23 Februari 2015

Surat Izin

Cerpen A.Warits Rovi (Radar Surabaya 22 Februari 2015)

Tebas pandangannya
hanya tertuju ke deretan
usuk rumahnya melalui
bagian plafon yang
bolong. Ia terlentang
berbantal lengan kanan
antara hendak tersenyum dan menangis.
Kadang ia bangkit seketika,
membuka jendela, menghirup udara
dari sesap oksigen yang dihasilkan
rimbun daun mangga di pekarangan
rumahnya, memicingkan mata
kemudian membalikkan tubuh,
menendang kursi, memukul lemari,
merobek buku lalu menghempaskan
diri di atas kasur. Tengkurap sambil
lalu kepalan tangannya memukulmukul
bantal dengan keras.
Kepalanya pening terlebih saat ia
teringat ajakan Suwi tadi pagi
untuk nonton karapan sapi.
Tak dapat izin.
Dua belas tahun sudah ia
arungi kehidupan rumah
tangga tanpa ada istilah
broken home dan KDRT. Para
tetangganya kagum karena
nyaris tak pernah terdengar
riuh cekcok pada hari-harinya.
Daun pintu rumahnya
senantiasa terkuak keluar
dengan suasana yang sangat
tenang, kecuali kadang hanya
suara anak tunggalnya yang
masih balita merengek minta
jajan sehabis subuh.
Aktivitasnya tak begitu
sibuk banting tulang di luar
rumah, Ia terlihat hanya
duduk manis di beranda
rumahnya, baik dengan
tamu atau sendirian.
Kalau tak nampak di
beranda rumahnya para
tetangga sudah mengerti
semua kalau ia pergi ke
kebun kelapa atau mungkin
membantu istri jualan soto di
warung sebelah rumahnya ketika
Hamid si pembantu istrinya sedang
berhalangan. Bila dilihat dengan
mata, seakan inilah potret keluarga
Indonesia teladan yang oleh agama
disebut sakinah, mawaddah wa
rahmah. Banyak para tetangga
hidupnya ingin sama dengan kehidupan
Matbi ini, tak ada cekcok, adu
mulut, tak ada pertengkaran atau
secara gamblang tidak broken home.
Para tetangga tidak tahu hal yang
sebenarnya terjadi, di pagi yang buta
ia terlihat gelisah di balik pintu sirap
mimba yang bercat cokelat tua.
Bersandar ke gedung dan matanya
melayang-layang ke plafon rumahnya.
Ia mendongak sambil menganga,
sedang tangan kanannya meremasremas
selembar kertas sampai lusuh.
Sesekali tatapannya alih memandangi
kertas yang ia genggam. Carik-carik
huruf melentang-lentang seperti duri
neraka yang dibuat oleh istrinya,
dengan huruf duri itu Matbi dilarang
menonton karapan sapi. Berarti
kertas yang dipegang itu bukan surat
izin melainkan surat larangan. Setiap
kali mendapat surat itu ia getir,
hanya bisa menyiksa dirinya atau
menopang dagu di jendela walau di
balik itu ia juga tak jarang mengukir
senyum ketika surat yang diterima
berupa surat izin.
***
Sahrun berdiri di raut pagi antara
ujung rumputan yang mengecup
kakinya, ia memanggul tas dan
tangannya memegang joran pancing
bilah bambu. Sejenak tersenyum
ketika melihat Matbi yang ditungguinya
mulai nampak di kejauhan
dari balik rimbun pohon rukam yang
ada di belakang rumahnnya. Sahrun
hanya tersenyum mengingat Matbi
saat makan bersama di sebuah depot
seminggu yang lalu, ketika tiba-tiba
panik karena surat izin dari istrinya
ia rasakan raib dalam tasnya. Matbi
pontang-panting mencari kertas ajaib
itu keluar ruangan, mengamati
tubuh jalanan meski saat itu baru
separuht nasi yang ia makan. Dari
dalam ruangan, Sahrun hanya
geleng-geleng kepala ketika ia
melihat Matbi mengecup-ngecup
kertas surat izin itu setelah ditemukan.
“Surat keharmonisan,” tegasnya
dengan suara lantang membuat
orang-orang menoleh kepada Matbi.
Ingatan Sahrun menyelam nikmat
hingga tak terasa Matbi sudah ada di
depannya. “Oeleeeh...lagi memikirkan
apa? Ayo kita berangkat.” Ucap
Matbi santai.
“Eh, tapi apa kamu sudah dapat
surat izin dari istrimu untuk memancing
hari ini?”
“Tenang! Istriku lagi keluar rumah,
dia tidak bakalan tahu, datangnya
masih nanti malam.” Jawab Matbi
dengan tenang seraya bergegas ke
arah danau. Bunyi sepatu botnya
mengerudup menginjak kerikilkerikil
hitam. Sahrun hanya tersenyum
sambil beranjak mengikuti dari
belakang, menapaki jalan berkerikil.
Angin pagi menyuling desir, sekidung
matahari yang cerah menyembul dari
puncak Bukit Rongkorong. Hanya
beberapa meter mereka berjalan
sudah terdengar suara lantang
memanggil Matbi dari arah belakang.
“Mas Matbi! Tunggu! Urungkan
niatmu, kau belum mendapat surat
izin dariku, diam-diam kau kabur
lewat belakang,” suara istri Matbi
memanggil geram. Matbi berhenti
tiba-tiba, ia menoleh, wajahnya pucat
dan terlihat gemetar seperti seorang
bocah sedang mendengar cerita
kuntilanak, matanya redup.
“Ayo, cepat kembali, bila tidak,
awas kau!!!” ancam istrinya seperti
petir menyentak.
Matbi sigap, dengan cepat ia
melewati tubuh Syahrun yang hanya
melongo. Sahrun kembali menggelengkan
kepalanya melihat gelagat
Matbi yang lugu, tingkahnya seperti
seorang prajurit yang tengah dipanggil
sang komandan atau seperti anakanak
yang hidup dengan ibu tiri yang bengis.
“Keluarga Matbi sering panen
pujian dari banyak orang karena
tidak pernah cekcok, tidak ada KDRT
dan tidak broken home, itu hanya
bila dilihat dari luar pintu, di balik
pintu kenyataannya seperti ini,
Matbi bersuami istrinya, istrinya
beristri Matbi,” gumam Sahrun
seraya mengelus-elus joran pancingnya,
sepasang matanya meringis
melihat Matbi masuk pintu rumah
diiringi omelan seperti seorang bocah
yang dipanggil paksa ibunya menjelang
maghrib. Sahrun lantas berpikir
dalam “istilah KDRT sering memposisikan
laki-laki sebagai pelaku
tindak kekerasan dan perempuan
dianggap obyek atau korbannya,
padahal kenyataannya KDRT itu bisa
juga terjadi dengan modus istri
menyakiti suami, meski tidak menyakiti
secara fisik, bentuk kekangan
dan omelan yang asal bunyi
merupakan KDRT
juga, tapi mengapa
selama ini KDRT
cenderung mencemarkan
nama baik lakilaki?
ah,” gumam
Sahrun seraya
membelokkan badan
untuk pulang.
***
Geriap angin sore
menyingkap kabut
hitam pada bibir
langit. Cuaca sudah
tampak cerah. Matbi
juga cerah, duduk
senyum-senyum di
teras rumahnya dengan
pakaian yang sangat rapi
lengkap dengan tas
gendong warna hitam.
Jemarinya mengelus-elus
selembar kertas putih, sesekali
ia kecup kertas itu dengan
riang. Hari ini ia mendapat
surat izin dari istrinya, entah ia
mau berangkat ke mana,
kelihatannya tengah menunggu
seseorang dari ujung jalan. Berkalikali
matanya membentuk lirikan
episode antara ujung jalan dan surat
izin yang ia genggam.
Setelah dilihatnya sesosok manusia
mengendari motor matic warna hijau
tengah datang dari ujung jalan seketika
ia bangkit dan melompat-lompat sambil
mengacungkan tangan memperlihatkan
surat izin itu kepada temannya. Motor
matic hijau berhenti di depan Matbi
seiring bunyi mesinnya berganti suara
kecius angin dari pohon mangga.
Teman Matbi membuka helm, ternyata
Sahrun yang datang. Keduanya samasama
tersenyum bahagia, mata Sahrun
berbinar melihat jempol dan telunjuk
Matbi yang sedang menjepit selipat
kertas putih dengan tulisan tangan.
“Eh Mat! Benar itu surat izin dari
istrimu?”
“Iya, coba baca!” Matbi memperlihatkan
surat itu kepada Sahrun.
“Sekarang istrimu ada di rumah?”
“Tidak, dia pergi juga, boncengan
dengan Suni, pembantunya di warung soto.”
“Anakmu ikut?”
“Anakku dititip ke mertua.”
“Kamu tahu istrimu akan pergi ke mana?”
“Nah, itu dia aku tidak diberi surat
izin untuk bertanya tentang itu, bahkan
aku tidak diberi surat izin untuk
bertanya perihal kehamilannya kini,
padahal aku sudah lama tidak diberi
surat izin untuk menggaulinya,”jawab
Matbi polos. Syahrun tersedak mendengar
penjelasan Matbi. (*)

21 Februari 2015

Mars Rover Mendekati Prestasi Marathon



Peluang Rover Mars mendekati Marathon Feat
Pada bulan Februari 2015, Mars Exploration Rover Opportunity NASA mendekati jarak mengemudi kumulatif di Mars sama dengan panjang dari perlombaan lari marathon. Peta ini menunjukkan rover posisi relatif ke tempat itu bisa melampaui jarak itu. Kredit: NASA / JPL-Caltech / Univ. Arizona

- Peluang rover pendekatan maraton tonggak dari 42,195 kilometer
- Tujuan ilmu Rover adalah "Marathon Lembah" Mars Exploration Rover Opportunity NASA mendekati lokasi di Mars di mana jarak mengemudi yang akan melampaui panjang dari lomba maraton.
Sebuah drive pada 8 Februari 2015, menempatkan rover dalam waktu 220 meter (200 meter) prestasi maraton ini. Sebuah maraton Olimpiade 26,219 mil (42,195 kilometer).
Peluang ini ditujukan untuk sebagian dari tepi barat kawah Endeavour di mana pengamatan oleh NASA Mars Reconnaissance Orbiter telah mendeteksi beberapa jenis mineral lempung. Mineral ini adalah indikasi dari lingkungan basah kuno di mana air lebih netral ketimbang kasar asam. Lebih dari enam bulan yang lalu, tim rover informal bernama yang tujuan "Marathon Valley," setelah diperkirakan apa odometry yang akan total pada saat Peluang sampai di sana.
Sebuah peta lokasi rover dalam kaitannya dengan mana ia akan mencapai jarak maraton dan Marathon Valley online di:
http://mars.nasa.gov/multimedia/images/?ImageID=6950
"Ketika Peluang dalam misi utamanya 11 tahun yang lalu, tidak ada yang membayangkan kendaraan ini bertahan musim dingin Mars, apalagi menyelesaikan maraton di Mars," kata Mars Exploration Rover Project Manager John Callas Laboratorium NASA Jet Propulsion, Pasadena, California. "Sekarang, prestasi yang dicapai sebagai Peluang mendekati tujuan ilmu strategis. Yang paling penting tentang umur panjang dan jarak mengemudi misi terus memperluas tidak ambang numerik, tetapi kekayaan informasi ilmiah kembali tentang Mars, yang dimungkinkan oleh prestasi tersebut. "
Sebelum mengemudi Peluang ke Marathon Valley, tim berencana untuk menggunakan rover untuk pengamatan kawah dampak yang disebut "Spirit of Saint Louis Crater," di pintu masuk ke lembah.
Tim ini beroperasi Peluang dalam mode yang menghindari penggunaan bajak flash memory. Dalam mode ini, data yang dikumpulkan selama setiap hari Mars disimpan dalam memori volatile dan dikirim ke sebuah pengorbit sebelum semalam rover, energi melestarikan "tidur." NASA pengorbit Mars Odyssey dan Mars Reconnaissance Orbiter menyampaikan data bajak ke Bumi.
Insinyur kesempatan berencana dalam minggu-minggu mendatang untuk meng-upload revisi perangkat lunak yang mereka telah dikembangkan untuk memungkinkan penggunaan melanjutkan memori flash non-volatile. Hal ini dirancang untuk memulihkan kemampuan Peluang untuk menyimpan data dalam semalam atau lebih, untuk transmisi nanti.
Selama tiga bulan misi utama aslinya, dimulai setelah mendarat pada 25 Januari 2004, UST (24 Januari 2004, PST) Peluang melaju 0,48 mil (771,5 meter). Kembarannya, NASA Mars Exploration Rover Spirit, mendarat tiga minggu sebelumnya dan ditutup 0,39 mil (635 meter) dalam tiga bulan misi utamanya. Kedua Spirit dan Opportunity telah kembali bukti kuat tentang lingkungan basah di Mars kuno. Misi Roh berakhir pada tahun 2010. Sejak 2011, Peluang telah menyelidiki tepi barat Endeavour, kawah yang 14 mil (22 kilometer) dengan diameter.
       Bajak naik ke ketinggian tertinggi di tepi Endeavour pada 6 Januari 2015, mencapai titik sekitar 440 kaki (135 meter) di atas dataran lokal. Ini telah mendorong sekitar 440 meter (400 meter) sejak saat itu, terutama ke selatan menuju pintu masuk ke Marathon Loire.
      JPL, sebuah divisi dari California Institute of Technology di Pasadena, mengelola Mars Exploration Rover Proyek NASA Direktorat Misi Sains di Washington. Untuk informasi lebih lanjut tentang Spirit dan Opportunity, kunjungi:
http://www.nasa.gov/rovers dan http://mars.nasa.gov/mer/
Anda dapat mengikuti proyek di Twitter dan Facebook di:
http://twitter.com/MarsRovers dan http://www.facebook.com/mars.rovers
2015-055
Guy Webster
Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, California.
818-354-6278
guy.webster@jpl.nasa.gov

20 Februari 2015

NASA MAVEN Spacecraft Selesaikan Kampanye Pertama


Konsep Artis NASA Mars Suasana dan Volatile Evolution (MAVEN)
Gambar ini menunjukkan konsep artis NASA Mars Suasana dan Volatile Evolution (MAVEN) misi. Kredit: NASA / GSFC

NASA'S Mars Suasana dan Volatile Evolution telah menyelesaikan pertama dari lima manuver dalam-dip dirancang untuk mengumpulkan pengukuran lebih dekat ke ujung bawah dari atmosfer atas Mars.

"Selama pemetaan ilmu normal, kami melakukan pengukuran antara ketinggian sekitar 150 km dan 6.200 km (93 mil dan 3.853 mil) di atas permukaan," kata Bruce Jakosky, MAVEN peneliti utama di University of Laboratory Colorado Atmosfer dan Antariksa Fisika di Boulder. "Selama kampanye dalam-dip, kita menurunkan ketinggian terendah di orbit, yang dikenal sebagai periapsis, untuk km sekitar 125 (78 mil) yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran di seluruh atmosfer atas."

25 km (16 mil) Perbedaan ketinggian mungkin tidak tampak banyak, tetapi memungkinkan para ilmuwan untuk membuat pengukuran ke bagian atas atmosfer yang lebih rendah. Pada ketinggian yang lebih rendah ini, kepadatan atmosfer lebih dari sepuluh kali apa yang mereka berada di 150 km (93 mil).

"Kami tertarik pada koneksi yang berjalan dari atmosfer yang lebih rendah ke atmosfer atas dan kemudian melarikan diri ke luar angkasa," kata Jakosky. "Kami mengukur semua daerah yang relevan dan hubungan di antara mereka."

Pertama kampanye dip dalam berlari dari 10-18 Februari. Tiga hari pertama kampanye ini digunakan untuk menurunkan periapsis tersebut. Masing-masing dari lima kampanye berlangsung selama lima hari memungkinkan pesawat ruang angkasa untuk mengamati untuk sekitar 20 orbit. Karena planet berputar di bawah pesawat ruang angkasa, 20 orbit memungkinkan sampling bujur yang berbeda spasi seluruh planet ini, memberikan dekat dengan cakupan global.

Manuver dip dalam bulan ini dimulai ketika insinyur tim menembakkan roket motor dalam tiga luka bakar terpisah untuk menurunkan periapsis tersebut. Para insinyur tidak ingin melakukan satu membakar besar, untuk memastikan bahwa mereka tidak berakhir terlalu dalam di atmosfer. Jadi, mereka "berjalan" pesawat ruang angkasa ke bawah dengan lembut dalam beberapa langkah kecil.

"Meskipun kami mengubah ketinggian pesawat ruang angkasa, kita benar-benar ditujukan untuk kepadatan atmosfer tertentu," kata Jakosky. "Kami ingin pergi sedalam yang kita bisa tanpa menempatkan pesawat ruang angkasa atau instrumen berisiko."

Meskipun suasana di ketinggian ini sangat lemah, itu cukup tebal untuk menyebabkan hambatan nyata pada pesawat ruang angkasa. Pergi ke terlalu tinggi kepadatan atmosfer dapat menyebabkan terlalu banyak hambatan dan pemanasan akibat gesekan yang dapat merusak pesawat ruang angkasa dan instrumen.

Pada akhir kampanye, dua manuver dilakukan untuk mengembalikan MAVEN ke ketinggian operasi ilmu pengetahuan normal. Data Ilmu kembali dari dip dalam akan dianalisis selama beberapa minggu mendatang. Tim sains akan menggabungkan hasil dengan apa yang pesawat ruang angkasa telah melihat selama pemetaan reguler untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik dari seluruh suasana dan proses yang mempengaruhi itu.

Salah satu tujuan utama dari misi MAVEN adalah untuk memahami bagaimana gas dari atmosfer lolos ke angkasa, dan bagaimana hal ini telah mempengaruhi sejarah iklim planet melalui waktu. Dalam hilang ke angkasa, gas akan dihapus dari bagian atas atmosfer atas. Tapi itu adalah tebal atmosfer yang lebih rendah yang mengontrol iklim. Maven sedang mempelajari seluruh wilayah dari atas atmosfer atas semua jalan ke atmosfer yang lebih rendah sehingga hubungan antara wilayah ini dapat dipahami.

MAVEN adalah misi pertama yang didedikasikan untuk mempelajari atmosfer atas Mars. Pesawat ruang angkasa yang diluncurkan 18 November 2013, dari Cape Angkatan Station di Florida Canaveral Air. Maven berhasil memasuki orbit Mars 'pada 21 September 2014.

Peneliti utama MAVEN didasarkan di University of Colorado Laboratorium untuk Atmosfer dan Antariksa Fisika. Universitas menyediakan dua instrumen ilmu pengetahuan dan memimpin operasi ilmu pengetahuan, serta pendidikan dan pendekatan publik, untuk misi. NASA Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland, mengelola proyek MAVEN dan memberikan dua instrumen sains untuk misi. Lockheed Martin membangun pesawat ruang angkasa dan bertanggung jawab untuk operasi misi. The University of California di Berkeley Laboratory Space Sciences juga disediakan empat instrumen sains untuk misi. NASA Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, California, menyediakan navigasi dan dukungan Deep Space Network, serta hardware Electra estafet telekomunikasi dan operasi..

Sumber: NASA/Mars Exploration

Untuk informasi lebih lanjut tentang MAVEN, kunjungi: http://www.nasa.gov/maven

15 Februari 2015

Perempuan yang Suka Menulis di Telapak Tangan


Cerpen Marsus Banjarbarat (Radar Surabayar 15 Februari 2015)

LIHATLAH perempuan yang termangu

di sisi pintu itu. Lihat bagaimana ia

dengan kebingungannya terus menoleh

dan menoleh. Di genggaman tangannya,

sebuah pena ia remas eraterat,

dan bibirnya ia gigit kuat-kuat,

sesekali gemeretak giginya mulai terdengar

mengusik samar-samar.

Pena itu patah dan baru saja ia lempar ke tempat

sampah. Bibirnya, ya bibirnya yang merona itu

tampak dipenuhi bercak darah. Berkali-kali ia

menoleh sambil lalu membuka tasnya, mencari

tisu untuk menghapus darah di bibirnya, tetapi,

tisu dalam tasnya tak ada. Ia menoleh lagi, namun

yang diharapnya tak kunjung ada.

Lihatlah lebih jelas lagi! Raut muka perempuan

itu yang semula berseri-seri, kini telah berganti

kusut. Bedak yang melekat indah di pipinya telah

tergores-gores oleh titik-titik air mata. Pipinya

yang semula tampak lembut, kini seolah tanah

kering yang retak. Kerontang. Lipstiknya yang

mewarnai bibir anggun kemerah-merahan, telah

terkotori oleh bercak darah.

Perempuan itu masih saja termangu. Entah

sampai kapan ia duduk dengan kebingungannya

di ambang pintu?

Sepasang matanya redup. Ia terlihat menyesal.

Sebuah nama yang ia tulis pada telapak tangannya

sudah semakin memudar. Meski demikian,

ia tidak mau menuliskannya lagi, namun ia juga

tidak ingin bila tulisan tersebut sampai lenyap

tanpa sisa di kulit tangannya yang lembut.

Baginya, terhapusnya nama itu, sama halnya

dengan terhapusnya harapan untuk berjumpa

dengan Marsus, lelaki dambaan hatinya. Lelaki

yang sering ia tuliskan namanya di telapak

tangan lembutnya.

Begitulah kebiasaan perempuan itu. Ia sering

kali menulis nama lelaki itu di telapak tangannya.

Ia lakukan apabila sedang terdiam sambil

menunggu kedatangannya. Karena dengan

begitu, ia merasa kejenuhannya akan sedikit

terobati dalam keadaan menunggu. Dan entah,

karena kebetulan atau bukan, setiap kali ia

menunggu terlalu lama, dan ia menuliskan nama

‘Marsus’’di telapak tangannya tiba-tiba lelaki

yang ditunggunya itu segera datang.

***

Pernah suatu ketika, lelaki itu janji bertemu

dengan perempuan tersebut di sebuah kantin

tak jauh dari kampus. Jam 08.45 ia sudah duduk

di sebuah kursi. Jam 09.00 Marsus berjanji akan

datang menemuinya di kantin. Sampai pada jam

yang ditentukan, lelaki itu belum juga datang.

Ia mulai gelisah, karena pada jam 09.20 ada

jadwal kuliah. Sebermula perempuan itu menunggu

sambil memegangi sebuah pena. Ia putarputar

benda tersebut di jemarinya. Sesekali ia

patuk-patukkan ke bibirnya. Lantas menulisnulis

di telapak tangannya. Awal mula, apa saja

ia tuliskan untuk mengusir kekesalan dan kejenuhannya

dalam menunggu, termasuk menulis

nama Marsus, lelaki yang ia tunggu-tunggu.

Tanpa dinyana, tiba-tiba lelaki itu muncul dari

arah belakang perempuan itu. Senyum sumringah

tumpah ruah di bibirnya yang indah.

Mereka pun mengobrol seperlunya. Marsus

memegangi tangan lembutnya. Sebermula,

perempuan itu menolak saat lelaki itu meraih.

Namun karena dalih hendak menghapus tinta

yang mengotori kulit tangannya itu, akhirnya

ia mengulurkan tangannya kepada lelaki itu

penuh kebimbangan. Bimbang dan takut akan

dosa yang kini bercokol di dalam hatinya. Maklum,

perempuan pondok yang baru saja menjadi

mahasiswa, dan baru pertama kali mengenal

dekat, bahkan merasakan kehangatan bersama

sosok lelaki yang namanya sering ia tuliskan

di telapak tangannya.

Dadanya berdegup kencang. Kujur tubuhnya

gemetar. Bibir dan lidahnya terasa keluh saat

Marsus pertama kali menyentuh kulit tangannya

yang halus itu. Perlahan-lahan lelaki itu meyentuh

dan menggosok tinta di telapaknya—dengan

jemarinya. Perempuan itu kian gemetar. Panas

dingin. Ia ingin menarik tangannya dari sentuhan

lelaki itu. Namun berkali-kali ia coba menarik,

seolah tak ada daya untuk menariknya. Otototot

dalam persendian tubuhnya terasa kaku,

dan aliran darahnya seolah membeku.

“Mas, sa-sa-saya mau kuliah.” Gugup, Suara

perempuan itu serak. Lantas Marsus melepas

tangannya pelan. Pelan sekali dengan penuh

kelembutan. Keduanya saling bersitatap dan

mengulum senyum menjelang perpisahan.

Pernah juga pada suatu senja di sebuah warung

kopi. Marsus berjanji akan membantu mengerja-

kan tugas kuliah. Habis adzan asar perempuan

itu sudah sampai di warung kopi. Sementara,

Marsus tidak ia temukan di warung tersebut.

Hingga menjelang adzan maghrib, lelaki itu

belum juga datang.

Ia sudah mulai gelisah. Kegelisahannya hampir

pada puncak kesedihan, bahkan kebencian. Sebab,

sebelum adzan isya nanti ia sudah harus sampai

di pondok, kalau tidak, pintu gerbang akan tutup.

Hukuman akan ia terima dari pengurus pondok.

Ia menunggu dengan penuh kegetiran. Sekalisekali

menoleh dan menoleh. Tas warna orange

yang dibiarkan tergeletak di sampingnya, ia ambil.

Ia keluarkan sebuah pena warna merah. Pena itu

ia putar-putar di jemarinya. Lantas ia patukpatukkan

ke lututnya. Ia buka tutup pena tersebut,

lalu memukul-mukulkannya lagi ke lututnya.

Lalu ia menuliskan apa saja di tangannya—

untuk mengusir kegetiran yang kian sempurna

merasuk jiwanya.

Tanpa diduga, tiba-tiba dari belakang Marsus

memukul bahunya. Sontak, perempuan itu

terlonjak. Astagfirullah, serunya menoleh dengan

kaget. Kerudung yang ia saungkan di kepala lepas

hingga bahunya. Dengan sigap ia menarik dan

menutupinya lagi ke kepala.

Lelaki itu tertawa melihat gelagat perempuan

itu. Maaf, maaf. Katanya penuh penyesalan

sambil mendekati perempuan itu. Orang-orang

di warung kopi tertawa renyah sambil melempar

pandangannya kepada perempuan itu. Ia tertunduk.

Malu. Ada sebercak kekecewaan terhadap

lelaki itu yang membuatnya tak punya muka

di hadapan banyak orang. Lebih-lebih membuat

auratnya terumbar kepada orang-orang di

warung kopi tersebut, batinnya.

Marsus mencoba merayu agar perempuan

tersebut memaafkan tindakannya, dan melupakan

peristiwa tak disengaja itu. Namun, ia tetap

diam mengunci bibirnya rapat-rapat. Tak mau

berbicara sedikitpun terhadap Marsus. Ia

bingung harus berucap apa.

Lelaki itu mendekat. Meraih tangan perempuan

itu yang penuh dengan oretan tinta merah.

Perempuan itu menahan tangannya. Namun

Marsus dengan begitu kuat menarik tangan

perempuan itu. Sebelum akhirnya, mereka saling

mengulum senyum, dan lelaki itu pun berjanji

tidak mengulang tindakannya lagi. Juga ia pun

berjanji, tidak akan membuatnya menunggu lama

lagi bila suatu ketika hendak bertemu.

***

Janji itu telah membuat luka hati perempuan

tersebut. Entah, sampai kapan penantiannya di

ambang pintu kampus kali ini? Ia telah berkalikali

menuliskan nama ‘Marsus’ di telapak

tangannya, namun lelaki yang ditunggunya itu

belum juga datang.

Perempuan yang bibirnya telah luka itu

akhirnya menangis. Suaranya terisak. Ia lihat

tulisan pada telapak tangannya sudah lenyap

oleh keringat. Sementara, pena sudah ia lempar

ke tempat sampah. Dengan lenyapnya nama

yang ia tulis di telapak tangannya, dengan begitu

pula lenyaplah harapan akan dapat berjumpa

dengan sosok lelaki itu. Lelaki yang setiap

malam selalu ia damba-dambakan kehadiran

dalam tidurnya. Lelaki yang ia harap-harapkan

menjadi bapak dari anaknya.

Dalam tangisnya, ia ingin sekali mengambil

pena yang sudah ia buang ke tempat sampah.

Lantas menuliskannya lagi sebuah nama lelaki

itu dengan pena pemberiannya. Kalau-kalau,

dengan begitu, mungkin saja sebercak harapan

yang masih melekat dalam hatinya akan

kehadiran Marsus dapat terwujud.

Perempuan itu beranjak ke tong sampah. Ia

niat mengambil pena yang baru beberapa

menit dilempar. Tetapi, pena itu sudah tak

ada dalam tong sampah. Ia tidak merasa, bahwa

setelah beberapa detik melempar pena tadi

seorang cleaning service datang membawa tong

sampah dan menggantinya dengan tong lain.

Kini, ia kembali termangu. Sesekali menolehnoleh.

Bayang-bayang lelaki itu selalu

menyelinap dalam pandangannya. Pandangan

sayu perempuan itu.

Lihat apa yang hendak perempuan itu

lakukan? Lihat, ia mengeluarkan sebuah pisau

dari tasnya. Ia manimang-nimang pisau tersebut

di depan matanya. Lantas diletakkan di telapak

tangannya. Ia pegang ujung pisau itu, lalu ia

patuk-patukkan gagang pisau tersebut di

lengannya: penuh keragu-raguan dan kebimbangan.

Sekali-sekali ia menoleh dan menoleh lagi

ke belakang, kalau-kalau lelaki itu telah datang

menemuinya. Tetapi, harapannya itu tetap saja

berujung kesia-siaan.

Gagang pisau itu terus saja ia patuk-patukkan

ke tangannya. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Suara

gemeretak giginya masih terdengar mengusik

samar-samar. Sesekali ia menoleh lagi dan lagi.

Lihatlah, air matanya mulai sedikit menetes. Ia

pandangi perutnya. Sesekali dibelai-belai penuh

iba dan penyesalan. Sementara, pisau ditangannya

masih ia putar-putar, dibolak-balik, lantas

mengarahkan ujungnya ke telapak tangannya.

Dalam kesedihan, ia tuliskan nama ‘Marsus’ di

telapak tangannya yang lembut itu dari ujung

pisau tersebut.

Lihatlah, darah mungucur dari telapak

tangannya. Bersamaan dengan kucuran air mata

yang menghujani pipinya. Ia tekan terus kuatkuat

ujung pisau itu dalam menuliskan nama

lelaki tersebut. Lantas, ia angkat pisaunya pelanpelan,

braakk!! Sontak, aku terkejut. Perempuan

itu rubuh ke lantai. Tanpa kuduga, ternyata ia

mengiris urat nadinya dari ujung pisau tersebut.

Dan aku pun belum sempat untuk mencegahnya.

Aku ingin mendekati perempuan itu. Menolongnya.

Namun, sepasang kakiku terasa berat

melangkah, dan otot-ototnya terasa kaku. Saat

itu pula, orang-orang telah berseleweran datang

menghampiri perempuan itu. Aku hanya bisa

diam terpaku.

Selang beberapa detik, seorang perempuan

datang menghampiri perempuan yang tergeletak

itu. Aku pun terkejut, ia adalah istriku—yang

kini bertugas di poliklinik kampus. Ia memeriksa

detak jantung perempuan itu. Meraih lengan

tangannya. Dilihatnya sebuah luka berdarah

dengan oretan bertulis ‘Marsus’.

M-a-r-s-u-s-, lantas ia menginja nama tersebut.

Orang-orang serentak melempar pandangannya

pada telapak tangan perempuan itu. Mengija

sebuah nama di telapak tangannya. Lantas

mengalihkan lempar pandangannya tajamtajam—

setajam pisau yang tergeletak di sisi

perempuan itu ke arahku. Tatapan-tapan sinis

penuh kebencian tampak menusuk-nusuk jiwaku.

Bahkan, api cemburu pun tiba-tiba terpancar dan

berkobar dari mata istriku. Sementara, aku telah

kebingungan bagaimana cara mengakhiri cerita

ini, dan menjelaskannya pada istriku (*)