22 April 2015

Keranda Yang Membelot

Cerpen: Otang K.Baddy (Kabar Priangan 10 Oktober 2012)

     Keranda berisi jenazah perempuan itu diusung begitu tergesa. Bukan karena jalan ke pemakanan itu yang disebut mulus -serupa gang yang bertembok-- tapi seperti ada gejala lain yang tak lumrah. Namun para pengantar yang beriringan seakan tak peduli, mereka tetap berjalan teratur seperti biasanya. Sebagian membaca solawat nabi dan kalimah-kalimah thoyibah. Memang begitu baiknya, kematian merupakan suatu kesakralan yang mesti direnungi. Bukan untuk disesali apalagi ditangsi. Bukan pula untuk disuka-ria dengan tawa terbahak atau pesta-pora. Dengan sebait doa, atau untaian kalimah thayibah dan solawat nabi harus menjadi pilihan ketimbang bicara yang laga.
      Usungan mayat itu akhirnya menghilang dari suatu iringan. Bahkan ia terpisah dari para pengusung cadangan. Pengusung cadangan yang jumlahnya tak beda dengan pengusung utama -yakni empat orang- akhirnya berjalan melenggang. Biarlah, pikir mereka, mungkin kecepatan langkah hingga terpisah dari iringan itu lebih disebabkan karena keringanan semata atas jasad perempuan yang meninggalnya teramat kurus-kering itu. Lagi pula, pengusung itu pasti akan memperlambat langkahnya ketika nyaris sampai ke liang lahat, tentunya demi menyambungkan iringan yang tiba-tiba terputus tadi. Jarak ke tempat pemakaman antara rumah almarhum memang tak terlampau jauh, paling sekira setengah kilometer.
      Tak perduli apakah para penggali liang lahat merasa kesal dan pegal menunggu. Juga, tak hirau akan keluguan iringan para pengantar disungkup beribu tanya serta decak dan geleng kepala. Keheranan yang tak berkesudahan di area pemakaman, tak jadi beban bagi para pengusung keranda itu. Mereka begitu sigap dan singkat, dan telah berhasil menyelamatkan jasad perempuan malang bernama Masih itu. Ia telah dibelotkan dari tujuan semula, tatkala ditemui jalan simpang setapak. Keranda itu diusung lebih cepat, bahkan kalau perlu melompat demi menghindari kalau ada bola mata melihat. Bukan persoalan besar jika jasad itu terantuk-antuk atau terbanting ke kiri dan ke kanan membentur dinding keranda. Biarkan saja, yang penting sebujur tubuh kaku itu bisa terhindar dari penguburan di pesarean.
      Para pengusung itu mandi keringat. Semangat yang tinggi dan bayangan upah yang menjanjikan, telah membuatnya mati rasa. Mereka menaiki sebuah bukit dan batu cadas, untuk mencapai sebuah goa. Pengusungan agak hati-hati tatkala ditemui medan yang agak licin, mungkin bekas hujan semalam.
      "Tinggal beberapa langkah lagi," ucap salah seorang di antara mereka. Yang lain mengiyakan di tengah dengus nafas yang memburu. Memang mulut goa itu sudah di depan mata. Namun untuk mencapai klimaksnya diperlukan ekstra ketat dan kehati-hatian, mengingat mulut goa itu berada di atas kepala mereka. Jadi penyelesaianya bukan lagi berjalan, melainkan harus memanjat.
        "Awas harus hati-hati!" kata seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di mulut goa, bak seorang pribumi. "Yang dua orang naik dulu ke sini," lanjutnya.
       Setelah dua batang pinggulan depan keranda ditopangkan di tebing, dua orang itu memanjat ke bibir goa, sementara dua orang pengusung masih menahan di belakang. Lalu dua orang di bibir goa itu merengkuh kedua ujung keranda, dan perlahan menariknya ke atas. Demi menghindari kecemasan yang fatal, semua menahan nafas. Sebab posisi keranda itu tak cuma miring, melainkan berdiri seperti tangga. Entah ceroboh karena tergesa, atau mungkin keranda itu sudah cukup umur, tiba-tiba pintu keranda belakang tosblong bersamaan dengan melorotnya jasad kaku itu. Tanpa diduga mayat yang sudah mengeras itu terjatuh keras ke batu cadas dan terpelanting jauh, hingga terbontang-banting dari atas lereng bukit penuh bebatuan itu. Karenanya, kain kapan yang telah membungkusnya dengan rapi serta mewangi itu merosot dari jasadnya dan tersangkut pada sebuah tunggul.
      "Goblog, kalian semua goblog!" maki seorang lelaki yang di goa tadi dengan geram. Giginya yang agak menghitam karena rokok, tampak gemeretak dirasuk amarah.
"Ini kegagalan total, dan merupakan aib besar! Aib besar sepanjang sejarah!" katanya seraya mata memandang langit, serta tangan kanan meninju-ninju telapak tangan kirinya.
Setelah empat orang itu melongo dan menyadari keteledorannya, seorang berkata penuh harap. "Mau kami Anda bersikap tenang saja, sebab ini bukan suatu kesengajaan. Bukankah jasad itu bisa diambil dan dikafani lagi seperti semula?"
      "Sangat pesimis, mengingat jasad ibuku telah rusak!"
Entah apa maksud lelaki bujang lapuk itu. Memang tiada yang tahu pasti. Pengusung yang empat orang ini pun bukan sepenuhnya percaya padanya. Mereka bergiat lebih dikarenakan pada upah yang dijanjikan. Menurut Warsad --satu-satunya anak lelaki almarhumah-perempuan yang kurus tinggal tulang itu belum sepenuhnya mati. Ketidakberdayaannya itu hanyalah koma semata. Di mata Warsad tubuh ibunya subuh tadi masih hangat, di pergelangan tangannya masih ada denyut. Dengan mendekatkan telinganya ke hidung jasad, ia masih mendengar dengus nafas. Tapi kenapa orang-orang telah memvonis sebuah kematian?
      Pagi hari Warsad dadanya panas menyesak. Bergumpal rasa, antara cemas dan harap begitu dahsyat menyergap. Bukan kesal pada warga yang datang dan turut belasungkawa, namun ia lebih benci dan dendam pada yang membuat keputusan. Waroh, kakak perempaun Warsad satu-satunya, yang sok shaleha itulah biang keroknya. Dan menuding dirinya tak sayang orang tua, tak sayang pada ibunya. Waroh, merasa lelah akan ketelatenan mengurus perempuan tua yang sering sakit-sakitan selama adiknya itu pergi melanglang.
Bukan tak sayang ibu, begitu beberapa kali Warsad bilang, namun aku mau menguji dan menambah ilmu untuk kehidupan abadi mendatang. Makanya ia berkelana, melanglang buana selama bertahun-tahun.           
       Menurut penuturan Warsad --yang tak dimengerti oleh Ibu dan Waroh-- kakaknya, ia mengembara selama itu hanyalah mencari matahari yang tak terlihat di siang hari, mencari bulan yang tak pernah muncul di malam hari. Mencari bintang yang tak tampak berkedip, mencari mata yang buta saat belalak. Mencari dirinya yang hilang ditelan kabut misteri.
       "Pengembaraanku bukan tanpa arti, tapi ingin menunjukkan bahwa saya seorang lelaki sejati.Yang membuat iri langit dan bumi, akan penemuan cinta dan kekasihku yang abadi. Kekasih dunia dan akhirat nanti, sesuatu yang membuat diri sakti dalam kehidupan yang sebenarnya nyata kelak," begitulah Warsad setiap hendak pergi kerap berujar di depan ibu dan kakak perempuannya.
       Dan kepergian Warsad yang bukan satu kali dengan waktu tak terbatas. Membuat Masih, ibunya, sering sakit-sakitan memikirkannya. Ibunya menduga kepergian anak bujangnya benar-benar mencari cinta dan kekasih sejati seperti pada umumnya. Sang ibu menduga kekasih yang disebutkan Warsad adalah wanita yang bakal setia menjadi istrinya. Makanya setiap ia pulang dari pengembaraan, sang ibu selalu mendamba ia telah membawa kasih dan cinta berupa keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Namun entah yang kesekian kalinya setiap anak lelaki itu datang, sang ibu selalu mengurut dada. Kenapa anaknya itu kerap pulang melenggang dengan tetap membujang?
      Seperti kepulangannnya seminggu lalu, tatkala Warsad datang melenggang. Jangankan bawa momongan atau teman, yang namanya tas pun tidak. Kendatipun kedatangannya langsung bersimpuh, rasa kecewa ibunya tak terobati. Bahkan di hari berikutnya, perempuan yang sudah kurus-kering, tinggal kulit yang membungkus tulang itu, langsung merebahkan tubuhnya di dipan. Warsad tak cemas melihatnya, dalam batinnya, perubahan ibunya yang mendadak itu adalah sebuah bentuk dari kepuasan akan kepulangan dirinya. Perempuan itu selalu menggeleng dengan isyarat kala ditawari suap nasi, hanya beberapa sendok air yang bisa membasahi tenggorokkannya.
       Waroh, sang kakak yang telah punya dua anak itu, telah membaca gelagat bahwa perempuan ringkih itu sudah mendekati ajalnya. Maka, nyaris tak luput setiap saat kerap menungguinya. Sedang Warsad seperti mati rasa, ia lebih banyak berada di luar rumah. Bukan ke tempat jauh, kalau tak mengelilingi rumah ia duduk di lincak bambu, memandang langit. Memandang bintang. Satu, dua orang temannya -yang sudah berkeluarga, seakan setia menemaninya ngobrol. Memang tak nerocos, pembicaraan mereka santai namun dinyana penuh makna. Apa-apa yang diucapkan bujang kembara itu adalah kebenaran. Dua orang temannya itu mengakui sobatnya itu sebagi orang luar biasa.
       Makanya ketika berita kematian terdengar di pengeras suara -tentunya atas ajuan Waroh-mereka tak percaya. Apalagi ketika Warsad memeriksa keadaan tubuh ibunya, bukan sedih yang dibuat, melainkan tersenyum.
      "Jangan tunjukkan kebodohanmu, Sad," kata Waroh tatkala Warsad menyampaikan pendapatnya.     
      "Janganlah kau usik lagi Sang Ibu, biarlah dia menikmati peristirahatannya.,"
      Warsad tak berdaya untuk mengutarakan pembelaannya. Apalagi belum setengah jam, para warga sudah berdatangan. Terutama kaum ibu seraya mengais baskom berisikan beras dan uang sekedarnya. Sebagian kaum lelaki tanpa diperintah pun sudah bergiat ke pesarean dengan peralatan sekop dan cangkul. Memang hanya itulah yang mampu mereka lakukan pada saat ada orang meninggal. Mereka saling bergantian mencangkul, menyekop dan mengangkat tanah galian. Mungkin hanya dalam penggalian lahat itulah rasa kebersamaan masih bisa dipertahankan.
       Saat proses pemandian jenazah Warsad tak bisa diam. Tampak terjadi bisik-bisik dengan kedua temannya itu. Di antara isi bisikkan itu, "Asal dengan kerja keras dan trampil uang sepuluh juta siap diberikan." Dalam waktu singkat kesepakatan pun didapat, empat orang pengusung siap menyantap suap.
      "Pengembaraanmu yang fana akan terus kujaga," desis Warsad, setelah sebelumnya ia pamit pada temannya untuk pergi menunggu di suatu tempat. Dalam teropong kacamata batinnya, ruh perempuan itu tengah mengembara ke dunia lain. Setidaknya tiga hari ke depan ruh itu akan kembali ke raga. Apa pun resikonya, jasad ini harus benar-benar dijaga, terutama jangan sampai terluka, begitu batin Warsad.
     Namun apakah yang terjadi? Jangankan dapat terjaga dari suatu luka, di dekatnya pun kini jasad itu sudah tiada.***
Author : Nunu Nazarudin Azhar Dibaca : 406 kali

13 April 2015

Sumber Awan

Cerpen:Latif Fianto (Radar Surabaya 12 april 2015)

     
Cahaya matahari terik di
atas kepala. Bau dan suara
kentut knalpot saling
berebut. Bunyi klakson
beriak susul menyusul. Debu-
debu beterbangan berlomba
dengan kendaraan yang bergerak
merayap, macam kura-kura. Aku
bergerak sesak dengan motor bebek
buatan Jepang. Mataku lurus ke depan,
mencari ruang salipan. Astaga, wajah
sebuah mobil kekar besar nyaris
mencium bodi belakang bebek ku.
      Detik per detik menjadi pisau waktu
yang menyiksa. Jarak menjadi semakin
panjang. Panas membakar. Udara bercampur
bau besi, semacam bau karet yang
dibakar. Jarak sesenti menjadi sangat
berharga. Lebih berharga dari kematian.
     Kendaraan masih berderap merayap
padat ketika aku melepaskan diri dari
kepulan asap knalpot yang menyesakkan
dada. Kini aku menghirup udara
segar yang merengsek diantara dedaunan.
Berdiri di depan rumah Ayong
yang jauhnya mencapai dua setengah
kilometer dari kebisingan jalan raya.
     Aku memandang ke arah halaman
yang sunyi. Tak berani membawa kaki
melewati pintu pagar. Belakangan,
anjing di rumah ini semakin galak.
Dulu, setiap kali aku datang, berdiri
di teras rumah, anjing itu selalu ingin
mencium kaki ku. Berlomba dengan
     Ayong yang tiba-tiba mendaratkan
bibir tebalnya di pipi.
Tiga bulan aku tidak ke sini. Tak
ada yang berubah. Rumah tetap sepi.
Warung kecil di halaman masih berdiri
kaku. Hanya anjing itu yang berubah.
Semakin galak saja padaku. Melihatku
melongo di balik pagar, binatang itu
menatapku tajam. Melonglong, macam
mengusir. Lupakah anjing itu bahwa
aku adalah laki-laki yang dulu selalu
ingin diciumnya?
Ayong berdiri di depan pagar,
tersenyum. Mengenakan kaus merah
muda, ketat membungkus tubuhnya yang
padat. Rambut dibiarkan berurai, jatuh
di kedua pundaknya. Aku terpukau.
“Kita mau pergi kemana?” Ayong
duduk di belakang, di atas motor
bebekku.
“Terserah kau. Hari ini kau yang
menjadi guide nya,” aku menyalakan
mesin.
“Ikuti saja arah jalan yang menanjak
itu!” ia menunjuk arah di depan setelah
kami tiba di pojok jalan.
“Jalan itu menuju kemana?”
“Aku tidak tahu juga. Ikuti saja!”
ia mendekatkan bibirnya di telinga.
“Bukankah mengobati kerinduan itu
lebih penting daripada tujuan sebuah
tempat?” suaranya lembut berbisik.
     Aku terkekeh. Ayong menyandarkan
kepala di pundak. Aku melesat di
bawah terik matahari. Membelah
kesiur angin yang gemulai.
     Rumah-rumah sederhana berdiri di
pinggir jalan yang menanjak. Di depan,
jalan bercabang empat. Aku memilih
belok kanan. Kali ini insting yang
mengarahkan. Aku tak tahu kemana
jalan hendak membawa. Tanah-tanah
sangat hijau. Ilalang berjuntai setinggi
laki-laki dewasa. Kerbau memakan
rumput di tengah ladang. Gerombolan
kambing berbulu putih berteduh di
bawah pohon pisang.
      Benar kata Ayong, apalah arti sebuah
tujuan. Tidak ada yang lebih penting
daripada menambatkan kerinduan.
Di depan, jalan kembali bercabang.
Aku memilih belok kiri, menuju arah
selatan. Padang rumput terbentang.
      Beberapa meter kemudian, rumahlayouter
berrumah warga berdiri gagah. Warung
makan dan beberapa rumah masih
dalam pembangunan. Suara kesiur
angin bertumpu dengan suara gesekan
pohon bambu yang bergoyang, mengeluarkan
siul gombal menggoda.
      Aku berhenti. Di depan ada tiang
kecil beserta sebuah plang bertuliskan
Candi Sumberawan 500 meter. Di
bawah tulisan itu, arah tanda panah
lurus ke arah kanan. Sumberawan?
Nama yang menggelitik mata.
       “Kau sudah pernah pergi kesini?”
tanyaku lamatlamat menatap Ayong.
Ia menggeleng.
      “Belum, baru hari ini aku tahu kalau disini
ada candi.”
      “Kita pergi kesana?”
      Ayong mengangguk,
menggamit lenganku. Kami
berjalan sejauh lima ratus meter.
Melewati jalan setapak.
Di sisinya mata air mengalir
bening. Beberapa ikan tawar bergelanyut
manja. Di seberang aliran mata
air kecil itu, berjejer pohon bambu, rapat.
Di sebelah kiri, hijau padi menghampar
di atas sawah. Suara burung, serangga
dan siul angin berpadu. Terdengar dari
balik pepohonan yang rindang.
Anak-anak kecil melompat ke dalam
sungai, yang dalamnya tidak seberapa
Ibu-ibu mereka tertawa melihat aksi
anaknya yang menggemaskan.
Dua anak gadis sepantaran bergantian
mengambil gambar. Di belakang
mereka gemericik mata air pegunungan
mengalir. Kuikuti aliran air itu hingga
ke pangkal. Alamak, itu benar-benar
indah. Sebuah telaga kecil terhampar.
Airnya tenang. Indah nian telaga itu.
      Pelan-pelan, kudengar sebuah suara
yang sulit kukenali. Seperti datang
dari kolong langit. Tidak, itu bukan
suara orang lain. Itu suara hatiku yang
meminta mendekat ke bibir telaga
Baru dua langkah hendak mendekat,
tiba-tiba Ayong sudah berdiri di depanku
Mataku sempurna menatap dadanya
yang membusung ke depan. Pemandangan
yang lebih indah dari sekadar
telaga kecil di balik candi.
      “Awan, aku ingin mendekat ke candi
itu,” ia menarik lengan. Mensejajariku
di sebelah. Sesekali pinggir dadanya
yang lembut menyentuh bahuku
Aku menatap lekat-lekat tubuh candi.
Bentuknya persis stupa induk di tingkat
Arupadhatu di puncak candi Borobudur.
Macam gunung Arjuna, gagah perkasa.
Puncaknya menusuk langit.
      Aku tak begitu banyak tahu tentang
makna simbol, apalagi tentang candi.
Tapi coba bayangkan, berdiri di puncak
candi ini atau di puncak gunung
Arjuna. Angkat wajah menatap ke atas.
Seperti terasa sangat dekat dengan
langit, begitu dekat dengan sang
pencipta. Pencapaian menuju langit,
melewati batas-batas awan yang
lembut. Menggapai lazuardi, di sebuah
nirwana yang menjulang di atas bumi.
Ini karya yang maha sempurna. Memadukan
seni dan kedalaman spiritualitas.
Ini buah karya orang-orang terdahulu,
saat kerajaan Majapahit masih
berkuasa gagah di tanah Jawa. Mereka
sungguh mengerti bagaimana mewariskan
ilmu dan kearifan. Tapi bagaimana
bisa candi ini bernama Sumberawan?
      “Kau tahu kenapa candi ini diberi
nama Sumberawan?” aku menyikut lengan
Ayong.
       Ia menggeleng. Astaga, aku bertanya
pada orang yang salah, yang tidak mengerti
sama sekali tentang situs peninggalan
sejarah. Ia bahkan baru hari ini
mengetahui ada candi semacam itu.
       “ D u l u n y a daerah ini bernama
Kasurangganan, diartikan sebagai
taman yang dipenuhi bidadari atau malaikat.”
Itu bukan suara Ayong. Aku
tahu ia tidak akan mengeluarkan katakata
seberat itu. Alamak, itu suara berat
seorang nenek di belakangku. Seorang
nenek tua yang rambutnya sudah
memutih. Tubuhnya kurus tapi tidak
ringkik. Ia duduk bersila menghadap ke
telaga. Matanya terpejam. Aku baru
sadar ada seorang nenek di sekitar candi.
      Pelan-pelan kudekati. Duduk di
samping nenek itu. Ayong memainkan
ekor matanya. Jangan diganggu!
Aku sudah terlanjur duduk, nenek itu
pasti merasakan kehadiranku. Ia seperti
sedang bersemedi, tapi tidak sedang
bertapa. Sepanjang kutelisik, kulit
wajahnya masih segar. Hidungnya mancung.
Bibirnya tipis, manis. Astaga, aku
sungguh tidak sopan telah menelisik wajah
orang tua yang harusnya kuhormati. .
      “Bagaimana nenek bisa tahu tentang
candi ini?”
      Nenek itu diam. Hampir tak kudapati
ada nafas yang keluar dari dua
ruas lubang hidungnya.
      “Mudah saja, Nak, nama itu
terdapat dalam kitab Negarakertagama,”
mata nenek tetap terpejam.
“Kitab macam apa itu,
Nek? Buku ensiklopedia
atau kitab tebal macam cerita Mahabharata,
Nek?”
       “Anak muda yang lahir dari peradaban
modern macam kau ini tidak akan
mengenal kitab itu.”
      Aku tidak percaya nenek di depanku ini
tiba-tiba menghakimi sesuatu yang belum
lama dikenalnya. Baru dua detik bercakap-
cakap sudah menghakimiku yang
tidak-tidak. Bisa kupastikan nenek ini tidak
tahu menahu tentang dunia modern.
      Kitab Negarakertagama? Aku sering
mendengar nama itu. Aku juga sering
mendapati nama-nama kitab semacam
itu di buku bacaan yang mengulas tentang
sejarah. Aku diam, menunggu
kata-kata berikutnya.
      “Aku tahu betul anak-anak muda macam
kau, Nak. Lahir di saat dunia sudah
gemerlap oleh teknologi. Memiliki
ilmu sedikit saja sudah membusung
dada. Mengumbar pemahaman hingga
mulut berbusa-busa. Bacaannya Karl
Marx, Hegel, Weber. Bagaimana kau
bisa mencintai negerimu kalau kau saja
tak mengenal sejarah bangsamu, Nak?”
      Bibirku terkatup, tak mampu bergerak.
Sedikit banyak, kata-kata nenek
ini benar adanya.
      “Siapa yang meragukan kata-kata cinta
dari anak muda seperti kau, Nak. Tak ada.
Bahkan kalau kau mau, kau bisikkan kata
cinta pada setiap perempuan, mereka akan
jatuh dalam pelukmu. Tapi masalahnya,
cinta bukan sekadar kata-kata, Nak. Cinta
bukan kalimat-kalimat bertenaga yang kau
teriakkan di jalan-jalan raya. Cinta bukan
suara-suara serak yang kau serukan di
setiap hari kemerdekaan.”
      Nenek ini diam dalam damai. Aku
memperhatikan lekat-lekat wajahnya.
Kata-katanya mengalir, mencari ruang
kosong di dalam hati.
     “Cinta itu ketika kau tetap mau
memberi meski berimbal sakit tiada
perih. Cinta itu ketika kau tetap teguh
pada kebenaran hati meski uang dan
kursi menawarkanmu jabatan tinggi.”
     Nenek itu beranjak berdiri. Kedua
matanya terbuka. Tak sedikit pun
menatapku. Kedua tangannya ditekan
ke tanah. Mencari dukungan tenaga
agar kuat berdiri. Aku membantunya.
     “Kau lihatlah ke telaga itu, Nak!
Sumber kedamaian dan keselarasan
alam. Itu wujud cinta yang Maha Besar
dan Agung pada negeri ini. Meski kita
tak pandai mengucap syukur, tapi Dia
tetap menjaga kebeningan air telaga itu.”
     Aku menoleh ke arah telaga. Nenek
itu lagi-lagi mengatakan kebenaran.
Sudah ratusan tahun telaga itu
tercipta, tapi mata airnya tak pernah
keruh. Yang Maha Besar dan Agung
tetap menjaga kebeningan airnya meski
kita tak pandai mengucap syukur.
      Kalimat itu terus terngiang di telinga.
Alamak, indah nian telaga itu.
Berada di bawah kaki gunung Arjuna.
Airnya bening mengalir dari mata air
pegunungan. Dikelilingi pohon-pohon
yang rindang. Aku yakin, dulu saat
candi ini masih misteri, bidadari-bidadari
turun dari langit. Tubuhnya yang
putih merendam di tengah telaga yang
bening itu. Menanggalkan selendang-selendang
penutup tubuh mereka di
tepian telaga. Mereka pasti saling
tertawa. Saling melempar keciprat air.
      Aku menoleh lagi pada nenek itu. Tak
ada. Nenek itu sudah pergi. Kemana?
Secepat itukah nenek itu melangkah?
Benar-benar aneh. Aku tak sedang
bermimpi. Ini benar-benar kenyataan.
      Aku mengangkat kepala pada Ayong.
Kemana? Ia mengangkat bahu. Nenek
itu aneh sekali. Tiba-tiba menjawab pertanyaanku,
lalu pergi sekejap mata. Kepalaku
pening dipenuhi satu pertanyaan
yang masih menggelitik. Bagaimana bisa
candi ini bernama Sumberawan hampir
persis dengan namaku, Awan?
      Ini benar-benar gila, di luar jangkauan
logika. Semua bayang berebut timbul tenggelam.
Bukan jawaban yang kudapatkan,
melainkan rasa penasaran yang semakin
mendalam. Pikiranku bercabang, antara
mencari jawaban atau terpaku dalam diam,
pukau. Aku terpenjara, tercekat pikat
menahan getaran hebat dari belahan tubuh
Ayong yang memelukku dari belakang. (*)



12 April 2015

Honor cerpen-puisi dan email media 2015

Tampaknya sudah banyak yang berubah standar honorium karya di media. Ke depan honor cerpen dan puisi disuarakan di atas 1.000.000,-. Berikut rilist terbaru dari laporan teman-teman (Alizar Tanjung), honor tertinggi ditempati oleh KOMPAS. Silahkan juga menambahkan alamat email media


KOMPAS cerpen 1.400.000. puisi 550.000 (opini@kompas.com)

MAJALAH FEMINA Cerpen 975.000 (informasi dari Guntur Alam)

JAWA POSO cerpen Rp. 925.000. puisi Rp 725.000.

TEMPO cerpen 750-.000. puisi 600.000 (ktminggu@tempo.co.id)

MEDIA INDONESIA Cerpen 705.000 (setelah dipotong pajak). Puisi full 1 penyair 625.000 (saya alami sendiri), 2 penyair : 250-300ribu (info teman). (cerpenmi@mediaindonesia.com dan puisi@mediaindonesia.com cc PuisiMedia@yahoo.com)

MAJALAH HORISON puisi11 puisi : 500.000, harga per/puisi 30ribu-50ribu

JURNAS cerpen 400.000

MAJALAH ESQUIRE cerpen panjang naskahnya 14.000 karakter dibayar 825.000-an, yang panjangnya 10.000 karakter dibayar 775.000 (informasi dari Guntur Alam)

MAJALAH NOVA. Cerpen Rp. 388.000 (setelah potong pajak/pakai NPWP cuma selisih 2 ribu)

MAJALAH HAI Rp300.000,- (cair setelah satu bulan);

REPUBLIKA , cerpen 371.000. (sekretariat@republika.co.id)

PIKIRAN RAKYAT 300.000 puisi 200.000. dibayar 50.000-/Puisi.

INDOPOS puisi 250.000(konfirmasi honor via email)

SINAR HARAPAN puisi 235.000. ( blackpoems@yahoo.com)

LAMPUNG POS cerpen RP. 250.000. puisi 250.000, esai 250.000

BANJARMASIN POST, cerpen Rp.100.000.

SUARA MERDEKA cerpen 300.000. puisi 100.000

KORAN MERAPI cerpen 100.000. Puisi 75.000,-

MINGGU PAGI Rp150.000,- (potong pajak: Rp141.000,-);

HALUAN Majalah Cerpen 100 ribu. Puisi 50.000

PADANG EKSPRES cerpen 150.000-200.000. puisi 125.000. (cerpen_puisi@yahoo.com)

SINGGALANG cerpen 150.000, esai 50.000, resensi 25.000. (a2rizal@yahoo.co.id)

SUARA NTB puisi 25.000/ Puisi.

RADAR SURABAYA puisi 52.000, cerpen 200.000. (radarsurabaya@yahoo.com atau diptareza@yahoo.co.id )

SUARA MUHAMMADIAH Cerpen 100.000(konfirmasi honor bisa via email)

SOLOPOS puisi 100.000, cerpen 125.000.

MAJALAH CEMPAKA cerpen 150.000 potong pajak jd 145.500

MERAPI PEMBARUAN Rp100.000,- (tidak dipotong pajak).

BANGKA POS. honornya 100.000 (Susah nagihnya)

MEDAN BISNIS 2011-2012, Rp 45.000 per/edisi.

RIAU POS Cerpen & Puisi: 150.000- Esai: 100.000/150.000 Resensi: 100.000-/150.000-

RADAR BOJONEGORO (kenalyan@yahoo.co.id)

Cara meniru atau mengkloning script situs lain

    Kadang kita tertarik ingin memiliki suatu web/blog dengan desain web milik yang lain. Terbersit bisakah memilikinya tanpa harus membeli atau menyuruh orang lain untuk membuatnya, miisal dengan cara meniru script dari web tersebut dengan tampilan list atau galleri dan sejenisnya yang menarik --umpamanya. Bagi yang sudah mahir dalam masalah pemograman atau utak-atik desain web/blog, soal ini tentunya merupakan hal gampang, tapi bagi yang awam  atau masih  newbie :D) tentu masih bingung.

Tapi sebaiknya kini tak perlu bingung, ada solusi untuk mendapatkan semua itu, dan saya temukan dari internet. Gimana cara praktis meniru dersain situs lain, ikuti caranya ya..

Hal - hal yang perlu di persiapkan :
Notepad bawaan Windows (Kalau saya sih lebih suka pakai Notepad++ karena lebih lengkap)
Mozilla Web browser dan situs yang mau ditiru desainnya (ini wajib)
Install Firebug (ini adalah addons di mozilla untuk melihat source dan komponen halaman web)
Photoshop (untuk merubah beberapa gambar2 yang diambil dari website yg mau di kloning)


Hal - hal yang perlu diketahui :
karena disini kita akan meniru desain suatu website, pastinya kita akan mengambil beberapa komponen/script yang ada pada website yg ingin kita tiru desainnya/kloning, diantaranya :


CSS (Cascading style sheet) ini bahasa style yg paling penting dalam kesuksesan meniru desain websitenya.
Source HTML dari website yang ingin ditiru
Beberapa gambar/icon yang pada website yg ingin ditiru
Javascript (bila diperlukan)

Mari kita mulai
Pastikan kamu sudah menginstall addon Firebug ke Mozilla ya. Sebagai contoh disini saya akan meniru desain dari situs crocweb dot com (yaitu salah satu perusahaan webhosting).

1. Buka crocweb dot com, jika loading selesai tekan Ctrl + U (untuk menampilkan view source). Alhasil, akan terlihat berbagai kode2 HTML, inilah susunan kode HTML dibalik situs crocweb

2. Kedua, copy paste seluruh kode2 tersebut ke notepad, kemudian save as dengan nama "index.html" tanpa tanda kutip.

Sebenarnya sampai disini kita sudah berhasil mengkloning situs crocweb, tapi blm secara keseluruhan.

3. Selanjutnya, cari dan copy file CSSnya, dari view source di gambar 1, terlihat bahwa ada satu kode CSS di baris ke 6. Ini dia link shortcut CSS yg saya maksud.

<link rel="stylesheet" type="text/css" href="style.css" media="all" />

Kemudian, buka CSS tersebut, dengan cara klik "style.css", copy dan paste semua kode CSSnya ke notepad. Simpan dengan nama yg sama "style.css".

4. Setelah itu, kembali ke halaman situs crocweb. Ambil semua gambar yang terdapat pada situs crocweb, dengan cara klik kanan pilih "View Page Info". Akan terlihat banyak sekali daftar/link images, blok semua link tersebut, kemudian Save As

Tentukan folder penyimpanan gambar, buat folder baru dengan nama "images" ini disesuaikan dengan direktori tempat penyimpanan images yang ada di dalam kode CSS. Ingat! folder images ini harus di simpan dalam satu folder dengan index.html dan style.css tadi. Lalu bagaimana cara mengetahui direktori penyimpanan dari file images tersebut? mudah saja, kita bisa lihat pada style.css, contohnya bisa lihat pada gambar dibawah ini

5. Untuk merubah beberapa gambar bawaan dari crocweb kita bisa mengeditnya sendiri melalui Photoshop, misalnya ingin merubah logo, banner, ataupun icon - icon lainnya. Kita anggap disini selesai karena dibuat sesuai kebutuhan masing2.

6. Sampai disini sudah selesai sebenarnya untuk versi simplenya.

Tahap Advanced
Setiap website pastinya memiliki struktur halaman yang berbeda2, untuk itu dibutuhkan kemampuan lebih dalam melewati tahap2 ini, terkadang para web developer atau bahkan kita hanya membutuhkan bagian2 tertentu saja dalam meniru desain suatu website, sehingga tidak perlu meniru semua desain secara keseluruhan.

Untuk itu, disinilah peran Firebug (addons di mozilla) yang memudahkan kita untuk meniru bagian2 tertentu saja dari suatu website. Penasaran seperti apa sih firebug itu dan seberapa besar fungsinya dalam membantu kita mengkloning website? Lihat gambar dibawah

http://www.ads-id.com/forums/clear.gif

Keterangan :
Nomor 1 : Inspect Tool, digunakan untuk menyeleksi suatu objek, tool inilah yang biasa digunakan untuk menyeleksi bagian2 tertentu yang akan kita ambil.
Nomor 2 : Setelah mengklik inspect tool, arahkan mouse/sorot bagian2 yang akan diseleksi
Nomor 3 : hasil dari seleksi tersebut dapat di lihat source HTMLnya. Kode ini bisa kita copy ataupun edit
Nomor 4 : Sama seperti nomor 3, bagian ini adalah source dari CSS website, kita bisa copy dan menerapkan CSS ini pada website kita.

Sedikit tips tentang bagaimana cara menanggapi etika dalam hal yang menyangkut copyright/hak cipta, disini tingkat kemiripan sebisa mungkin dibuat tidak benar2 100% sama (sudah pasti, jika tidak ingin dilaporkan ke pihak berwajib oleh empunya karena melanggar hak cipta kan? :peace:)

Kesimpulan :

Tingkat kesulitan dalam meniru desain suatu website/cloning berbeda - beda, tergantung dari bagaimana struktur website tersebut ditampilkan. Cara diatas bisa Anda terapkan untuk desain website Anda nantinya, tentunya harus ada pemahaman lebih tentang bahasa pemrograman web jika hasilnya ingin memuaskan.

Intinya, bagian2 yang sangat dibutuhkan adalah CSS jika ingin meniru bagian2 tertentu, gunakanlah firebug agar memudahkan proses pengerjaan. Untuk program editing berbagai kode2 pemrograman kamu bisa gunakan Notepad++, search di google sudah pasti ada kok :).

