(Cerpen Otang K.Baddy/Pikiran Rakyat 18 Maret 2012)
Entah kenapa kematian Wak Edi tiba-tiba jadi buah bibir. Di warung-warung , di setiap depan rumah, di persimpangan jalan, di perempatan atau pun pertigaan, di sembarang tempat, siang maupun malam seolah tak henti-hetinya dan tak bosan membicarakannya.
Yang paling heboh, katanya Wak Edi yang telah berhaji itu, matinya tidak sempurna. Arwah dan jasadnya tak diterima oleh langit dan bumi. Istilah mulih ke jati pulang ke asal itu tak mengena bagi Wak Edi. Sebab arwah dia mesih penasaran. Masih keluyuran, kerapkali muncul dengan jelmaan-jelmaan. Orang-orang tahu bahwa itu adalah namanya fitnah kubur. Perlakuan setan yang mau meggoyah iman manusia. Tahu itu, namun kalau keadaannya meresahkan apa hendak dikata. Dibilang tak boleh percaya atau jangan terpengaruh bagaimana bisa, sebab fakta di lapangan telah bicara. Banyak sudah orang meninggal di kampung itu, tapi kan tak seperti Wak Edi. Dari hari pertama meninggal sampai empatpuluh hari pun umumnya tak ada apa-apa. Tapi yang satu ini kenapa tiba-tiba jadi gunjingan warga?
Wak Haji Edi meninggal pada malam Rabu, setelah sebulan penuh katanya sakit. Orang bilang bukan penyakit fisik, melainkan penyakit hati. Katanya setiap malam tak bisa tidur, selalu resah dan gelisah. Diduga karena kelelahan, sejak duhur lelaki berusia nyaris 60 tahun itu ketiduran. Sementara istrinya merasa senang karena dalam sebulan penuh merasa khawatir akan penderitaan suaminya itu. Namun kesenangan itu berubah menjadi cemas dan menimbulkan tanda tanya pada istrinya. Kenapa sampai pukul sepuluh malam suaminya itu tak pernah bangun –semisal minta diambilkan air minum atau mengerang melampiaskan kebimbangannya? Oh, tenyata lelaki itu tidur seterusnya. Ia telah menemui ajalnya.
Seperti biasa ada yang meninggal, warga kampung segera ke pemakaman untuk menggali kubur. Namun sebagian orang mendadak kaget tatkala penggalian awal ditemuninya banyak akar menghambat galian.
“Aneh, tak seperti biasanya,” gerutu seseorang, kemudian dihamini oleh yang lain. Lalu timbul decakan-decakan keheranan di mimik mereka. Anehnya, kemunculan beragam akar di tengah ketiadaan pohon. Itulah yang menjadi tanda tanya di benak mereka. Mengingat lokasi di sana telah dipesan keluarga mendiang, penggalian tetap dilanjutkan walau banyak tersendat.
Namun berkat kegigihan dan kerja keras akhirnya liang lahat pun selesai digali. Mayat pun segera dikuburkan. Sebelum para pengantar pulang, tak lupa dipanjatkan doa; penyerahan jasad kepada bumi dan semoga almarhum diterima iman islamnya dan diterima di sisiNya. Amin…
Sebagaimana biasa, selama tujuh hari tahlil pun dijalankan di rumah korban. Dan kabar-kabar buruk pun muncul di hari berikutnya.
“Stt, Ki Edi matinya tak sempurna,” ujar seorang perempuan tetangganya almarhum pada orang yang ditemuinya, sebelum ditanya ia melanjutkan, “Tadi malam aku melihat dia masuk rumahnya pakai celana pendek.” Mungkin hanya penglihatan saja, ujar seseorang masgul. “Tidak, rupanya pun sangat jelas!”
