Cerpen A.Warits Rovi (Radar Surabaya 22 Februari 2015)
Tebas pandangannya
hanya tertuju ke deretan
usuk rumahnya melalui
bagian plafon yang
bolong. Ia terlentang
berbantal lengan kanan
antara hendak tersenyum dan menangis.
Kadang ia bangkit seketika,
membuka jendela, menghirup udara
dari sesap oksigen yang dihasilkan
rimbun daun mangga di pekarangan
rumahnya, memicingkan mata
kemudian membalikkan tubuh,
menendang kursi, memukul lemari,
merobek buku lalu menghempaskan
diri di atas kasur. Tengkurap sambil
lalu kepalan tangannya memukulmukul
bantal dengan keras.
Kepalanya pening terlebih saat ia
teringat ajakan Suwi tadi pagi
untuk nonton karapan sapi.
Tak dapat izin.
Dua belas tahun sudah ia
arungi kehidupan rumah
tangga tanpa ada istilah
broken home dan KDRT. Para
tetangganya kagum karena
nyaris tak pernah terdengar
riuh cekcok pada hari-harinya.
Daun pintu rumahnya
senantiasa terkuak keluar
dengan suasana yang sangat
tenang, kecuali kadang hanya
suara anak tunggalnya yang
masih balita merengek minta
jajan sehabis subuh.
Aktivitasnya tak begitu
sibuk banting tulang di luar
rumah, Ia terlihat hanya
duduk manis di beranda
rumahnya, baik dengan
tamu atau sendirian.
Kalau tak nampak di
beranda rumahnya para
tetangga sudah mengerti
semua kalau ia pergi ke
kebun kelapa atau mungkin
membantu istri jualan soto di
warung sebelah rumahnya ketika
Hamid si pembantu istrinya sedang
berhalangan. Bila dilihat dengan
mata, seakan inilah potret keluarga
Indonesia teladan yang oleh agama
disebut sakinah, mawaddah wa
rahmah. Banyak para tetangga
hidupnya ingin sama dengan kehidupan
Matbi ini, tak ada cekcok, adu
mulut, tak ada pertengkaran atau
secara gamblang tidak broken home.
Para tetangga tidak tahu hal yang
sebenarnya terjadi, di pagi yang buta
ia terlihat gelisah di balik pintu sirap
mimba yang bercat cokelat tua.
Bersandar ke gedung dan matanya
melayang-layang ke plafon rumahnya.
Ia mendongak sambil menganga,
sedang tangan kanannya meremasremas
selembar kertas sampai lusuh.
Sesekali tatapannya alih memandangi
kertas yang ia genggam. Carik-carik
huruf melentang-lentang seperti duri
neraka yang dibuat oleh istrinya,
dengan huruf duri itu Matbi dilarang
menonton karapan sapi. Berarti
kertas yang dipegang itu bukan surat
izin melainkan surat larangan. Setiap
kali mendapat surat itu ia getir,
hanya bisa menyiksa dirinya atau
menopang dagu di jendela walau di
balik itu ia juga tak jarang mengukir
senyum ketika surat yang diterima
berupa surat izin.
***
Sahrun berdiri di raut pagi antara
ujung rumputan yang mengecup
kakinya, ia memanggul tas dan
tangannya memegang joran pancing
bilah bambu. Sejenak tersenyum
ketika melihat Matbi yang ditungguinya
mulai nampak di kejauhan
dari balik rimbun pohon rukam yang
ada di belakang rumahnnya. Sahrun
hanya tersenyum mengingat Matbi
saat makan bersama di sebuah depot
seminggu yang lalu, ketika tiba-tiba
panik karena surat izin dari istrinya
ia rasakan raib dalam tasnya. Matbi
pontang-panting mencari kertas ajaib
itu keluar ruangan, mengamati
tubuh jalanan meski saat itu baru
separuht nasi yang ia makan. Dari
dalam ruangan, Sahrun hanya
geleng-geleng kepala ketika ia
melihat Matbi mengecup-ngecup
kertas surat izin itu setelah ditemukan.
“Surat keharmonisan,” tegasnya
dengan suara lantang membuat
orang-orang menoleh kepada Matbi.
Ingatan Sahrun menyelam nikmat
hingga tak terasa Matbi sudah ada di
depannya. “Oeleeeh...lagi memikirkan
apa? Ayo kita berangkat.” Ucap
Matbi santai.
“Eh, tapi apa kamu sudah dapat
surat izin dari istrimu untuk memancing
hari ini?”
“Tenang! Istriku lagi keluar rumah,
dia tidak bakalan tahu, datangnya
masih nanti malam.” Jawab Matbi
dengan tenang seraya bergegas ke
arah danau. Bunyi sepatu botnya
mengerudup menginjak kerikilkerikil
hitam. Sahrun hanya tersenyum
sambil beranjak mengikuti dari
belakang, menapaki jalan berkerikil.
Angin pagi menyuling desir, sekidung
matahari yang cerah menyembul dari
puncak Bukit Rongkorong. Hanya
beberapa meter mereka berjalan
sudah terdengar suara lantang
memanggil Matbi dari arah belakang.
“Mas Matbi! Tunggu! Urungkan
niatmu, kau belum mendapat surat
izin dariku, diam-diam kau kabur
lewat belakang,” suara istri Matbi
memanggil geram. Matbi berhenti
tiba-tiba, ia menoleh, wajahnya pucat
dan terlihat gemetar seperti seorang
bocah sedang mendengar cerita
kuntilanak, matanya redup.
“Ayo, cepat kembali, bila tidak,
awas kau!!!” ancam istrinya seperti
petir menyentak.
Matbi sigap, dengan cepat ia
melewati tubuh Syahrun yang hanya
melongo. Sahrun kembali menggelengkan
kepalanya melihat gelagat
Matbi yang lugu, tingkahnya seperti
seorang prajurit yang tengah dipanggil
sang komandan atau seperti anakanak
yang hidup dengan ibu tiri yang bengis.
“Keluarga Matbi sering panen
pujian dari banyak orang karena
tidak pernah cekcok, tidak ada KDRT
dan tidak broken home, itu hanya
bila dilihat dari luar pintu, di balik
pintu kenyataannya seperti ini,
Matbi bersuami istrinya, istrinya
beristri Matbi,” gumam Sahrun
seraya mengelus-elus joran pancingnya,
sepasang matanya meringis
melihat Matbi masuk pintu rumah
diiringi omelan seperti seorang bocah
yang dipanggil paksa ibunya menjelang
maghrib. Sahrun lantas berpikir
dalam “istilah KDRT sering memposisikan
laki-laki sebagai pelaku
tindak kekerasan dan perempuan
dianggap obyek atau korbannya,
padahal kenyataannya KDRT itu bisa
juga terjadi dengan modus istri
menyakiti suami, meski tidak menyakiti
secara fisik, bentuk kekangan
dan omelan yang asal bunyi
merupakan KDRT
juga, tapi mengapa
selama ini KDRT
cenderung mencemarkan
nama baik lakilaki?
ah,” gumam
Sahrun seraya
membelokkan badan
untuk pulang.
***
Geriap angin sore
menyingkap kabut
hitam pada bibir
langit. Cuaca sudah
tampak cerah. Matbi
juga cerah, duduk
senyum-senyum di
teras rumahnya dengan
pakaian yang sangat rapi
lengkap dengan tas
gendong warna hitam.
Jemarinya mengelus-elus
selembar kertas putih, sesekali
ia kecup kertas itu dengan
riang. Hari ini ia mendapat
surat izin dari istrinya, entah ia
mau berangkat ke mana,
kelihatannya tengah menunggu
seseorang dari ujung jalan. Berkalikali
matanya membentuk lirikan
episode antara ujung jalan dan surat
izin yang ia genggam.
Setelah dilihatnya sesosok manusia
mengendari motor matic warna hijau
tengah datang dari ujung jalan seketika
ia bangkit dan melompat-lompat sambil
mengacungkan tangan memperlihatkan
surat izin itu kepada temannya. Motor
matic hijau berhenti di depan Matbi
seiring bunyi mesinnya berganti suara
kecius angin dari pohon mangga.
Teman Matbi membuka helm, ternyata
Sahrun yang datang. Keduanya samasama
tersenyum bahagia, mata Sahrun
berbinar melihat jempol dan telunjuk
Matbi yang sedang menjepit selipat
kertas putih dengan tulisan tangan.
“Eh Mat! Benar itu surat izin dari
istrimu?”
“Iya, coba baca!” Matbi memperlihatkan
surat itu kepada Sahrun.
“Sekarang istrimu ada di rumah?”
“Tidak, dia pergi juga, boncengan
dengan Suni, pembantunya di warung soto.”
“Anakmu ikut?”
“Anakku dititip ke mertua.”
“Kamu tahu istrimu akan pergi ke mana?”
“Nah, itu dia aku tidak diberi surat
izin untuk bertanya tentang itu, bahkan
aku tidak diberi surat izin untuk
bertanya perihal kehamilannya kini,
padahal aku sudah lama tidak diberi
surat izin untuk menggaulinya,”jawab
Matbi polos. Syahrun tersedak mendengar
penjelasan Matbi. (*)
Tebas pandangannya
hanya tertuju ke deretan
usuk rumahnya melalui
bagian plafon yang
bolong. Ia terlentang
berbantal lengan kanan
antara hendak tersenyum dan menangis.
Kadang ia bangkit seketika,
membuka jendela, menghirup udara
dari sesap oksigen yang dihasilkan
rimbun daun mangga di pekarangan
rumahnya, memicingkan mata
kemudian membalikkan tubuh,
menendang kursi, memukul lemari,
merobek buku lalu menghempaskan
diri di atas kasur. Tengkurap sambil
lalu kepalan tangannya memukulmukul
bantal dengan keras.
Kepalanya pening terlebih saat ia
teringat ajakan Suwi tadi pagi
untuk nonton karapan sapi.
Tak dapat izin.
Dua belas tahun sudah ia
arungi kehidupan rumah
tangga tanpa ada istilah
broken home dan KDRT. Para
tetangganya kagum karena
nyaris tak pernah terdengar
riuh cekcok pada hari-harinya.
Daun pintu rumahnya
senantiasa terkuak keluar
dengan suasana yang sangat
tenang, kecuali kadang hanya
suara anak tunggalnya yang
masih balita merengek minta
jajan sehabis subuh.
Aktivitasnya tak begitu
sibuk banting tulang di luar
rumah, Ia terlihat hanya
duduk manis di beranda
rumahnya, baik dengan
tamu atau sendirian.
Kalau tak nampak di
beranda rumahnya para
tetangga sudah mengerti
semua kalau ia pergi ke
kebun kelapa atau mungkin
membantu istri jualan soto di
warung sebelah rumahnya ketika
Hamid si pembantu istrinya sedang
berhalangan. Bila dilihat dengan
mata, seakan inilah potret keluarga
Indonesia teladan yang oleh agama
disebut sakinah, mawaddah wa
rahmah. Banyak para tetangga
hidupnya ingin sama dengan kehidupan
Matbi ini, tak ada cekcok, adu
mulut, tak ada pertengkaran atau
secara gamblang tidak broken home.
Para tetangga tidak tahu hal yang
sebenarnya terjadi, di pagi yang buta
ia terlihat gelisah di balik pintu sirap
mimba yang bercat cokelat tua.
Bersandar ke gedung dan matanya
melayang-layang ke plafon rumahnya.
Ia mendongak sambil menganga,
sedang tangan kanannya meremasremas
selembar kertas sampai lusuh.
Sesekali tatapannya alih memandangi
kertas yang ia genggam. Carik-carik
huruf melentang-lentang seperti duri
neraka yang dibuat oleh istrinya,
dengan huruf duri itu Matbi dilarang
menonton karapan sapi. Berarti
kertas yang dipegang itu bukan surat
izin melainkan surat larangan. Setiap
kali mendapat surat itu ia getir,
hanya bisa menyiksa dirinya atau
menopang dagu di jendela walau di
balik itu ia juga tak jarang mengukir
senyum ketika surat yang diterima
berupa surat izin.
***
Sahrun berdiri di raut pagi antara
ujung rumputan yang mengecup
kakinya, ia memanggul tas dan
tangannya memegang joran pancing
bilah bambu. Sejenak tersenyum
ketika melihat Matbi yang ditungguinya
mulai nampak di kejauhan
dari balik rimbun pohon rukam yang
ada di belakang rumahnnya. Sahrun
hanya tersenyum mengingat Matbi
saat makan bersama di sebuah depot
seminggu yang lalu, ketika tiba-tiba
panik karena surat izin dari istrinya
ia rasakan raib dalam tasnya. Matbi
pontang-panting mencari kertas ajaib
itu keluar ruangan, mengamati
tubuh jalanan meski saat itu baru
separuht nasi yang ia makan. Dari
dalam ruangan, Sahrun hanya
geleng-geleng kepala ketika ia
melihat Matbi mengecup-ngecup
kertas surat izin itu setelah ditemukan.
“Surat keharmonisan,” tegasnya
dengan suara lantang membuat
orang-orang menoleh kepada Matbi.
Ingatan Sahrun menyelam nikmat
hingga tak terasa Matbi sudah ada di
depannya. “Oeleeeh...lagi memikirkan
apa? Ayo kita berangkat.” Ucap
Matbi santai.
“Eh, tapi apa kamu sudah dapat
surat izin dari istrimu untuk memancing
hari ini?”
“Tenang! Istriku lagi keluar rumah,
dia tidak bakalan tahu, datangnya
masih nanti malam.” Jawab Matbi
dengan tenang seraya bergegas ke
arah danau. Bunyi sepatu botnya
mengerudup menginjak kerikilkerikil
hitam. Sahrun hanya tersenyum
sambil beranjak mengikuti dari
belakang, menapaki jalan berkerikil.
Angin pagi menyuling desir, sekidung
matahari yang cerah menyembul dari
puncak Bukit Rongkorong. Hanya
beberapa meter mereka berjalan
sudah terdengar suara lantang
memanggil Matbi dari arah belakang.
“Mas Matbi! Tunggu! Urungkan
niatmu, kau belum mendapat surat
izin dariku, diam-diam kau kabur
lewat belakang,” suara istri Matbi
memanggil geram. Matbi berhenti
tiba-tiba, ia menoleh, wajahnya pucat
dan terlihat gemetar seperti seorang
bocah sedang mendengar cerita
kuntilanak, matanya redup.
“Ayo, cepat kembali, bila tidak,
awas kau!!!” ancam istrinya seperti
petir menyentak.
Matbi sigap, dengan cepat ia
melewati tubuh Syahrun yang hanya
melongo. Sahrun kembali menggelengkan
kepalanya melihat gelagat
Matbi yang lugu, tingkahnya seperti
seorang prajurit yang tengah dipanggil
sang komandan atau seperti anakanak
yang hidup dengan ibu tiri yang bengis.
“Keluarga Matbi sering panen
pujian dari banyak orang karena
tidak pernah cekcok, tidak ada KDRT
dan tidak broken home, itu hanya
bila dilihat dari luar pintu, di balik
pintu kenyataannya seperti ini,
Matbi bersuami istrinya, istrinya
beristri Matbi,” gumam Sahrun
seraya mengelus-elus joran pancingnya,
sepasang matanya meringis
melihat Matbi masuk pintu rumah
diiringi omelan seperti seorang bocah
yang dipanggil paksa ibunya menjelang
maghrib. Sahrun lantas berpikir
dalam “istilah KDRT sering memposisikan
laki-laki sebagai pelaku
tindak kekerasan dan perempuan
dianggap obyek atau korbannya,
padahal kenyataannya KDRT itu bisa
juga terjadi dengan modus istri
menyakiti suami, meski tidak menyakiti
secara fisik, bentuk kekangan
dan omelan yang asal bunyi
merupakan KDRT
juga, tapi mengapa
selama ini KDRT
cenderung mencemarkan
nama baik lakilaki?
ah,” gumam
Sahrun seraya
membelokkan badan
untuk pulang.
***
Geriap angin sore
menyingkap kabut
hitam pada bibir
langit. Cuaca sudah
tampak cerah. Matbi
juga cerah, duduk
senyum-senyum di
teras rumahnya dengan
pakaian yang sangat rapi
lengkap dengan tas
gendong warna hitam.
Jemarinya mengelus-elus
selembar kertas putih, sesekali
ia kecup kertas itu dengan
riang. Hari ini ia mendapat
surat izin dari istrinya, entah ia
mau berangkat ke mana,
kelihatannya tengah menunggu
seseorang dari ujung jalan. Berkalikali
matanya membentuk lirikan
episode antara ujung jalan dan surat
izin yang ia genggam.
Setelah dilihatnya sesosok manusia
mengendari motor matic warna hijau
tengah datang dari ujung jalan seketika
ia bangkit dan melompat-lompat sambil
mengacungkan tangan memperlihatkan
surat izin itu kepada temannya. Motor
matic hijau berhenti di depan Matbi
seiring bunyi mesinnya berganti suara
kecius angin dari pohon mangga.
Teman Matbi membuka helm, ternyata
Sahrun yang datang. Keduanya samasama
tersenyum bahagia, mata Sahrun
berbinar melihat jempol dan telunjuk
Matbi yang sedang menjepit selipat
kertas putih dengan tulisan tangan.
“Eh Mat! Benar itu surat izin dari
istrimu?”
“Iya, coba baca!” Matbi memperlihatkan
surat itu kepada Sahrun.
“Sekarang istrimu ada di rumah?”
“Tidak, dia pergi juga, boncengan
dengan Suni, pembantunya di warung soto.”
“Anakmu ikut?”
“Anakku dititip ke mertua.”
“Kamu tahu istrimu akan pergi ke mana?”
“Nah, itu dia aku tidak diberi surat
izin untuk bertanya tentang itu, bahkan
aku tidak diberi surat izin untuk
bertanya perihal kehamilannya kini,
padahal aku sudah lama tidak diberi
surat izin untuk menggaulinya,”jawab
Matbi polos. Syahrun tersedak mendengar
penjelasan Matbi. (*)