(Cerpen Otang K.Baddy/Pikiran Rakyat 20 Januari 2013)
Sebagai manusia berbulu, tak sepatutnya kamu menaruh dendam padaku. Kendati demi keimanan boleh lapar atau demi kehormatan boleh miskin, namun istilah itu tak kena jika kamu terapkan. Malah teramat janggal. Sebab iman dan hormat pun kamu sudah tak punya.
Makanya jangan macam-macam.
Kamu harus diam. Seperti diamnya wanita gila atau mereka yang terpedaya dalam dekapmu. Terkesima, mungkin saja. Atau bisa saja mereka itu terlena dibalik kata-kata berbunga, yang mengalir indah bak sungai di taman nirwana. Indah dalam angan yang mengawang karena kebutaan cinta, sebaliknya bagiku itu sesuatu yang menyebalkan.
Namun sebelumnya sangat berdosa jika aku tega membiarkanmu dalam rana. Sementara kubuang tentang fakta karmamu yang berhembus dari bibir dan lidah sekitar kita. Pandangan mereka yang jujur, sorak dan tepuk tangan dibalik cibiran itu, telah kamu rasakan sebagai sayatan sembilu.
“Benar-benar pediih!” pekikmu seraya mengelus dada yang berbulu. Seharusnya kamu sadar, apa-apa yang telah kamu rasakan pilu itu, merupakan sebab-akibat dari keliaran nafsumu sebagai mahluk berbulu.
Mungkin karena kepiawaianmu, bulu-bulu di sekujur tubuh yang kasar bak duri-duri itu bisa tersulap halus dan lembut. Kamu memang kadang pandai menjaga penampilan.
Tapi jangan kira aku buta dan melihat seekor kucing berbulu halus saat aku kerap menolongmu dari pilu. Juga tak melihat berbulu domba ketika kadang mengamankanmu dari ancaman luar yang mamatikan. Kerap menolongmu, bukan atas panggilan jiwa semata, melainkan hanya sebatas teman, rekan kerja, disamping juga sebagai tetangga. Bukankah selain keluarga dan yang jauh lainnya harus menolong tetangga dulu?
Pun aku melihatmu sebagai manusia. Bukan sebagai kera di cagar wisata, yang kerap berkedip binal dimana melihat pengunjung wanita.
Memang kamu lelaki dengan kulit berbulu. Saat bulu-bulumu kasar, tak sedikit yang menyebutmu mirip celeng. Kendatipun suka makan cacing hidup-hidup --usai mencarinya di tanah basah, bukan berarti menunjukan diri sebagi hewan musuh petani. Bukan pula hewan sebaya yang dagingnya sempat diisyukan sebagai campuran baso itu. Ulah itu sekedar mengobati penyakit typhus-mu, yang dipercayai orang kampung saat tak mampu pergi ke dokter.
Tubuhmu yang kekar, serta otot-otot yang kencang menyembul, tak berlebihan jika ada yang menganggapmu jawara pilih tanding. Kendati olah-ragamu bukan arahan koni, namun sebagai pemanggul semen dan pengaduk pasir dalam kuli bangunan, telah mampu membentuk karakter tubuhmu yang tangguh.
Namun keperkasaan tubuh itu tak mampu menjadikanmu seorang pemimpin. Bukan pemimpin macam presiden-gubernur-bupati atau ketua partai. Jauh tanah ke langit, tahyul sekilas pun dunia macam itu –sekalipun ketua RT, bagimu tak tersirat. Hal sekecil apa pun positif kepifiguranmu seakan tak ada.
Rumahtanggamu yang kacau, pertanda perkasamu tak sebanding dengan jiwamu yang lembek. Bohong besar, jika dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pun pada suatu negara yang megah dengan mercusuar, ternyata di dalamnya sangat brobrok dan korup. Apa lagi kamu. Jangankan memangku keluarga, memimpin diri sendiri pun kadang masih labil.
Tapi kamu mengelus dada manakala ada yang menyebut dukamu adalah karmamu. Siapa mau menebar angin di situlah badai tertuai. Pisau atau seribu sembilu yang dirasa menyayat ulu hati, tiada lain dan tiada bukan adalah ulah-ulahmu yang bak berpisau-sembilu, menghunus-menyayat lain orang sebelumnya.
Istrimu kedua kalinya kini jadi tkw. Keempat anakmu tak terurus, menangis dan lapar tetap jadi beban mertuamu yang hampir lansia. Tapi aneh, kamu bilang istri dan mertuamu sama gilanya; “Dia tak menyayangi saya sebagai suami. Pun mertua yang wanita itu, terakhir ini kerap ngadat dan marah-marah pada saya. Ini benar-benar konyol!” sesalmu setengah mengambang.
“Hihihi..huhuhu…huhuy..!”
Hai tunggu dulu, tawa itu bukanlah melucu. Jika tak mau dikatakan sinis, boleh jadi sebagai bentuk protes atas pikiranmu yang pilon. Betapa tidak, kepergian istrimu menjadi tkw, baik saat pertama maupun yang kedua, adalah tersebab keliaran nafsumu yang telah melahirkan duri, jarum, pisau maupun sembilu di hatinya. Juga di hati atau jiwa sang mertua yang wanita itu , sama saja telah kamu sakitkan.
Seakan meratapi nasib, kamu terdiam. Ada isak di sana. Tangismu yang tersedu, tak ubah bocah dikekang jajan, adalah sandiwara klasikmu yang menjemukan. Seketika laga duplikasi Macho dan jawaramu lenyap. Jam terbang gentayang, aura kasihmu redup sampai kuyup. Lagu pilu yang terasingkan, bak pestamu telah kabur ke angkasa luar. Perumpamaan itu timbul manakala kantongmu kering tanpa ampun. Lantas seperti biasa minta belas kasihku. Wew!
Kamu tak mampu menghitung, seberapa jauh nafsu liarmu yang terasakan. Dibalik kekonyolan itu kamu bilang: “Saat aqil baliq itulah kenormalanku terlahir, lantas berkembang dengan suka cita,” akumu. Di saat para sebaya masih malu-malu, sementara kamu itu telah punya keberanian.
Bahkan, dalam dahaga-lapar, kamu sampai tega menerkam seorang nenek yang tengah buang hajat di pematang. Bukan abnormal, dan lebih dari sekedar manusia normal, ketimbang si Dodo yang berani-beraninya mencumbui seekor ayam betina, katamu membusungkan dada.
Walau lakumu pada akhirnya menjijikan, namun dongeng-dongengmu kadang membuatku terpana . Kisah kasmaran di kebutaan cinta dalam petualangmu, telah meluluh lantakan kesahajaanku sebagai penghamba yang alim. Puber keduaku yang layu terimbas moneter, seketika menggeliat hijau bak tanaman tersiram hujan.
Namun jangan tuduh aku segilamu. Sebab, apa yang telah kulakukan bukan suatu kecerobohan seperti saat lapar dan hausmu. Tidak. Melainkan ulah itu lebih disebabkan pada timbal balik atas kebaikanku yang kerap membantumu dalam rana.
Kesepian, dibalik kata itulah kamu kerap berlindung. Padahal siapa yang mau percaya, saat keberadaan atau ketiadaan istrimu, ulahmu tetap sama. Seperti binatang. Bahkan bulu-bulu yang kian halus itu seolah menunjukan identitasmu sebagai binatang liar. Betapa tidak, buktinya kamu senang menyesap darah serta melahap daging-daging mentah itu.
Kehausanmu memang tak pandang bulu. Selain tega memangsa kaum lansia yang uzur, kakak ipar dan mertuamu pun tak luput dari bayang-bayang taringmu.
Namun aku tak berani istigfar saat menyimak lakumu melebihi kewajaran binatang liar. Baik yang mamalia atau pun melata, semua tetap sama dengan lakumu yang gila. Bayangkan, saat senja meremang kamu keluar melenggang seperti macan. Matamu yang tajam dan jelalatan bagai ular, telah lihai mencuri kesempatan. Entah sudah berapa puluh --atau malah ratus--pintu kedai daging yang telah kamu sambangi. Bangga atas biadabmu yang tak mampu menghitungnya, membuatku muak.
Di remang senja menua. Saat para pemilik daging tengah menunaikan magrib dan berwirid di masjid, di situlah kamu beraksi.
Tak sekedar lebay, gigimu ompongmu terkesan seperti balita yang gemar menyusu. Di sela lidah menyesap asi, gusi nakalmu kadang menggigit. Tak heran, jika tak menggelinjang kadang si ibu itu tak kuasa menjerit menahan sakit. Gaya balitamu yang trauma, menangis nyaring, seakan semerindukan ibu yang lain.
Binatang terliar sekalipun tak mampu menandingimu. Aksimu lebih jahat, meresahkan dan menjijikan bagai tai cecurut. Meloncat dari jendela ke jendela, mencuri yang ras maupun abu-abu. Tak ada puasnya dari mulai tetangga terdekat sampai merambah ke desa luar.
**
Maka huru-hara itu pun terjadi.
Si jago merah melalap gubukmu. Ratusan massa yang tergabung dari para pedaging yang dirugikan itu kalap. Dan mereka bersorak, manakala di bara api itu tampak sesosok tubuh menggelepar-gelepar terbakar.
“Mampuslah kamu musang…!”
“Musnahlah kamu buayaa…..!”
“Rasakan itu kembang nerakamu, setaann…!”
“Merdeka..! Merdekaaa…!”
Begitulah. Seakan merayakan kemenangan, mereka menari mengitari api membara malam itu. Dan perlahan mereka pun bubar, seiring dengan bau hangus tak sedap yang menguar.
Huru-hara yang konyol, begitulah aku pikir. Sebab peristiwa tragis itu tak mampu melumatkanmu. Saat tampangmu berubah cecurut yang penuh luka bakar, kesigapanku telah mampu melemparkanmu ke kolong ranjang. Itu kulakukan demi keselamatanmu dari maut. Sementara tubuh yang terbakar habis itu adalah seorang wanita gila, mangsamu yang diseret dari dekat pos ronda.
Perjuangan untukmu tak sampai di situ. Deritamu yang tak kunjung usai , telah membuatku banyak berkorban. Tak cuma tenaga, harta dan pikiran, istriku pun tanpa sengaja telah kupersembahkan padamu.
Maka tak perlu macam-macan, jika diketahui bahwa selain dengan mertuamu aku pun sering mengencani istrimu(*)