload programnya disini atau lewat sini. install  programnya dengan select all kemudian klik finish.
    Cara Mengedit Video
  2. Silahkan drag video yang dari komputer sobat ke dalam kolom pada nomer 1, kemudian tarik / Drag video nya ke timeline( kolom nomer 2). sehingga akan muncul barisan gambar video yang siap untuk di cut / potong di area yang sobat inginkan.  
    cara memotong video
  3. Jika sobat ingin memotong video sobat bisa melihat garis merah cara memotongnya adalah dengan mengklik garis merah tersebut tahan dan arahkan garis tersebut ke kanan atau kekiri sehingga akan membentuk area yang berwarna hijau, lihat gambar 1, dan untuk menghapus area tersebut klik kanan pada mouse pilih Delete selected region gambar 2.    
    cara menggabungkan video
     
  4. Jika sobat hendak menggabungkan video sobat bisa menambah video baru dan letakkan / drag video dari komputer tadi lalu tarik (klik video tahan dan letakkan ke area timeline sebelah video yang lain sehingga video berjejer lihat pada nomer 2 video  tersebut sudah tergabung dengan video pertama. 
    cara memotong dan menggabungkan video
  5. Jika sudah selesai mengedit video langkah terakhir adalah menyimpan video menjadi format video yang di inginkan misalka saja format 3GP, FLV, AVI, MKV, MP4 dan lain-lain. caranya bisa dengan memilih file dan klik export video
    cara mengedit memotong menggabungkan video
  6. Pada bagian ini sobat bisa memilih bagian yang penting yang bisa sobat lihat keterangan nya di bawah gambar ini.
    mengedit video dengan mudah
    Keterangan gambar : 
      1. Tempat output folder / tempat video yang sudah selesai di proses
      2. Pilihan Format Video populer
      3. Resolution atau ukuran yang menunjukkan banyaknya pixel yang terdapat pada suatu layar. Semakin besar ukuran resolusi dapat diartikan semakin banyak juga konten yang dapat ditampilkan pada suatu layar
      4. Frame lebar dan panjang  ukuran video
  7. Tunggu proses export video dan lihat video tersebut di output folder (cara pada nomer 6 gambar 1 ) 
    mengedit video sendiri
Berikut tadi cara mengedit video sendiri dengan tutorial dasar untuk seseorang yang baru mengawali mengedit video, sebenarnya di sini sobat bisa berekplorasi sendiri misalkan dengan mengedit suara yang ada di video, menambahkan text di video, menambahkan suara  dengan suara recording, dan lain sebagainya. jangan lupa baca artikel tentang tips trik video yang lainnya seperti merubah format video,  cara membuat video dari foto, ataucara agar video bisa di putar di DVD player dengan mudah untuk pemula. oke selamat mencoba dan semoga lancar dan sukses. terima kasih 

Tulsan ini dicopas untuk kepentingan pribadi dari http://blogfacebookemail.blogspot.co.id/2014/11/cara-mengedit-memotong-menggabungkan-video.html

25 Oktober 2015

Monalisa

Syahdan, di antara kepungan kawanan randu yang menjulang rimbun, terdapatlah sebuah rumah tua yang kusam dan penuh oleh belu­kar menjejali dinding-dinding bambunya. Rumah kosong. Terletak jauh dari pemukiman warga, sehingga sepilah ia berdiri di sana. Kecuali sebuah sumur kering yang setia menemani beserta makam bisu di sisi be­randanya.

Sekitar jam sembilan malam, kami – aku dan Yudha – tiba di kampung Toni, di daerah pinggiran kota Pesisir Selatan. Tapi rumah yang dituju belum terlihat. Gelapnya malam menyusahkan kami me­ne­lusuri jalanan yang tak be­ras­pal dan kadang ber­gel­om­bang. Toni tak bisa di­hu­bungi karena sinyal yang tak mendukung. Singkat cerita, ide untuk bertanya pun men­jadi jalan keluarnya.

Awal-awal tak ada seo­rang pun yang bisa kami temui di sekitar sana. Kami melaju terus sambil me­noleh ke sana ke mari. Sam­pai tampaklah seorang pe­rem­puan melintas di ke­jauhan. Kami langsung meng­hampiri dan Yudha meng­hentikan laju sepeda motor ketika si perempuan telah beberapa meter saja jaraknya. Dia terpaku dan aku melompat turun dengan se­genap keramahan.

“Permisi,” sapaku manis, “saya mencari rumah teman saya, Toni Oktafrian, di mana ya? Katanya di dekat mushala Al Hikmah.” Dia tak langsung menjawab. Be­berapa detik diam. Aku masih menunggu seraya memperhatikan raut wajah­nya yang samar-samar can­tik juga. Yudha belum me­ma­tikan mesin motor, se­hingga bunyinya bersaing melawan nyanyian-nyanyian jangkrik dan kodok di balik semak-semak.

Dalam kekaburan pe­sona, tiba-tiba si perempuan memberi semacam petunjuk arah dengan telunjuk kiri. Arahnya menuju pada layar hitam yang disesaki rumpun po­hon dan bayangan-baya­ngan malam yang hening. Tak lama kemudian pe­rem­puan tersebut pergi dan aku ma­sih terpusat pada pe­tun­juk yang telah diberikan. Entah lewat mana untuk pergi ke sana, aku tidak tahu. Aku tak sempat me­nany­akannya. Dia terlanjur hi­lang ditelan kabut hitam dan gulita yang menyelimuti.

“Di sana!” sahutku pada Yudha sambil menunjuk seperti yang diinformasikan si perempuan. “Masih jauh,” tambahku ketika menaiki sepada motor dengan secuil tan­da tanya. Keraguan me­nari-nari di dalam kepala. Kami meneruskan perjalanan.

Meski jalan yang ter­bentang tak kunjung me­nuntun kami ke arah yang sedang dipatokkan, Yudha tetap menggas sepeda mo­tor bersemangat. Di be­lakang, aku sibuk mencari-cari titik terang yang mung­kin bisa memudahkan kami sampai pada tempat tujuan. Hanya rembulan dan bintang-bin­tang saja yang bersinar mem­bantu penglihatan kami

Lama menjelajahi negeri orang, cahaya itu pun akhir­nya muncul dari sebuah pen­juru. Cahaya yang perlahan mendekat dan semakin lama semakin jelas siapa yang mem­bawanya. Ternyata orang ter­sebut adalah Toni. Dia sedang berjalan kaki menjinjing len­tera merah yang menyala-nyala. Kami lega sekali. Se­ju­rus kemudian, sekulum se­nyum pun tercipta di wajah lelah kami.

“Aduh, syukurlah aku menemukan kalian. Dari tadi aku menunggu di dekat mushala. Katanya akan sam­pai sesudah isya?” ucap Toni dan memimpin kami ke rumahnya.

“Iya, tadi motornya Yu­dha bermasalah sedikit di Tarusan, jadi kami harus me­nunda perjalanan beberapa menit,” ucapku sembari menepuk pundak Yudha.

“Maklumlah, barang kan­tau,” tangkas Yudha bersahaja.

Sesampainya di rumah Toni, kami disambut Fem­my, sang istri. Kami duduk di ruang tamu untuk me­lepas penat di sekujur tubuh. Beberapa basa-basi me­mu­lai percakapan. Toni me­nga­takan bahwa di kampungnya ini memang sering me­nga­lami pemadaman listrik. Terutama beberapa hari belakangan. Seperti ada se­buah masalah yang sedang di­ha­dapi oleh PLN setempat. Namun rumah Toni meng­gunakan mesin diesel, se­hing­ga cukup terang dengan beberapa lampu pijar yang temaram.

“Hanya beberapa rumah saja di sekitar sini yang memanfaatkan per­kem­ba­ngan teknologi,” jelas Toni. “Kebanyakan dari warga suka memilih tidur lebih awal jika keadaan sudah gelap-gelap begini.”

Perkenalan tentang Fem­my yang baru dikawini Toni setahun lalu pun menjadi topik menarik berikutnya. Obrolan berjalan santai, sampai-sampai Yudha de­ngan begitu lancangnya me­muji Femmy. “Ton, ada lagi nggak yang seperti Femmy di kampung ini?”

Aku hanya tersenyum tipis mendengar kalimat Yudha. Dia memang sering begitu, Toni pun pasti telah meinsyafinya. “Wah, sa­yang­nya nggak ada lagi, Yud. Femmy adalah satu-satunya gadis tercantik di kampung ini.” Toni menjawab dengan nada bercanda. Femmy pun sekilas tampak malu me­nerima pujian sang suami. Pipinya memerah.

Mendadak terbersitlah di benakku potret seorang perempuan yang tadi ku­temui. Karena penasaran, aku pun angkat bicara dan bertanya pada Toni. Siapa tahu dia kenal.

“Eh, tadi aku bertemu perempuan yang cantik juga. Dari wajah-wajahnya, mung­kin hampir sebaya dengan Femmy.” Toni terdiam dan Yudha memperbaiki posisi duduknya.

“Maksudmu yang tadi memberi petunjuk jalan?” tanya Yudha serius.

“Ya. Tapi, Yud,” kataku tersentak, “kalau dipikir-pikir, rasanya arah yang dia informasikan tadi bukanlah ke sini.”

“Ke mana?” potong Toni ingin tahu. Sejenak aku pun tenggelam dalam ingatan yang bimbang. Tanganku bergerak-gerak mencari arah yang mungkin sesuai dengan gambaran di kepala. Sementara Yudha juga ter­bawa-bawa berpikir di bang­kunya.

“Kurang lebih di ujung sana. Dekat kaki bukit itu,” ucapku sembari menunjuk pada pemandangan di luar kaca jendela yang sangat kelam. Toni mengerutkan dahi ketika menatap pada tempat yang kutunjuk. Fem­my ikut ter­heran dan Yudha terpaksa memutar lehernya karena membelakangi jendela.

Sejurus kemudian Toni memandang pada Femmy dan sebaliknya. Ekspresi wajah mereka yang serius membuatku menjadi ter­pan­cing untuk segera meminta keterangan.

“Ada apa, Ton?”

Dengan air muka yang belum berubah, Toni pun menoleh kepadaku sembari istighfar. “Semoga dia bukan Monalisa.”

“Monalisa?”

“Siapa Monalisa?” tanya Yudha antusias.

“Begini,” sebentar Toni menghela nafas, “dulu keti­ka kampung ini masih sepi dan sedikit sekali peng­huni­nya, pernah terjadi kasus pembunuhan yang tragis dan bejat. Monalisa adalah kor­ban­nya kala itu. Dia ka­barnya menjadi kembang de­sa yang diperebutkan ba­nyak lelaki bujang seba­ya­nya. Sampai-sampai pe­r­ni­kahannya kemudian dengan seorang alim pun menjadi kecemburuan massal ka­wula muda. Terlebih saat dia telah melahirkan seorang putra. Pada suatu hari se­kelompok pemuda yang ber­sekongkol, menjebak suami Mo­nalisa dan mem­bu­nuh­nya. Usai pem­bunuhan ter­sebut, mereka menyusup masuk ke dalam rumah Mo­nalisa yang masih setia me­nan­ti sang suami bersama buah hati tercinta. Di sana, Monalisa diperkosa secara bergilir, lalu dibunuh! Anak­nya yang merengek-rengek pun tak ketinggalan mendapat hu­jaman belati yang ber­lu­muran darah. Akhir­nya me­reka semua mati dalam ke­malangan.”

Aku terpana menyimak kisah yang baru saja tersaji memprihatinkan itu. Yudha belum berani berkomentar dan Femmy hanya tert­un­duk, bungkam.

“Semenjak itulah,” lan­jut Toni, “konon katanya arwah Monalisa jadi gen­tayangan di kampung kami. Dia – kata orang – ber­keliaran mencari ke­bera­daan sang suami terkasih. Hingga hari ini!”

Tiba-tiba suasana diam. Semua tampak hanyut da­lam perenungan. Hingga kemudian Toni memecah sunyi dengan suara me­ya­kinkan. “Sebenarnya aku tak percaya juga dengan arwah-arwah gentayangan.”

Pernyataan itu tak men­dapat tanggapan. Hanya Yudha yang kembali bert­a­nya soal si perempuan mis­terius. “Jadi, di sana rumah Monalisa itu?” Tangan Yu­dha merujuk pada arah yang tadi kutunjuk.

“Ya. Rumah hidup dan matinya.”

“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti akan pe­nger­tian dari ‘rumah hidup dan mati’.

“Di sanalah dulu dia ting­gal bersama suami dan anak­nya. Di sana pulalah – tepat­nya di beranda rumah – dia dan sang anak diku­burkan oleh warga kampung.”

Malam bertambah larut dan percakapan beralih pa­da cerita-cerita masa kuliah dulu yang penuh kenakalan. Yudha adalah yang paling ha­fal dengan kenangan ter­sebut. Semua detail pe­ris­tiwa seakan-akan terekam baik di dalam otaknya. Se­deret tawa kini terus-terusan menghiasi malam. Untuk sesaat, kisah horor yang sempat mengusik perhatian pun jadi terlupa.

Esoknya, kunjungan sila­turahmi itu berakhir dengan hangat. Kami pun bersiap-siap untuk pamit pulang kepada tuan rumah. Ren­cana awalnya kami akan berangkat sore hari. Tapi lantaran hujan turun begitu deras, perjalanan pun jadi terpaksa diundur. Satu jam, dua jam, tak ada perubahan. Hujan masih turun dengan riuh. Hingga langit menjadi gelap dan jam menunjukkan pukul sembilan malam, ba­rulah ia reda dan angin ber­hembus dingin menusuk kulit. Untungnya listrik tidak sedang padam. Se­hingga beberapa rumah yang tampak bercahaya membuat kami semakin mantap untuk memulai perjalanan balik ke Padang.

Tanah dan rumput basah kuyup. Becek tampak di berbagai sisi jalan yang kami tempuh.

Baru beberapa menit saja berlalu, tiba-tiba kesialan menimpa kami. Sepeda mo­tor Yudha mati lagi. Pe­mu­kiman warga sudah agak jauh di belakang. Dari posisi kami berada, hanya secercah titik-titik pelita saja yang bisa terlihat. Yudha kesal dan aku patah semangat me­nerima keadaan.

“Bagaimana?” tanyaku. Yudha tampak sedang me­ngecek busi – bagian mesin motornya yang sering ber­masalah. Dia tidak me­res­pon dan larut dalam usaha yang terkesan sia-sia. Piki­ran­ku mulai kalut, sampai-sam­pai tak menyadari se­seorang dari arah belakang yang berjalan mendekat. Seorang perempuan beram­but panjang.

Aku sedang berjongkok dan Yudha yang gelisah mendatangi perempuan ter­sebut dengan tergesa-gesa. “Maaf, bengkel terdekat di mana ya?”

Tak ada suara. Per­ta­nyaan itu hanya dijawab pakai isya­rat tangan kiri yang me­nga­cung pada titik jauh di kaki bukit, dekat pe­mu­kiman warga. Kami spontan me­lemparkan pandangan ke arah yang dimaksud, hingga lupa bahwa si perempuan yang memberi informasi ba­rusan telah pergi saja men­jauh di belakang – dia putar balik.

Sejenak, ada semacam energi yang menyetrum te­pat di jantungku. Bergetar dan kejang! Entah mengapa serasa ada de ja vu saja saat itu. Kini aku teringat akan cerita Toni kemaren malam: Monalisa. Secepat kilat, bulu kuduk pun merinding, saraf-saraf tegang, dan aliran darah terasa tersendat-sendat me­nyusuri nadi yang ciut. Aku tak berani lagi memalingkan wajah kepada si perempuan yang masih terdengar jelas bunyi langkah kakinya. Aku sungguh-sungguh terpaku dalam bayangan mengerikan yang bersemayam di kepala. Tak lama sesudah pikiran itu hadir, ketegangan semakin merenggut nafas ini. Lampu di seantero kampung padam. Sekeliling mulai gelap dan hening yang memergoki menjelma ketakutan!
(Cerpen Karya: RIKI FERNANDO, Dimuat di Harian Haluan, 19 September 2015)

23 Oktober 2015

Kematian Puisi

KEMATIAN PUISI

Cerpen: Sandi Firly (Kompas 4 Oktober 2015)

Kelopak matanya yang kendur dan keriput perlahan membuka. Kemudian menutup lagi—mungkin karena cahaya lampu ruangan yang putih terang terlalu menusuk matanya yang sudah tua. Sesaat, bola mata yang sudah tak lagi benar-benar hitam, lebih cenderung coklat, karena dimakan usia itu pelan-pelan terbuka lagi. Dan dilihatnya dua perempuan muda cantik berpakaian putih-putih sedang menatapnya dekat-dekat.

4 Oktober 2015

Cara Enteng Bikin Terasi


Karena makin mahalnya harga terasi colek di pasaran, siapapun Anda bisa bikin terasi sendiri. Jika kebetulan dekat  pesisir banyak ikan teri atau rebon dari hasil jaring, belilah. Atau bisa saja dicari di pasar ikan. jika agak mahal, cobalah pakai ikan rebon (anak udang). Prosesnya gampang, tinggal ditaburi garam sebanyaknya, ini untuk menghindari bakteri. Kemudian sebelum dijemur di terik matahari ditumbuk pakai alu. Campuri gula merah biar agak lunak. Kadang pula dijemur dan ditumbuk, dijemur lagi, tumbuk lagi, hingga tampilan terasi itu sempurna. Lagi pula terasi bikinan sendiri jauh lebih enak karena tak tercampur benda-benda yang tak layak.

Bahan ikan asin
Kalau mau gampang, ikan asin jadi pun bisa dibuat terasi, misal ikan asin teri, asin udang. Caranya ya..ditumbuk campur gula, diaduk-aduk sampai kental, bisa sedikit campur air hangat agar lunak. Jika kebasahan, ya jemur. Setelah itu bungkuslah dengan daun pisang kering. Demikianlah, selamat mencoba!

26 Juli 2015

Merpati Nuh


Cerpen; Genthon Hsa (Kompas 12 Juli 2015)
Cerpen ini karangan belaka, hasil imajinasi penulis berdasar banyak bacaan, termasuk buku agama Samawi.

Sebelum turun dari bahteranya ketika air bah telah surut, Nuh mengutus burung Merpati putih berjambul memeriksa, sudahkah air tuntas terserap bumi, demikian sahibul hikayat. Yang pertama, merpati kembali membawa daun-daun pohon Zaitun. Yang kedua tujuh hari kemudian, merpati kembali dengan kaki-kaki terbalut lumpur.

Jauh hari sebelum kisah merpati ini, Lembah Tengah Dua Sungai, Mesopotamia, dilanda kekeringan hebat. Lama hujan ditunggu tak kunjung bertamu, ketika akhirnya tiba, ia turun sedemikian lebatnya. Kaum Bani Rasib yang berlega-hati ketika itu was-was, khawatir Wadd, Suwwa, Nasr, Ya’uq maupun Yaghuts habis sabar, menunggu persembahan lengkap yang belum dihaturkan. Menurut Ubara-Tutu dari Shuruppag, hanya berkurban dua gelundung kepala musuh dan dua ekor kerbau jantan jelas tidak cukup. Dibutuhkan kurban jiwa anak-anak yang masih murni, laki-laki dan perempuan.

Mungkinkah terjadi isi orakel Lembah Sungai Nil, ’bah’ akan menggenangi muka bumi?! Per-Wadjet, Ular Cobra Kuil Mesir yang diagungkan, membisikkan akan datangnya air bah, tidak sendirian. Nahm atau Nuh, anak Lamik Lamaka cucu Matu Salij, mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, memperingatkan hal yang sama. ”Hukuman Tuhan atas orang-orang yang tak mau beriman kepada-Nya bisa berupa apa saja,” katanya. ”Bila Tuhan Seru Sekalian Alam berkehendak, betapa mudah bagi-Nya menenggelamkan seluruh muka bumi ini,” tambahnya.

Kebebalan manusia tetapi, suka menantang celaka. Sebelum ada peristiwa mereka tidak percaya, pongah mengundang bencana. Nuh dengan tekun dan prihatin terus berusaha menyadarkan kaumnya, para penyembah berhala. Dan bukannya sadar, mereka malah mendirikan ziggurat, kuil persembahan, yang lebih besar lagi. Di Bukit Buto, baru setahun yang lalu ziggurat dengan tiga ratus anak tangga, didirikan. Patung-patungnya terbuat dari batu khusus asal Kirk’uk, yang dikerjakan sangat teliti oleh Togrodus dari Eshnunna. Sejak Ziggurat Bukit Buto berdiri, upacara penyerahan kurban dilakukan di sini. Orang berduyun datang. Bila ada anak manusia yang dikurbankan, orangtua dan keluarganya mendapat tempat kehormatan di baris pertama. Tangis mereka dibutuhkan untuk meyakinkan para dewa, betapa kurban adalah anak-anak yang dikasihi dan disayangi.

Saat hujan badai terjadi, tak ada yang sempat ke Bukit Buto. Air sungai meninggi, luapan tinggal dinanti. Orang berdoa menyebut nama dewa mereka dengan gemetar, ndremimil memohon perlindungan, agar banjir yang pernah melanda tidak terjadi lagi. Banjir yang menghancurkan, banjir mematikan. Ladang pertanian ludes, ternak lenyap, penduduk Ur seperempatnya hilang tak pernah pulang. Doa mereka terjawab petir terang-benderang, gemuruh guntur dan bunyi gedebum keras menderak bumi, sungguh menciutkan hati.

Nuh sedang membangun perahu. Sebuah perahu besar dari kayu, sangat besar, disebutnya bahtera. Perahu raksasa itu untuk mengangkut keluarga dan pengikutnya, bila bah tiba. Tetapi Nuh membangun perahunya di punggung bukit, tidak di pinggir pantai. Entah bagaimana ia akan meluncurkannya ke laut, bahtera seukuran kandang sapi isi tiga ribu ekor itu menjelang jadi. Orang berkelakar tentang keledai pembuat angsa gembung di puncak gunung, berencana tamasya membawa keluarga ke tengah laut, diiring gelak-tawa tak ada habisnya. Nuh biasa dicemooh orang. Kemana pun ia pergi mengajak orang beriman kepada Tuhan, ia dicibir, dimaki, dilempari sandal, batu, dilempari kotoran lembu. Beberapa kali ia pingsan kepala berdarah, terkena batu atau pukulan kayu. Bila itu yang terjadi, seekor merpati putih akan datang menghampiri memasukkan sebutir kurma ke mulutnya. Baru ketika sadar Nuh tahu, dirinya telah dibuang orang ke pecomberan.

Nuh dan kaumnya hidup di daerah yang sangat subur, kawasan peluberan air sungai Eufrat dan sungai Tigris itu dilapisi sedimen aquatik, endapan lumpur yang menjadikannya layak ditanami dan dihuni. Di luar keluasan tanah pertanian bumi gersang-kerontang, tanah gurun berbatu, tak tampak pohon walau hanya sebatang. Selain beternak ayam, kambing, babi dan sapi, warga bertanam gandum, biji-bijian, sayuran, ubi-ubian, bumbu dapur dan obat-obatan. Meniru bangsa Mesir, mereka mengatur pengairan ladangnya dengan bantuan instalasi irigasi, membuat kanal-kanal, membangun bendungan dan waduk tandon air. Mereka juga membangun sarana pengendalian banjir, yang kerap memberi manfaat.

Hujan badai sederas itu membuat warga curiga dewa-dewa marah, orang gila itu dibiarkan hidup bersama mereka. Nuh, siapa lagi! Orang mengumpatnya ’Keledai Dogol’, perangai halus mulut bodhol. Mereka benci melihat Nuh mengajak orang menyembah Tuhan Yang Satu, lalu mengejek tuhan-tuhan kaumnya sebagai dewa semati batu. Wadd bersaudara disebutnya tuhan tanpa kesaktian, lebih bodoh dari kerbau. Memelihara diri sendiri pun berhala tidak mampu, bagaimana bisa berkuasa atas manusia? Nuh mengakui, kaumnya bukan bangsa pemalas dan dungu, tetapi mengapa menyembah berhala, patung buatan sendiri?! Patung yang bahkan tak bisa marah bila ada anak nakal mengencingi mukanya.

”Anak Lamik Lamaka harus mati!”

”Nuh harus mati, Nuh harus mati......,” terdengar suara geram sementara orang. Namun...., mendadak hujan berhenti. Begitu saja, tanpa tanda-tanda. Sedemikian deras, bagai dituang dari langit jatuhnya air, lalu tiba-tiba mandeg. Orang tercengang tak percaya. Lalu matahari muncul dari balik awan, bersinar indah sekali. Mereka keluar, berdiri di depan pintu. Seluruh pemukiman dikepung air, air. Bila hujan tidak berhenti, segera semuanya akan tersapu banjir, pasti.

Meski sejauh mata memandang hanya air, lantai rumah tidak terbenam. Mereka bergerak menuju ladang, yang begitu mereka khawatirkan. Baru pekan depan hasil akan dipanen, hujan badai tiba di tengah malam buta. Dan mereka melangkahkan kaki, perlahan, tak bisa berlari. Hingga mereka terhenti, takjub. Ladang masih ada, lengkap bersama hasilnya. Kerusakan kecil ada di sana-sini, tak seberapa, siapa percaya?! Segera mereka berlari ke arah datangnya suara berdentum saat hujan tadi, ke ziggurat Bukit Buto. Orang pun gemetar ketakutan, ziggurat ambrol. Patung-patung dewa roboh, pecah berantakan.

Walaupun kaum Nuh pandai matematika, menghitung lingkaran 360 derajat, memiliki kalender 12 bulan berdasar perhitungan bulan dan perhitungan matahari, Nuh dianggap dukun dengan segudang ilmu sihir. Berapa kali orang mencarinya untuk dijahati, Nuh tersembunyi, tak dijumpai. Kalau orang sudah melupakannya, ia muncul lagi mengajak orang beriman kepada Tuhan. Ketika ada yang berniat membakar perahunya, Nuh beserta perahu sebesar itu lenyap. Dan di sekitar rumahnya mendadak banyak singa berkeliaran.

Waktu berjalan, peristiwa berlalu. Bahtera selesai dibangun, sempurna. Langit biru, awan tipis bagai kapas putih menyaput rata. Matahari terik, udara panas, angin mati. Kerbau bersungut mencari lumpur tempat berkubang. Di atas Ur gagak-gagak hitam terbang gelisah mengitari kota, menggambar gelap, berkaok serak menusuk gendang telinga. Ziggurat-ziggurat dipenuhi persembahan, kegersangan kembali bersinggasana.

Benar-benar hanya gagak, burung yang lain tak tampak. Dari sebuah pondok di pinggiran kota, Rahmah istri Sam anak Nuh pergi tergesa-gesa, mencari bapak mertuanya. Bukan kebetulan, pasti, yang dicari sedang berjalan ke arah dari mana ia datang. Terbata-bata ia mengabarkan, air telah memancar keluar dari tempat pemanggangan roti di dapurnya, sangat deras. Bergegas Nuh mempercepat langkahnya dan benarlah, dari rumah anaknya air membanjir dan mulai menggenangi pekarangan, terus mengalir menuju lembah bawah. Nuh meniup terompetnya, cangkang kerang laut bersuara merdu, panjang berulang. Lalu ia mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya meninggalkan rumah mereka.

Kesibukan di lokasi bahtera terutama memuatkan barang dan ransum makanan untuk jangka waktu panjang. Segala jenis binatang, sepasang-sepasang, lengkap makanan mereka, diikutsertakan. Ketika terdengar suara jeritan diiring bunyi barang jatuh, Nuh mengusap muka dan dadanya, memohon ampun ke hadirat Ilahi. Ia menyesalkan sebagian anak buahnya yang belum mantap beriman. Nuh mendatangi dua orang lelaki yang jatuh terpeleset saat meniti anak tangga, hendak memasuki bahtera. Mereka mengerang.

”Tak usah mengaduh, bangun kalian,” perintah Nuh. Dengan susah-payah kedua orang itu berdiri. ”Semua yang naik bahtera harus memulai dengan menyebut Asma Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah kalian lakukan?” Terdengar jawaban ”Ya,” walau tidak serentak. ”Lalu, mengapa kalian terjatuh?!” Nuh menggelengkan kepalanya lalu berkata, ”Cepat, mintalah ampun ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha Pengampun.” Kedua orang itu segera melakukannya dengan bersujud mencium bumi.

Mereka kembali bekerja, memuatkan yang masih tertinggal. Dari bawah terdengar gemuruh air yang mulai membanjiri seluruh lembah. Kecuali di sekitar perahu Nuh, hujan turun dengan derasnya. Ketika kedua orang yang jatuh tadi meniti tangga hendak memasuki bahtera, lagi-lagi mereka terpeleset dan jatuh ke tanah. Tak ada keributan. Semua takut memandang Nuh, yang mendekati keduanya sambil berkata, ”Ada apa dengan kalian? Jangan engkau menaiki perahuku membawa kesangsian dan kotornya pikiran. Berserah-dirilah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah kalian telah berdoa dan menyebut Asma-Nya?” Kedua orang itu mengangguk.

”Apa kalian membawa sesuatu yang mengotori hati, memberati iman?” Kedua orang itu menggelengkan kepalanya. Nuh lalu bersiul, seekor merpati yang ia lepas terbang dan telah kembali, datang menghampiri, menjatuhkan secuil pecahan batu di tangannya. Setelah memeriksanya Nuh bertanya, ”Batu apakah ini?” Kedua orang itu geleng kepala sambil menunduk. Lengang...., sekian lama sunyi. Semua orang takut, bahkan hanya untuk bernapas.

Lalu seorang perempuan berteriak dari atas perahu, ”Itu batu pecahan patung Ziggurat Buto, ia yang bawa. Ia suami saya.” Segera Nuh memerintahkan kepada siapa saja, membuang batu pecahan berhala bila ada yang membawa. Ternyata selain kedua lelaki itu tak ada yang melakukannya. Dan setelah mereka membuang batu-batunya, termasuk yang dipakainya sebagai mata cincin, batu akik, di jari tangannya, kedua lelaki itu berhasil menaiki bahtera. Kelegaan nampak di wajah-wajahnya, beban serasa hilang. Air semakin tinggi, bahtera telah diangkat air kaki-kakinya dan mulai bisa mengapung, bisa berlayar.

Badai kencang sekali, bersuit-suit membekukan hati. Warga Ur berlarian mendaki bukit dan kaki gunung, berusaha menyelamatkan diri. Yang jatuh ke air melolong minta tolong, tak ada yang bisa mendekat meraihnya, kecuali gulungan ombak yang segera menelannya. Kan’an putera Nuh, menolak datang ke perahu ketika ayahnya memanggilnya. Dengan sombong ia berteriak, ia pasti selamat naik ke puncak bukit tertinggi. Nuh kecewa, hanya bisa mengusap air matanya. Dan air terus meninggi. Merpati putih Nuh yang selalu setia menemani tuannya hinggap di pucuk tiang utama bahtera. Ia perkasa kerna ia tanpa dosa.
14 Juli · Publik · di Foto Kronologi
Tampilkan Ukuran Penuh · Kirim sebagai Pesan · Laporkan
Nurlaeli Umar dan 116 orang lainnya menyukai ini.
Tulis komentar...

Lampirkan Foto · Menyebut Teman
Mada Mahli
cerpen ini bagusnya dimana ya? nggak ngerti
Suka · 2 · Balas · Laporkan · 14 Juli
Azizah Masdar
kadang penikmat jdi memaksa untuk sepaham sama penulis...
Suka · 2 · Balas · Laporkan · 14 Juli
Nurvianti Siti
bagaimana bila dosa dan tak dosa sudah tergaris di lauhul mahfudz sebagaimana surga dan neraka? masihkah kita melawan takdir untuk yg berdosa? hahahaha
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 14 Juli
1 balasan
Damar Hening Sunyiaji
saya selalu suka cerita bahtera Nuh, yang ini banyak sekali referensi keren yang belum begitu banyak diekspos smile emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
1 balasan
Adnan Azhari
Juru selamat dari tanah nan tandus
Suka · Balas · Laporkan · 16 Juli
Arif Zindagi
merpati putih, simbol ruh al-quds kah?
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
Alzhou Pramudya
Hikayat
Suka · Balas · Laporkan · 14 Juli
Maman Suryaman Kuningan
bercerita seperti metamorfosanya Tuhan terhadap Nusantara abad terkini.......... warning,

6 Juli 2015

Cincin Akik di Kamar Mandi

Cerpen Kompas 5 Juli 2015
Oleh Harris Effendi Thahar

Belum selesai jamaah berzikir sehabis shalat subuh, terdengar garin masjid meraih mikrofon.Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa adawarga yang meninggal.Benar saja, Haji Jamal pensiunan Kantor Pajak, meninggal dini hari tadi di Rumah Sakit Besar. Kabarnya, sebelum masuk Rumah Sakit Besar seminggu sebelumnya, Haji Jamal terjatuh di kamar mandi sehabis buang air besar.

Memang, beberapa hari belakangan Haji Jamal tidak kelihatan ikut shalat magrib dan subuh berjamaah di masjid.Biasanya, kalau Wen duluan datang ke masjid, ia mendatangi dan menyalami Wen.Gampang menandainya, karena kebiasaan Haji Jamal memakai peci hitam bersulam benang emas, seperti biasa dipakai engku-engku datuk di tanah Minang serta berbaju koko berenda-renda.Hanya dia yang memakai peci seperti itu.Selain itu,Haji Jamal selalu memakai parfum khas Arab tiap datang ke masjid. Wen suka shalat di samping dia, ketimbang di samping Bang Malo, penjual ayam potong,berkumis ubanan yang bau tembakau dan apak asap rokok.Wen juga tidak suka shalat di samping lelaki muda penjual pulsa telepon yang kebiasaannya tiap sebentar mendehem dan sendawa seperti habis menegak tuak meski sedang shalat.

Haji Jamal orang baik, setidaknya di mata Wen.Dia selalu memberi kabar bahwa dia sudah baca tulisan Wen di koran lokal dan dia senang, lalu menyalami Wen. Tempo-tempo Wen menulis kolom dan kadang-kadang menulis komentar.Sejak Wen pensiun, Wen semakin gencar menulis untuk koran lokal, sekadar untuk menangkal atau menunda datangnya pikun, andaikata usia Wen dipanjangkan Allah.Kata orang, kalau usia senja tidak dibarengi dengan kegiatan membaca, kalau dapat sekalian menulis, bakal cepat pikun.Sejak muda Wen memang terbiasa menulis di koran-koran lokal sekadar menyalurkan hobi.Hobi itulah yang dilanjutkannya lagi setelah pensiun.

Belum lagi seminggu, Senin sebelumnya, Ustad Qamat pula yang meninggal.Beliau sering menjadi imam pengganti shalat subuh di masjid kalau imam tetap berhalangan.Akhir-akhir ini imam tetap memang sibuk setelah diangkat menjadi salah seorang anggota MUI.Ustad Qamat belum tua benar, tapi konon mengidap tekanan darah tinggi. Menurut kabar yang berkembang, Ustad Qamat terjatuh di kamar mandi rumah istri mudanya, lalu pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit Besar.Sampai meninggal dua hari kemudian, dia tak sadar-sadarkan diri.

Sewaktu melayat di rumah duka Ustad Qamat, Wen duduk bersebelahan dengan Haji Jamal.Malah terlibat percakapan serius mengenai ajal manusia. Satu kalimat Haji Jamal yang masih terngiang di telinga Wen waktu di rumah duka itu adalah, ”Inilah rahasia Allah.Siapa yang tahu, tak berapa lama lagi, salah seorang di antara kita yang hadir ini menyusul Ustad Qamat.Entah besok entahlusa…”

”Ya, Ji. Allah yang tahu,” balas Wen.

Mengingat itu, Wen jadi bergidik.Sepertinya Haji Jamal meramalkan sendiri hari kematiannya.Kata orang, biasanya jika seseorang sudah dekat ajalnya, akan keluarlah ucapan-ucapan yang mengarah ke pintu kubur dari mulutnya.Kadang-kadang diikuti oleh tingkah laku aneh yang tidak biasa dilakukannya.

Wen masih ingat, setahun lalu, subuh pertama Wen shalat di masjid yang cuma tak sampai tiga ratus meter dari rumahnya itu, Wen merasa asing.Masjid itu terletak di antara dua kompleks perumahan yang dibangun bersamaan dengan kepindahan Wen ke salah satu kompleks itu dulu, lebih tiga puluh tahun lalu.Bukan apa-apa, hanya karena selama ini Wen khawatir terlambat karena terjebak macet pergi ke kantor, maka shalat subuh Wen selesaikan saja di rumah.Setelah sarapan, cepat-cepat Wen berangkat ke tempat kerja meski masih pagi sekali.Begitu juga sore hari, Wen sampai di rumah hampir selalu bertepatan dengan waktu magrib. Barulah ketika masa pensiun itu datang Wen berusaha menjadi jamaah tetap masjid Almakmur, terutama untuk waktu magrib, isya, dan subuh.

Masjid Almakmur sepertinya ditakdirkanuntuk orang-orang pensiunan. Tidak banyak memang, lebih kurang dua puluhan untuk jamaah harian laki-laki. Jamaah perempuan lebih kurang sama karena sebagian besar ikut suami ke masjid.Oleh karena itu, Wen hafal betul wajah-wajah jamaah harian masjid Almakmur.

Sebutlah Pak Mul, bendaharawan masjid, paling gampang menemuinya. Sebelum waktu shalat masuk, biasanya ia telah duduk di samping tiang besar sayap kanan masjid sambil bersandar.Pak Mul selalu berbaju koko putih dan berpeci putih menandakan bahwa ia sudah berhaji.Sepengetahuan Wen dia tak pernah pakai batik.Batik panjang lengan selalu dipakai mantan Ketua RT yang juga pensiunan kepala tata usaha sebuah SMA ternama.Ia selalu membawa sajadah kecil berwarna biru dan setia mengambil tempat di belakang imam.

Akan tetapi, Pak RT ini, begitu ia dipanggil, tidak bersedia disuruh menjadi imam pengganti meskipun ia berada tepat di belakang sajadah imam. Biasanya, orang yang tepat berdiri di belakang imam harus bersedia menggantikan imam apabila sewaktu-waktu diperlukan.Tidak demikian halnya Pak RT, meski ia tetap berdiri di situ, di belakang imam.Seolah-olah tempat itu sudah menjadi miliknya sejak dulu kala. Jamaah lain seperti tidak mau mengusiknya kalau dia datang.

Lain lagi Profesor Kuman, wajahnya selalu cerah, klimis dan murah senyum.Senyumnya selalu mengambang seakan memamerkan kerapian gigi tiruannya yang putih kekuning-kuningan.Meski usianya sudah di atas tujuh puluh, pecinya selalu modis, berganti-ganti setiap hari.Kadang memakai peci Pakistan, kadang seperti orang Arab, kadang memakai peci hitam ala Soekarno, dan ada kalanya memakai peci Makassar yang pernah dipromosikan Gus Dur sewaktu menjadi presiden. Profesor Kuman inilah orang yang paling rajin berjabat tangan.Begitu dia masuk masjid, langsung menyalami setiap orang, tua-muda, besar-kecil, tidak peduli anak-anak balita.Begitu juga kalau dia mau keluar masjid, juga bersalaman dulu hampir ke setiap orang.Wen tahu betul, begitu melihat Profesor Kuman datang, ia langsung menyodorkan tangan kanannya, bersalaman, lalu bertanya sedikit mengenai nama batu akik yang sedang dipakai Profesor Kuman di jari manisnya.Biasanya dia mengganti setiap kali ke masjid cincin akiknya yang aneka warna.Menurut dia, semua itu merupakan kiriman anaknya yang bekerja di sebuah kota di Kalimantan.

”Apa ada cincin akik yang Prof kurang suka, saya bersedia menerimanya,” kata Wen merayu.

”Oh, jangan begitulah Pak Wen.Jika Pak Wen mau, besok setelah shalat Jumat saya kasih Pak Wen.Cincin akik saya banyak. Ha-ha-ha.... Alhamdulillah.”

Kamis malam, sebelum tidur Wen ceritakan juga pada istrinya bahwa kalau Profesor Kuman tidak lupa, sehabis shalat Jumat esok ia akan mendapatkan cincin akik.Akan tetapi, setelah selesai shalat sunat sehabis shalat Jumat, Wen tidak melihat Profesor Kuman.Padahal, malamnya Wen bermimpi menerima segenggam cincin akik dari Profesor Kuman di halaman masjid. Akhirnya Wen menafsirkan sendiri mimpinya bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan cincin akik dari lelaki tua itu. Tapi, apakah dia sakit? Kabar itulah yang belum didapat Wen.

Barulah selesai shalat magrib Wen dapat cerita bahwa Profesor Kuman masuk rumah sakit akibat terjatuh di kamar mandi.Konon, Profesor Kuman terpeleset sewaktu mau mengeruk lubang WC mengambil cincin akiknya yang jatuh ke situ.Kemungkinan besar lantai kamar mandinya licin karena lelehan sabun cair yang tumpah.Tidak ada yang tahu persis bagaimana peristiwa itu sesungguhnya, karena istrinya yang juga sudah tua juga baru tahu setelah ia ingin menggunakan WC, tiba-tiba melihat suaminya sudah tergeletak.

Sambil mengikat tali sepatu Wen berpikir-pikir tentang Profesor Kuman yang kini sedang dirawat di ICU Rumah Sakit Besar.Wen meneguhkan hatinya untuk jalan kaki tiga kilometer Sabtu pagi itu.Olahraga jalan kaki itu telah rutin dilakukannya tiga kali seminggu kalau tidak hujan dan kalau tidak sedang sakit. Menurut Wen, hanya jalan kakilah olahraga yang paling murah agar tetap sehat dan bersemangat.Sejak pensiun, Wen selalu menambah butir doanya dengan meminta disehatkan dan dijauhkan dari segala macam penyakit.Tentulah tidak serta merta dikabulkan Tuhan kalau tidak diiringi dengan usaha, antara lain dengan berolahraga dan tidak merokok.

”Apa yang bapak pikirkan?”

”Banyak.Orang setua saya tentu banyak pula yang dipikirkan.”

”Bukan berarti saya melarang Bapak berpikir. Tapi, janganlah yang berat-berat, yang bisa menyebabkan Bapak stres.”

Wen hanya tersenyum kecut sambil berpikir-pikir, ”Hal apa ya, yang menyebabkan saya berpikir hingga stres?”

”Bapak kebanyakan nonton berita televisi ya?”

”Biasalah dokter, namanya orang pensiun.”

”Bapak suka berita politik apa gosip?”

”Kalau politik bagaimana?”

”Nah. Itu!”

”Kenapa dokter?”

”Saya saja yang masih muda bisa stres menyimak berita politik sekarang.Apalagi Bapak? Soal KPK dikriminalisasi saja, saya stres.”

”Sama dok. Tapi, bukankah itu normal?”

”Bapak harus segera periksa tekanan darah kalau sudah merasa tidak enak badan.Ini, kalau sudah 180 ini, Bapak harus hati-hati. Jangan dibiarkan,” kata dokter Askes itu sambil memanggil pasien giliran berikutnya.

Baru saja shalat magrib selesai, garin masjid terdengar meraih mikrofon.Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa ada warga yang meninggal.Jangan-jangan jamaah tetap masjid. Memang, seperti yang diduga Wen, Profesor Kuman meninggal senja tadi.Semua jamaah magrib diminta untuk melayat serentak ke rumah duka yang tidak seberapa jauh dari masjid.

Di rumah duka, didorong rasa penasaran, Wen sempat nyelonong memeriksa kamar mandi Profesor Kuman.Kamar mandi itu berlantai keramik putih bersih. Wen penasaran, lalu masuk dan mencoba menginjak lantainya yang bersih itu dengan debaran jantung seperti gendang.Ternyata tidak licin.Wen mencoba membuka penutup kloset, spontan saja memeriksa kalau-kalau masih ada cincin akik Profesor Kuman seperti yang diberitakan di dalamnya.Ketika Wen secara spontan mencoba memasukkan tangan kirinya ke dalam gua kloset itu, pintu kamar mandi itu berderit, seseorang membukanya.Wen kaget, tidak menduga akan dipergoki, ditimpa rasa sesal mengapa tidak mengunci pintu dari dalam. Dalam keadaan kaget itulah iaterlonjak dan terpeleset jatuh.Wen merasa pusing sepusing-pusingnya, tertelentang, sementara orang yang tadi membuka pintu dan melihat ada orang, juga kaget dan cepat-cepat pergi.

Wen merasa melayang-layang dan berusaha berdiri.Akan tetapi semua anggota tubuhnya seperti tidak mau digerakkan. Lidahnya pun kelu. Tiba-tiba pandangannya gelap dan akhirnya tersadar setelah berada di kamar rawat inap Rumah Sakit Besar.

Begitu tersadar, kata pertama yang keluar dari mulut Wen adalah, ”kamar mandi.”

”Kenapa kamar mandi?” tanya istrinya.

”Kamar mandi kita harus dipasang pegangan di dinding-dindingnya,” katanya terbata-bata.

”Pegangan apa?”

”Besi pegangan, tempat berpegang agar tidak jatuh...,” kata Wen.

Setelah menyampaikan pesan itu kepada istrinya, Wen tidak berkata-kata lagi hingga dinyatakan meninggal seminggu setelah percakapan itu.

Ketika jasad Wen dimandikan di rumahnya, pemasangan pegangan tangan di kamar mandi Wen belum selesai dikerjakan tukang.

MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI

Cerpen Kompas
Oleh Ahda Imran

Ketika Mey memulai cerita ini dengan adegan orang mati yang mendatangi Istana Presiden, tiba-tiba saja Bapak muncul dalam kepala Mey. Menghadang dan menyeret orang mati itu keluar sebelum mencapai gerbang istana, memasukkan tubuh yang penuh bekas penyiksaan itu ke dalam drum, menutup drum dengan cara mengelas, memberinya pemberat, membuangnya ke laut.

Tak ada yang bisa dilakukan Mey, selain membayangkan bahwa ia tak bisa lagi menemukan orang mati itu sepanjang hari berdiri di bawah pepohonan, di tepi jalan, memandang lurus ke arah Istana Presiden.

Yang tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati dan peristiwa kematiannya. Tidak, bukan sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak lagi pohon serupa itu, tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air di seluruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan dahannya. Bila kau melewatinya lalu tempias datang dari arah pepohonan itu, kau akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah.

Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi pertumbuhannya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan Bapak untuk menyakiti ingatan Mey.

Kau tahu bukan, Bapak tak pernah berubah. Sejak kecil Mey menemukan Bapak sebagai orang yang pandai bersiasat, bukan hanya mengawasi tetapi juga menciptakan ingatan bagi Mey, Adik, dan Ibu.

Bahkan Bapak bisa menciptakan ingatan dari sebatang pohon tomat. Ini pernah terjadi ketika Bapak membunuh kucing kesayangan Mey dan Adik. Seorang pembantu diam-diam memberitahu bahwa ia melihat Bapak mengubur kucing itu hidup-hidup di halaman samping rumah, meski cerita Bapak kucing itu, mati tertabrak truk sewaktu lari ke jalan.

Mey menduga Bapak melakukannya bukan hanya karena Si Meong, kucing itu, sering berak di dalam rumah sehingga beberapa kali tahinya terinjak Bapak, tetapi ia memang tidak menyukai Mey dan Adik terlalu menyayangi kucing itu. Atau, mungkin ada sebab lain yang Mey tidak tahu. Yang terang, Bapak hanya mengatakan bahwa ia sudah mengubur kucing itu dan menanam sebatang pohon tomat di atasnya.

Mey dan Adik mememandang pohon tomat itu, tumbuh di atas kubur kucing kesayangan mereka. Semakin tumbuh besar, pohon tomat itu semakin menghubungkan ingatan Mey dan Adik dengan Si Meong, sehingga pernah Adik bercerita bahwa ia ditertawakan temannya-teman karena mengatakan kucingnya berubah jadi pohon tomat.

Ketika pohon tomat itu berbuah lebat, Mey dan Adik membiarkan tomat-tomat bergelantungan di batang pohonnya dengan indah. Ibu lalu memasang kayu penyangga agar di dahan pohon itu tidak rubuh karena digelantungi oleh buah-buahnya. Suatu hari Bapak memetik buah-buah tomat itu, lalu dengan sengaja memakannya bulat-bulat di depan Mey dan Adik. Bapak menggigit dan mengunyah tomat besar dari pohon yang akarnya menghisap sari makanan dari tubuh Si Meong dengan lahap, perlahan, sambil memandang ke arah Mey dan Adik dengan wajah puas. Mey dan Adik terpaku ngeri melihat air tomat itu berleleran dari mulut Bapak, menetesi pakaiannya, bening sedikit kemerahan seperti cairan tubuh Si Meong. Dan itu telah cukup membuat Adik menjerit-jerit…

Ibu dan Bapak lalu bertengkar. Ibu akhirnya membiarkan Bapak terus berteriak-teriak dari loteng. Mey dan Adik tak mengerti apa yang dikatakan Bapak. Mey ketakutan sambil memeluk Adik, memandang Ibu yang mengambil parang, menebang dan membuang pohon tomat itu bersama semua buahnya. Bapak berdiri di teras loteng.

Sebulan setelah itu Bapak membawa seekor anjing untuk Mey dan Adik. Anjing kampung warna hitam dengan airnya liur yang selalu menetes. Entah dari mana Bapak mendapatkan binatang yang kelihatan tak terurus itu. Walau tak terbiasa dengan anjing, Mey dan Adik akhirnya merasa senang juga bermain dengan binatang itu. Bapak lalu memberi nama anjing itu ”Fao”. ”Nama yang pantas untuk seekor anjing, bukan?” kata Bapak pada Ibu, Mey dan Adik setuju, ibu hanya diam.

Kesenangan Mey dan adik bermain dengan anjing itu tidak pernah membuat Bapak marah. Bapak selalu tertawa senang setiap kali melihat anjing itu menyalak-nyalak dan mendekat jika namanya dipanggil. Ia tertawa keras dan terdengar berlebihan. Saat itu Adik berpikir Bapak ternyata lebih senang mereka memelihara anjing ketimbang kucing, Mey setuju dengan pikiran Adik.

Malah Bapak sering menyuruh Mey atau Adik menggoda Ibu dengan membawa Fao ke dekatnya. Mereka senang sekali melihat Ibu bersikap serba salah dan tergesa menjauh pergi, menutup pintu kamar. Mey dan Adik menduga mungkin Ibu memang tidak suka pada anjing seperti Bapak tidak menyukai kucing. Sampai suatu kali ketika Mey dan Adik melakukannya lagi, wajah serta suara Ibu membuat kedua anak itu terdiam, kaget, takut. ”Tanyakan pada dia, mengapa tidak sejak dulu dia menguburku hidup-hidup!” Mey dan Adik merasa tidak sedang berhadapan dengan Ibu.

Dan di kemudian hari barulah Bapak mengatakan pada Mey dengan puas mengapa ia dulu memberi nama ”Fao” pada anjing itu. ”Fao adalah nama lelaki yang pernah menjadi kekasih gelap Ibumu!”

Mey ingin menceritakan hal itu pada Adik, tetapi Mey tidak tahu di mana adik lelakinya itu berada, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Diam-diam Mey merasa Bapak sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Adik. Bapak memang selalu menganggap Adik suka menghasut, merongrong, bahkan berani menentang Bapak. Mey bertambah cemas ketika suatu hari Bapak menanam sebatang pohon tomat di halaman samping rumah.

Mey memanggil pelayan, memintanya membawa kembali pesanannya yang baru datang untuk menyingkirkan irisan-irisan tomat dari makanannya. Mey melarikan pandangan ke luar sewaktu pelayan mengangkat piring makanan berisi irisan tomat itu dari meja. Di luar, dari ketinggian tingkat sebuah gedung di mana kafe itu berada, ia melihat garis-garis hujan yang melayang berjatuhan, deras seperti jutaan anak panah.

Setelah pelayan itu menghilang, Mey memanggil pelayan yang lain, memesan menu yang lain, sambil mengatakan agar pelayan sebelumnya tidak perlu membawa kembali makanannya tadi. ”Sebaiknya dia membawakan saya segelas air putih daripada membawa lagi makanan yang sudah terkena irisan tomat itu,” kata Mey.

Irisan-irisan tomat itu telah menghubungkan Mey dengan Bapak. Seseorang yang sejak kecil Mey tak pernah mengenalnya melebihi segala ingatan buruk tentang loteng. Loteng yang pelan-pelan mengubah Bapak menjadi sesuatu yang tak pernah dikenali, selalu mengirimkan bisikan-bisikan yang menakutkan. Bisikan yang menjadi amarah ketika ia ditentang sebagaimana Mey selalu mengingatnya, ketika tiba-tiba rumah dipenuhi api. Dalam kobaran api Mey melihat tubuh Ibu hangus terbakar, di tengah suara Bapak yang tertawa sambil menyeret dan menindih tubuh Mey.

Mey menatap halaman kosong layar laptopnya, setelah tadi ia menghapus alinea pertama cerita ini. Orang mati itu dicegat Bapak sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Kau pasti paham benar, Bapak mustahil membiarkan seseorang menghidupkan kembali orang mati itu meski Mey hanya ingin menuliskannya dalam suatu cerita. Mey hanya boleh memiliki masa lalu sebagaimana Bapak menginginkannya sebab masa lalu hanya milik Bapak. Untuk Mey, Bapak hanya memberi masa lalu berupa ingatan tentang orang-orang mati dan seorang anak. Anak perempuan yang lahir tanpa lidah.

Semestinya Mey hidup dengan masa depan di kota yang lain. Mey bukan tidak tahu bahwa itulah yang juga diinginkan Bapak agar ia pergi dan melupakan kota itu, satu-satunya cara untuk keluar dari ingatan yang dikuasai Bapak. Mey hanya tersenyum setiap kali pikiran itu muncul, seakan ingatan itu berupa lorong yang terputus ketika kau memasuki kota yang lain. Mey tahu bahwa sebenarnya ia diam-diam sedang menentang Bapak, bertahan di kota itu untuk menerima semua ingatan tentang masa lalu, untuk merebutnya dari Bapak.

Tetapi, nyatanya Mey harus menghapus adegan dalam alinea pertama cerita ini. Mey tak bisa merebut ingatan itu dari Bapak. Ia tak berani berbuat apa pun, membiarkan Bapak menyingkirkan orang mati itu ke dasar laut yang paling gelap sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Selama belasan tahun, setiap sore Mey mendatangi kafe itu untuk menulis cerita ini dengan alinea pertama yang selalu dihapusnya kembali dan ditulisnya kembali di hari berikutnya, lalu berjam-jam ia hanya memandangi halaman kosong laptopnya dengan tangan yang terkulai lemas. Bapak selalu muncul dari arah yang tak terduga dalam ingatan Mey.

Di luar hujan telah reda dan pelayan di kafe itu hafal benar kebiasaan Mey; menutup laptopnya, meminta segelas air putih lagi, memandang ke luar, lalu meminta bill. ”Ceritanya sudah selesai, Tante?” Begitu selalu pelayan bertanya meski ia sudah tahu jawaban Mey, ”Besok, besok, Tante akan datang lagi, sedikit lagi ceritanya selesai.” Hari itu Mey mengucapkannya dengan suara perlahan.

Mey tidak menuju basement mengambil mobilnya. Ia terus berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Pohon tempat orang mati itu berdiri menatap Istana Presiden. Hanya pohon itu yang tersisa sebagai ingatan Mey karena Bapak selalu menyembunyikan orang mati itu di dasar laut, juga orang-orang mati lainnya. Dan ketika kau sampai di kalimat terakhir sebuah cerita yang tak pernah bisa ditulis oleh Mey, Mey sedang berdiri di bawah pohon itu, memandang dan berjalan ke arah Istana Presiden. Lalu Bapak….
27 Mei · Publik · di Foto Kronologi
Tampilkan Ukuran Penuh · Kirim sebagai Pesan · Laporkan
Lukas Jono dan 120 orang lainnya menyukai ini.
Tulis komentar...

Lampirkan Foto · Menyebut Teman
Ade Ubaidil
Kenapa istana presiden? Terlalu banyak turunan dan variabel. Menurut saya plot ceritanya jadi kurang fokus.
Suka · 4 · Balas · Laporkan · 27 Mei
1 balasan
Ai Rinn
Jika tokoh Mey memang sengaja digambarkan seperti penderita gangguan mental, skizofernia, kacau dan fikirannya liar tak terarah serta tak mampu dimengerti maksud dan tjuan dari semua yg ia lakukan. Maka, cerita ini berhasil menampilkan semua itu.
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 6 Juni
Atunk Nrimoingpandum
Tokoh "Fao" muncul lalu tenggelam begitu saja...
Suka · 1 · Balas · Laporkan · 28 Mei
Ade Ubaidil
Semakin sulit mengklasifikasi cerpen seperti apa yg dicari kompas selain karya2 senior...
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei
Fadli Changed ToBe Better
luar biasa... saya baru menemukan gaya penulisan yang seperti ini.... saya mengulang 2... 3.... lebih, tapi tak cukup untuk memahami keseluruhan dari isi kepala sang penulis.... saya juga kadang menemukan karya yang endingnya menggantung, tapi tidak separah ini tergantungnya....
Suka · Balas · Laporkan · 7 Juni
1 balasan
Anggi Ridho Habibi
bingung ceritanya mau dibawa kemana, dan pada akhirnya memang tidak dibawa kemana2. sedikit kecewa sama yg minggu ini frown emotikon padahal tiap hari berusaha ngecek cerpen kompas udh update atau blm. but its ok, its a good story at all...
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei
Khoir Al-faroli
Dua kata yang membuatku bingung. "Istana Presiden" haha

Ada tanggapan. Komen" smile emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 31 Mei
Adnan Azhari
Terkesan keluarga yang terkekang. Bapak dengan ambisinya yang selalu menyudutkan
Suka · Balas · Laporkan · 31 Mei
Novriani Hanna
Keren,, tpi kurang menangkap ada apa dg istana presiden?
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei
Saifule Anware
kampret. kompas kalo ngga nerbitin karya senior2 yg sudah mapan, seringkali mendobrak konsep mainstream para penggiat kata2. asem! geleng2.

Dewi Gylispisan Uy

. cerpen ini rasanya udh pnh aq baca sebelumnya
Suka · Balas · Laporkan · 30 Mei

Mansur Muhammad

Mey-kah orang mati itu.?
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Itha Febriyanti

Bapak akhirnya bunuh Mey. Di istana presiden emg ada apanya sih?
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Ayu Widia

belum bisa menangkap maksud sebenarnya.. tpi halus pembawaannya..
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

S Kopsah

kurang di garis bawahi...ceritana
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Tania Kurniawati

sadar betul sulitnya bikin cerita dengan plot kayak gini -,-
Suka · Balas · Laporkan · 29 Mei

Elisa Apriliani

Klo beleh tau tadi bahas apa y...
Suka · Balas · Laporkan · 30 Mei

Tutus Damayanti

Lalu bapak menyeret mey keluar, memasukkan tubuh mey kedalam drum, menutup, memberinya pemberat lalu membuangnya kelaut.
Seremmmmm
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Qizink La Aziva

Mey. kematian. istana presiden. masa lalu.... keren.
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Rihan Nan

Ide ceritanya apa ya?
 
 

Fajar Ütomo

keren. tapi plotnya cukup ngebingungin.
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Naira Zania

Mey laki-laki ....
Suka · Balas · Laporkan · 28 Mei

Arif Zindagi

maauuu dibawaaa ke manaaa ceritanyaaaa.. ..
Suka · Balas · Laporkan · 12 Juni

Aldo Balado

Gak paham grin emotikon
Suka · Balas · Laporkan · 9 Juni