Cerpen Otang K.Baddy ( Pikiran Rakyat 9 Juni 2013 )
Entah kenapa tiba-tiba kampung itu dijuluki kampung toke. Aku tak tahu pasti selain hanya menggangguk atau mengiyakan jika seseorang bertanya di mana tepatnya aku tinggal. “Oh, dari Kampung Tokek itu ya?” demikianlah orang di luar desa atau bahkan sampai di luar kabupten menyebut nama lain kampungku. Dan memang meski tak tertera di KTP atau data wilayah, Kampung Tokek lebih populer di banding nama aslinya Kampung Rawung.
“Jika kelak mau berumah tangga, awas, jangan beristri dari Kampung Toke,” kata nenekku ketika saat itu aku masih kelas V SD. Tak sedikit pun aku mengomentari atau bertanya kenapa atau ada apa dengan Kampung Toke. Toh omongan soal beristri –apalagi perkara berumah tangga—itu pun sudah termasuk berlebihan dilontarkan padaku yang masih polos kala itu. Tapi melihat aku bergeming malah nenekku tampak cemas dan berkata, “Itu pun jika tak mau bernasib seperti ayahmu yang sering tergigit toke, bahkan sampai kepergiannya.”
Tetap saja aku tak tertarik dan tak mengerti tentang apa yang dipesankan nenekku, bahkan sampai kepergian ibunya ayah itu. Memang benar ayah beristrikan ibu itu berasal dari Kampung Rawung alias Kampung Toke. Kampung tetangga, masih satu desa. Namun, seingatku kepergian ayah yang lebih dulu dari nenek itu bersumber dari penyakit asmanya yang akut dan tak kunjung sembuh. Jadi bukan tergigit mahluk bernama toke.
**
Maka menikahlah aku dengan seorang istri dari Kampung Toke. Tak berpikir dari orang mana aku harus berjodoh. Sesuai harapan dan keyakinan, yang namanya jodoh –kendati dibebaskan memilih, hakikatnya tetap Tuhan yang ngatur. Jadi apa yang telah datang dan menimpa, termasuk beristrikan dari Kampung Toke itu, kuterima sebagai rahmat dan anugerah yang perlu disyukuri.
Sebagai kesepakatan kedua pihak aku pun netap di Kampung Toke, tempat semula istriku tinggal dan dilahirkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tani kami pun ikut bertani. Membuka ladang, menggarap sawah dan menanam palawija. Hidup terasa rukun, suasana adem-ayem, bahkan sampai beranak dua. Mungkin semua terjadi karena pernikahan kami di samping jodoh yang kuat, juga berkat do’a mertua yang tampak begitu cocok atas kehadiranku sebagai menantunya. Terlebih setiap sebulan sekali, kami tak menolak jika beliau minta dibuatkan bubur dua warna, yang katanya sebagai bakti anak pada orang tua. Dan Sejujurnya aku tak pernah digigit mahluk yang bernama toke. Begitu pun yang lain di kampung itu, entahlah, belum satu pun aku melihat orang yang tengah digigit toke, terlebih sampai meninggal.
**
Dan isyu tentang toke itu mendadak santer jadi perbincangan dari mulut ke mulut. Harga satu ekor bisa mencapai puluhan juta lebih, bahkan ada yang berani menukarnya dengan sepeda motor yang masih gresh. Dan tentu saja Kampung Toke jadi fokus utama sebelum lainnya bagi para penggila toke. Tak sedikit mereka yang datang dari luar kampung, luar desa, bahkan ada yang luar kabupaten. Lalu terbetik di benakku, mungkin inilah jawaban atas julukan tentang Kampung Toke. Julukan sebelum datangnya suatu fakta. Seperti ada yang menafsirkan Tasik yang berarti ‘keusik’, semuanya gelap sebelum terjawab dengan letusan Galunggung dan huru-hara pasir besi. Demikian juga dengan julukan kampungku, Kampung Toke, yang ternyata (entahlah) tiba-tiba menjadi ramai suara toke.
Di hampir setiap rumah, tunggul kayu dan tebing batu toke-toke itu tiba-tiba banyak berada. Setiap malam, pagi dan sore, selalu ramai berbunyi, saling bersahutan satu sama lainnya. Tokkee…tokee..tokkee..!
Tapi para pemburu toke itu tampak kecewa atas buruannya. Toke-toke yang ditemukan di tempat ini tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukurannya kecil-kecil alias umum. Sedang yang dibutuhkan mereka toke yang berukuran besar, antara satu sampai dua kilogram.
“Ini bukan main-main, yang dua kilogram bisa mencapai ratus-jutaan, bahkan bisa ditukar dengan mobil sekelas avanza,” kata seseorang dalam suatu kerumunan. Namun sampai beberapa hari, minggu, bulan, jenis toke yang dicari itu tak juga ditemukan. Dan orang-orang jadinya –terlebih aku—tak merasa tergiur. Sebab itu suatu yang mustahil. Jangankan yang satu kilogram, untuk ukuran enam-tujuh ons pun tak ada. Berat toke umumnya tak jauh dari 3-4 ons. Dan seumpama ada tentu itu bukan toke biasa, melainkan namanya toke ajaib yang berada di negeri dongeng.
Dan isyu toke berharga jutaan pun lenyap. Yang ada cuma pemburu toke biasa dari luar kampung yang konon dijual seribu perak per ekor. Masyarakat pribumi tak sedikit pun tertarik, dan membiarkan toke-toke itu perlahan hilang dan suaranya jarang terdengar lagi. Kampung Toke jadi sepi.
**
Mas Parman –selanjutnya Wa Kaman (mengakrabkan panggilan buat anakku pada Uwaknya, beliau orang Jatim yang menikahi Oyoh-- kakak iparku) tiba-tiba sakit. Perutnya mengembung bak busung lapar. Aneh, padahal ia tak pernah lapar. Wa Kaman termasuk rajin bekerja. Terlebih sejak ter-PHK di pabrik pakan unggas di Cileungsi Bogor, ia membulatkan tekadnya untuk hidup bertani di Kampung Toke, menggarap sawah-ladang pemberian mertuanya –yang juga mertuaku. Dengan hasil panen yang luamayan jadi ia jauh dari yang namanya kelaparan.
Berkat hasil jual tanah warisan dari Jatim dan sedikit uang pesanggon kala itu, ia mampu membeli sebidang tanah untuk kemudian dibangun rumah tembok alakadarnya, oramg kampung menyebutnya’balong saat’.
Dalam sakitnya Wa Kaman mengeluh bahwa perutnya terasa bak ditusuk-tusuk benda tajam. Beberapa kali ke dokter, juga dengan cara obat kampung, tak ada yang mempan. Hingga lahir kesimpulan, jalan terakhir untuk mengatasi semuanya harus dengan cara ‘melek’. Satu solusi yang dipesankan Romo Kandang -- julukan almarhum Mustofa, ayahnya Wa Kaman, atas kecerdikannya saat perang kemerdekaan melawan Belanda. yakni dengan laku tak tidur. Sebagai kerabat, aku merasa berdosa jika tak menunaikan tugas untuk menemaninya.
Dengan berbekal air putih, kami pun melek.
Pada malam pertama tak ada isyarat apa-apa. Hanya sakit di perut yang dikata bak ditusuk-tusuk itu katanya agak berkurang.
Malam kedua, yang diduga akan lebih aman, malah sebaliknya. Sekira pukul 10 malam, Perut Wak Kaman sakitnya menjadi-jadi, bahkan saking tak tahannya sampai ia berjungkir-balik di lantai. Karena panik yang membucah, atas permintaan Ceu Oyoh –istrinya Wa Kaman, saya meng-sms salah satu keluarganya di Magetan, Kuceritakan semuanya, termasuk soal lelaku ‘melek’ itu. Sesuatu yang tak terduga sekaligus mencengangkan, “Coba periksa, apakah di bawah jam dinding itu ada seekor toke?” kata Mas Samin di sms itu. Dan.. jiah!, mahluk predator berkulit kasar seperti hiu itu, bak tergertak seketika nelusup ke balik jam dinding.
“Gebuk dengan sapu lidi, tapi jangan sampai mati” sms dari Mas Samin kemudian.
Karena takut jam dinding terjatuh, meski tak telak aku berhasil memukul dua kali dengan sapu lidi, sebelum kemudian toke itu menyelamatkan diri masuk lobang langit-langit. Aneh, Wa Kaman sakitnya langsung sembuh. Paginya seorang lelaki, tetangga terdekat, tiba-tiba menjenguk Wa Kaman seraya mengucap syukur atas kesembuhan sakit perut itu.
“Penyakait zaman kini memang aneh-aneh. Termasuk saya, tiba-tiba tulang-tulang ini semalam terasa remuk,” ujar lelaki itu seraya meringis menahan sakit. Lantas menyalami Wa Kaman dan berharap sakit tulangnya segera sembuh.
Apa kaitannya dengan toke itu, kami segera menebak-nebak. Kabar dari mertua, lelaki itu sebelumnya mewanti agar tanah itu dijual pada dirinya. Kepalang SPPT-nya nempel, katanya. Permintaan itu sering dilontarkan pada Tisno –anak si empunya tanah, yang meninggal setelah sebelumnya sakit perut dan didampingi toke. Tapi sang mertua segera menggalangnya, sebelum kemudian dibayar Wa Kaman.
Terpikir itu aku jadi teringat omongan nenek tentang nasib ayah. Secara medis memang menderita asma yang akut. Namun di balik itu ada cerita lain, mungkin ayah selalu menolak untuk menerima paham yang dianut mertuanya. Yakni setiap Selasa kliwon harus mengadakan ritual di kamar khusus, dengan sesaji bubur merah-bubur putih. Tapi apakah nyambung jika dikaitkan dengan toke-toke itu? Entahlah.**@
(Pesisir Kidul, akhir Mei 2013)
*Otang K.Baddy –nama feba dari Otang Komaludin. Menulis cerpen dan puisi, tinggal di Pangandaran.
No rek BRI: 4016-01-001033-50-2 A/n: Otang Komaludin
Hp: 082130928552
e-mail: otangk234@gmail.com
Entah kenapa tiba-tiba kampung itu dijuluki kampung toke. Aku tak tahu pasti selain hanya menggangguk atau mengiyakan jika seseorang bertanya di mana tepatnya aku tinggal. “Oh, dari Kampung Tokek itu ya?” demikianlah orang di luar desa atau bahkan sampai di luar kabupten menyebut nama lain kampungku. Dan memang meski tak tertera di KTP atau data wilayah, Kampung Tokek lebih populer di banding nama aslinya Kampung Rawung.
“Jika kelak mau berumah tangga, awas, jangan beristri dari Kampung Toke,” kata nenekku ketika saat itu aku masih kelas V SD. Tak sedikit pun aku mengomentari atau bertanya kenapa atau ada apa dengan Kampung Toke. Toh omongan soal beristri –apalagi perkara berumah tangga—itu pun sudah termasuk berlebihan dilontarkan padaku yang masih polos kala itu. Tapi melihat aku bergeming malah nenekku tampak cemas dan berkata, “Itu pun jika tak mau bernasib seperti ayahmu yang sering tergigit toke, bahkan sampai kepergiannya.”
Tetap saja aku tak tertarik dan tak mengerti tentang apa yang dipesankan nenekku, bahkan sampai kepergian ibunya ayah itu. Memang benar ayah beristrikan ibu itu berasal dari Kampung Rawung alias Kampung Toke. Kampung tetangga, masih satu desa. Namun, seingatku kepergian ayah yang lebih dulu dari nenek itu bersumber dari penyakit asmanya yang akut dan tak kunjung sembuh. Jadi bukan tergigit mahluk bernama toke.
**
Maka menikahlah aku dengan seorang istri dari Kampung Toke. Tak berpikir dari orang mana aku harus berjodoh. Sesuai harapan dan keyakinan, yang namanya jodoh –kendati dibebaskan memilih, hakikatnya tetap Tuhan yang ngatur. Jadi apa yang telah datang dan menimpa, termasuk beristrikan dari Kampung Toke itu, kuterima sebagai rahmat dan anugerah yang perlu disyukuri.
Sebagai kesepakatan kedua pihak aku pun netap di Kampung Toke, tempat semula istriku tinggal dan dilahirkan. Sebagaimana umumnya masyarakat tani kami pun ikut bertani. Membuka ladang, menggarap sawah dan menanam palawija. Hidup terasa rukun, suasana adem-ayem, bahkan sampai beranak dua. Mungkin semua terjadi karena pernikahan kami di samping jodoh yang kuat, juga berkat do’a mertua yang tampak begitu cocok atas kehadiranku sebagai menantunya. Terlebih setiap sebulan sekali, kami tak menolak jika beliau minta dibuatkan bubur dua warna, yang katanya sebagai bakti anak pada orang tua. Dan Sejujurnya aku tak pernah digigit mahluk yang bernama toke. Begitu pun yang lain di kampung itu, entahlah, belum satu pun aku melihat orang yang tengah digigit toke, terlebih sampai meninggal.
**
Dan isyu tentang toke itu mendadak santer jadi perbincangan dari mulut ke mulut. Harga satu ekor bisa mencapai puluhan juta lebih, bahkan ada yang berani menukarnya dengan sepeda motor yang masih gresh. Dan tentu saja Kampung Toke jadi fokus utama sebelum lainnya bagi para penggila toke. Tak sedikit mereka yang datang dari luar kampung, luar desa, bahkan ada yang luar kabupaten. Lalu terbetik di benakku, mungkin inilah jawaban atas julukan tentang Kampung Toke. Julukan sebelum datangnya suatu fakta. Seperti ada yang menafsirkan Tasik yang berarti ‘keusik’, semuanya gelap sebelum terjawab dengan letusan Galunggung dan huru-hara pasir besi. Demikian juga dengan julukan kampungku, Kampung Toke, yang ternyata (entahlah) tiba-tiba menjadi ramai suara toke.
Di hampir setiap rumah, tunggul kayu dan tebing batu toke-toke itu tiba-tiba banyak berada. Setiap malam, pagi dan sore, selalu ramai berbunyi, saling bersahutan satu sama lainnya. Tokkee…tokee..tokkee..!
Tapi para pemburu toke itu tampak kecewa atas buruannya. Toke-toke yang ditemukan di tempat ini tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukurannya kecil-kecil alias umum. Sedang yang dibutuhkan mereka toke yang berukuran besar, antara satu sampai dua kilogram.
“Ini bukan main-main, yang dua kilogram bisa mencapai ratus-jutaan, bahkan bisa ditukar dengan mobil sekelas avanza,” kata seseorang dalam suatu kerumunan. Namun sampai beberapa hari, minggu, bulan, jenis toke yang dicari itu tak juga ditemukan. Dan orang-orang jadinya –terlebih aku—tak merasa tergiur. Sebab itu suatu yang mustahil. Jangankan yang satu kilogram, untuk ukuran enam-tujuh ons pun tak ada. Berat toke umumnya tak jauh dari 3-4 ons. Dan seumpama ada tentu itu bukan toke biasa, melainkan namanya toke ajaib yang berada di negeri dongeng.
Dan isyu toke berharga jutaan pun lenyap. Yang ada cuma pemburu toke biasa dari luar kampung yang konon dijual seribu perak per ekor. Masyarakat pribumi tak sedikit pun tertarik, dan membiarkan toke-toke itu perlahan hilang dan suaranya jarang terdengar lagi. Kampung Toke jadi sepi.
**
Mas Parman –selanjutnya Wa Kaman (mengakrabkan panggilan buat anakku pada Uwaknya, beliau orang Jatim yang menikahi Oyoh-- kakak iparku) tiba-tiba sakit. Perutnya mengembung bak busung lapar. Aneh, padahal ia tak pernah lapar. Wa Kaman termasuk rajin bekerja. Terlebih sejak ter-PHK di pabrik pakan unggas di Cileungsi Bogor, ia membulatkan tekadnya untuk hidup bertani di Kampung Toke, menggarap sawah-ladang pemberian mertuanya –yang juga mertuaku. Dengan hasil panen yang luamayan jadi ia jauh dari yang namanya kelaparan.
Berkat hasil jual tanah warisan dari Jatim dan sedikit uang pesanggon kala itu, ia mampu membeli sebidang tanah untuk kemudian dibangun rumah tembok alakadarnya, oramg kampung menyebutnya’balong saat’.
Dalam sakitnya Wa Kaman mengeluh bahwa perutnya terasa bak ditusuk-tusuk benda tajam. Beberapa kali ke dokter, juga dengan cara obat kampung, tak ada yang mempan. Hingga lahir kesimpulan, jalan terakhir untuk mengatasi semuanya harus dengan cara ‘melek’. Satu solusi yang dipesankan Romo Kandang -- julukan almarhum Mustofa, ayahnya Wa Kaman, atas kecerdikannya saat perang kemerdekaan melawan Belanda. yakni dengan laku tak tidur. Sebagai kerabat, aku merasa berdosa jika tak menunaikan tugas untuk menemaninya.
Dengan berbekal air putih, kami pun melek.
Pada malam pertama tak ada isyarat apa-apa. Hanya sakit di perut yang dikata bak ditusuk-tusuk itu katanya agak berkurang.
Malam kedua, yang diduga akan lebih aman, malah sebaliknya. Sekira pukul 10 malam, Perut Wak Kaman sakitnya menjadi-jadi, bahkan saking tak tahannya sampai ia berjungkir-balik di lantai. Karena panik yang membucah, atas permintaan Ceu Oyoh –istrinya Wa Kaman, saya meng-sms salah satu keluarganya di Magetan, Kuceritakan semuanya, termasuk soal lelaku ‘melek’ itu. Sesuatu yang tak terduga sekaligus mencengangkan, “Coba periksa, apakah di bawah jam dinding itu ada seekor toke?” kata Mas Samin di sms itu. Dan.. jiah!, mahluk predator berkulit kasar seperti hiu itu, bak tergertak seketika nelusup ke balik jam dinding.
“Gebuk dengan sapu lidi, tapi jangan sampai mati” sms dari Mas Samin kemudian.
Karena takut jam dinding terjatuh, meski tak telak aku berhasil memukul dua kali dengan sapu lidi, sebelum kemudian toke itu menyelamatkan diri masuk lobang langit-langit. Aneh, Wa Kaman sakitnya langsung sembuh. Paginya seorang lelaki, tetangga terdekat, tiba-tiba menjenguk Wa Kaman seraya mengucap syukur atas kesembuhan sakit perut itu.
“Penyakait zaman kini memang aneh-aneh. Termasuk saya, tiba-tiba tulang-tulang ini semalam terasa remuk,” ujar lelaki itu seraya meringis menahan sakit. Lantas menyalami Wa Kaman dan berharap sakit tulangnya segera sembuh.
Apa kaitannya dengan toke itu, kami segera menebak-nebak. Kabar dari mertua, lelaki itu sebelumnya mewanti agar tanah itu dijual pada dirinya. Kepalang SPPT-nya nempel, katanya. Permintaan itu sering dilontarkan pada Tisno –anak si empunya tanah, yang meninggal setelah sebelumnya sakit perut dan didampingi toke. Tapi sang mertua segera menggalangnya, sebelum kemudian dibayar Wa Kaman.
Terpikir itu aku jadi teringat omongan nenek tentang nasib ayah. Secara medis memang menderita asma yang akut. Namun di balik itu ada cerita lain, mungkin ayah selalu menolak untuk menerima paham yang dianut mertuanya. Yakni setiap Selasa kliwon harus mengadakan ritual di kamar khusus, dengan sesaji bubur merah-bubur putih. Tapi apakah nyambung jika dikaitkan dengan toke-toke itu? Entahlah.**@
(Pesisir Kidul, akhir Mei 2013)
*Otang K.Baddy –nama feba dari Otang Komaludin. Menulis cerpen dan puisi, tinggal di Pangandaran.
No rek BRI: 4016-01-001033-50-2 A/n: Otang Komaludin
Hp: 082130928552
e-mail: otangk234@gmail.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar