Cerpen Marsus Banjarbarat (Radar Surabayar 15 Februari 2015)
LIHATLAH perempuan yang termangu
di sisi pintu itu. Lihat bagaimana ia
dengan kebingungannya terus menoleh
dan menoleh. Di genggaman tangannya,
sebuah pena ia remas eraterat,
dan bibirnya ia gigit kuat-kuat,
sesekali gemeretak giginya mulai terdengar
mengusik samar-samar.
Pena itu patah dan baru saja ia lempar ke tempat
sampah. Bibirnya, ya bibirnya yang merona itu
tampak dipenuhi bercak darah. Berkali-kali ia
menoleh sambil lalu membuka tasnya, mencari
tisu untuk menghapus darah di bibirnya, tetapi,
tisu dalam tasnya tak ada. Ia menoleh lagi, namun
yang diharapnya tak kunjung ada.
Lihatlah lebih jelas lagi! Raut muka perempuan
itu yang semula berseri-seri, kini telah berganti
kusut. Bedak yang melekat indah di pipinya telah
tergores-gores oleh titik-titik air mata. Pipinya
yang semula tampak lembut, kini seolah tanah
kering yang retak. Kerontang. Lipstiknya yang
mewarnai bibir anggun kemerah-merahan, telah
terkotori oleh bercak darah.
Perempuan itu masih saja termangu. Entah
sampai kapan ia duduk dengan kebingungannya
di ambang pintu?
Sepasang matanya redup. Ia terlihat menyesal.
Sebuah nama yang ia tulis pada telapak tangannya
sudah semakin memudar. Meski demikian,
ia tidak mau menuliskannya lagi, namun ia juga
tidak ingin bila tulisan tersebut sampai lenyap
tanpa sisa di kulit tangannya yang lembut.
Baginya, terhapusnya nama itu, sama halnya
dengan terhapusnya harapan untuk berjumpa
dengan Marsus, lelaki dambaan hatinya. Lelaki
yang sering ia tuliskan namanya di telapak
tangan lembutnya.
Begitulah kebiasaan perempuan itu. Ia sering
kali menulis nama lelaki itu di telapak tangannya.
Ia lakukan apabila sedang terdiam sambil
menunggu kedatangannya. Karena dengan
begitu, ia merasa kejenuhannya akan sedikit
terobati dalam keadaan menunggu. Dan entah,
karena kebetulan atau bukan, setiap kali ia
menunggu terlalu lama, dan ia menuliskan nama
‘Marsus’’di telapak tangannya tiba-tiba lelaki
yang ditunggunya itu segera datang.
***
Pernah suatu ketika, lelaki itu janji bertemu
dengan perempuan tersebut di sebuah kantin
tak jauh dari kampus. Jam 08.45 ia sudah duduk
di sebuah kursi. Jam 09.00 Marsus berjanji akan
datang menemuinya di kantin. Sampai pada jam
yang ditentukan, lelaki itu belum juga datang.
Ia mulai gelisah, karena pada jam 09.20 ada
jadwal kuliah. Sebermula perempuan itu menunggu
sambil memegangi sebuah pena. Ia putarputar
benda tersebut di jemarinya. Sesekali ia
patuk-patukkan ke bibirnya. Lantas menulisnulis
di telapak tangannya. Awal mula, apa saja
ia tuliskan untuk mengusir kekesalan dan kejenuhannya
dalam menunggu, termasuk menulis
nama Marsus, lelaki yang ia tunggu-tunggu.
Tanpa dinyana, tiba-tiba lelaki itu muncul dari
arah belakang perempuan itu. Senyum sumringah
tumpah ruah di bibirnya yang indah.
Mereka pun mengobrol seperlunya. Marsus
memegangi tangan lembutnya. Sebermula,
perempuan itu menolak saat lelaki itu meraih.
Namun karena dalih hendak menghapus tinta
yang mengotori kulit tangannya itu, akhirnya
ia mengulurkan tangannya kepada lelaki itu
penuh kebimbangan. Bimbang dan takut akan
dosa yang kini bercokol di dalam hatinya. Maklum,
perempuan pondok yang baru saja menjadi
mahasiswa, dan baru pertama kali mengenal
dekat, bahkan merasakan kehangatan bersama
sosok lelaki yang namanya sering ia tuliskan
di telapak tangannya.
Dadanya berdegup kencang. Kujur tubuhnya
gemetar. Bibir dan lidahnya terasa keluh saat
Marsus pertama kali menyentuh kulit tangannya
yang halus itu. Perlahan-lahan lelaki itu meyentuh
dan menggosok tinta di telapaknya—dengan
jemarinya. Perempuan itu kian gemetar. Panas
dingin. Ia ingin menarik tangannya dari sentuhan
lelaki itu. Namun berkali-kali ia coba menarik,
seolah tak ada daya untuk menariknya. Otototot
dalam persendian tubuhnya terasa kaku,
dan aliran darahnya seolah membeku.
“Mas, sa-sa-saya mau kuliah.” Gugup, Suara
perempuan itu serak. Lantas Marsus melepas
tangannya pelan. Pelan sekali dengan penuh
kelembutan. Keduanya saling bersitatap dan
mengulum senyum menjelang perpisahan.
Pernah juga pada suatu senja di sebuah warung
kopi. Marsus berjanji akan membantu mengerja-
kan tugas kuliah. Habis adzan asar perempuan
itu sudah sampai di warung kopi. Sementara,
Marsus tidak ia temukan di warung tersebut.
Hingga menjelang adzan maghrib, lelaki itu
belum juga datang.
Ia sudah mulai gelisah. Kegelisahannya hampir
pada puncak kesedihan, bahkan kebencian. Sebab,
sebelum adzan isya nanti ia sudah harus sampai
di pondok, kalau tidak, pintu gerbang akan tutup.
Hukuman akan ia terima dari pengurus pondok.
Ia menunggu dengan penuh kegetiran. Sekalisekali
menoleh dan menoleh. Tas warna orange
yang dibiarkan tergeletak di sampingnya, ia ambil.
Ia keluarkan sebuah pena warna merah. Pena itu
ia putar-putar di jemarinya. Lantas ia patukpatukkan
ke lututnya. Ia buka tutup pena tersebut,
lalu memukul-mukulkannya lagi ke lututnya.
Lalu ia menuliskan apa saja di tangannya—
untuk mengusir kegetiran yang kian sempurna
merasuk jiwanya.
Tanpa diduga, tiba-tiba dari belakang Marsus
memukul bahunya. Sontak, perempuan itu
terlonjak. Astagfirullah, serunya menoleh dengan
kaget. Kerudung yang ia saungkan di kepala lepas
hingga bahunya. Dengan sigap ia menarik dan
menutupinya lagi ke kepala.
Lelaki itu tertawa melihat gelagat perempuan
itu. Maaf, maaf. Katanya penuh penyesalan
sambil mendekati perempuan itu. Orang-orang
di warung kopi tertawa renyah sambil melempar
pandangannya kepada perempuan itu. Ia tertunduk.
Malu. Ada sebercak kekecewaan terhadap
lelaki itu yang membuatnya tak punya muka
di hadapan banyak orang. Lebih-lebih membuat
auratnya terumbar kepada orang-orang di
warung kopi tersebut, batinnya.
Marsus mencoba merayu agar perempuan
tersebut memaafkan tindakannya, dan melupakan
peristiwa tak disengaja itu. Namun, ia tetap
diam mengunci bibirnya rapat-rapat. Tak mau
berbicara sedikitpun terhadap Marsus. Ia
bingung harus berucap apa.
Lelaki itu mendekat. Meraih tangan perempuan
itu yang penuh dengan oretan tinta merah.
Perempuan itu menahan tangannya. Namun
Marsus dengan begitu kuat menarik tangan
perempuan itu. Sebelum akhirnya, mereka saling
mengulum senyum, dan lelaki itu pun berjanji
tidak mengulang tindakannya lagi. Juga ia pun
berjanji, tidak akan membuatnya menunggu lama
lagi bila suatu ketika hendak bertemu.
***
Janji itu telah membuat luka hati perempuan
tersebut. Entah, sampai kapan penantiannya di
ambang pintu kampus kali ini? Ia telah berkalikali
menuliskan nama ‘Marsus’ di telapak
tangannya, namun lelaki yang ditunggunya itu
belum juga datang.
Perempuan yang bibirnya telah luka itu
akhirnya menangis. Suaranya terisak. Ia lihat
tulisan pada telapak tangannya sudah lenyap
oleh keringat. Sementara, pena sudah ia lempar
ke tempat sampah. Dengan lenyapnya nama
yang ia tulis di telapak tangannya, dengan begitu
pula lenyaplah harapan akan dapat berjumpa
dengan sosok lelaki itu. Lelaki yang setiap
malam selalu ia damba-dambakan kehadiran
dalam tidurnya. Lelaki yang ia harap-harapkan
menjadi bapak dari anaknya.
Dalam tangisnya, ia ingin sekali mengambil
pena yang sudah ia buang ke tempat sampah.
Lantas menuliskannya lagi sebuah nama lelaki
itu dengan pena pemberiannya. Kalau-kalau,
dengan begitu, mungkin saja sebercak harapan
yang masih melekat dalam hatinya akan
kehadiran Marsus dapat terwujud.
Perempuan itu beranjak ke tong sampah. Ia
niat mengambil pena yang baru beberapa
menit dilempar. Tetapi, pena itu sudah tak
ada dalam tong sampah. Ia tidak merasa, bahwa
setelah beberapa detik melempar pena tadi
seorang cleaning service datang membawa tong
sampah dan menggantinya dengan tong lain.
Kini, ia kembali termangu. Sesekali menolehnoleh.
Bayang-bayang lelaki itu selalu
menyelinap dalam pandangannya. Pandangan
sayu perempuan itu.
Lihat apa yang hendak perempuan itu
lakukan? Lihat, ia mengeluarkan sebuah pisau
dari tasnya. Ia manimang-nimang pisau tersebut
di depan matanya. Lantas diletakkan di telapak
tangannya. Ia pegang ujung pisau itu, lalu ia
patuk-patukkan gagang pisau tersebut di
lengannya: penuh keragu-raguan dan kebimbangan.
Sekali-sekali ia menoleh dan menoleh lagi
ke belakang, kalau-kalau lelaki itu telah datang
menemuinya. Tetapi, harapannya itu tetap saja
berujung kesia-siaan.
Gagang pisau itu terus saja ia patuk-patukkan
ke tangannya. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Suara
gemeretak giginya masih terdengar mengusik
samar-samar. Sesekali ia menoleh lagi dan lagi.
Lihatlah, air matanya mulai sedikit menetes. Ia
pandangi perutnya. Sesekali dibelai-belai penuh
iba dan penyesalan. Sementara, pisau ditangannya
masih ia putar-putar, dibolak-balik, lantas
mengarahkan ujungnya ke telapak tangannya.
Dalam kesedihan, ia tuliskan nama ‘Marsus’ di
telapak tangannya yang lembut itu dari ujung
pisau tersebut.
Lihatlah, darah mungucur dari telapak
tangannya. Bersamaan dengan kucuran air mata
yang menghujani pipinya. Ia tekan terus kuatkuat
ujung pisau itu dalam menuliskan nama
lelaki tersebut. Lantas, ia angkat pisaunya pelanpelan,
braakk!! Sontak, aku terkejut. Perempuan
itu rubuh ke lantai. Tanpa kuduga, ternyata ia
mengiris urat nadinya dari ujung pisau tersebut.
Dan aku pun belum sempat untuk mencegahnya.
Aku ingin mendekati perempuan itu. Menolongnya.
Namun, sepasang kakiku terasa berat
melangkah, dan otot-ototnya terasa kaku. Saat
itu pula, orang-orang telah berseleweran datang
menghampiri perempuan itu. Aku hanya bisa
diam terpaku.
Selang beberapa detik, seorang perempuan
datang menghampiri perempuan yang tergeletak
itu. Aku pun terkejut, ia adalah istriku—yang
kini bertugas di poliklinik kampus. Ia memeriksa
detak jantung perempuan itu. Meraih lengan
tangannya. Dilihatnya sebuah luka berdarah
dengan oretan bertulis ‘Marsus’.
M-a-r-s-u-s-, lantas ia menginja nama tersebut.
Orang-orang serentak melempar pandangannya
pada telapak tangan perempuan itu. Mengija
sebuah nama di telapak tangannya. Lantas
mengalihkan lempar pandangannya tajamtajam—
setajam pisau yang tergeletak di sisi
perempuan itu ke arahku. Tatapan-tapan sinis
penuh kebencian tampak menusuk-nusuk jiwaku.
Bahkan, api cemburu pun tiba-tiba terpancar dan
berkobar dari mata istriku. Sementara, aku telah
kebingungan bagaimana cara mengakhiri cerita
ini, dan menjelaskannya pada istriku (*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar