17 Mei 2015

Kematian Surantang

(Cerpen Otang K.Baddy/Lombok Post 20 Januari 2013)
   Segala kata, atau ucap, kendati itu cuma bualan, ternyata punya nyawa. Punya hak untuk menyergap pada majikan pencetus lidah. Tak perlu merinci basa-basi untuk menutupi kemunafikan, akulah sebenarnya majikanmu itu. Yang sebelumnya mengobralmu, menebar keburukan di setiap persimpangan. Dan kau tak pilon, dalam beberapa kejap pedangmu telah menebas tubuhku hingga ambruk, mencincang daging dan tulang hingga jantung keabadian.
      Ternyata bukan kalian yang mati, yang resah merintih tertimbun haliyah duniawi. Sekali lagi akulah yang tak tahu diri. Berkoar menebar aibmu di sembarang pertemuan, mengabarkannya pada angin, mengibarkannya di cakrawala. Dengan lidah dan bibir bergincu, memvonismu semanis madu. Namun pada akhirnya bukan kalian para pendosa, pengemban ria penyembah berhala. Siapa lagi kalau bukan aku, seorang penebar aib yang nirca.
      “Ini bukan penyakit di raga, tapi penyakit di nyawa,” ujarmu hasil rekaanku yang saat itu sok tahu hati orang.
      “Goblog! Pakai mata yang tajam, dong. Gunakan indera keenam, jangan cuma lihat luarnya yang lembut melulu, pandangi dan raba hatinya. Bukankah dia tengah bergolak menimbang amal perbuatannya?” lagi-lagi setan sok pintar itu menguasai diriku. Menyampaikan kisah itu pada setiap pertemuan, baik di warung-warung kopi, di teras rumah, di perempatan, bahkan sampai berani-beraninya menulis di sebuah koran. Di matanya, ia melihat orang-orang dan dunia terdecak mengagumi daya nalar yang handal. Hidung melendung, nama melambung terangkat fuja-fuji, terbang ke langit yang tak bertepi.
      Kemudian kamu beranjak, bertolak dari dunia kasat mata menembus alam sunyi. Menyibak beribu topeng dan manuver konyol pengusung kebenaran. Beribu-ribu bahkan berjuta-juta kuburan ia singkapi dengan kasarnya. Ouw, tenyata banyak sekali borok-borok di sana, nadamu pongah. Dengan rinci satu persatu borok-borok kau eja dan catat. Dari mulai jelata, aparat, hingga sekalipun pembawa agama. Dan mengabarkannya padaku, untuk kemudian kusampaikan ke dunia luar.
       “Segala kata dan ucap, kendati itu cuma bualan, nyata-nyatanya punya ruh yang minta pertanggungjawaban,” ujarku pada sebuah pertemuan yang sembarang. Pada saat warga terfokus pada seorang lelaki bergelar tokoh tengah sakit aneh. Siang maupun malam seakan tersiksa, merintih, mengerang, teriak-teriak, dan kadang menangis meraung, melolong laksana anjing pemandu siluman. “Aduh..ieung…aduh Gusti…aduh ibu.,gimana ini?”, katanya seraya bergulang-guling di lantai basah. Sengaja ia diturunkan dari ranjangnya, karena kerap menyebut ‘panas, aduh panas’ itulah ia dicampak di lantai setelah sebelumnya disimbah air. Namun lelaki itu tetap teriak-teriak merasa keberadaannya tak enak, dunia terasa menghimpit, api membara terasa membakarnya. Karenanya, ia tersiksa, lebih dari sekedar sakit, lebih dari sekedar panas, maka tangisnya meraung bak harimau lapar, melolong panjang seperti anjing malam.
      “Nah itu bukan cuma igauan, bukan pula mimpi buruk yang sekejap lenyap saat terbangun. Tapi itu nyata-nyata sebuah siksa. Siksa yang abadi, penghangusan nafsu dan amarah!” kembali si aku menebar pendapat dengan mantapnya. Sebagian orang tampak mengangguk, sebagian terdiam. Di mataku para pendengar itu terkagum-kagum akan fakta yang telah kuceritakan. Kuhimpun bahan-bahan gunjing yang akurat, agar mereka tak ngantuk saat kujerat.
      Bukankah semua juga tahu, ia bukan sakit di fisik dan bukan pula tersiksa di raga. Melainkan lelaki itu tersiksa di nyawa, kataku kemudian. Bukan mengada-ada atas siksanya yang abadi, pertimbangan amalnya sendiri. Buktinya, para dokter dan akhli nujum tak mampu menyembuhkannya. Para sepuh kampung, para kyai, tak mampu mencari solusi. Berbagai wejangan, beribu saran tak mempan. Dua telinganya, pintu hatinya seakan sudah terkunci rapat. Istri dan anak-anaknya, sanak saudara tercinta, semuanya tak ada yang mampu mengobati derita lelaki itu. Bukankah itu gambaran siksa dalam kubur? Siksa dalam kuburan raga yang tak tampak oleh mata kita?, ujarku saat itu menyimpulkan.
      Kendati kehidupan perlu berbagi, namun segala perbuatan mesti ditanggung sendiri. Seperti kelahiran dan kepergiannya. Datang sendiri, pulang sendiri. Menjemput ajalnya sendiri, menghitung amalnya sendiri serta menghukum dosannya sendiri. Seperti apa yang terjadi pada lelaki itu. Tersentak ketika mendengar kabar kematian yang datangnya tiba-tiba. Begitu tipis batas hidup dan mati. Begitu tipis batas fana dan baqa. Raga dan nyawa tak ubanya sebuah lubang dan kunci, sebuah kurung dan burung, sarung dan belati. Isinya pergi kandangnya mati, burung pun terbang mencari jati diri. Dan jati diri lelaki itu tampaknya tak ditemui, mata pisaunya patah berkarat saat ia sekarat.
      Sebagai penenyebar aib, aku ikuti dia dengan khayal-khayalku. Orang-orang yang sudah kujerat sebagai kaki-tanganku, terus menggunjingnya. Mengajak semuanya untuk merindingkan bulu kuduk, mengabadikan horor yang kuat dan erat dengan kematian itu. Lelaki pengemban ria, pemabuk sanjung fuja, yang kerap berkoar pembela rakyat –tapi nyatanya penjilat itu matinya tak sempurna. Ia pendosa, kepergiannya tak sempurna. Bayangannya kerap muncul di depan rumah, di setiap perempatan jalan, di dalam mobil mewahnya, di dekat wanita-wanita gelapnya, hingga tak terkecuali bayangan itu menjelma di depan masjid. Mungkin hatinya mau insaf dan shalat, namun kematian telah menvonis dirinya tak membuka insaf dan tak menerima shalat. “Ah, sungguh malang nian nasibmu, kawan,” begitulah aku dan orang-orang bergumam.
      Segala kata dan ucap, kendati itu cuma igauan atau gumaman, nyata-nyatanya punya ruh yang mesti minta pertanggung-jawaban. Tak ada tirai untuk menutupi, akulah kini yang diminta pertanggungjawaban itu, kawan. Akulah yang mesti dihanguskan di padang merah, karena kalau tidak bau busuk itu akan terus menyengat. Bau busuk itu disebabkan atas aib sesama yang telah kutebar-tebar. Borok-borok bernanah adalah efek dari kerakusan insan yang telah memakan bangkai sesamanya.  Suatu kanibalisme yang parah dan menjijikkan!
      Memang hidup itu terserah kita. Mau hitam mau putih, tinggal pilih mana suka. Namun semua itu akan diperhitungkan di hari kemudian. Ketidakbedayaan akan datang menjegal, yakni ajal yang tak bisa ditolak. Ya, hidup memang bukan suatu tujuan, melainkan suatu perjalanan menuju kematian. Bukan menunggu kematian, hidup adalah menunda kematian, begitulah kata penyair besar bangsa ini.
      Dan, ketibaan itu kini datang menjegal langkahku. Memenggal leherku tanpa ampun, mengobok-obok tubuh, mencincang daging dan tulang-tulang hingga jantung keabadian.
      “Surantang telah mati…! Surantang telah mati…!” begitulah suara teriakkan kudengar di luar. Sungguh menyentak, terasa pedih menyayat hati, mengiris jiwa. Duh, Gusti kenapa kematian itu cepat menjemputku. Rasanya berita itu janggal kudengar, kenapa tak pakai ‘Innaa lillahi wa innaa illaihi raaji’uun’. Kenapa? Bukankah aku ini seorang tokoh, penelusur kehidupan yang didamba hamba-hambaMu?
       Kabar kematian itu menggelegar bak petir menyambar. Menghancurkan tubuhku, meluluh lantakan jiwaku, menggoyah pendirianku hingga oleng kemoleng. Mata hari yang padam, langit yang hilang, membuatku ambruk tersungkur dan ditelan bumi. Namun suara tentang kematian itu masih tetap kudengar, bahkan lebih jelas dan nyaring.
      “Surantang telah mati..Surantang telang mati!” begitulah, tak henti-hentinya. Di setiap tempat pertemuan, di warung-warung kopi, di perempatan jalan, di pasar-pasar, di emperan toko, di sembarang tempat. Mengabarkan fakta, pada suatu tiba. Seseorang yang tersiksa, bukan sakit di raga, melainkan sakit di nyawa. Sehingga tak ada yang mampu menolongnya. Para dokter tak berfungsi, rajuk anak-istri tak mampu mengobati.
      “Ini pengadilan jiwa, Bung, terima dan rasakanlah!”
      Aduh Gusti, gimana ini? Jangan lanjutkan, persoalannya begitu rumit. Ini benar-benar membingungkan. Banyak yang harus dibenahi,makanya tunggu dulu. Jangan lanjutkan, jangan putuskan!
      Ya, semuanya benar. Segala kata dan ucap, kendati itu cuma igauan atau gumaman, ternyata punya ruh yang minta pertanggung-jawaban. Jadi ini bukan igauan, bukan pula gumaman.Tapi nyata-tanya pengadilan tentang pertanggung-jawaban, akan ulah sebelumnya. Seorang penebar aib, pemakan bangkai sesama, yang tengah mabuk dan tersungkur di perjalanan, tatkala meraba kematian.
      Suara tangis itu akhirnya menggapai langit. Dan bau hangus yang busuk bangkai itu terasa menyeruak, bersama asap yang membumbung ke cakrawala.***@
                                                                                                (Pangandaran, Januari 2013).

Tidak ada komentar: