23 Mei 2015

Manusia Berbulu

(Cerpen Otang K.Baddy/Pikiran Rakyat 20 Januari 2013)

Sebagai manusia berbulu, tak sepatutnya kamu menaruh dendam padaku. Kendati demi keimanan boleh lapar atau demi kehormatan boleh miskin, namun istilah itu tak kena jika kamu terapkan. Malah teramat janggal. Sebab iman dan hormat pun kamu sudah tak punya.

Makanya jangan macam-macam.

Kamu harus diam. Seperti diamnya wanita gila atau mereka yang terpedaya dalam dekapmu. Terkesima, mungkin saja. Atau bisa saja mereka itu terlena dibalik kata-kata berbunga, yang mengalir indah bak sungai di taman nirwana. Indah dalam angan yang mengawang karena kebutaan cinta, sebaliknya bagiku itu sesuatu yang menyebalkan.

Namun sebelumnya sangat berdosa jika aku tega membiarkanmu dalam rana. Sementara kubuang tentang fakta karmamu yang berhembus dari bibir dan lidah sekitar kita. Pandangan mereka yang jujur, sorak dan tepuk tangan dibalik cibiran itu, telah kamu rasakan sebagai sayatan sembilu.

“Benar-benar pediih!” pekikmu seraya mengelus dada yang berbulu. Seharusnya kamu sadar, apa-apa yang telah kamu rasakan pilu itu, merupakan sebab-akibat dari keliaran nafsumu sebagai mahluk berbulu.

Mungkin karena kepiawaianmu, bulu-bulu di sekujur tubuh yang kasar bak duri-duri itu bisa tersulap halus dan lembut. Kamu memang kadang pandai menjaga penampilan.

Tapi jangan kira aku buta dan melihat seekor kucing berbulu halus saat aku kerap menolongmu dari pilu. Juga tak melihat berbulu domba ketika kadang mengamankanmu dari ancaman luar yang mamatikan. Kerap menolongmu, bukan atas panggilan jiwa semata, melainkan hanya sebatas teman, rekan kerja, disamping juga sebagai tetangga. Bukankah selain keluarga dan yang jauh lainnya harus menolong tetangga dulu?

Pun aku melihatmu sebagai manusia. Bukan sebagai kera di cagar wisata, yang kerap berkedip binal dimana melihat pengunjung wanita.

Memang kamu lelaki dengan kulit berbulu. Saat bulu-bulumu kasar, tak sedikit yang menyebutmu mirip celeng. Kendatipun suka makan cacing hidup-hidup --usai mencarinya di tanah basah, bukan berarti menunjukan diri sebagi hewan musuh petani. Bukan pula hewan sebaya yang dagingnya sempat diisyukan sebagai campuran baso itu. Ulah itu sekedar mengobati penyakit typhus-mu, yang dipercayai orang kampung saat tak mampu pergi ke dokter.

Tubuhmu yang kekar, serta otot-otot yang kencang menyembul, tak berlebihan jika ada yang menganggapmu jawara pilih tanding. Kendati olah-ragamu bukan arahan koni, namun sebagai pemanggul semen dan pengaduk pasir dalam kuli bangunan, telah mampu membentuk karakter tubuhmu yang tangguh.

Namun keperkasaan tubuh itu tak mampu menjadikanmu seorang pemimpin. Bukan pemimpin macam presiden-gubernur-bupati atau ketua partai. Jauh tanah ke langit, tahyul sekilas pun dunia macam itu –sekalipun ketua RT, bagimu tak tersirat. Hal sekecil apa pun positif kepifiguranmu seakan tak ada.

Rumahtanggamu yang kacau, pertanda perkasamu tak sebanding dengan jiwamu yang lembek. Bohong besar, jika dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pun pada suatu negara yang megah dengan mercusuar, ternyata di dalamnya sangat brobrok dan korup. Apa lagi kamu. Jangankan memangku keluarga, memimpin diri sendiri pun kadang masih labil.

Tapi kamu mengelus dada manakala ada yang menyebut dukamu adalah karmamu. Siapa mau menebar angin di situlah badai tertuai. Pisau atau seribu sembilu yang dirasa menyayat ulu hati, tiada lain dan tiada bukan adalah ulah-ulahmu yang bak berpisau-sembilu, menghunus-menyayat lain orang sebelumnya.

Istrimu kedua kalinya kini jadi tkw. Keempat anakmu tak terurus, menangis dan lapar tetap jadi beban mertuamu yang hampir lansia. Tapi aneh, kamu bilang istri dan mertuamu sama gilanya; “Dia tak menyayangi saya sebagai suami. Pun mertua yang wanita itu, terakhir ini kerap ngadat dan marah-marah pada saya. Ini benar-benar konyol!” sesalmu setengah mengambang.

“Hihihi..huhuhu…huhuy..!”

Hai tunggu dulu, tawa itu bukanlah melucu. Jika tak mau dikatakan sinis, boleh jadi sebagai bentuk protes atas pikiranmu yang pilon. Betapa tidak, kepergian istrimu menjadi tkw, baik saat pertama maupun yang kedua, adalah tersebab keliaran nafsumu yang telah melahirkan duri, jarum, pisau maupun sembilu di hatinya. Juga di hati atau jiwa sang mertua yang wanita itu , sama saja telah kamu sakitkan.

Seakan meratapi nasib, kamu terdiam. Ada isak di sana. Tangismu yang tersedu, tak ubah bocah dikekang jajan, adalah sandiwara klasikmu yang menjemukan. Seketika laga duplikasi Macho dan jawaramu lenyap. Jam terbang gentayang, aura kasihmu redup sampai kuyup. Lagu pilu yang terasingkan, bak pestamu telah kabur ke angkasa luar. Perumpamaan itu timbul manakala kantongmu kering tanpa ampun. Lantas seperti biasa minta belas kasihku. Wew!

Kamu tak mampu menghitung, seberapa jauh nafsu liarmu yang terasakan. Dibalik kekonyolan itu kamu bilang: “Saat aqil baliq itulah kenormalanku terlahir, lantas berkembang dengan suka cita,” akumu. Di saat para sebaya masih malu-malu, sementara kamu itu telah punya keberanian.

Bahkan, dalam dahaga-lapar, kamu sampai tega menerkam seorang nenek yang tengah buang hajat di pematang. Bukan abnormal, dan lebih dari sekedar manusia normal, ketimbang si Dodo yang berani-beraninya mencumbui seekor ayam betina, katamu membusungkan dada.

Walau lakumu pada akhirnya menjijikan, namun dongeng-dongengmu kadang membuatku terpana . Kisah kasmaran di kebutaan cinta dalam petualangmu, telah meluluh lantakan kesahajaanku sebagai penghamba yang alim. Puber keduaku yang layu terimbas moneter, seketika menggeliat hijau bak tanaman tersiram hujan.

Namun jangan tuduh aku segilamu. Sebab, apa yang telah kulakukan bukan suatu kecerobohan seperti saat lapar dan hausmu. Tidak. Melainkan ulah itu lebih disebabkan pada timbal balik atas kebaikanku yang kerap membantumu dalam rana.

Kesepian, dibalik kata itulah kamu kerap berlindung. Padahal siapa yang mau percaya, saat keberadaan atau ketiadaan istrimu, ulahmu tetap sama. Seperti binatang. Bahkan bulu-bulu yang kian halus itu seolah menunjukan identitasmu sebagai binatang liar. Betapa tidak, buktinya kamu senang menyesap darah serta melahap daging-daging mentah itu.

Kehausanmu memang tak pandang bulu. Selain tega memangsa kaum lansia yang uzur, kakak ipar dan mertuamu pun tak luput dari bayang-bayang taringmu.

Namun aku tak berani istigfar saat menyimak lakumu melebihi kewajaran binatang liar. Baik yang mamalia atau pun melata, semua tetap sama dengan lakumu yang gila. Bayangkan, saat senja meremang kamu keluar melenggang seperti macan. Matamu yang tajam dan jelalatan bagai ular, telah lihai mencuri kesempatan. Entah sudah berapa puluh --atau malah ratus--pintu kedai daging yang telah kamu sambangi. Bangga atas biadabmu yang tak mampu menghitungnya, membuatku muak.

Di remang senja menua. Saat para pemilik daging tengah menunaikan magrib dan berwirid di masjid, di situlah kamu beraksi.

Tak sekedar lebay, gigimu ompongmu terkesan seperti balita yang gemar menyusu. Di sela lidah menyesap asi, gusi nakalmu kadang menggigit. Tak heran, jika tak menggelinjang kadang si ibu itu tak kuasa menjerit menahan sakit. Gaya balitamu yang trauma, menangis nyaring, seakan semerindukan ibu yang lain.

Binatang terliar sekalipun tak mampu menandingimu. Aksimu lebih jahat, meresahkan dan menjijikan bagai tai cecurut. Meloncat dari jendela ke jendela, mencuri yang ras maupun abu-abu. Tak ada puasnya dari mulai tetangga terdekat sampai merambah ke desa luar.

**

Maka huru-hara itu pun terjadi.

Si jago merah melalap gubukmu. Ratusan massa yang tergabung dari para pedaging yang dirugikan itu kalap. Dan mereka bersorak, manakala di bara api itu tampak sesosok tubuh menggelepar-gelepar terbakar.

“Mampuslah kamu musang…!”

“Musnahlah kamu buayaa…..!”

“Rasakan itu kembang nerakamu, setaann…!”

“Merdeka..! Merdekaaa…!”

Begitulah. Seakan merayakan kemenangan, mereka menari mengitari api membara malam itu. Dan perlahan mereka pun bubar, seiring dengan bau hangus tak sedap yang menguar.

Huru-hara yang konyol, begitulah aku pikir. Sebab peristiwa tragis itu tak mampu melumatkanmu. Saat tampangmu berubah cecurut yang penuh luka bakar, kesigapanku telah mampu melemparkanmu ke kolong ranjang. Itu kulakukan demi keselamatanmu dari maut. Sementara tubuh yang terbakar habis itu adalah seorang wanita gila, mangsamu yang diseret dari dekat pos ronda.

Perjuangan untukmu tak sampai di situ. Deritamu yang tak kunjung usai , telah membuatku banyak berkorban. Tak cuma tenaga, harta dan pikiran, istriku pun tanpa sengaja telah kupersembahkan padamu.

Maka tak perlu macam-macan, jika diketahui bahwa selain dengan mertuamu aku pun sering mengencani istrimu(*)

20 Mei 2015

Tumbal Bukit Kiarapayung


(Cerpen: Otang K.Baddy/Mimbar Umum 15 Desember 2012)

Malam-malam tanpa bulan, tanpa bintang. Dusun sunyi-senyap, zaman yang kelam di masa lalu. Dimana anak-anak perawan dan bujang belum mengenal lipstick dan gincu. Kendatipun begitu mereka tetap berlagu, kidung kasmaran parahyangan yang merdu. Di rumah bilik yang diterangi pelita atau lentera. Jelita dan rupawan di masanya, suka-cita dan ceria warga di zamannya.

Namun suasana yang kerap membuai di bulu rindu itu tiba-tiba lenyap tatkala langit padam rembulan dan hilang bintang. Begitu pun lentera dan lampu kelapa, tak lagi dinyalakan warga. Karena malam telah berubah mencekam, aroma mistis atau horor kian berkembang dan kental di benak-benak mereka.

Tiba-tiba warga di Dusun Ogo menggeragap terbangun dari tidur lelapnya tatkala mendengar suara gemuruh dari bukit itu. Bukit Kiarapayung. Sebuah bukit tertinggi di dekat dusun itu, dimana di ponclotnya bercokol pohon kiara yang tinggi kekar. Disebutlah kiara payung karena dahan dan rantingnya yang rindang memang memayungi pohon-pohon lain di bawah dan sekitarnya. Koloni rotan alas dan rumpunan macam bambu, menunjukkan belantara yang masih alot. Gemuruh itu suara batu terguling-guling. Mungkin sebesar kerbau atau lebih. Membetur sesama batu yang terlindas dan melabrak rerumpunan bambu. Guluduug…guludug…bletok..karabyaak…! Begitulah. Bukan satu batu, tapi banyak batu. Setelah batu itu sampai di lembah dan hampir menghantam rumah warga, kejadian serupa kembali menyusul. Bahkan saat berikutnya petaka itu datang lagi.

“Ah,dia lagi,” ujar seorang warga yang tak pernah tidur lelap, seolah mengeluh. Begitupun orang lainnya, berpikiran nyaris sama yang ujungnya menyudutkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Bah Ado. Lelaki bertubuh tambun itu selalu iseng mengganggu orang. Jika malam ada pejalan kaki yang lewat jalan berbatu di lembah sana, kalau tak melempar pasti menggulingkan batu-batu itu. Ulah itu sering dilakukannya, terutama saat-saat mondok di saung huma dekat kiara payung itu. Barangkali keisengannya menakuti orang, agar dia dianggap demit bukit itu. Demit yang sebelumnya kerap menangis. Tangis lelaki terbunuh korban konflik di masa lalu, arwah penasaran itu berujud amarah dengan mengguling-gulingkan batu dari sebuah bukit. Mungkin terinspirasi dari itu Bah Ado senang bertingkah, dan baginya seakan menjadi hiburan tersendiri.

Beriseng boleh saja, begitu menurut warga. Tapi dengan batu besar terguling-guling tengah malam dan menimbulkan gemuruh keras itu bukan lagi di horor, melainkan sebuah teror bencana yang dahsyat.

“Ini sangat terlalu!” desis warga lain di sekitar lembah itu. Dan bukan satu dua orang yang mengutuk ulah Bah Ado saat itu. Namun mereka tak ada yang berani mengambil tindakkan, karena kejadiannya selalu tengah malam. Rasa malas mereka semakin menjadi, tatkala kantuk menyerang. Juga karena sebagian berpendapat itu bukan wujud nyata suatu bencana. Kendati diacuhkan pun tak akan menjadi masalah. Bahkan bagi sebagian orang mengatasi petaka itu cukup dengan do’a atau keyakinan yang mantap. Sebab, manuver itu hanyalah ilusi belaka. Suatu ulah yang tercipta untuk menggoyah hati yang mendengarnya. Buktinya, di waktu siang jejak-jejak itu tak ada. Tak sedikit pun ada bongkahan batu, tak juga tampak bekas benturan atau rerumpunan bambu yang rebah. Tak ada sama sekali. Tak ada.

Yang ada cuma kisah masa lalu. Di jalan desa penghubung dusun Ogo dan dusun lainnya. Para anak bujang tiap menjelang larut malam selalu lewat baladan, sekitar lima atau kadang sepuluh orang. Bernyanyi riang penuh guyonan, baik hendak atau pulang dari dusun tetangga tatkala menoongi bilik-bilik di pondok perawan. Mereka bukan sekali dua kali mendapat perlakuan iseng Bah Ado, yang tengah tunggu kebun di bagian atas bukit itu. Sering ada lemparan,yang lemparan itu tak dikenakan tentunya. Namanya juga iseng. Benda yang dilempar itu tak cuma batu, kadang ubi, jagung bakar, kedodong atau degan. Memang saat pertama rasa takut, tapi kejadian berikutnya kalau tak digubris kadang pula senang jika lemparan itu berupa makanan.

“Hahah…! Hahaha…hahahah..!” BahAdo kerap tertawa manakala usai melakukan isengnya. Suaranya begitu besar dan agak menggeram. Mungkin dibuat sengaja agar disangka demit Kiarapayung, yang menurut dongeng sepuh terkesan angker, terutama setelah dulu terjadi baku tembak antara penguasa dan pemberontak. Banyak nyawa melayang yang tak diurus sebagaimana mestinya. Namun ternyata itu cuma resep meredam anak agar tak cengeng. Juga upaya melestarikan alam agar sumber mata air tak kering, dan tak dijamah oleh tangan-tangan jahil yang kerap berdalih untuk kepentingan umum. Namun tak menutup kemungkinan, yang namanya makluk halus itu ada. Begitulah, barangkali Bah Ado merasa terinspirasi sebagai demit bukit Kiarapayung.

Bah Ado suka iseng, telah dilihat sendiri oleh Ajid. Seorang cucu Bah Ado yang pernah ikut mondok di kebun Bah Ado pada musim panen jagung. Benar, ladang jagung itu tak jauh dari rimba kiara itu. Di tempat itu banyak lutung, monyet, dan juga babi hutan. Pada musim itu pasti Bah Ado kewalahan. Selain bantu menjaga serangan binatang itu, juga hitung-hitung menikmati bakar jagung dadakan Ajid diajaknya. Malam itu cahya bulan benderang, anak-anak bujang terdengar riang di jalan desa di lembah sana.

“Nanti saat pulangnya..” Bah Ado terkekeh menahan kegelian niatnya. Ia menunjuk sebuah batu besar, diperlihatkan pada cucunya yang berusia tujuh tahun itu. Anak itu pun ikut-ikutan menahan geli, dan tak sabar ingin menyaksikan bagaimana kisah seru yang dilakukan kakeknya. Dan tak begitu lama, saat yang dinanti itu datang lebih awal dari biasanya. Heran juga di benaknya,

Anak-anak bujang kok sudah pulang. Tapi mungkin saja ada gangguan, misalnya para perawan itu tak berangkat ke pondok karena sorenya terjadi hujan.

“Mari..De, bantu,” lelaki itu menyeret cucunya. Mengambil linggis, mendongkelnya. Begitu berat, namun berusaha sekuat tenaga hingga otot-otot tampak mengencang. Dan batu besar itu mulai terguling…gorobass…gorobass…dak..duk..brak..brek…prak…! Menggelinding ke lembah, ke jalan itu,, ke para bujang itu.

Namun aneh, ada keganjilan di sana. Biasanya jika aksi itu rampung bakal terdengar suara langkah atau sorak-serai para bujang. Entah suara takut atau suara pura-pura takut, yang biasanya saling mempercepat langkahnya. Sebab, mereka sudah tahu yang menggulingkan batu itu bukan dedemit bukit Kiarapayung, tapi Bah Ado. Tapi saat ini si pelaku merasa aneh, ia tak mendengar suara lompatan atau sorak-serai di jalanan. Kenapa ya? Apakah yang baladan tadi itu bukan aslinya para bujang? Lantas siapa ya?, begitulah keduanya sempat heran.

Bah Ado, demit kiarapayung, atau ilusi yang tak bertanggung-jawab, entah siapa sebenarnya yang menggulingkan batu malam-malam saat orang lelap. Malam-malam berikutnya menjadi tak jelas, simpang-siur. Mungkin karena kesiur angin, atau karena warga Ogo terlalu segan dengan pohon kiara payung yang kerap menunjukkan keperkasaan di benaknya. Bahkan, mungkin penguasa saat itu pun terinspirasi untuk menjadikan kiarapayung sebagai lambang partainya. Dengan koloni rotan alas dan bambu, bermacam kedaka, binatang buas seperti ular cobra dan macan belang atau tutul. Keluarga monyet atau lutung , para bajing, juga bermacam burung seperti elang, gagak, kangkareng, ciung, ketilang, jalak, dsb, termasuk pipit pun lengkap di situ. Kiara payung laksana sebuah kerajaan rimba yang perkasa. Sosoknya yang menjulang menggapai langit itu kerap dijadikan barometer para nelayan pencari ikan, apakah pelayarannya tak terlalu jauh menyasar atau tidak. Jika pohon itu masih terlihat, berarti perambahan laut masih dalam status wajar. Barangkali dari kepercayaan yang diakui warga itulah, kiarapayung tetap menebar manuvernya. Yang jadi korban, tentu dusun terdekatlah, yakni Dusun Ogo. Dengan menuduh Bah Ado sebagai kambing hitamnya?

Bagaimana tidak. Batu-batu terguling, kadang disusul tawa terbahak. Kadang terdengar alunan seruling kidung kasmaran. Juga suara-suara wanita cekikikan, yang sebelumnya lolongan anjing sebagai penghantar suasana seram mencekam. Namun berita itu kadang tak jelas, kadang simpang siur. Sebab, saat terjadi batu terguling --atau lemparan-lemparan iseng -- seperti batu-kerikil, ubi jalar, singkong, pisang, papaya, jagung, kedongdong atau daugan, kadangkala di ladang itu Bah Ado tak mondok.

**

Selama hamir 40 hari setelah kematian tragis itu, warga dusun Ogo tak ada yang berani keluar rumah. Terutama jika hari berganti malam, begitu magrib datang, tua-muda semua masuk ke biliknya. Karena rasa takut yang menyungkup di benak-benak mereka, untuk sekedar buang hajat atau kencing pun tak merasa sungkan walau cuma ditadah di ember. Biarlah, besok saja air dan hajat itu dibuang, begitu pikir mereka. Begitu pun langgar-langgar mendadak sepi, tak ada shalat berjamaah, tak ada bacaan shalawat nabi dan pepujian anak-anak mengaji. Aktivitas itu seakan berhenti tiba-tiba. Anehnya tak ada wejangan atau penyuluhan dari tokoh agama atau umaroh, semua seolah ikut terhipnotis dengan keadaan. Lampu lentera atau cempor tak ada satu pun yang dinyalakan. Dusun Ogo sepi mencekam. Malam mati bagai kuburan.

Bayangan horor itu memang terus menyergap pikiran mereka. Terutama setelah melihat kematian Bah Ado yang mengenaskan. Lelaki itu memang telah mati terbunuh. Namun entah siapa pembunuh itu, sungguh sangat misterius. Sepertinya pembunuh itu bukan manusia, sebab luka di bagian belakang kepala itu bukan bekas senjata tajam seperti golok atau sejenisnya. Luka itu bekas tancapan kuku tajam yang meruncing. Orang menduga, karena lukanya bekas kuku harimau, yang membunuhnya itu pasti harimau atau siluman harimau. Namun entahlah.

Yang jelas di pagi buta geger. Istri mendiang tak tahan dengan keadaan, tangisnya meledak meraung-raung seraya mendekap suaminya yang tak berdaya. Darah segar tercecer di dekat pintu masuk dan sampai ke tengah rumah. Bahkan tak sedikit yang muncrat ke dinding. Entah kenapa polisi pun saat itu tak serius, percaya begitu saja atas keterangan keluarga yang mengatakan luka lelaki itu bukan pembunuhan mutlak, tetapi karena terkena paku di pintu masuk. Alasan itu sengaja dibuat untuk sekedar meredam isyu yang tak jelas. Polisi pun segera berlalu begitu saja, seolah tak berdaya untuk mengusut lebih lanjut.

Tersiar kabar yang membunuh lelaki itu adalah seorang wanita. Tanda-tanda yang mengarah ke situ memang ada. Beberapa saat sebelum kejadian satu-dua orang warga yang terlintasi jalan setapak di depan rumahnya mendengar suara wanita seperti tengah cekcok dengan Bah Ado. Bahkan seseorang bercerita, ketika malamnya lelaki itu nganjang ke rumahnya. Entah kenapa sang korban seperti gelisah. Apalagi setelah di luar ada suara seorang wanita seakan memanggil-manggil dirinya.

“Tunggu sebentar,” kata Bah Ado. Walau tampak sungkan lelaki itu segera permisi ke pribumi hendak memenuhi panggilan itu, yang diduga tuan rumah adalah istrinya Bah Ado.

Sejenak di luar terdengar percakapan oleh tuan rumah. Selanjutnya tak tahu karena keduanya semakin menjauh. Ya, mungkin itu tadi, para tetangga yang jalannya terlewati. Bah Ado seperti cekcok dengan seorang wanita. Namun percekcokkan itu berubah menjadi teriak kesakitan seorang lelaki yang disusul suara tawa meringkik seorang perempuan. Warga menduga Bah Ado jadi tumbal keisengannya dari bukit itu.***@


**Catatan: Cerita ini diambil dari kisah nyata, yang terjadi tahun 1975 di Ciamis Selatan, Jawa Barat. Tepatnya di kampung saya, dsn nagrog, batukaras,cijulang, ciamis.










17 Mei 2015

Parang

(Cerpen Otang K.Baddy/Pikiran Rakyat 11 November 2012)
Ternyata kamu pun jadi menyukai yang namanya parang. Bahkan kamu mengenalnya lebih jauh ketimbang aku seorang petani, perambah hutan. Misal jika gagang parang itu rusak, kamu segera menggantinya dengan kayu pilihan. Nyaris tak percaya ketika malam menjelang tidur, atau bangun sebelum fajar, suara khas bak tukang mebel kreatif terdengar jelas dari luar. Bunyi gergaji, suara ketukan palu. Gruk..gruuk..trak-trak-trak. Ternyata kamu tengah mendandani beberapa gagang parang itu. Pun jika mata benda itu berkarat, tumpul tanpa ampun, kamu segera mengasahnya dengan telaten.

Ah, perubahan drastis yang memilukan, begitu aku pikir. Seperti suatu lelucon dan janggal. Betapa tidak. Malam-malam menjelang tidur, saat bangun pagi buta, sebelumnya celah kosong itu kerap kamu isi kegiatan sepadan yang elegan. Kalau tak menyulam benang sutra, sebagai wanita telaten setidaknya memilah, mengistrika, melipat rapi kain jemuran sebelum masuk lemari. Bukan parang, serupa benda keras alat perang.

Namun, dibalik perubahanmu yang transparan itu telah membuatku manggut-manggut.
Kendati tak berani mengatakan puas. Mungkin semua itu berkat rinduku yang terkabulkan, yang senantiasa tak bosan ingin selalu dekat denganmu. Kepergianmu tanpa ampun lebih dari satu dasawarsa dan menetap bersama suamimu di kota hujan, sungguh membuatku tersiksa dan berandai-andai. Terbersit pikiran kotor, mau menyambangi dan berkencan seharian saat suamimu kerja. Sejuta jurus alasan cinta telah kupersiapakan. Pertemuan yang asyik, rindu yang berpagut, tak akan gerah jika ada bola mata melihat.

Bukan apa-apa. Dan tak berbuat apa-apa. Kedatanganku dari kampung semata-mata hanya urusan keluarga. Tak lebih dari itu. Titik! Begitulah jiga ada jiwa terasuk tanya.

“Begini Pak RT, karena ikan gurame sekolam itu masih kecil-kecil, sehingga kalau dipanen terlalu dini tentu harganya tak memadai. Sedangkan operasi tumor ganas bapak mertua sudah tak dapat ditunda lagi,” ujarku dengan ramah dan diplomatis. Pak RT setempat hanya manggut-manggut. Malah ia pun jadi ikut prihatin, serta turut mendoakan semoga semuanya berjalan lancar. Terutama pihak rumahsakit jangan sampai menekan biaya yang tinggi, katanya.

Waduh, itu hanya andai-andai dalam kembara cinta. Saat kerinduan tak terlampiaskan, merana merangkai kata dalam kasih yang mengawang. Kehadiran Pak RT, operasi tumor ganas mertua dan lainnya hanyalah fiktif belaka.

Sempat aku terhenyak saat kamu bilang tak terpikirkan untuk pulang. Buat apa tinggal di kampung, rasanya tak sudi mandi keringat di ladang atau berlumpur di tengah sawah. Keringat atau lumpur bagimu bak sesuatu yang menjijikan. Bau, katamu. Namun aku membayangkan, bau apa pun keringat atau dakimu dampak lumpur, tak akan menolaknya jika kamu suruh aku membersihkan atau menyekanya.

Dunia memang berputar. Perumpamaan hidup yang terus berubah. Gaji suamimu yang memadai sebagai pengawas merangkap teknisi di perusahaan pakan unggas, yang sempat kamu banggakan, seketika terputus saat gejolak moneter mewarnai negeri kita. Setelah kena PHK dan sedikit pesanggon –kala itu, rumahtanggamu clengak-clinguk. Hingga timbul keputusan untuk pulang kampung bersama suamimu yang orang Jatim. Untung Kang Mas itu tak merasa gengsi kendati harus hidup bertani. Mengurus sawah atau berladang di tanah pemberian orang tuamu.

Hari-hari Kang Mas tak terpisahkan dengan cangkul, golok dan kelewang. Berpeluh di ladang, berlumpur di sawah. Menebas pepohonan lantoro, membabat rumput ilalang untuk membuka lahan garapan. Membakar belukar kering di lereng bukit, luapan asap dan jilatan si jago merah meraja seharian di tengah garang matahari. Tebaran arang dan debu berhumus itu segera ditanami biji padi dan jagung, selebihnya sayuran sebangsa terong, leunca, dan kacang-kacangan.

Dan sampailah kamu memerankan parang-parang itu. Jika sawah sudah dicocok tanam, demi pertumbuhan benih itu haruslah bebas dari rerumputan. Di sela batang padi yang basah, jika tak punya garok harus dirambet dengan cakaran tangan. Sedang diempat sisi pematang, rumput yang jemros itu harus dibabat dengan parang. Begitu pun di ladang, tanah huma di lereng bukit yang kadang panas, parang-parangmu harus beraksi.

Aku tak tahu pasti, apakah kamu merasa ikhlas seperti suamimu untuk berparang atau berlumpur. Namun saat pertama, kedip mata dan engahan nafasmu tak mampu menyembunyikan keluh. Namun bukanlah suatu kepuasan atas kejatuhanmu seakan ke titik nadir jika dada ini bersorak. Bukan. Sekali lagi bukan soal itu. Namun kelainan itu adalah debar, atau lebay karena aku tak akan sulit jika mau bersua denganmu.

Hari-harimu, hari-hariku juga. Hari-hari kita yang sama. Berpeluh, berlumpur. Di tengah sawah, di tengah ladang, juga saat-saat menyabit rumput ilalang. Hidup bertani, pelihara sapi, kendati kadang rerumputan mengering saat kemarau menyerang. Kita sama-sama riang meski dalam suasana kantong kering.

Karena kebersamaan tanpa batas, saat senggang melenggang di luar batas kekeluargaan, orang-orang sering menganggamu sebagai istriku. Namun aku tak mendengar jika Kang Mas-mu adalah tulen suami istriku. Mungkin Kang Masmu terlalu suntuk bekerja di ladang, sehingga dadanya tak punya debar tatkala jumpa dengan istriku. Hatinya yang shaleh telah tertanam prinsif; bahwa semua wanita itu sama. Apalagi wanita ini masih saudara kembar, buat apa jika harus berlaku binatang?

Raut wajah, keringat dan dakinya, benar-benar sama. Kulit mukanya yang sedikit putih tersebabkan sebelumnya yang jarang kepanasan. Selebihnya seperti kentut. Seperti istriku. Sama-sama baunya. Kesemua itu mungkin karena aku telah sering menyeka peluh dan menyentuh dakinya. Saat hari-hari senggang, dan malam-malam yang lengang. Saat mimpi kasih itu tak cuma mengawang dengan rangkaian kata-kata.

***

Tanpa terasa kebersamaan setelah kepulanganmu dari kota hujan sudah mencapai 15 taun. Mungkin dari watak kembar yang konon tak ingin dibedakan, kita sama-sama telah mempunyai anak tiga. Bedanya anakmu yang sulung perempuan, duanya lagi laki-laki. Sedang aku sebaliknya, sulung laki-laki, dua selanjutnya perempuan.

Seiring waktu dan kemajuan zaman, anak-anak itu tumbuh berkembang. Si sulung yang mulai kuliah, setelah sebelumnya dibelikan laptop kemudian dengan beraninya minta diberi motor. Sedang kedua adiknya yang masing-masing di SMA dan SMP, cukup berpuas diri dengan dipenuhinya jatah pulsa yang rutin.

Karena masalahnya selalu sama, kami pun kerap berembuk. Terutama untuk memenuhi pengadaan sepeda motor itu. Bagi kami permintaan anak yang serentak itu bak suatu langkah di malam yang gelap. Segala solusi kerap berujung buntu di tebing yang terjal. Setelah beberapa kali rembukan yang alot, akhirnya kami memutuskan untuk melelang sapi peliharaan. Dan motor keluaran terakhir pun dibeli secara tunai.

Entahlah, kendati dada ini tak punya debar namun kebersamaanku dengannya masih tetap terpelihara. Cuma iramanya kini berbeda, tak ada lagi getar purba. Kebersamaan selanjutnya bersifat sebagai manusia yang beradab. Istriku, juga kang Mas –suaminya, kami menyatukan diri bersama membentuk kerukunan yang nyata sebagai kekeluargaan. Saling topang dan bersatu padu demi mencapai masa depan yang gemilang.

Seperti konsep sebelumnya, hati ini tak akan gentar jika ada yang usil alasan buah dari kembara cinta. Seperti ada bisik-bisik yang menyebut kedua anakmu mirip sekali dengan wajahku. Sama sekali tak riskan, apalagi harus gugup. Cukup saja kutanggapi dengan santai dan penuh kelakar.

“Wah, itu sesuatu yang alamiah dan wajar. Mirip wajahku kan masih wajah manusia, yang harus dicemaskan bagaimana jika wajah kedua anak itu mirip binatang,” ujarku dengan tertawa.

Namun pada kesempatan lain tiba-tiba dadaku menjadi sempit, ketika mendengar orang-orang yang berisik. Kedua anak perempuanku, katanya mirip sekali dengan wajah Kang Mas. Wajah suami kasihku yang menyukai parang (*)

Kematian Surantang

(Cerpen Otang K.Baddy/Lombok Post 20 Januari 2013)
   Segala kata, atau ucap, kendati itu cuma bualan, ternyata punya nyawa. Punya hak untuk menyergap pada majikan pencetus lidah. Tak perlu merinci basa-basi untuk menutupi kemunafikan, akulah sebenarnya majikanmu itu. Yang sebelumnya mengobralmu, menebar keburukan di setiap persimpangan. Dan kau tak pilon, dalam beberapa kejap pedangmu telah menebas tubuhku hingga ambruk, mencincang daging dan tulang hingga jantung keabadian.
      Ternyata bukan kalian yang mati, yang resah merintih tertimbun haliyah duniawi. Sekali lagi akulah yang tak tahu diri. Berkoar menebar aibmu di sembarang pertemuan, mengabarkannya pada angin, mengibarkannya di cakrawala. Dengan lidah dan bibir bergincu, memvonismu semanis madu. Namun pada akhirnya bukan kalian para pendosa, pengemban ria penyembah berhala. Siapa lagi kalau bukan aku, seorang penebar aib yang nirca.
      “Ini bukan penyakit di raga, tapi penyakit di nyawa,” ujarmu hasil rekaanku yang saat itu sok tahu hati orang.
      “Goblog! Pakai mata yang tajam, dong. Gunakan indera keenam, jangan cuma lihat luarnya yang lembut melulu, pandangi dan raba hatinya. Bukankah dia tengah bergolak menimbang amal perbuatannya?” lagi-lagi setan sok pintar itu menguasai diriku. Menyampaikan kisah itu pada setiap pertemuan, baik di warung-warung kopi, di teras rumah, di perempatan, bahkan sampai berani-beraninya menulis di sebuah koran. Di matanya, ia melihat orang-orang dan dunia terdecak mengagumi daya nalar yang handal. Hidung melendung, nama melambung terangkat fuja-fuji, terbang ke langit yang tak bertepi.
      Kemudian kamu beranjak, bertolak dari dunia kasat mata menembus alam sunyi. Menyibak beribu topeng dan manuver konyol pengusung kebenaran. Beribu-ribu bahkan berjuta-juta kuburan ia singkapi dengan kasarnya. Ouw, tenyata banyak sekali borok-borok di sana, nadamu pongah. Dengan rinci satu persatu borok-borok kau eja dan catat. Dari mulai jelata, aparat, hingga sekalipun pembawa agama. Dan mengabarkannya padaku, untuk kemudian kusampaikan ke dunia luar.
       “Segala kata dan ucap, kendati itu cuma bualan, nyata-nyatanya punya ruh yang minta pertanggungjawaban,” ujarku pada sebuah pertemuan yang sembarang. Pada saat warga terfokus pada seorang lelaki bergelar tokoh tengah sakit aneh. Siang maupun malam seakan tersiksa, merintih, mengerang, teriak-teriak, dan kadang menangis meraung, melolong laksana anjing pemandu siluman. “Aduh..ieung…aduh Gusti…aduh ibu.,gimana ini?”, katanya seraya bergulang-guling di lantai basah. Sengaja ia diturunkan dari ranjangnya, karena kerap menyebut ‘panas, aduh panas’ itulah ia dicampak di lantai setelah sebelumnya disimbah air. Namun lelaki itu tetap teriak-teriak merasa keberadaannya tak enak, dunia terasa menghimpit, api membara terasa membakarnya. Karenanya, ia tersiksa, lebih dari sekedar sakit, lebih dari sekedar panas, maka tangisnya meraung bak harimau lapar, melolong panjang seperti anjing malam.
      “Nah itu bukan cuma igauan, bukan pula mimpi buruk yang sekejap lenyap saat terbangun. Tapi itu nyata-nyata sebuah siksa. Siksa yang abadi, penghangusan nafsu dan amarah!” kembali si aku menebar pendapat dengan mantapnya. Sebagian orang tampak mengangguk, sebagian terdiam. Di mataku para pendengar itu terkagum-kagum akan fakta yang telah kuceritakan. Kuhimpun bahan-bahan gunjing yang akurat, agar mereka tak ngantuk saat kujerat.
      Bukankah semua juga tahu, ia bukan sakit di fisik dan bukan pula tersiksa di raga. Melainkan lelaki itu tersiksa di nyawa, kataku kemudian. Bukan mengada-ada atas siksanya yang abadi, pertimbangan amalnya sendiri. Buktinya, para dokter dan akhli nujum tak mampu menyembuhkannya. Para sepuh kampung, para kyai, tak mampu mencari solusi. Berbagai wejangan, beribu saran tak mempan. Dua telinganya, pintu hatinya seakan sudah terkunci rapat. Istri dan anak-anaknya, sanak saudara tercinta, semuanya tak ada yang mampu mengobati derita lelaki itu. Bukankah itu gambaran siksa dalam kubur? Siksa dalam kuburan raga yang tak tampak oleh mata kita?, ujarku saat itu menyimpulkan.
      Kendati kehidupan perlu berbagi, namun segala perbuatan mesti ditanggung sendiri. Seperti kelahiran dan kepergiannya. Datang sendiri, pulang sendiri. Menjemput ajalnya sendiri, menghitung amalnya sendiri serta menghukum dosannya sendiri. Seperti apa yang terjadi pada lelaki itu. Tersentak ketika mendengar kabar kematian yang datangnya tiba-tiba. Begitu tipis batas hidup dan mati. Begitu tipis batas fana dan baqa. Raga dan nyawa tak ubanya sebuah lubang dan kunci, sebuah kurung dan burung, sarung dan belati. Isinya pergi kandangnya mati, burung pun terbang mencari jati diri. Dan jati diri lelaki itu tampaknya tak ditemui, mata pisaunya patah berkarat saat ia sekarat.
      Sebagai penenyebar aib, aku ikuti dia dengan khayal-khayalku. Orang-orang yang sudah kujerat sebagai kaki-tanganku, terus menggunjingnya. Mengajak semuanya untuk merindingkan bulu kuduk, mengabadikan horor yang kuat dan erat dengan kematian itu. Lelaki pengemban ria, pemabuk sanjung fuja, yang kerap berkoar pembela rakyat –tapi nyatanya penjilat itu matinya tak sempurna. Ia pendosa, kepergiannya tak sempurna. Bayangannya kerap muncul di depan rumah, di setiap perempatan jalan, di dalam mobil mewahnya, di dekat wanita-wanita gelapnya, hingga tak terkecuali bayangan itu menjelma di depan masjid. Mungkin hatinya mau insaf dan shalat, namun kematian telah menvonis dirinya tak membuka insaf dan tak menerima shalat. “Ah, sungguh malang nian nasibmu, kawan,” begitulah aku dan orang-orang bergumam.
      Segala kata dan ucap, kendati itu cuma igauan atau gumaman, nyata-nyatanya punya ruh yang mesti minta pertanggung-jawaban. Tak ada tirai untuk menutupi, akulah kini yang diminta pertanggungjawaban itu, kawan. Akulah yang mesti dihanguskan di padang merah, karena kalau tidak bau busuk itu akan terus menyengat. Bau busuk itu disebabkan atas aib sesama yang telah kutebar-tebar. Borok-borok bernanah adalah efek dari kerakusan insan yang telah memakan bangkai sesamanya.  Suatu kanibalisme yang parah dan menjijikkan!
      Memang hidup itu terserah kita. Mau hitam mau putih, tinggal pilih mana suka. Namun semua itu akan diperhitungkan di hari kemudian. Ketidakbedayaan akan datang menjegal, yakni ajal yang tak bisa ditolak. Ya, hidup memang bukan suatu tujuan, melainkan suatu perjalanan menuju kematian. Bukan menunggu kematian, hidup adalah menunda kematian, begitulah kata penyair besar bangsa ini.
      Dan, ketibaan itu kini datang menjegal langkahku. Memenggal leherku tanpa ampun, mengobok-obok tubuh, mencincang daging dan tulang-tulang hingga jantung keabadian.
      “Surantang telah mati…! Surantang telah mati…!” begitulah suara teriakkan kudengar di luar. Sungguh menyentak, terasa pedih menyayat hati, mengiris jiwa. Duh, Gusti kenapa kematian itu cepat menjemputku. Rasanya berita itu janggal kudengar, kenapa tak pakai ‘Innaa lillahi wa innaa illaihi raaji’uun’. Kenapa? Bukankah aku ini seorang tokoh, penelusur kehidupan yang didamba hamba-hambaMu?
       Kabar kematian itu menggelegar bak petir menyambar. Menghancurkan tubuhku, meluluh lantakan jiwaku, menggoyah pendirianku hingga oleng kemoleng. Mata hari yang padam, langit yang hilang, membuatku ambruk tersungkur dan ditelan bumi. Namun suara tentang kematian itu masih tetap kudengar, bahkan lebih jelas dan nyaring.
      “Surantang telah mati..Surantang telang mati!” begitulah, tak henti-hentinya. Di setiap tempat pertemuan, di warung-warung kopi, di perempatan jalan, di pasar-pasar, di emperan toko, di sembarang tempat. Mengabarkan fakta, pada suatu tiba. Seseorang yang tersiksa, bukan sakit di raga, melainkan sakit di nyawa. Sehingga tak ada yang mampu menolongnya. Para dokter tak berfungsi, rajuk anak-istri tak mampu mengobati.
      “Ini pengadilan jiwa, Bung, terima dan rasakanlah!”
      Aduh Gusti, gimana ini? Jangan lanjutkan, persoalannya begitu rumit. Ini benar-benar membingungkan. Banyak yang harus dibenahi,makanya tunggu dulu. Jangan lanjutkan, jangan putuskan!
      Ya, semuanya benar. Segala kata dan ucap, kendati itu cuma igauan atau gumaman, ternyata punya ruh yang minta pertanggung-jawaban. Jadi ini bukan igauan, bukan pula gumaman.Tapi nyata-tanya pengadilan tentang pertanggung-jawaban, akan ulah sebelumnya. Seorang penebar aib, pemakan bangkai sesama, yang tengah mabuk dan tersungkur di perjalanan, tatkala meraba kematian.
      Suara tangis itu akhirnya menggapai langit. Dan bau hangus yang busuk bangkai itu terasa menyeruak, bersama asap yang membumbung ke cakrawala.***@
                                                                                                (Pangandaran, Januari 2013).

Kematian Wak Haji Edi

(Cerpen Otang K.Baddy/Pikiran Rakyat 18 Maret 2012)

Entah kenapa kematian Wak Edi tiba-tiba jadi buah bibir. Di warung-warung , di setiap depan rumah, di persimpangan jalan, di perempatan atau pun pertigaan, di sembarang tempat, siang maupun malam seolah tak henti-hetinya dan tak bosan membicarakannya.

Yang paling heboh, katanya Wak Edi yang telah berhaji itu, matinya tidak sempurna. Arwah dan jasadnya tak diterima oleh langit dan bumi. Istilah mulih ke jati pulang ke asal itu tak mengena bagi Wak Edi. Sebab arwah dia mesih penasaran. Masih keluyuran, kerapkali muncul dengan jelmaan-jelmaan. Orang-orang tahu bahwa itu adalah namanya fitnah kubur. Perlakuan setan yang mau meggoyah iman manusia. Tahu itu, namun kalau keadaannya meresahkan apa hendak dikata. Dibilang tak boleh percaya atau jangan terpengaruh bagaimana bisa, sebab fakta di lapangan telah bicara. Banyak sudah orang meninggal di kampung itu, tapi kan tak seperti Wak Edi. Dari hari pertama meninggal sampai empatpuluh hari pun umumnya tak ada apa-apa. Tapi yang satu ini kenapa tiba-tiba jadi gunjingan warga?

Wak Haji Edi meninggal pada malam Rabu, setelah sebulan penuh katanya sakit. Orang bilang bukan penyakit fisik, melainkan penyakit hati. Katanya setiap malam tak bisa tidur, selalu resah dan gelisah. Diduga karena kelelahan, sejak duhur lelaki berusia nyaris 60 tahun itu ketiduran. Sementara istrinya merasa senang karena dalam sebulan penuh merasa khawatir akan penderitaan suaminya itu. Namun kesenangan itu berubah menjadi cemas dan menimbulkan tanda tanya pada istrinya. Kenapa sampai pukul sepuluh malam suaminya itu tak pernah bangun –semisal minta diambilkan air minum atau mengerang melampiaskan kebimbangannya? Oh, tenyata lelaki itu tidur seterusnya. Ia telah menemui ajalnya.

Seperti biasa ada yang meninggal, warga kampung segera ke pemakaman untuk menggali kubur. Namun sebagian orang mendadak kaget tatkala penggalian awal ditemuninya banyak akar menghambat galian.

“Aneh, tak seperti biasanya,” gerutu seseorang, kemudian dihamini oleh yang lain. Lalu timbul decakan-decakan keheranan di mimik mereka. Anehnya, kemunculan beragam akar di tengah ketiadaan pohon. Itulah yang menjadi tanda tanya di benak mereka. Mengingat lokasi di sana telah dipesan keluarga mendiang, penggalian tetap dilanjutkan walau banyak tersendat.

Namun berkat kegigihan dan kerja keras akhirnya liang lahat pun selesai digali. Mayat pun segera dikuburkan. Sebelum para pengantar pulang, tak lupa dipanjatkan doa; penyerahan jasad kepada bumi dan semoga almarhum diterima iman islamnya dan diterima di sisiNya. Amin…

Sebagaimana biasa, selama tujuh hari tahlil pun dijalankan di rumah korban. Dan kabar-kabar buruk pun muncul di hari berikutnya.

“Stt, Ki Edi matinya tak sempurna,” ujar seorang perempuan tetangganya almarhum pada orang yang ditemuinya, sebelum ditanya ia melanjutkan, “Tadi malam aku melihat dia masuk rumahnya pakai celana pendek.” Mungkin hanya penglihatan saja, ujar seseorang masgul. “Tidak, rupanya pun sangat jelas!”

Sebagian ada yang percaya, sebagian dianggapnya suatu yang mustahil. Bahkan berita itu dianggap angin berlalu, menguap begitu saja. Namun di lain tetangga muncul lagi kabar semacamnya. Malam jum’at, malam ketiga setelah kematiannya, sekitar pukul dua dini hari, seorang lalaki bercelana pendek, berkopiah putih dan nyelendang sarung lewat di jalan depan rumahku ke arah barat, ujar lelaki bernama Muhlis. Ke arah barat –suatu arah menuju rumahnya dari tempat di mana ia dikuburkan. Wajahnya sih kurang jelas karena lampu depan rumah Muhlis agak temaram. Entah pengaruh bangun tidur –karena ingin membuang air kecil—malam itu dirasanya sangat sepi. Siapa ya lelaki agak tua itu?, pikirnya seraya menyibakkan kain gorden di balik kaca ruang depan rumahnya. Belum terjawab pertanyaan di benaknya, tiba-tiba lelaki pejalan kaki tadi itu muncul kembali dari arah barat. Kepalanya yang berkopiah putih lusuh itu dikerudung sarung, begitulah Muhlis tetangga yang masih satu RT bercerita pada orang-orang yang ditemuinya. Mungkinkah lelaki yang berkopiah putih lusuh itu adalah..?

Ada pula yang bergidik mendengar kabar itu, terutama jika kabar itu diumbar malam hari. Namun tak sedikit yang menganggapnya itu suatu isyu atau sekedar bualan. Namun bagi yang percaya, kabar-kabar itu tetap disiarkan dari mulut ke mulut, hingga tanpa sadar menggelinding sampai ke keluarga almarhum. Kendati keluarganya menepis dengan menyebut fitnah dan mengada-ada, tampaknya di pikir mereka pun tak menutup kemungkinan apa yang terjadi. Pasepuh di kampung itu yang anaknya jadi Kadus, segera dihubungi agar mengamankan situasi. Sebelum pergi menyambangi kuburnya, di rumah keluarga almarhum itu segera diadakan ruwat dengan doa-doa. Semua jendela kamar di rumah itu dibukanya lebar-lebar. Perlakuan yang terang-terangan itu karuan saja menarik perhatian warga, terutama para tetangga terdekat. Mereka menyaksikannya dengan setengah mengendap-endap, sembunyi-sembunyi seraya mengumbar bisik. Kabar yang kemudian menyentak dan menambah kepercayaan mereka, menurut informasi secara tidak langsung dari pasepuh dan Kadus, kuburan Wak Haji Edi copong melongpong.Tak ada jasad busuk atau kerangka ditemukan di sana. Tinggal kain kapan semata. Masya Allah, begitu banyak tingkah kematianmu Wak Edi? Begitulah omong-omong warga.

Anehnya, tak ada yang bertanya secara langsung pada pasepuh dan Kadus itu. Misanya, benarkah kakek akan keberadaan kuburan itu? Yakinkah Pak Kadus melihatnya dengan mata kepala sendiri? Tak ada sama sekali. Berita horor agaknya tak ada pembuktian yang jelas alias samar-samar. Pasepuh, pengurus orang yang meninggal, termasuk Pak Kadus, masing-masing diberi sebungkus rokok. Rokok itu dibeli istri almarhum dari warung kopi-nya Zakiah. Masih menurut kabar burung, bungkusan rokok itu sebenarnya bukan mutlak sebagai imbalan bagi pengurus itu, melainkan merupakan suatu syarat meredam si arwah penasaran dimana almarhum semasa hidupnya perokok berat. Entah benak-benak mereka tersugesti atau terinspirasi buat menjamurnya beberapa ilusi menyusul diadakannya sebuah ruwat. Tiba-tiba Zakiah pemilik warung kopi dan gorengan itu, pagi-pagi menyiarkan kabar yang dialaminya menjelang fajar.

Ceritanya, saat tengah menggoreng tempe (gorengan) di celah ventilasi anyaman bambu di depan mata, ia melihat nyala sebatang rokok yang tengah diisap. Namun wudud dari pengisapnya itu tak tampak, sehingga rokok itu bagai di awang-awang. Tak tahan dengan ‘manuver’ itu segera ia membangunkan Manan, suminya. Tatkala Manan keluar, ia meliat sosok lelaki tua sekira sepuluh meter berjalan di keremangan gang. Ia kejar lelaki itu, namun di dekat pohon salak tiba-tiba menghilang. Manan mencurigai sosok itu adalah orang nggak benar, misalnya pencuri malam. Tapi hatinya agak sungkan juga untuk mengejar mencari pembuktian lebih jauh, di samping ada rasa merinding di bulu kuduk. Peristiwa itu sekitar pukul empat kurang, menjelang subuh. Dibenarkan pula oleh tetangga lain yang bernama Juhadi –siempunya rumah setelah pohon salak , di mana ditemui Manan sosok tubuh itu menghilang. Juhadi terbangun tatkala dua anjingnya keras menggonggong tatkala lewat sosok lelaki tua berkopiah haji lusuh dikerudung sarung. Lelaki itu di mata Juhadi berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur.

“Kalau begitu sosoknya sama seperti apa yang pernah dilihat Muhlis,ya,” kata seseorang di warung Zakiah.

“Tak disangka Wak Haji, mungkin ia tak tahu arah pulang.”

“Bisa saja, atau mungkin kematiannya tak disadari karena tanpa ada yang menuntun kalimah toyibah. Matinya saat tidur. Sedang saat tidut nyawa itu keluar, atau pergi jauh, sedang tatkala nyawa hendak masuk tak bisa karena raganya telah dikubur,” sambung yang lain.

“Tapi kan alasan kematian itu karena rusaknya sebuah kurungan, sehingga burungnya keluar?”

“Iya sih, memang begitu. Tapi kan semua juga tahu bahwa Haji Edi bukan sakit di raga, dia mengakuinya secara langsung. Penyakit di hati. Ia sakit hati dan penuh rasa malu tatkala beberapa tanah hasil akal-akalannya kembali diambil turunan pemiliknya semula.”

“Wualah, yang benar lur?”

“Iya dong, katanya harta yang dimiliki lelaki yang senang dipanggil haji itu kebanyakan masih riba.”

Begitulah suara-suara miring yang berkembang. Namun gunjingan-gunjingan itu lambat-laun semakin menghilang. Dan tak terasa kematian Wak Haji telah sampai 40 hari. Maka acara tahlil, pembacaan Yasin dan do’a bersama ke 40 hari pun digelar di rumah keluarga almarhum. Sebagaimana umumnya keluarga yang mampu dan kreatif, para warga yang hadir selain diberikan makan dan snack juga dibagikan sovenir berupa Surath Yasin berukuran saku yang di samfulnya terpampang poto almarhum. Lumayan buat mengenang 40 hari wafatnya Wak Haji Edi, katanya.

Namun tiba-tiba warga mendadak geger ketika mendengar jerit histeris seorang perempuan di tengah malam. Perempuan yang masih tetangga almarhum itu tak tahan tatkala melihat foto di samful Yasin itu seakan hidup dengan mata yang mendelik-delik. Masya Allah!(*)

Terjebak di Jalan Berlumpur

Cerpen Otang K.Baddy (Lampung Post 27 Oktober 2013)
Sejak sebelum tiga dekade ini tak sedikitpun terbersit jika kehidupan kami semua bisa terperangkap di jalanan berlumpur. Yang tak cuma sekedar kotor, basah dan lembab,tapi kadang gelap dan dingin. Menggigil dan bulu-bulu pun merinding.

Mungkin sebelum tiga dasawarsa itu kami belum dewasa, sehingga segala langkah perjalanan hidup senantiasa diasuh oleh ibu. Tidur dan bangun selalu dikawal ibu. Tidur ditidurkan, bangun dibangunkan. Mandi dimandikan, makan disuapkan. Bermain dan bepergian senantiasa dikawal. Jadi segalanya terjamin selamat.

Seiring dengan bertambahnya usia, baik itu usia hidup dan kehidupan, ibu kami meninggal dengan satu pesan: “Awas, hati-hatilah dalam melangkah, jangan sampai terperosok dalam lumpur,” ujarnya beberapa menit sebelum meninggalkan kami selamanya.

“Jangan khawatir, Bu. Percayalah pada kami, sebab kami kini sudah mulai dewasa!” begitulah kami menandaskan dengan nada sepele demi menyenangkan kepergiannya yang semula tampak cemas.

Kami pun mengaku dewasa.

Kami pun merasa tak perlu dan tak butuh diberondong nasehat lagi, terlebih dalam masalah melangkah atau pun berjalan. Toh kami semua sudah punya prinsip dan jalur masing-masing. Bahwa untuk menyambung hidup perlu adaptasi dengan lingkungan dan pandai menyesuaikan jaman.

Namun setelah semuanya jatuh pada keluh atau igauan, pesan-pesan yang sering terucap dari ibu selalu mengusik hati kami yang labil.

“Di jalanan berbatu putih ini rukun-rukunlah kalian semua. Jika merasa gamang dan takut jatuh, peganglah tongkat biar teguh,” katanya dulu ketika kami belajar berjalan menapaki hidup. Kami pun saat itu tak lepas dari yang namanya tongkat. Baik menanjak atau pun menurun, perjalanan terus tapaki dengan tabah. Kami tak pernah oleng apalagi terjatuh, kendati sepanjang perjalanan tak hentinya ditempa angin yang hendak menjatuhkan.

Ah, betapa senangnya saat itu.

Tapi sejak kepergian ibu. segala nasihat atau isyarat, tak satu pun yang kami gubris. Terlebih setelah dusun kami dan sudut-sudut petani terancam pelebaran kota. Berhektar tanaman berbunga dan kehijauan daun, terancam punah. Wangi kembang yang mekar, harum tanah gembur sisa hujan semalam, kini tak kami temukan lagi. Area tanaman berbunga serta tanah-tanah gembur kini lumat tertimpa sampah plastik dan tembok beton.

Begitu pun dalam hal jalan, kini sudah jauh bergeser. Sejujurnya kami tak mampu menolak tatkala pertama jalan berbatu putih itu tiba-tiba akan digantikan dengan aspal yang hitam. Juga saat itu tak gubris ketika ada lelucon yang menafsirkan kata ‘aspal’ itu adalah keaslian palsu, dan ‘hitam’ berarti gelap. Rasanya tak perlu lelucon itu kami dengar. Namanya juga lelucon, jika pun umpama mengena, semua itu bukan semata-mata perkataan bijak. Tapi lebih kepada ‘kirata’ alias dikira-kira tapi nyata. Maka kami abaikan sepenuh jiwa.

Setelah jalanan hitam itu dibangun ke segala arah dan sudut kampung, kami semua membuang tongkat. Kami semua membuang tradisi. Kalau sebelumnya berjalan itu beriringan dan bergandengan tangan, kini semuanya berlari bak suatu balapan. Tak jarang kami pun saling menyalip dan saling jegal satu sama lainnya. Sampai pada waktu tertentu kadang saling membunuh. Membunuh nyawa maupun karakter.

**

Jalanan itu memang terus ramai dan memikat. Betapa tidak, bagi kami dan orang-orang yang tergesa cukup menempuh jalan pintas ini. Jalanan yang lengang berbatu dan berlumut, untuk sementara kami tinggalkan. Sebab yang kami cari selama ini berupa perhiasan barang-barang antik demi menyemarakan kota kami yang kian berkembang. Karenanya harus serba cepat dan tergesa, sebab kalau tidak segalanya akan tertinggal. Begitulah naluri kami.

“Marilah akang-akang yang ganteng dan kalem, pilihlah jalur kami!” kata para perempuan-perempuan cantik di jalanan itu. Kendati bibir dan alis mereka bergincu, tak mengurangi daya tarik untuk merengkuhnya. Sebaliknya kami makin gila, seluruh indera telah kami gadaikan untuknya.

Perempuan-perempuan di gerbang di jalanan itu bukan para ibu bagi anaknya, pun bukan para istri dari suaminya. Mereka jauh terbalik dengan sosok ibu kami. Sebab yang kami lihat mereka tak satu pun yang membawa anak, juga tak seorang pun yang bersama suami. Mereka itu perempuan liar bak ular. Tentu saja sebagai mahluk yang gila kami pun sangat cocok untuk memilikinya.

“Kami tercipta hanya untukmu akang,” katanya lembut. Sejuta pesona pun ia tawarkan pada kelelakian kami. Dan akhirnya kami pun berebutan untuk merangkulnya, untuk mengoleksinya. Hingga jatuh kesepakatan bersama bahwa inilah sebenarnya yang kita sebut barang antik. Inilah sebenarnya yang harus kita buru!

“Dunia ini tak akan sempurna jika tanpa adanya perempuan!” begitulah kami berkata pijak. Dengannya kami pun jadi merasa terhormat karena mampu mengantongi barang-barang berharga itu. Hingga melengganglah kami ke puncak kekuasaan.

Sebagai pemangku negeri kami pun peduli akar rumput. Demi wujud nyata kami segera turun ke bawah, terutama ke daerah-daerah pariwisata yang kubangun atas kebijakan kami. Namun alangkah terkejutnya ketika jalanan yang kami lewati itu berlumpur. Celakanya lelumpur itu begitu tebal, melebihi sawah bajakan.

“Selamat datang di negeri lumpur!” Satu spanduk besar menyambut kedatangan rombongan kami sebagai penguasa. Terpangpang di atas di gerbang wisata itu dengan tampilan wajah figur kami yang ramah. Di tepi kiri-kanan, para kolega atau pun para jelata tampak hormat dan menahan nafas. Tanpa pembangkang, semunya menyembah kami.

Selepas gerbang kami menemukan beraneka ragam pengemis. Ada perseorangan, kelompok atau komunitas. Mereka, kalau tak menadahkan tangan cukup memasang kantong jaring sebagai penampung sedekah kami. Seraya melambai, kami taburkan receh untuknya. Namun mereka tampak antipati dengan tindakkan kami. Wajah-wajah mereka tampak cemberut, mungkin apa yang kami berikan tak sepadan.

Sebenarnya bukan tak mau memberi yang lebih, tapi ini demi mengimbangi jumlah pengemis yang tak ada hentinya di jalanan berlumpur itu. Bahkan kami lewati nyaris tanpa ujung. Sementara kendaraan yang kami tumpangi semakin ringkih, pekat merayap. Hingga tanpa kami duga terperosok ke dalam kubangan yang dalam.

Dalam keterpurukan itu terbersit pikiran yang nyaris brilian; “Pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya adalah pemerintah, maka apapun yang terjadi di negara itu akibat perilaku para pemimpin yang sah di negera itu. Sebab pemerintahlah yang bisa mereka situasi. Mau aman atau kacau, tergantung kemauan.”

Menyadari semuanya, dengan suara meringik dan merunguk kami pun manangis. Sementara para pengemis itu tertawa, sebelum kemudian beringas memburu kami yang berloncatan bertampang cecurut dan monyet.(*).