Nah, demikianlah sedikit tutorial dalam meniru desain website, TS juga agak lelah nih menulis artikel panjang ini, semoga bermanfaat :swt2:

Mohon maaf kalau ada kesalahan, mohon koreksinya untuk para master.
*note:
 Artikel yang Buanakata (bk) sajikan ini hanya sebagai media pembelajaran saja, dan bukan untuk disalahgunakan. Dan admin buanakata tidak bertanggung jawab apabila tindakan yang digunakan untuk hal-hal yang melanggar hukum.(*)

10 April 2015

Anak-anak Serigala

Cerpen Adam Yudhistira (Lampung Post, Minggu, 5 April 2015)


DESAS-DESUS itu merebak di Desa Yeleniskoye, Desina Kruizseva melahirkan anak-anak serigala. Ia merayap seperti asap dan terisap masyarakat menjadi mitos yang bernuansa gelap. Kata mereka, sudah tak terhitung anak-anak serigala yang lahir dari rahim Desina. Bahkan desas-desus itu menjalar—sejak kerap terdengar lolong serigala pada malam-malam purnama yang memecah keheningan Desa Yeleniskoye. Masyarakat percaya, lolongan itu adalah anak-anak Desina yang beralih rupa menjadi serigala.

Konon, Desina Kruizseva dikutuk karena menjalin cinta dengan Major Rudolf Sauerbrei—seorang perwira muda dari serdadu Nazi. Masyarakat Desa Yeleniskoye mengusir Desina saat diketahui gadis itu mengandung benih Major Rudolf Sauerbrei. Dan kutukan itu menjadi semacam teror bagiku berpuluh tahun setelahnya—sebab entah benar atau tidak—kurasa aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka.

Aku mendapatkan pengalaman ini dari Vasilly. Ia lelaki setengah baya bertubuh gemuk, warga Yeleniskoye. Aku mengenalnya saat bekerja di Oblast, Chelyabinsk-Soviet, di penghujung tahun ‘80-an. Vasilly salah satu pekerja di proyek yang sama-sama kami tangani. Sampai kini aku masih sulit percaya jika mengingat cerita yang dituturkannya.

“Dia (maksudnya Desina) sedang berada di Kota Stalingrad,” ucap Vasilly memulai kisahnya.

Aku dan Vasilly berbincang di sebuah bar kumuh di sudut Desa Yeleniskoye. Langit gelap, hujan turun sangat deras, suasana bar begitu sepi. Hanya ada aku, Vasilly, dan pria tua pemilik Bar. Cuaca buruk itu membuat kami terjebak dan itulah titik mula kisah musykil ini kudengar.

“Lalu bagaimana dia bisa mempunyai anak dari Major Rudolf?” tanyaku sembari menenggak seteguk vodka untuk menghangatkan darahku yang membeku.

“Dia sukarelawan perang di sana.”

Aku memandang keheranan, “Setahuku saat perang di tepi Sungai Volga itu, serdadu Nazi dan Tentara Merah sama-sama sulit, rasanya tak mungkin dua kubu ini bisa bertemu dalam keadaan damai, apalagi untuk urusan cinta. Sungguh tak masuk akal, Kawan.”

“Dia sukarelawan perang, dia tidak memihak siapa pun.” Vasilly  memantik korek dan menyalakan sebatang rokok. “Desina mengaku jika janin yang dikandungnya adalah anak Major Rudolf, tapi bukan berarti mereka miliki ikatan cinta.”

“Kau pernah bertemu Desina?”

“Ehmm... tidak, aku dapat cerita ini dari kakekku.”

“Ah...” keluhku kecewa. “Lalu bagaimana cerita selanjutnya?”

“Desina Kruizseva terjebak di reruntuhan gedung.” Vasilly menggaruk hidungnya yang besar sebentar. “Dia memberi perawatan medis untuk Tentara Merah yang terluka di garis belakang, saat itulah dia diculik dan dibawa ke kubu Jerman.”

Kureguk lagi setegukan vodka di dalam gelas, lantas kuajukan analisisku, “Aneh sekali, setahuku juga, petugas medis adalah para pria, jarang ada wanita yang bertugas langsung di titik pertempuran seperti dalam ceritamu itu.”

“Jadi kau tidak percaya padaku, Bramantyo?” ucapnya sambil menunjukan raut wajah meradang.

Aku mahfum, tipikal lelaki Rusia memang mudah sekali naik darah. Aku tertawa, “Aku percaya, aku percaya. Sudahlah, lanjutkan saja ceritamu, aku masih ingin mendengarnya.”

“Oke,” katanya sambil mengisap rokoknya terlebih dulu. “Percayakah kau jika kukatakan, anak-anak yang lahir dari rahim Desina menjelma serigala?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Vasilly benar-benar pandai memancing rasa penasaranku. Aku mengangguk dan kucondongkan tubuhku sedikit ke arahnya. Ceritanya mulai menarik, sebab tak hanya di Indonesia saja ada hal-hal berbau klenik begini, ternyata di negara sebesar dan semaju Rusia ada juga cerita seperti itu. Hitung-hitung mengobati rasa rinduku pada Tanah Air, lantas kuteruskan pertanyaan-pertanyaanku.

“Menurut kakekku, Desina tidak sendirian menerima kutukan itu.”

“Maksudmu?”

Belum sempat Vassily menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pria tua yang duduk di sudut bar menunjuk ke muka Vassily sambil berkata, “Eta lozh!”

“Zatknyis! Ya cibya nakazhu!” bentak Vasilly. Pria tua itu sontak terdiam, kemudian menunduk ketakutan. Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, sepertinya Vasilly mengancam pria itu hingga dia ketakutan. Pria tua itu kembali mengacuhkan kami, tapi sesekali masih kudengar gumaman dari mulutnya.

“Iya, maksudku banyak perempuan lain yang menerima kutukan sama seperti dirinya. Diusir dan melahirkan anak-anak serigala.”

“Kenapa bisa seperti itu?”

“Karena benih yang ditanamkan serdadu-serdadu Nazi itu adalah benih-benih iblis. Dan perempuan yang menerima benih itu—apa pun alasannya—pasti akan menerima kutukan yang serupa.”

Aku mengangkat tangan dan mengisyaratkan pada pria tua penjaga bar untuk menambahkan vodka ke dalam gelasku. Pria tua itu mengangguk, dengan cekatan ia menuang cairan beraroma menyengat itu ke dalam gelas. Ia mendengus saat melirik Vasilly, melihat itu, aku tersenyum geli. Vasilly sendiri tak memedulikan keberadaan pria tua itu.

“Maksudku begini, bagaimana bisa serdadu Nazi menanamkan benihnya pada perempuan Soviet pada masa genting seperti itu?”

“Kau kritis sekali, tapi kau terlalu lugu untuk menguak fakta-fakta sejarah yang tidak sempat tertulis.” Vasilly menyeringai, di sela-sela giginya yang kuning, terselip beberapa pecahan daun tembakau.

“Aku tidak mengerti,” ucapku jujur. Aku sungguh tertarik mendengar kisah itu, tapi Vasilly menjadikan rasa ketertarikanku menjadi sebuah “siksaan” yang mengasyikkan. Rasa penasaranku ditarik-ulur olehnya. Itu membuatku mulai jengkel dan merasa sedang dipermainkan.

“Dulu...” katanya melanjutkan ceritanya lagi, “banyak perempuan Soviet yang menjadi budak seks serdadu Nazi.”

Aku mengangguk-angguk. Sejarah yang dicelotehkan lelaki itu tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Aku mulai merasa lelaki bertubuh tambun yang menguarkan aroma bawang ini cuma terobsesi dengan kisah-kisah hantu picisan.
“Seperti lazimnya negeri-negeri yang disinggahi bala tentara iblis, negeri kami juga pernah merasakan masa-masa suram itu,” lanjutnya sambil menghembuskan gumpalan asap rokok tepat ke wajahku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang perih terkena hembusan asap rokoknya. Kutegakkan posisi dudukku dan menjauh. Bukan cuma itu, sebenarnya cerita lelaki ini mulai menjurus pada kegilaan terstruktur dalam lisannya sendiri. Aku pesimistis ceritanya mengandung kebenaran.
Dia—kurasa—lelaki yang memiliki ketidaknormalan dan terobsesi kompulsif pada teori-teori konspirasi atau kisah-kisah menyeramkan tentang Nazi. Aku menduga pemikiran Vasilly sudah terjangkiti semacam paham kebencian pada mitos ras yang sempat didengung-dengungkan Jerman pada periode Perang Dunia II. Kebencian itu termanifestasikan dalam bualan kosongnya tentang anak-anak serigala—yang di telingaku tak ubahnya semacam caci-maki paling konyol yang pernah kudengar.

Aku mereguk vodka di dalam gelas yang isinya tinggal setengah. “Mengapa kau mengira jika serdadu-serdadu itu bala tentara Iblis?” tanyaku mengerutkan alis.

Vasilly terkekeh memamerkan deretan gigi-gigi keroposnya, “Kenyataannya memang seperti itu. Kau tahu? Hanya serdadu-serdadu iblis yang bisa melakukan kejahatan dan berambisi menguasai umat manusia dalam satu kekuasaan.”

“Aku tidak mengerti...”

Lelaki itu mendekat dan berbisik, “Dari kakekku pula aku tahu jika Hitler itu jelmaan Lucifer,” katanya mengangguk meyakinkanku.

Aku mendengus, “Kurasa ceritamu sudah melantur jauh dari kisah Desina Kruizseva. Sebaiknya kita kembali ke cerita tentang perempuan itu saja,” ucapku mengingatkannya.

Vasilly mengangkat dua tangannya seperti lagak orang yang menyerah, “Oke, oke...” katanya mengalah.

“Nah lanjutkan, mulailah dengan kisah tentang Major Rudolf, mengapa ia memilih Desina Kruizseva?” tanyaku sembari meraih gelas vodkaku dan mereguk isinya hingga tandas.

“Ah, itu memang sudah menjadi agenda terselubung, Bram.”

“Oh ya?”

“Iya! Aku bisa menjamin itu!” katanya menepuk meja. Matanya menyorot yakin. “Nazi mencetak serdadu-serdadunya dengan menanamkan benih iblis dalam kantong-kantong sperma mereka, untuk nanti dibuahkan pada perempuan yang negerinya menjadi target penaklukan. Desina adalah perempuan kuat dan pemberani, ia adalah perempuan yang tepat untuk program itu.”

“Wow!” seruku terkagum-kagum. “Maksudmu itu semua adalah konspirasi?”

“Tepat sekali!” jawabnya tertawa. “Kelak benih-benih itu akan lahir di negeri-negeri taklukan dan menjadi bala tentara iblis yang dikoordinasikan untuk tujuan Nazi di masa datang.”

“Tujuan apa?”

“Tujuan menguasai seluruh dunia.” Vassily tersenyum puas melihat ketakberdayaanku.
“Luar biasa,” sahutku menggeleng kagum. Sebenarnya aku kagum pada kepiawaiannya mendeskripsikan cerita sampah yang sarat omong kosong itu. Aku ingin terbahak, tapi takut ia tersinggung.

Hening sejenak, Vasilly tampak melamun. “Aku tahu kau tidak percaya pada ceritaku ini, Bramantyo,” ucapnya mengagetkanku.

“Oh tentu saja aku percaya, Kawan,” tangkisku cepat-cepat. “Tadi kau bilang mendapat cerita ini dari kakekmu, bukan?”

Vasilly mengangguk, kali ini wajahnya berubah datar. Bahkan sangat datar. Suhu di dalam ruangan bar yang tak seberapa luas itu mendadak menjadi lebih dingin. Aku menatap matanya, hatiku berdenyar.

“Lalu dari mana kakekmu bisa mendapatkan cerita menakutkan itu? Eng ... maksudku bagaimana cerita itu bisa sampai pada kakekmu dan sampai pula padamu?”

Vasilly menyeringai. Dia menatap mataku lekat-lekat dan bola matanya yang biru keruh itu menyala. Dengan nada suara penuh penekanan dan terdengar mistis, dia berkata, “Kakekku adalah Major Rudolf Sauerbrei dan nenekku adalah Desina Kruizseva.”

Vasilly menggeram, suaranya—entah kenapa—kudengar sangat mirip geram serigala dan aku terdiam dalam cekaman rasa takut yang sulit kuilustrasikan. n

Catatan:
Eta lozh! : Itu bohong!
Zatknyis! Ya cibya nakazhu! : Diamlah! Kupukul kau nanti!