Sebagian ada yang percaya, sebagian dianggapnya suatu yang mustahil. Bahkan berita itu dianggap angin berlalu, menguap begitu saja. Namun di lain tetangga muncul lagi kabar semacamnya. Malam jum’at, malam ketiga setelah kematiannya, sekitar pukul dua dini hari, seorang lalaki bercelana pendek, berkopiah putih dan nyelendang sarung lewat di jalan depan rumahku ke arah barat, ujar lelaki bernama Muhlis. Ke arah barat –suatu arah menuju rumahnya dari tempat di mana ia dikuburkan. Wajahnya sih kurang jelas karena lampu depan rumah Muhlis agak temaram. Entah pengaruh bangun tidur –karena ingin membuang air kecil—malam itu dirasanya sangat sepi. Siapa ya lelaki agak tua itu?, pikirnya seraya menyibakkan kain gorden di balik kaca ruang depan rumahnya. Belum terjawab pertanyaan di benaknya, tiba-tiba lelaki pejalan kaki tadi itu muncul kembali dari arah barat. Kepalanya yang berkopiah putih lusuh itu dikerudung sarung, begitulah Muhlis tetangga yang masih satu RT bercerita pada orang-orang yang ditemuinya. Mungkinkah lelaki yang berkopiah putih lusuh itu adalah..?
Ada pula yang bergidik mendengar kabar itu, terutama jika kabar itu diumbar malam hari. Namun tak sedikit yang menganggapnya itu suatu isyu atau sekedar bualan. Namun bagi yang percaya, kabar-kabar itu tetap disiarkan dari mulut ke mulut, hingga tanpa sadar menggelinding sampai ke keluarga almarhum. Kendati keluarganya menepis dengan menyebut fitnah dan mengada-ada, tampaknya di pikir mereka pun tak menutup kemungkinan apa yang terjadi. Pasepuh di kampung itu yang anaknya jadi Kadus, segera dihubungi agar mengamankan situasi. Sebelum pergi menyambangi kuburnya, di rumah keluarga almarhum itu segera diadakan ruwat dengan doa-doa. Semua jendela kamar di rumah itu dibukanya lebar-lebar. Perlakuan yang terang-terangan itu karuan saja menarik perhatian warga, terutama para tetangga terdekat. Mereka menyaksikannya dengan setengah mengendap-endap, sembunyi-sembunyi seraya mengumbar bisik. Kabar yang kemudian menyentak dan menambah kepercayaan mereka, menurut informasi secara tidak langsung dari pasepuh dan Kadus, kuburan Wak Haji Edi copong melongpong.Tak ada jasad busuk atau kerangka ditemukan di sana. Tinggal kain kapan semata. Masya Allah, begitu banyak tingkah kematianmu Wak Edi? Begitulah omong-omong warga.
Anehnya, tak ada yang bertanya secara langsung pada pasepuh dan Kadus itu. Misanya, benarkah kakek akan keberadaan kuburan itu? Yakinkah Pak Kadus melihatnya dengan mata kepala sendiri? Tak ada sama sekali. Berita horor agaknya tak ada pembuktian yang jelas alias samar-samar. Pasepuh, pengurus orang yang meninggal, termasuk Pak Kadus, masing-masing diberi sebungkus rokok. Rokok itu dibeli istri almarhum dari warung kopi-nya Zakiah. Masih menurut kabar burung, bungkusan rokok itu sebenarnya bukan mutlak sebagai imbalan bagi pengurus itu, melainkan merupakan suatu syarat meredam si arwah penasaran dimana almarhum semasa hidupnya perokok berat. Entah benak-benak mereka tersugesti atau terinspirasi buat menjamurnya beberapa ilusi menyusul diadakannya sebuah ruwat. Tiba-tiba Zakiah pemilik warung kopi dan gorengan itu, pagi-pagi menyiarkan kabar yang dialaminya menjelang fajar.
Ceritanya, saat tengah menggoreng tempe (gorengan) di celah ventilasi anyaman bambu di depan mata, ia melihat nyala sebatang rokok yang tengah diisap. Namun wudud dari pengisapnya itu tak tampak, sehingga rokok itu bagai di awang-awang. Tak tahan dengan ‘manuver’ itu segera ia membangunkan Manan, suminya. Tatkala Manan keluar, ia meliat sosok lelaki tua sekira sepuluh meter berjalan di keremangan gang. Ia kejar lelaki itu, namun di dekat pohon salak tiba-tiba menghilang. Manan mencurigai sosok itu adalah orang nggak benar, misalnya pencuri malam. Tapi hatinya agak sungkan juga untuk mengejar mencari pembuktian lebih jauh, di samping ada rasa merinding di bulu kuduk. Peristiwa itu sekitar pukul empat kurang, menjelang subuh. Dibenarkan pula oleh tetangga lain yang bernama Juhadi –siempunya rumah setelah pohon salak , di mana ditemui Manan sosok tubuh itu menghilang. Juhadi terbangun tatkala dua anjingnya keras menggonggong tatkala lewat sosok lelaki tua berkopiah haji lusuh dikerudung sarung. Lelaki itu di mata Juhadi berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur.
“Kalau begitu sosoknya sama seperti apa yang pernah dilihat Muhlis,ya,” kata seseorang di warung Zakiah.
“Tak disangka Wak Haji, mungkin ia tak tahu arah pulang.”
“Bisa saja, atau mungkin kematiannya tak disadari karena tanpa ada yang menuntun kalimah toyibah. Matinya saat tidur. Sedang saat tidut nyawa itu keluar, atau pergi jauh, sedang tatkala nyawa hendak masuk tak bisa karena raganya telah dikubur,” sambung yang lain.
“Tapi kan alasan kematian itu karena rusaknya sebuah kurungan, sehingga burungnya keluar?”
“Iya sih, memang begitu. Tapi kan semua juga tahu bahwa Haji Edi bukan sakit di raga, dia mengakuinya secara langsung. Penyakit di hati. Ia sakit hati dan penuh rasa malu tatkala beberapa tanah hasil akal-akalannya kembali diambil turunan pemiliknya semula.”
“Wualah, yang benar lur?”
“Iya dong, katanya harta yang dimiliki lelaki yang senang dipanggil haji itu kebanyakan masih riba.”
Begitulah suara-suara miring yang berkembang. Namun gunjingan-gunjingan itu lambat-laun semakin menghilang. Dan tak terasa kematian Wak Haji telah sampai 40 hari. Maka acara tahlil, pembacaan Yasin dan do’a bersama ke 40 hari pun digelar di rumah keluarga almarhum. Sebagaimana umumnya keluarga yang mampu dan kreatif, para warga yang hadir selain diberikan makan dan snack juga dibagikan sovenir berupa Surath Yasin berukuran saku yang di samfulnya terpampang poto almarhum. Lumayan buat mengenang 40 hari wafatnya Wak Haji Edi, katanya.
Namun tiba-tiba warga mendadak geger ketika mendengar jerit histeris seorang perempuan di tengah malam. Perempuan yang masih tetangga almarhum itu tak tahan tatkala melihat foto di samful Yasin itu seakan hidup dengan mata yang mendelik-delik. Masya Allah!(*)
Entah kenapa kematian Wak Edi tiba-tiba jadi buah bibir. Di warung-warung , di setiap depan rumah, di persimpangan jalan, di perempatan atau pun pertigaan, di sembarang tempat, siang maupun malam seolah tak henti-hetinya dan tak bosan membicarakannya.
Yang paling heboh, katanya Wak Edi yang telah berhaji itu, matinya tidak sempurna. Arwah dan jasadnya tak diterima oleh langit dan bumi. Istilah mulih ke jati pulang ke asal itu tak mengena bagi Wak Edi. Sebab arwah dia mesih penasaran. Masih keluyuran, kerapkali muncul dengan jelmaan-jelmaan. Orang-orang tahu bahwa itu adalah namanya fitnah kubur. Perlakuan setan yang mau meggoyah iman manusia. Tahu itu, namun kalau keadaannya meresahkan apa hendak dikata. Dibilang tak boleh percaya atau jangan terpengaruh bagaimana bisa, sebab fakta di lapangan telah bicara. Banyak sudah orang meninggal di kampung itu, tapi kan tak seperti Wak Edi. Dari hari pertama meninggal sampai empatpuluh hari pun umumnya tak ada apa-apa. Tapi yang satu ini kenapa tiba-tiba jadi gunjingan warga?
Wak Haji Edi meninggal pada malam Rabu, setelah sebulan penuh katanya sakit. Orang bilang bukan penyakit fisik, melainkan penyakit hati. Katanya setiap malam tak bisa tidur, selalu resah dan gelisah. Diduga karena kelelahan, sejak duhur lelaki berusia nyaris 60 tahun itu ketiduran. Sementara istrinya merasa senang karena dalam sebulan penuh merasa khawatir akan penderitaan suaminya itu. Namun kesenangan itu berubah menjadi cemas dan menimbulkan tanda tanya pada istrinya. Kenapa sampai pukul sepuluh malam suaminya itu tak pernah bangun –semisal minta diambilkan air minum atau mengerang melampiaskan kebimbangannya? Oh, tenyata lelaki itu tidur seterusnya. Ia telah menemui ajalnya.
Seperti biasa ada yang meninggal, warga kampung segera ke pemakaman untuk menggali kubur. Namun sebagian orang mendadak kaget tatkala penggalian awal ditemuninya banyak akar menghambat galian.
“Aneh, tak seperti biasanya,” gerutu seseorang, kemudian dihamini oleh yang lain. Lalu timbul decakan-decakan keheranan di mimik mereka. Anehnya, kemunculan beragam akar di tengah ketiadaan pohon. Itulah yang menjadi tanda tanya di benak mereka. Mengingat lokasi di sana telah dipesan keluarga mendiang, penggalian tetap dilanjutkan walau banyak tersendat.
Namun berkat kegigihan dan kerja keras akhirnya liang lahat pun selesai digali. Mayat pun segera dikuburkan. Sebelum para pengantar pulang, tak lupa dipanjatkan doa; penyerahan jasad kepada bumi dan semoga almarhum diterima iman islamnya dan diterima di sisiNya. Amin…
Sebagaimana biasa, selama tujuh hari tahlil pun dijalankan di rumah korban. Dan kabar-kabar buruk pun muncul di hari berikutnya.
“Stt, Ki Edi matinya tak sempurna,” ujar seorang perempuan tetangganya almarhum pada orang yang ditemuinya, sebelum ditanya ia melanjutkan, “Tadi malam aku melihat dia masuk rumahnya pakai celana pendek.” Mungkin hanya penglihatan saja, ujar seseorang masgul. “Tidak, rupanya pun sangat jelas!”
Sebagian ada yang percaya, sebagian dianggapnya suatu yang mustahil. Bahkan berita itu dianggap angin berlalu, menguap begitu saja. Namun di lain tetangga muncul lagi kabar semacamnya. Malam jum’at, malam ketiga setelah kematiannya, sekitar pukul dua dini hari, seorang lalaki bercelana pendek, berkopiah putih dan nyelendang sarung lewat di jalan depan rumahku ke arah barat, ujar lelaki bernama Muhlis. Ke arah barat –suatu arah menuju rumahnya dari tempat di mana ia dikuburkan. Wajahnya sih kurang jelas karena lampu depan rumah Muhlis agak temaram. Entah pengaruh bangun tidur –karena ingin membuang air kecil—malam itu dirasanya sangat sepi. Siapa ya lelaki agak tua itu?, pikirnya seraya menyibakkan kain gorden di balik kaca ruang depan rumahnya. Belum terjawab pertanyaan di benaknya, tiba-tiba lelaki pejalan kaki tadi itu muncul kembali dari arah barat. Kepalanya yang berkopiah putih lusuh itu dikerudung sarung, begitulah Muhlis tetangga yang masih satu RT bercerita pada orang-orang yang ditemuinya. Mungkinkah lelaki yang berkopiah putih lusuh itu adalah..?
Ada pula yang bergidik mendengar kabar itu, terutama jika kabar itu diumbar malam hari. Namun tak sedikit yang menganggapnya itu suatu isyu atau sekedar bualan. Namun bagi yang percaya, kabar-kabar itu tetap disiarkan dari mulut ke mulut, hingga tanpa sadar menggelinding sampai ke keluarga almarhum. Kendati keluarganya menepis dengan menyebut fitnah dan mengada-ada, tampaknya di pikir mereka pun tak menutup kemungkinan apa yang terjadi. Pasepuh di kampung itu yang anaknya jadi Kadus, segera dihubungi agar mengamankan situasi. Sebelum pergi menyambangi kuburnya, di rumah keluarga almarhum itu segera diadakan ruwat dengan doa-doa. Semua jendela kamar di rumah itu dibukanya lebar-lebar. Perlakuan yang terang-terangan itu karuan saja menarik perhatian warga, terutama para tetangga terdekat. Mereka menyaksikannya dengan setengah mengendap-endap, sembunyi-sembunyi seraya mengumbar bisik. Kabar yang kemudian menyentak dan menambah kepercayaan mereka, menurut informasi secara tidak langsung dari pasepuh dan Kadus, kuburan Wak Haji Edi copong melongpong.Tak ada jasad busuk atau kerangka ditemukan di sana. Tinggal kain kapan semata. Masya Allah, begitu banyak tingkah kematianmu Wak Edi? Begitulah omong-omong warga.
Anehnya, tak ada yang bertanya secara langsung pada pasepuh dan Kadus itu. Misanya, benarkah kakek akan keberadaan kuburan itu? Yakinkah Pak Kadus melihatnya dengan mata kepala sendiri? Tak ada sama sekali. Berita horor agaknya tak ada pembuktian yang jelas alias samar-samar. Pasepuh, pengurus orang yang meninggal, termasuk Pak Kadus, masing-masing diberi sebungkus rokok. Rokok itu dibeli istri almarhum dari warung kopi-nya Zakiah. Masih menurut kabar burung, bungkusan rokok itu sebenarnya bukan mutlak sebagai imbalan bagi pengurus itu, melainkan merupakan suatu syarat meredam si arwah penasaran dimana almarhum semasa hidupnya perokok berat. Entah benak-benak mereka tersugesti atau terinspirasi buat menjamurnya beberapa ilusi menyusul diadakannya sebuah ruwat. Tiba-tiba Zakiah pemilik warung kopi dan gorengan itu, pagi-pagi menyiarkan kabar yang dialaminya menjelang fajar.
Ceritanya, saat tengah menggoreng tempe (gorengan) di celah ventilasi anyaman bambu di depan mata, ia melihat nyala sebatang rokok yang tengah diisap. Namun wudud dari pengisapnya itu tak tampak, sehingga rokok itu bagai di awang-awang. Tak tahan dengan ‘manuver’ itu segera ia membangunkan Manan, suminya. Tatkala Manan keluar, ia meliat sosok lelaki tua sekira sepuluh meter berjalan di keremangan gang. Ia kejar lelaki itu, namun di dekat pohon salak tiba-tiba menghilang. Manan mencurigai sosok itu adalah orang nggak benar, misalnya pencuri malam. Tapi hatinya agak sungkan juga untuk mengejar mencari pembuktian lebih jauh, di samping ada rasa merinding di bulu kuduk. Peristiwa itu sekitar pukul empat kurang, menjelang subuh. Dibenarkan pula oleh tetangga lain yang bernama Juhadi –siempunya rumah setelah pohon salak , di mana ditemui Manan sosok tubuh itu menghilang. Juhadi terbangun tatkala dua anjingnya keras menggonggong tatkala lewat sosok lelaki tua berkopiah haji lusuh dikerudung sarung. Lelaki itu di mata Juhadi berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur.
“Kalau begitu sosoknya sama seperti apa yang pernah dilihat Muhlis,ya,” kata seseorang di warung Zakiah.
“Tak disangka Wak Haji, mungkin ia tak tahu arah pulang.”
“Bisa saja, atau mungkin kematiannya tak disadari karena tanpa ada yang menuntun kalimah toyibah. Matinya saat tidur. Sedang saat tidut nyawa itu keluar, atau pergi jauh, sedang tatkala nyawa hendak masuk tak bisa karena raganya telah dikubur,” sambung yang lain.
“Tapi kan alasan kematian itu karena rusaknya sebuah kurungan, sehingga burungnya keluar?”
“Iya sih, memang begitu. Tapi kan semua juga tahu bahwa Haji Edi bukan sakit di raga, dia mengakuinya secara langsung. Penyakit di hati. Ia sakit hati dan penuh rasa malu tatkala beberapa tanah hasil akal-akalannya kembali diambil turunan pemiliknya semula.”
“Wualah, yang benar lur?”
“Iya dong, katanya harta yang dimiliki lelaki yang senang dipanggil haji itu kebanyakan masih riba.”
Begitulah suara-suara miring yang berkembang. Namun gunjingan-gunjingan itu lambat-laun semakin menghilang. Dan tak terasa kematian Wak Haji telah sampai 40 hari. Maka acara tahlil, pembacaan Yasin dan do’a bersama ke 40 hari pun digelar di rumah keluarga almarhum. Sebagaimana umumnya keluarga yang mampu dan kreatif, para warga yang hadir selain diberikan makan dan snack juga dibagikan sovenir berupa Surath Yasin berukuran saku yang di samfulnya terpampang poto almarhum. Lumayan buat mengenang 40 hari wafatnya Wak Haji Edi, katanya.
Namun tiba-tiba warga mendadak geger ketika mendengar jerit histeris seorang perempuan di tengah malam. Perempuan yang masih tetangga almarhum itu tak tahan tatkala melihat foto di samful Yasin itu seakan hidup dengan mata yang mendelik-delik. Masya Allah!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar