Cerpen: Otang K.Baddy (Kabar Priangan 10 Oktober 2012)
Keranda berisi jenazah perempuan itu diusung begitu tergesa. Bukan karena jalan ke pemakanan itu yang disebut mulus -serupa gang yang bertembok-- tapi seperti ada gejala lain yang tak lumrah. Namun para pengantar yang beriringan seakan tak peduli, mereka tetap berjalan teratur seperti biasanya. Sebagian membaca solawat nabi dan kalimah-kalimah thoyibah. Memang begitu baiknya, kematian merupakan suatu kesakralan yang mesti direnungi. Bukan untuk disesali apalagi ditangsi. Bukan pula untuk disuka-ria dengan tawa terbahak atau pesta-pora. Dengan sebait doa, atau untaian kalimah thayibah dan solawat nabi harus menjadi pilihan ketimbang bicara yang laga.
Usungan mayat itu akhirnya menghilang dari suatu iringan. Bahkan ia terpisah dari para pengusung cadangan. Pengusung cadangan yang jumlahnya tak beda dengan pengusung utama -yakni empat orang- akhirnya berjalan melenggang. Biarlah, pikir mereka, mungkin kecepatan langkah hingga terpisah dari iringan itu lebih disebabkan karena keringanan semata atas jasad perempuan yang meninggalnya teramat kurus-kering itu. Lagi pula, pengusung itu pasti akan memperlambat langkahnya ketika nyaris sampai ke liang lahat, tentunya demi menyambungkan iringan yang tiba-tiba terputus tadi. Jarak ke tempat pemakaman antara rumah almarhum memang tak terlampau jauh, paling sekira setengah kilometer.
Tak perduli apakah para penggali liang lahat merasa kesal dan pegal menunggu. Juga, tak hirau akan keluguan iringan para pengantar disungkup beribu tanya serta decak dan geleng kepala. Keheranan yang tak berkesudahan di area pemakaman, tak jadi beban bagi para pengusung keranda itu. Mereka begitu sigap dan singkat, dan telah berhasil menyelamatkan jasad perempuan malang bernama Masih itu. Ia telah dibelotkan dari tujuan semula, tatkala ditemui jalan simpang setapak. Keranda itu diusung lebih cepat, bahkan kalau perlu melompat demi menghindari kalau ada bola mata melihat. Bukan persoalan besar jika jasad itu terantuk-antuk atau terbanting ke kiri dan ke kanan membentur dinding keranda. Biarkan saja, yang penting sebujur tubuh kaku itu bisa terhindar dari penguburan di pesarean.
Para pengusung itu mandi keringat. Semangat yang tinggi dan bayangan upah yang menjanjikan, telah membuatnya mati rasa. Mereka menaiki sebuah bukit dan batu cadas, untuk mencapai sebuah goa. Pengusungan agak hati-hati tatkala ditemui medan yang agak licin, mungkin bekas hujan semalam.
"Tinggal beberapa langkah lagi," ucap salah seorang di antara mereka. Yang lain mengiyakan di tengah dengus nafas yang memburu. Memang mulut goa itu sudah di depan mata. Namun untuk mencapai klimaksnya diperlukan ekstra ketat dan kehati-hatian, mengingat mulut goa itu berada di atas kepala mereka. Jadi penyelesaianya bukan lagi berjalan, melainkan harus memanjat.
"Awas harus hati-hati!" kata seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di mulut goa, bak seorang pribumi. "Yang dua orang naik dulu ke sini," lanjutnya.
Setelah dua batang pinggulan depan keranda ditopangkan di tebing, dua orang itu memanjat ke bibir goa, sementara dua orang pengusung masih menahan di belakang. Lalu dua orang di bibir goa itu merengkuh kedua ujung keranda, dan perlahan menariknya ke atas. Demi menghindari kecemasan yang fatal, semua menahan nafas. Sebab posisi keranda itu tak cuma miring, melainkan berdiri seperti tangga. Entah ceroboh karena tergesa, atau mungkin keranda itu sudah cukup umur, tiba-tiba pintu keranda belakang tosblong bersamaan dengan melorotnya jasad kaku itu. Tanpa diduga mayat yang sudah mengeras itu terjatuh keras ke batu cadas dan terpelanting jauh, hingga terbontang-banting dari atas lereng bukit penuh bebatuan itu. Karenanya, kain kapan yang telah membungkusnya dengan rapi serta mewangi itu merosot dari jasadnya dan tersangkut pada sebuah tunggul.
"Goblog, kalian semua goblog!" maki seorang lelaki yang di goa tadi dengan geram. Giginya yang agak menghitam karena rokok, tampak gemeretak dirasuk amarah.
"Ini kegagalan total, dan merupakan aib besar! Aib besar sepanjang sejarah!" katanya seraya mata memandang langit, serta tangan kanan meninju-ninju telapak tangan kirinya.
Setelah empat orang itu melongo dan menyadari keteledorannya, seorang berkata penuh harap. "Mau kami Anda bersikap tenang saja, sebab ini bukan suatu kesengajaan. Bukankah jasad itu bisa diambil dan dikafani lagi seperti semula?"
"Sangat pesimis, mengingat jasad ibuku telah rusak!"
Entah apa maksud lelaki bujang lapuk itu. Memang tiada yang tahu pasti. Pengusung yang empat orang ini pun bukan sepenuhnya percaya padanya. Mereka bergiat lebih dikarenakan pada upah yang dijanjikan. Menurut Warsad --satu-satunya anak lelaki almarhumah-perempuan yang kurus tinggal tulang itu belum sepenuhnya mati. Ketidakberdayaannya itu hanyalah koma semata. Di mata Warsad tubuh ibunya subuh tadi masih hangat, di pergelangan tangannya masih ada denyut. Dengan mendekatkan telinganya ke hidung jasad, ia masih mendengar dengus nafas. Tapi kenapa orang-orang telah memvonis sebuah kematian?
Pagi hari Warsad dadanya panas menyesak. Bergumpal rasa, antara cemas dan harap begitu dahsyat menyergap. Bukan kesal pada warga yang datang dan turut belasungkawa, namun ia lebih benci dan dendam pada yang membuat keputusan. Waroh, kakak perempaun Warsad satu-satunya, yang sok shaleha itulah biang keroknya. Dan menuding dirinya tak sayang orang tua, tak sayang pada ibunya. Waroh, merasa lelah akan ketelatenan mengurus perempuan tua yang sering sakit-sakitan selama adiknya itu pergi melanglang.
Bukan tak sayang ibu, begitu beberapa kali Warsad bilang, namun aku mau menguji dan menambah ilmu untuk kehidupan abadi mendatang. Makanya ia berkelana, melanglang buana selama bertahun-tahun.
Menurut penuturan Warsad --yang tak dimengerti oleh Ibu dan Waroh-- kakaknya, ia mengembara selama itu hanyalah mencari matahari yang tak terlihat di siang hari, mencari bulan yang tak pernah muncul di malam hari. Mencari bintang yang tak tampak berkedip, mencari mata yang buta saat belalak. Mencari dirinya yang hilang ditelan kabut misteri.
"Pengembaraanku bukan tanpa arti, tapi ingin menunjukkan bahwa saya seorang lelaki sejati.Yang membuat iri langit dan bumi, akan penemuan cinta dan kekasihku yang abadi. Kekasih dunia dan akhirat nanti, sesuatu yang membuat diri sakti dalam kehidupan yang sebenarnya nyata kelak," begitulah Warsad setiap hendak pergi kerap berujar di depan ibu dan kakak perempuannya.
Dan kepergian Warsad yang bukan satu kali dengan waktu tak terbatas. Membuat Masih, ibunya, sering sakit-sakitan memikirkannya. Ibunya menduga kepergian anak bujangnya benar-benar mencari cinta dan kekasih sejati seperti pada umumnya. Sang ibu menduga kekasih yang disebutkan Warsad adalah wanita yang bakal setia menjadi istrinya. Makanya setiap ia pulang dari pengembaraan, sang ibu selalu mendamba ia telah membawa kasih dan cinta berupa keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Namun entah yang kesekian kalinya setiap anak lelaki itu datang, sang ibu selalu mengurut dada. Kenapa anaknya itu kerap pulang melenggang dengan tetap membujang?
Seperti kepulangannnya seminggu lalu, tatkala Warsad datang melenggang. Jangankan bawa momongan atau teman, yang namanya tas pun tidak. Kendatipun kedatangannya langsung bersimpuh, rasa kecewa ibunya tak terobati. Bahkan di hari berikutnya, perempuan yang sudah kurus-kering, tinggal kulit yang membungkus tulang itu, langsung merebahkan tubuhnya di dipan. Warsad tak cemas melihatnya, dalam batinnya, perubahan ibunya yang mendadak itu adalah sebuah bentuk dari kepuasan akan kepulangan dirinya. Perempuan itu selalu menggeleng dengan isyarat kala ditawari suap nasi, hanya beberapa sendok air yang bisa membasahi tenggorokkannya.
Waroh, sang kakak yang telah punya dua anak itu, telah membaca gelagat bahwa perempuan ringkih itu sudah mendekati ajalnya. Maka, nyaris tak luput setiap saat kerap menungguinya. Sedang Warsad seperti mati rasa, ia lebih banyak berada di luar rumah. Bukan ke tempat jauh, kalau tak mengelilingi rumah ia duduk di lincak bambu, memandang langit. Memandang bintang. Satu, dua orang temannya -yang sudah berkeluarga, seakan setia menemaninya ngobrol. Memang tak nerocos, pembicaraan mereka santai namun dinyana penuh makna. Apa-apa yang diucapkan bujang kembara itu adalah kebenaran. Dua orang temannya itu mengakui sobatnya itu sebagi orang luar biasa.
Makanya ketika berita kematian terdengar di pengeras suara -tentunya atas ajuan Waroh-mereka tak percaya. Apalagi ketika Warsad memeriksa keadaan tubuh ibunya, bukan sedih yang dibuat, melainkan tersenyum.
"Jangan tunjukkan kebodohanmu, Sad," kata Waroh tatkala Warsad menyampaikan pendapatnya.
"Janganlah kau usik lagi Sang Ibu, biarlah dia menikmati peristirahatannya.,"
Warsad tak berdaya untuk mengutarakan pembelaannya. Apalagi belum setengah jam, para warga sudah berdatangan. Terutama kaum ibu seraya mengais baskom berisikan beras dan uang sekedarnya. Sebagian kaum lelaki tanpa diperintah pun sudah bergiat ke pesarean dengan peralatan sekop dan cangkul. Memang hanya itulah yang mampu mereka lakukan pada saat ada orang meninggal. Mereka saling bergantian mencangkul, menyekop dan mengangkat tanah galian. Mungkin hanya dalam penggalian lahat itulah rasa kebersamaan masih bisa dipertahankan.
Saat proses pemandian jenazah Warsad tak bisa diam. Tampak terjadi bisik-bisik dengan kedua temannya itu. Di antara isi bisikkan itu, "Asal dengan kerja keras dan trampil uang sepuluh juta siap diberikan." Dalam waktu singkat kesepakatan pun didapat, empat orang pengusung siap menyantap suap.
"Pengembaraanmu yang fana akan terus kujaga," desis Warsad, setelah sebelumnya ia pamit pada temannya untuk pergi menunggu di suatu tempat. Dalam teropong kacamata batinnya, ruh perempuan itu tengah mengembara ke dunia lain. Setidaknya tiga hari ke depan ruh itu akan kembali ke raga. Apa pun resikonya, jasad ini harus benar-benar dijaga, terutama jangan sampai terluka, begitu batin Warsad.
Namun apakah yang terjadi? Jangankan dapat terjaga dari suatu luka, di dekatnya pun kini jasad itu sudah tiada.***
Keranda berisi jenazah perempuan itu diusung begitu tergesa. Bukan karena jalan ke pemakanan itu yang disebut mulus -serupa gang yang bertembok-- tapi seperti ada gejala lain yang tak lumrah. Namun para pengantar yang beriringan seakan tak peduli, mereka tetap berjalan teratur seperti biasanya. Sebagian membaca solawat nabi dan kalimah-kalimah thoyibah. Memang begitu baiknya, kematian merupakan suatu kesakralan yang mesti direnungi. Bukan untuk disesali apalagi ditangsi. Bukan pula untuk disuka-ria dengan tawa terbahak atau pesta-pora. Dengan sebait doa, atau untaian kalimah thayibah dan solawat nabi harus menjadi pilihan ketimbang bicara yang laga.
Usungan mayat itu akhirnya menghilang dari suatu iringan. Bahkan ia terpisah dari para pengusung cadangan. Pengusung cadangan yang jumlahnya tak beda dengan pengusung utama -yakni empat orang- akhirnya berjalan melenggang. Biarlah, pikir mereka, mungkin kecepatan langkah hingga terpisah dari iringan itu lebih disebabkan karena keringanan semata atas jasad perempuan yang meninggalnya teramat kurus-kering itu. Lagi pula, pengusung itu pasti akan memperlambat langkahnya ketika nyaris sampai ke liang lahat, tentunya demi menyambungkan iringan yang tiba-tiba terputus tadi. Jarak ke tempat pemakaman antara rumah almarhum memang tak terlampau jauh, paling sekira setengah kilometer.
Tak perduli apakah para penggali liang lahat merasa kesal dan pegal menunggu. Juga, tak hirau akan keluguan iringan para pengantar disungkup beribu tanya serta decak dan geleng kepala. Keheranan yang tak berkesudahan di area pemakaman, tak jadi beban bagi para pengusung keranda itu. Mereka begitu sigap dan singkat, dan telah berhasil menyelamatkan jasad perempuan malang bernama Masih itu. Ia telah dibelotkan dari tujuan semula, tatkala ditemui jalan simpang setapak. Keranda itu diusung lebih cepat, bahkan kalau perlu melompat demi menghindari kalau ada bola mata melihat. Bukan persoalan besar jika jasad itu terantuk-antuk atau terbanting ke kiri dan ke kanan membentur dinding keranda. Biarkan saja, yang penting sebujur tubuh kaku itu bisa terhindar dari penguburan di pesarean.
Para pengusung itu mandi keringat. Semangat yang tinggi dan bayangan upah yang menjanjikan, telah membuatnya mati rasa. Mereka menaiki sebuah bukit dan batu cadas, untuk mencapai sebuah goa. Pengusungan agak hati-hati tatkala ditemui medan yang agak licin, mungkin bekas hujan semalam.
"Tinggal beberapa langkah lagi," ucap salah seorang di antara mereka. Yang lain mengiyakan di tengah dengus nafas yang memburu. Memang mulut goa itu sudah di depan mata. Namun untuk mencapai klimaksnya diperlukan ekstra ketat dan kehati-hatian, mengingat mulut goa itu berada di atas kepala mereka. Jadi penyelesaianya bukan lagi berjalan, melainkan harus memanjat.
"Awas harus hati-hati!" kata seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di mulut goa, bak seorang pribumi. "Yang dua orang naik dulu ke sini," lanjutnya.
Setelah dua batang pinggulan depan keranda ditopangkan di tebing, dua orang itu memanjat ke bibir goa, sementara dua orang pengusung masih menahan di belakang. Lalu dua orang di bibir goa itu merengkuh kedua ujung keranda, dan perlahan menariknya ke atas. Demi menghindari kecemasan yang fatal, semua menahan nafas. Sebab posisi keranda itu tak cuma miring, melainkan berdiri seperti tangga. Entah ceroboh karena tergesa, atau mungkin keranda itu sudah cukup umur, tiba-tiba pintu keranda belakang tosblong bersamaan dengan melorotnya jasad kaku itu. Tanpa diduga mayat yang sudah mengeras itu terjatuh keras ke batu cadas dan terpelanting jauh, hingga terbontang-banting dari atas lereng bukit penuh bebatuan itu. Karenanya, kain kapan yang telah membungkusnya dengan rapi serta mewangi itu merosot dari jasadnya dan tersangkut pada sebuah tunggul.
"Goblog, kalian semua goblog!" maki seorang lelaki yang di goa tadi dengan geram. Giginya yang agak menghitam karena rokok, tampak gemeretak dirasuk amarah.
"Ini kegagalan total, dan merupakan aib besar! Aib besar sepanjang sejarah!" katanya seraya mata memandang langit, serta tangan kanan meninju-ninju telapak tangan kirinya.
Setelah empat orang itu melongo dan menyadari keteledorannya, seorang berkata penuh harap. "Mau kami Anda bersikap tenang saja, sebab ini bukan suatu kesengajaan. Bukankah jasad itu bisa diambil dan dikafani lagi seperti semula?"
"Sangat pesimis, mengingat jasad ibuku telah rusak!"
Entah apa maksud lelaki bujang lapuk itu. Memang tiada yang tahu pasti. Pengusung yang empat orang ini pun bukan sepenuhnya percaya padanya. Mereka bergiat lebih dikarenakan pada upah yang dijanjikan. Menurut Warsad --satu-satunya anak lelaki almarhumah-perempuan yang kurus tinggal tulang itu belum sepenuhnya mati. Ketidakberdayaannya itu hanyalah koma semata. Di mata Warsad tubuh ibunya subuh tadi masih hangat, di pergelangan tangannya masih ada denyut. Dengan mendekatkan telinganya ke hidung jasad, ia masih mendengar dengus nafas. Tapi kenapa orang-orang telah memvonis sebuah kematian?
Pagi hari Warsad dadanya panas menyesak. Bergumpal rasa, antara cemas dan harap begitu dahsyat menyergap. Bukan kesal pada warga yang datang dan turut belasungkawa, namun ia lebih benci dan dendam pada yang membuat keputusan. Waroh, kakak perempaun Warsad satu-satunya, yang sok shaleha itulah biang keroknya. Dan menuding dirinya tak sayang orang tua, tak sayang pada ibunya. Waroh, merasa lelah akan ketelatenan mengurus perempuan tua yang sering sakit-sakitan selama adiknya itu pergi melanglang.
Bukan tak sayang ibu, begitu beberapa kali Warsad bilang, namun aku mau menguji dan menambah ilmu untuk kehidupan abadi mendatang. Makanya ia berkelana, melanglang buana selama bertahun-tahun.
Menurut penuturan Warsad --yang tak dimengerti oleh Ibu dan Waroh-- kakaknya, ia mengembara selama itu hanyalah mencari matahari yang tak terlihat di siang hari, mencari bulan yang tak pernah muncul di malam hari. Mencari bintang yang tak tampak berkedip, mencari mata yang buta saat belalak. Mencari dirinya yang hilang ditelan kabut misteri.
"Pengembaraanku bukan tanpa arti, tapi ingin menunjukkan bahwa saya seorang lelaki sejati.Yang membuat iri langit dan bumi, akan penemuan cinta dan kekasihku yang abadi. Kekasih dunia dan akhirat nanti, sesuatu yang membuat diri sakti dalam kehidupan yang sebenarnya nyata kelak," begitulah Warsad setiap hendak pergi kerap berujar di depan ibu dan kakak perempuannya.
Dan kepergian Warsad yang bukan satu kali dengan waktu tak terbatas. Membuat Masih, ibunya, sering sakit-sakitan memikirkannya. Ibunya menduga kepergian anak bujangnya benar-benar mencari cinta dan kekasih sejati seperti pada umumnya. Sang ibu menduga kekasih yang disebutkan Warsad adalah wanita yang bakal setia menjadi istrinya. Makanya setiap ia pulang dari pengembaraan, sang ibu selalu mendamba ia telah membawa kasih dan cinta berupa keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Namun entah yang kesekian kalinya setiap anak lelaki itu datang, sang ibu selalu mengurut dada. Kenapa anaknya itu kerap pulang melenggang dengan tetap membujang?
Seperti kepulangannnya seminggu lalu, tatkala Warsad datang melenggang. Jangankan bawa momongan atau teman, yang namanya tas pun tidak. Kendatipun kedatangannya langsung bersimpuh, rasa kecewa ibunya tak terobati. Bahkan di hari berikutnya, perempuan yang sudah kurus-kering, tinggal kulit yang membungkus tulang itu, langsung merebahkan tubuhnya di dipan. Warsad tak cemas melihatnya, dalam batinnya, perubahan ibunya yang mendadak itu adalah sebuah bentuk dari kepuasan akan kepulangan dirinya. Perempuan itu selalu menggeleng dengan isyarat kala ditawari suap nasi, hanya beberapa sendok air yang bisa membasahi tenggorokkannya.
Waroh, sang kakak yang telah punya dua anak itu, telah membaca gelagat bahwa perempuan ringkih itu sudah mendekati ajalnya. Maka, nyaris tak luput setiap saat kerap menungguinya. Sedang Warsad seperti mati rasa, ia lebih banyak berada di luar rumah. Bukan ke tempat jauh, kalau tak mengelilingi rumah ia duduk di lincak bambu, memandang langit. Memandang bintang. Satu, dua orang temannya -yang sudah berkeluarga, seakan setia menemaninya ngobrol. Memang tak nerocos, pembicaraan mereka santai namun dinyana penuh makna. Apa-apa yang diucapkan bujang kembara itu adalah kebenaran. Dua orang temannya itu mengakui sobatnya itu sebagi orang luar biasa.
Makanya ketika berita kematian terdengar di pengeras suara -tentunya atas ajuan Waroh-mereka tak percaya. Apalagi ketika Warsad memeriksa keadaan tubuh ibunya, bukan sedih yang dibuat, melainkan tersenyum.
"Jangan tunjukkan kebodohanmu, Sad," kata Waroh tatkala Warsad menyampaikan pendapatnya.
"Janganlah kau usik lagi Sang Ibu, biarlah dia menikmati peristirahatannya.,"
Warsad tak berdaya untuk mengutarakan pembelaannya. Apalagi belum setengah jam, para warga sudah berdatangan. Terutama kaum ibu seraya mengais baskom berisikan beras dan uang sekedarnya. Sebagian kaum lelaki tanpa diperintah pun sudah bergiat ke pesarean dengan peralatan sekop dan cangkul. Memang hanya itulah yang mampu mereka lakukan pada saat ada orang meninggal. Mereka saling bergantian mencangkul, menyekop dan mengangkat tanah galian. Mungkin hanya dalam penggalian lahat itulah rasa kebersamaan masih bisa dipertahankan.
Saat proses pemandian jenazah Warsad tak bisa diam. Tampak terjadi bisik-bisik dengan kedua temannya itu. Di antara isi bisikkan itu, "Asal dengan kerja keras dan trampil uang sepuluh juta siap diberikan." Dalam waktu singkat kesepakatan pun didapat, empat orang pengusung siap menyantap suap.
"Pengembaraanmu yang fana akan terus kujaga," desis Warsad, setelah sebelumnya ia pamit pada temannya untuk pergi menunggu di suatu tempat. Dalam teropong kacamata batinnya, ruh perempuan itu tengah mengembara ke dunia lain. Setidaknya tiga hari ke depan ruh itu akan kembali ke raga. Apa pun resikonya, jasad ini harus benar-benar dijaga, terutama jangan sampai terluka, begitu batin Warsad.
Namun apakah yang terjadi? Jangankan dapat terjaga dari suatu luka, di dekatnya pun kini jasad itu sudah tiada.***