15 Desember 2015

Dua Penyanyi

Cerpen Budi Darma (Kompas 6 Desember 2015)

Di sebuah kota yang tidak perlu disebut namanya, ada dua rumah sakit besar dan terkenal, yaitu Rumah Sakit Kandang Kerbau di kota bagian barat, dan Rumah Sakit Kandang Lembu di kota bagian timur. Kendati tidak khusus mengurusi kelahiran, dua rumah sakit itu menjadi terkenal karena banyak bayi yang dilahirkan di sana akhirnya menjadi orang-orang terkenal.

Menurut catatan, dua Menteri Luar Negeri India, tiga Duta Besar Filipina untuk PBB, dan seorang Perdana Menteri Australia lahir di Rumah Sakit Kandang Kerbau, dan seorang Perdana Menteri Thailand, seorang Menteri Luar Negeri Malaysia, seorang Duta Besar Indonesia untuk Amerika, dan seorang konglomerat paling kaya di Indonesia lahir di Rumah Sakit Kandang Lembu.

Bunga Lili Di Tenda Pengungsi


Cerpen; Triyanto Triwikromo (Kompas, 13 Desember 2015)

Rencana untuk membakar seluruh gedung dan tenda-tenda pengungsi itu kudengar semalam dari mulut Adonis Perseus, suamiku. Tentu saja aku heran. Aku yakin dia tidak sedang mabuk. Karena itu, aneh jika penulis cerita yang biasanya lembut hati itu, ingin melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan. Atau jangan-jangan tanpa sepengetahuanku Adonis1) ternyata seorang pemuja bangsa yang radikal?

2 Desember 2015

Ayahku Terjatuh

Cerpen Otang K.Baddy (Tribun Jabar, 8 November 2015)

Sedih jika teringat nasib ayah, yang tersiksa akibat terjatuh.
Ayah terjatuh dari pohon, kepalanya membentur batu. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6 meter. Ia menaiki pohon itu karena memerlukan kulit dahan muda sebagai tali pengikat batangan padi jika panen di ladang tiba. Petaka terjadi sore hari ketika ayah kala itu tengah menuju pulang dari ladang bersama ibu. Di Ciwaru, nama blok dari tempat itu yang memang banyak pohon warunya, di tepi jalan setapak itulah
ayah bersusah-payah menahan sesak dada, sakit di kepala serta tubuh bermandikan darah. Demikianlah kronologi singkatnya sebelum kemudian mengurainya dalam kisah.

Seperti pada umumnya masyakarat tani saat itu, ayah pun berladang bersama ibu. Mereka membabat pohon-pohon liar, semak blukar serta kawanan ilalang, sebelum kemudian dilakukan pembakaran. Kegiatan itu dilakukan masyarakat tani di desaku setiap tahun. Setiap lahan yang digarap tanahnya sangat subur, gembur, mengingat jarak garapan persatu tempatnya berkisar antara 8 sampai 12 tahun. Semua itu terjadi karena area hutan garapan sangatlah luas, beratus hektar termasuk area hutan yang melintas desa lain. Saat itu tak menanam pohon macam albu atau jati, karena kayu-kayu macam itu belum laku seperti sekarang. Masalah utama yang menghambat, sarana transportasi berupa jalan dan kendaraannya masih jauh terbatas. Makanya tak heran jika pohon-pohon jati besar pun banyak tercampak dan sebagian terbakar di area ladang. Tak terkecuali di ladang ayah, daripada lembab merimbuni tanaman padi dan jagung pohon-pohon macam jati atau wangkal pun kerap ditebang begitu saja.
Sebagai anak perempuan satu-satunya --dan memang anak ayah cuma aku sendiri, aku jarang sekali ikut ke ladang. Paling jika musim tanam padi-jagung (kami menyebutnya ‘usum ngaseuk’) aku ikut rame-rame. Ya, memang pada musim ngaseuk selalu ramai dan meriah. Soalnya musim tanam ini dikerjakan dengan cara gotong-royong. Saling membantu antara si peladang satu ke peladang lainnya. Begitu menyenangkan dan kerukunan warga benar-benar masih terjaga. Lebih senangnya, selain bisa makan bersama dengan olah hiu juga pulangnya dibekali calangaren (serupa cendol berbahan tepung ketan). Hanya musim itu saja bisa ikut pergi ke tanah huma. Itupun jika pas hari libur sekolah. Musim-musim garapan selanjutnya, termasuk musim panen, aku tak pernah ikut selain hanya memasak di rumah.
Musim menuai padi yang tengah menguning serta ranum itu agaknya mendadak terhambat ketika ayah dikabarkan terjatuh. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6 meter, kepala Ayah di bagian belakangnya membentur batu. Ayah katanya bermandikan darah. Namun Ayah masih bisa mengerang dan biacara patah-patah. Konon jika seorang kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah yang wajar kadang masih ada harapan hidup ketimbang yang tak keluar darah. Duh…Ayah, semoga ingatanku ini bukan sekedar menghibur diri menutupi kecemasan, namun semoga nyata-nyata Ayah bisa diselamatkan, demikianlah batinku.
“Pokoknya kamu harus secepatnya menyusul ke Ciwaru, Nina,” kata Mang Karlin, tetanggaku. Lelaki yang pertama menyampaikan kabar itu, disamping tetangga rumah terdekat ia pun bisa dikatakan tetangga ladang terdekat pula. Setelah memberi kabar buruk tentang Ayah, lelaki itu sangat cepat berlalu, mungkin ia mandi dulu atau sekedar membagi kabar kepada yang lain.
Karenanya aku segera mengabaikan pasakan lodeh iwung dan nasi jagung, toh soal keselamatan ayah aku kira jauh lebih penting ketimbang masakan bambu muda itu.
Dengan segera aku pun menyusul ke Ciwaru, lokasi dimana Ayah celaka. Setengah melompat dan tergesa menyusuri jalan setapak yang terjal berbatu, menanjak, menurun dan kadang berkelok, akhirnya sampai juga di lokasi. Disamping sudah banyak orang –mereka umumnya kaum tani, disana ada Mang Kosim, adik Ayah satu-satunya. Mungkin sama dengan yang lainnya, ia pun sepertinya baru pulang dari ladang. Kulihat kepala Ayah sudah diikat dengan kain, mungkin kain milik ibu. Dan bekas darah pun masih tercecer di sana-sini.
“Tadi aku dijemput ibumu, Nina. Untung saja ladang mamang agak dekat dari sini,” cerita Mang Kosim, pamanku satu-satunya itu.
Menurut ibu ayah jatuh terlentang, bagian kepala belakang Ayah terkena batu. Bahkan kata Paman sebelumnya ada pecahan batu bersarang di luka Ayah, tapi kini sudah bisa dicongkel.
Saat itu kami --aku, Ibu dan Paman, merasa cemas dan sedih. Alasannya, disamping lokasi jauh dari rumahku–dan juga tentu jauh dari rumah penduduk lainnya, hari pun berangsur gelap. Sementara Ayah harus segera ditangani secepatnya. Terlebih masalah luka di bagian kepala belakang, setidaknya harus dijahit biar darah yang keluar segera mampet. Setelah berembuk dan dipertimbangkan dengan matang, akhirnya Ayah hendak dibawa langsung ke Puskesmas. Solusi itu lebih baik, mengingat jarak ke Puskesmas lebih dekat ketimbang dibawa ke rumah dulu. Selisihnya hampir dua kilometer. Hanya saja yang menjadi kendala, perjalanan ke Puskesmas yang terletak di kota kecamatan itu harus melewati jembatan gantung yang panjangnya tak kurang dari 40 meter.
Akhirnya Ayah yang masih mengerang kesakitan itu dimasukan ke dalam sarung. Lalu digotong pakai batang bambu, saling bergantian antara Paman dan yang lainnya. Perjalanan kami dari pinggiran hutan itu diterangi dengan obor sekedarnya yang dibuat dari bambu dan reranting kering. Untuk mencapai jalan desa yang masih berbatu, kami pun berusaha mencari jalan pintas. Kami tak ambil pusing manakala tubuh atau pakaian kami tercakar duri-duri dan ujung ranting.
“Ini demi segera mencapai tujuan, Ayah,” hibur aku ketika didengar erangan Ayah agak keras, mungkin semacam protes terhadap tindakan kami yang dipandang kasar. Betapa tidak, tubuh Ayah yang terbaring di dalam sarung, bak ayunan bayi, dengan sepasang kaki ngelonjor keluar, selain teratuk kadang pula terbanting ke kiri dan kanan.
Ketika sampai di mulut jembatan gantung, kami pun berhenti dulu. Tujuannya, selain melepas pegal dan letih, kelayakan jembatan ayun itu perlu diperiksa. Sebab, biasanya tak boleh dilewati dengan orang banyak dalam waktu bersamaan. Ini agar jangan sampai terjadi putus di tali gantungan atau terperosok di selasar bambu, mengingat jembatan ayun penghubung antar desa itu umurnya sudah tua. Jadi tak mustahil segala hal yang mencemaskan pun bisa saja terjadi. Tapi, setelah Paman memeriksanya lebih dari 25 meter, hal buruk pun tak perlu dicemaskan.
“Insa Allah, aman!” tegas Paman meyakinkan. Memang untuk sampai ke tujuan, yakni Puskesmas, lebih kurangnya 1 km lagi. Lebih dekat ketimbang sebelumnya yang tak kurang 5 km dari blok Ciwaru. pinggiran hutan itu.
Dalam situasi itu batin kami pun tak luput berdo’a, semoga hal-hal buruk itu jangan sampai terjadi. Ayah pun kembali digotong. Paman menggotong paling depan seraya pegang obor yang nyaris habis, dan ujung panggul belakang digotong Mang Karlin, menggantikan penggotong sebelumnya.. Sementara aku, Ibu dan yang lainnya mengikuti di belakang.
Namun suasana panik pun terjadi manakala iringan berada di tengah jembatan. Anyaman bilahan bambu, selasar yang kami pijak itu terasa bergoyang-goyang. Bahkan goyangannya makin keras, terlebih ketika beberapa diantara perempuan pengikut terdengar menjerit-jerit. Namun Paman bersama mang Karlin tampak berlari menggotong Ayah nyaris ke ujung jembatan sambil teriak-teriak memberi peringatan.
“Belakang munduur..! Yang belakang munduur…!” kata Paman seraya mengacung-acung obor yang talinya mulai terbakar. Karenanya obor berbahan bambu dan reranting pun tiba-tiba jatuh mengurai dan tanpa diduga apinya membakar sarung yang digotong itu. Karuan saja, Ayah yang belum mati rasa itu berteriak-teriak, malah saking tersiksanya ia pun tanpa sadar sampai menjatuhkan dirinya ke dalam sungai.
“Ayah, ayaaahh……!” teriakku nyaris pingsan.
Tapi dalam kepanikan itu Paman mencoba bersikap tenang dan menghiburku. “Sepertinya ayahmu tak sampai terjatuh ke sungai, Nina,” katanya sebelum kemudian mengumpulkan obor yang terpencar itu hingga kembali menyala. Mungkin ucapan Paman ada benarnya, sebab tak terdengar bunyi ‘plak..!’ atau ‘byarrr’ layaknya benda terjatuh.
“Kang.., Kang…! Kang Komaar….!” Paman melongokan kepala ke samping luar jembatan ayun itu seraya mengayun-ayunkan obornya. Tampak di bawah ujung jembatan itu rimbunan pohon, sepertinya waru doyong yang pangkal pohonnya dari tepi sungai.
“Kang…, Kang…., Kang Komaaar…!” suara Paman agak gemetar, kembali memanggil-manggil Ayah. Dalam rasa penasaran itu lagi-lagi obor yang tinggal beberapa senti pun tiba-tiba jatuh terurai dan masuk celah rimbunan daun waru bawah ujung jembatan itu.

Namun dalam suasana gelap yang menyergap kami pun dikejutkan oleh teriakan orang bak kesakitan. “Panaass…, aduuh…!” Meski proses penyelamatannya agak rumit bukan masalah, yang penting Ayah tak sampai terjatuh ke dalam sungai yang terjal (*)