Cerpen Sri Wintala
Ahmad (Kedaulatan Rakyat 18 Januari 2015)
Mak
Karni menghembuskan napas terakhir. Basu melelehkan air mata. Pipi Basu
kian basah saat jenazah Mak
Karni diturunkan ke liang lahat. Dalam batin,
Basu berdoa. Semoga arwah emaknya diterima di sisi Tuhan. Raja Semesta yang
dapat menangkap makna di balik runduk daun-daun kamboja. Hening tak
tergemerisikkan tiupan angin.
Serupa
layang-layang terputus benangnya, Basu meninggalkan makam. Meninggalkan
gundukan tanah basah beraroma bunga tujuh rupa, rumah terakhir Mak Karni.
Sepanjang perjalanan pulang, wajah emaknya
masih menggantung di pelupuk mata. Wajah yang
mengingatkan paras Kunti. Tokoh ibu berjiwa karang yang tangguh saat menghadapi
gempuran gelombang dan badai waktu.
Di
salah satu kursi kayu di ruangan pendapa, Basu memandang potret Mak Karni yang
melekat di dinding kayu coklat tua. Sewaktu pikirannya hanyut pada masa-masa
indah bersama emaknya sebelum menetap di Jakarta, datanglah Surti. Istri Basu yang
telah memberikan tiga anak dari hasil perkawinan. Elang yang cerdas matematika.
Lungit yang pintar menari. Galang yang pintar berolah sastra.
”Kapan
kita pulang ke Jakarta, Bang?” Surti meletakkan pantatnya di kursi samping
Basu. ”Sudah tak betah aku tinggal di Desa Wukirsari yang jauh dari kota. Jauh
dari mall, supermarket, dan kafe.”
”Bersabarlah,
Dik!” Basu kembali memandang foto Mak Karni yang serasa mencegahnya agar tidak
cepat pulang. ”Sepekan lagi, kita pulang.”
”Tidak.”
Surti yang menjadi orang kaya baru sesudah terpilih sebagai anggota DPR itu
berkata lantang. ”Tidak! Kita harus pulang ke Jakarta.”
”Pulanglah
bila kau tak betah tinggal di desa!” Basu menarik napas panjang untuk
melonggarkan dadanya yang serasa tersumbat batu. ”Sepekan lagi, aku baru pulang
ke Jakarta.”
Surti
beranjak dari kursi dengan wajah masam. Mengemasi barangbarangnya. Memasukkan
barang-barang itu ke bagasi mobil. Tanpa berpamitan pada Basu, Surti yang
disertai Elang, Lungit, dan Galang meninggalkan halaman rumah mendiang Mak
Karni. Meninggalkan Wukirsari. Pulang ke Jakarta. Menyaksikan tingkah isterinya
yang mulai banyak berubah sesudah menduduki kursi wakil rakyat itu, Basu hanya menghela
napas panjang.
***
Malam
demi malam, rumah Mak Karni disejukkan dengan suara tahlilan para sesepuh desa.
Tidak ketinggalan pula Basu yang selalu ada diantara para sesepuh itu untuk
mendoakan agar emaknya dapat masuk surga. Bukan penghuni alam arwah yang bergentayangan
hingga suka merasuki para peserta Uji Nyali. Salah satu acara masih ngetrend dari stasiun
televisi swasta negeri ini.
Seusai
tahlilan terakhir pada malam ketujuh, Basu duduk lesehan di atas tikar mendhong di sudut ruang pendapa. Kepada Wak Karta,
pengganti ayahnya yang telah meninggal tiga
tahun silam, Basu membuka pembicaraan,
”Betapa sulit aku melupakan Emak. Namun
sebagai guru yang harus mengajar anak didik, terpaksa aku harus pulang ke
Jakarta esok pagi, Wak.”
”Kalau
kau sulit melupakan emakmu, bawalah tikar mendhong anyaman
terakhirnya.” Wak Karta menghembuskan asap
rokok kreteknya hingga mengepul di ruangan pendapa.
”Dengan
tikar itu, kau akan selalu ingat pada emakmu. Dengan tikar itu, kau akan
memetik pelajaran. Menjadi manusia yang harus mampu menampung segala
keluh-kesah dan canda tawa. Tegas saat menghadapi orang-orang yang akan
memperosokkanmu ke dalam laku kejahatan. Tegar atas segala godaan dan cobaan hidup.”
”Pesan
Wak Karta akan aku ingat selalu.” Basu memandang potret Mak Karni di dinding
kayu yang serasa menyetujui perintah waknya untuk membawa tikar mendhong anyaman terakhir emaknya. ”Oh ya, Wak. Di mana
tikar mendhong anyaman terakhir Emak?”
”Sudah
aku persiapkan. Besok pagi, bisa kau bawa ke Jakarta.” Basu yang sontak rindu
pada anakanaknya setengah tak mendengar kata-kata Wak Karta. Seusai Wak Karta meninggalkan
ruangan pendapa, Basu menuju kamar tidur mendiang emaknya. Menjelang tengah
malam, Basu terbawa ke alam mimpi paling indah. Bercengkerama dengan emaknya di
taman yang bermandikan tujuh warna cahaya lampu.
***
Setiba
di rumahnya yang terletak di bilangan Kota Jakarta, Basu tak mendapati
isterinya. Menurut Elang, Surti tengah
melakukan studi banding ke luar negeri beserta beberapa anggota wakil rakyat
lainnya. Tanpa berpikir jauh, Basu memasuki kamar tidurnya. Mengganti sprei
yang melapisi kasur busa harga jutaan rupiah itu dengan tikar mendhong anyaman terakhir Mak Karni. Karena lelah, Basu
merebahkan tubuhnya di ranjang. Terasa dalam dekapan hangat emaknya.
Pagi
berikutnya. Basu kembali mengajar di salah satu sekolah favorit di Jakarta.
Selepas siang, Basu pulang ke rumah dengan mobil bututnya. Sesudah memasukkan
mobilnya ke garasi, Basu serasa disambar petir musim kemarau. Saat menyaksikan Surti
yang baru saja pulang dari luar negeri itu tengah membakar tikar anyaman Mak
Karni di halaman.
”Kenapa
kau bakar tikar anyaman Emak, Dik?”
”Sejarah
tikar telah berakhir, Bang. Kalau kau tetap setia dengan kemiskinanmu, pulanglah
ke desa! Kita bercerai!”
Hati
Basu serasa disayat-sayat silet. Tidak ada yang dilakukan Basu, selain kemudian
membungkus abu tikar mendhong itu dengan kain mori. Menguburkannya dengan
upacara sederhana di sudut kanan depan rumahnya. Sekejap seusai penguburan abu
tikar mendhong itu, Basu mendengar sayup-sampai tangisan emaknya
dari surga. ❑
- g
Cilacap, 12012015
Catatan:
Cerpen ini terinspirasi dari puisi ‘Tikar’ karya
Bakdi Soemanto. Cerpen
ini dipersembahkan dalam acara Malam Mengenang
100 Hari meninggalnya
Sastrawan dan Budayawan Bakdi Soemanto, Minggu
18 Januari
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar