6 Juli 2015

Pesta Harus Berakhir

Cerpen: Otang K.Baddy (Suara Daerah no.495 edisi Juni 2013)


Sesaat ruangan itu sepi. Tak ada suara tanya dan jawab, keduanya bergeming. Benak mereka hanyut dalam pemburuansolusi akan sebuah misi.

Sang Mayor menundukkan kepala, keraguan dan kecemasan terasa menyungkup dikepala. Betapa tidak, ia harus memilih satu diantara tiga pilihan. Menyerah,mengelak, atau malah menembak? Menyerahkan diri dan berterus terang bahwadirinya pernah membelot dari perjuangan? Mengelak dengan cetus seribu lidah,atau senjata harus menyalak? Siapa yang bakal tahu kalau orang itu ditembaknya,lagi pula bukankah mereka berada di lantai atas?

Dahiberkerenyit, bibir pun digigit.

Tidak!Jangan! Jangan lagi terjadi pembuhunan itu. Persoalan yang sudah berat ini jangan samapai bertambah berat!

Sang Mayor mengangkat wajahnya, menatap orang yang sejak tadi menghujanipertanyaan.

“Bagaimana, jelas Mayor?” tanya Komisarisyang tetap bersabar. Yang ditanya memalingkan muka. Keraguan dan pikiran yanglabil terasa menyergap. Menyerah atau legawa, adalah sikap mulia dan bakalmeringkan hukum. Tapi bagaimana soal keluarga, anak maupun isteri menghapihujat dan cemooh masyarakat banyak. Namun agama telah mengajarkan, dan segeralahbertobat sebelum dosa itu berlipat. Tapi..ah, betapa beratnya untuk mengambilsatu keputusan.

Semulapersoalannya tak sejauh itu. Komisaris cuma bertanya bagaimana ceritanya ketikaia masuk jadi pejuang hingga kini berpangkat Mayor. Lalu menanyakan berapabesar gaji Mayor sebulan dan juga tentang kekayaan orangtuanya. Berlanjutmenanyakan kekayaan hasil merampas dari Kolonel Vanderland di masa lampau.Dijawab tak tahu, Komisaris tetap menekan, sebab mana mungkin itu tak tahu.

Sebelum kedatangan Komisaris pun gejala penelusuran ini sudah terdengar.Diawali dengan sikap pemerintah yang tiba-tiba ingin mengadakan penelitiantentang Kolonel Vanderland. Diduga tak akan pernah diusut, sang Mayor tenang-tenangsaja hidup di bergelimang harta dan canda manja para wanita. Pikirnya takmungkin kebrobrokan ini terungkap, apalagi kejadiannya jauh di masa lalu. Kalausaja tahu akan terjadi begini, kenapa tidak dari jauh hari ia kabur ke luarnegeri. Pasti aman, pikirnya.

Lelaki itu menarik napas. Berat sekali. Menyalakan rokok, sekedarmengusir cemas.

Seraya membenahi kancing bajunya yang terlucut, jidatnya berkerut seakanberpikir sesuatu. Dan sekejap kemudian bola matanya berbinar seakan menemukanpencerahan dan rumus jitu. Demi keselamatan tentu harus ada pengorbanan.Tapibagaimana kalau dia menolak? Ah, jaman kini siapa orangnya yang akan menolakjika diberi uang. Bukankah uang itu telah segalanya dalam hidup ini?

“Komisaris….,” katanya tiba-tiba dengan suara tertahan.

“Ya, Mayor..,” jawab lelaki itu dengan sopan, menghargai kemayorannya.

“Menurut hemat saya, kejadian itu sudah tak ada artinya jika kinidiungkit lagi. Sebab kalau seumpama makanan sudah kadaluwarsa. Sudah basi.Dengan begitu untuk menyelesaikan masalah ini sebaiknya Komisaris bekerjasamadengan saya. Apa yang kau inginkan,terus terang utarakanlah sekarang. Dalam hal ini saya tak akan menghitunguntung dan rugi. Satu yang kupinta, asal kita sama-sama selamat. Itu pun jikaselama ini saya ditekan bersalah.”

“Pokonya, apa yang kau inginkan dariku sekarang, tak akan kutolak. Sebutlah..ayo.!” lanjutnya merajuk.

Untuk beberapa saat Komisaris terdiam. Rasamarah, juga kesan lucu dengan perkataan Mayor. Masa pangkat seorang Mayorbegitu merajuk dan cengeng, dan itu sama saja pada intinya menunjukkankebrobrokan yang nyata.

“Mayor, apa pun yang telah kau katakan telah kumengerti semuanya. Bahkanaku sangat berterimakasih atas tujuan dan kebaikan Mayor yang begitu mulia.Namun ingat, selaku petugas negara -- dalam hal ini di kekomisarisan, sungguhsuatu penghianat besar jika seorang bapak mewariskan tindakan tak terpujikepada anak buahnya. Bagaimana dampaknya nanti? Tentu ulah kotor itu akanberanak-pinak dan berkembang biak. Sebab mereka itu ibarat ekor yang senantiasamengikuti kepala. Jika kepala masuk ke tempat gelap ekor pun pasti mengikutinya,begitu pun sebaliknya. Kepala masuk ke tempat rawan dan berbahaya, tentu sangekor akan ikut celaka. Maka, di sinilah harus kita jauhi segala bentuk yangakan mencelakakan mereka. Maka dengan itu, bukan aku menampik pengasih, bukan pulaaku menyepelekan kebaikan bapak.”

Suasanahening kembali. Keduanya membisu. Musik klasik terdengar mengalun di kejauhan.Irama sedih bak menyanyikan kematian.

“Dengan tekad kebaikan bapak yang memelas, kini telah kudapatkan bukti kuat bahwa Mayortelah benar-benar nyeleweng!”

“Tak bisa begitu Komisaris. Perkataan serta niatku tadi itu hanyalahseumpama benar saya ditekan bersalah.”

“Seumpama? Tapi umpama itu, umpama yang mana, sebab pengertiannya banyak?”

“Ya, seumpama aku melakukan tindakan itu..” Sang Mayor mukanya memerah.

“Seumpama aku tak melakukan tindakan itu?” tegas Mayor, seolah mintakepastian.

“Jawab saja sendiri oleh Mayor!

“Sebab tidak mungkin Mayor punya kekayaan yangbegitu melimpah ruah!” tegas Komisaris.

Lalumereka saling pandang. keduanya tengah berperang rasa di dada.

“Kalau begitu agaknya kau merasa iri, Komisaris.”

“Tidak Mayor, tak ada sedikit pun rasa iri di hati. Kalau pun suatuucapan terlontar, itu semata-mata karena permintaan Mayor atas jawabanku.”

Hening lagi.

Mungkinperdebatan berkecamuk di hati keduanya.

**

Sang Mayor akhirnya kini merasa tiga kali sesal. Satu, sesal kenapa duluia tak mau menuruti keinginan dua sobatnya, Warlan dan Misran. Kedua, sesalketika mendengar pemerintah tengah mengadakan penelitian harta KolonelVanderland ia tak cepat kabur ke luar negeri. Dan yang ketiga, ia menyesal akanperkataannya tadi yang jelas-jelas pasti telah menjadi kekuatan bagi Komisaris.

Ya, dengan sistem prepentif tak kelar kenapatidak dengan refrensip? Mestikah senjata harus menyalak? Tembak! Tembak! Takakan ada orang tahu! Oya, soal mayatnya? Ya..itu gampang, masukkan saja ke dalamsumur, aman! Ya, ya, hatinya manggut-manggut dan kemudian ia bicara.

“Jadi apa maksudnya sekarang ini, Komisaris?”

“Pilih satu diantara dua!” tegasnya, “Menyerah, atau aku harus bertindakyang nantinya akan mencemarkan nama Mayor?”

Mayor itu tersenyum mendengar pernyataan Komisaris.

“Hmh..baguslah kalau begitu. Namun inilah jawabanku yang terakhir!” Sang Mayor berdiri seraya mengeluarkan pistoldari balik bajunya, lantas ditaruh di meja.

Agak tersentak juga lelaki yang berada dihadapannya. Betapa tidak, kaliini ia merasa tengah berhadapan dengan maut. Apalagi dirinya saat inibenar-benar bertangan kosong, tanpa sebilah pisau atau pun pistol. Wajar kalaugugup, karena kejadian mencekam ini tanpa diduga sebelumnya. Namun ia mencobamenguasai diri. Bukan seorang komisaris jika harus takut kehilangan nyawa deminegara, pikirnya. Lalu berdiri danmelangkah mendekati gorden kaca.

“Keberanian Mayor memang bukan cuma cerita atau isapan jempol belaka,”ujarnya kemudian seraya berdiri mematung. “Tapi semua itu percuma dan sia-siabelaka jika melakukannya hanya untuk ketidakbenaran. Kini mayor memberi jawabandengan senjata, tapi selaku petugas negara saya tidak takut kehilangan nyawa.Segeralah tembak aku ini, Mayor. Pilih tulang rapuhku, dan incar dagingrawanku. Namun sebelumnya aku beri tahu, walau pun Mayor sanggup membunuhkutapi tetap akan terborgol, sebab kedatanganku tidak sendiri. Tapi..” segera iamenyibakkan gorden kaca. Dan tampak di bawah sana beberapa anak buah komisaristengah berjaga-jaga di setiap pintu dan mengepung bangunan itu. Dan tiga mobilkhusus operasional melengakapi kesiagaan mereka.

“Sudahkahkau lihat semuanya itu, Mayor?” tanya lelaki itu dengan tatapan tajam. Yangditanya tak mampu untuk menjawab selain melongo dan kaget.

Sungguh itu diluar dugaannya. Karenanya ia langsung menundukkan kepala.Api membara yang tadi berkobar perwujud amarah, kini padam sudah. Bahkanmenciut bak kapas diguyur hujan. Yang timbul di hatinya kini hanyalah kesadaran.Penyesalan. Hatinya mengakui telah hianat akan jalannya perjuangan. Membiarkan rakyatdan membunuh dua sobatnya, yakni Warlan dan Misran.

Seraya menarik napas yang ke sekian kalinya, kisah 35 tahun lalu kembalimuncul di benaknya. Terasa mengiris hati dan menggugah rasa.

***

Pembunuhan berdarah itu pun terjadi. Badri berlari lebih dulumeninggalkan TKP, dengan ransel lusuh di punggung yang entah berisikan benda apa. Ketika dirasasampai di tempat yang aman, seraya menunggu dua temannya, penasaran iamemeriksa isi ransel itu. Sebuah kotak serupa peti, penasaran ia buka. Hah, iaterbelalak tatkala di peti itu berisikan bermacam perhiasan yang begitu berharga.Intan, berlian, suasa dan sejenisnya. Emas batangan murni, gemerlap tertatarapih mendebar sejuta angan. Kahawatir terjadi sesuatu, segera aset berhargaitu tergesa ia benahi dan ransel pun kembali digendong

Demi teman seperjuangan harta ini harus dibagitiga, dan ini telah sesuai karena memangkita bekerja bertiga. Tapi apakah Warlan dan Misran setuju? Iya, pasti merekasetuju, bukankah keduanya dalam tindak-tanduk selalu bergantung padadirinya? Tapi entahlah, sebab misisebelumnya dengan membunuh Kolonel Vanderland dan merampas hartanya tiada lainuntuk modal perjuangan. Para pejuang lain yang tengah dalam kesulitan dankelaparan perlu sumbangan. Tapi kenapa di hatinya jadi punya niat untukmembelot dari tujuan?

Kedua temannya memang selalu patuh pada dirinya. Tapi kepatuhan itutentunya dalam hal kebenaran dan kejujuran. Sedangkan ini bentuk kerakusan.Kalau keduanya menolak tentu kerunyaman yang didapat. Dan itu merupakan suatupenyakit yang harus ditumpas! Ya, keduanya harus dienyahkan jika tak sehaluan.Begitulah Badri berangan, lalu ia duduk pada sebuah tunggul.

Kedua orang yang jadi pergunjingan batinnyatiba-tiba muncul dengan nafas terengah. Tampak keringat bercucuran, rasa lelah dan bercampur kepuasan. BahkanMisran sampai menghempas-hempaskan tubuhnya ke tanah. Tangannya bersimbahdarah, bekas pembunuhan yang tak lama terjadi. Si Kolonel Vanderland telahbinasa!

Kemudianmereka saling rangkul, saling dekap. Luapan kegembiraan karena tindakkannyayang berjalan mulus.

“Cobalah buka Dri, apa isi dari peti itu..,” kata Misran penuh rasapenasaran.

“Buka saja sendiri, Ran!” ujarBadri yang sudah tahu isinya seraya melempar ransel berat itu. Tak beda denganBadri, Warlan dan Misran pun tercengang melihat isi peti itu. Jantung keduanyaberdegup. Setelah mampu menguasai diri, satu dua kepingan emas itu diciumnyapenuh suka cita.

Melihat keduanya Badri hanya tersenyum, hatinya harap-harap cemas.Kadang tak bisa diam. Melangkah tegang ke sana kemari. Menjamak rumput, digigitdan dikunyah menahan gugup dalam pandangan. Bertautkah mereka dengan ide praktis keberuntungan ini? Rasanya takmungkin menolak. Bodoh, rezeki sudah di tangan kalau ditolak. Badri terusmengukir strategi agar meraih prestasi gemilang di otak kotornya.

“Lan, Ran,” Badri berucap pelan menggeram. “Selain puji syukur pada YangAgung, kita bertiga harus bangga karena mampu menjadi pejuang yang gigih. Taksatu pun suatu rencana kita yang pernah gagal. Setiap tindakkan selalu membuahkanhasil dan mengena sasaran. Tempo hari kita mampu menghadang musuh , berlanjutmenculik Kapten Nymilbosh dari baraknya. Dan apa yang barusan terjadi, lebihdari sekedar prestasi gemilang. Sedikit membusungkan dada pun wajar karenakebersamaan kita.”

Warlan dan Misran antusias mendengarkan Badri bertutur kata. Bak sebuahwejangan yang bijak dari seorang panutan.

“Kenapa perjuangan kita selalu mulus, tiada lain dan tiada bukan karenaridhaNya. Diridoi karena berjuang di jalan yang benar. Tak rela tanah air inidijarah penjajah, tak sudi bumi pertiwi ini dijamak

orang luar. Selain itu…,” tiba-tiba Badri berhenti berujar. Dahinya berkerenyit,seolah memikirkan sesuatu. Baru setelah beberapa saat kemudian ia melanjutkanperkataannya.

“Dengan keberhasilan merampas harta ini, dalam waktu tak lama kitabertiga akan menjadi orang yang kaya mendadak!”

Warlan dan Misran tiba-tiba tersentak mendengar perkataan terakhirBadri. Tersentak campur kaget. Seribu tanya, antara percaya dan tidak, semuanyabercampur galau di dada. Omongan Badri yang melenceng itu bak suara petir disiang bolong. Walau cuma pribahasa namun pada akhinya mereka tiba-tibamerasakannya. Keduanya saling tatap.

Danangin pun berkesiut dari utara, mengabarkan gumpalan jelaga di benak mereka.

Badri.Sang ujung tombak perjuangan gamang gemetar, cemas karena tak sampai menujusasaran. Raut wajahnya berubah-ubah. Adasesal dan kesal. Sesal dengan ucapan tanpa sambutan. Kesal karena misinyadianggap mainan. Keberanian dan keraguan berebut di tengah harap. Munculkepasrahan, mau ngerti syukur dan membodohkan diri jangan. Macan yang bersiagadatang kucing jadi kawan, datang banteng jadi lawan. Matanya beringas, bergulirke kiri dan kanan. Namun yang seolah pesakitan itu membisu seribu basa,berdebat hati beribu tanya, lelaki ini tak tahan memendam kata.

“Kenapa kalian semuanya diam diajak bicara, apa tidak mendengar?”

“Bukan. Tapi karena tidak mengerti.”

“Hah, tidak mengerti? Mananya yang tidakmengerti?”

“Tidak mengerti perkataanmu. Telingaku yang rusak ataukah lidahmu yangsalah?”

“Perkataan yang mana?”

“Itu..soal kita bertiga yang bakal kaya mendadak.”

“Ooh itu, memang tak salah!”

“Ya… tapi aku tak mengerti, bakal kaya mendadak dari jalan mana?” Warlandan Misran sebenak pertanyaan. Melihat itu Badri tertawa ngakak dan telunjuknyaikut berulah.

“Dasar otak udang. Harta yang ini dibagi tiga, tahu? Lantas dengan sembunyi-sembunyi jual ke cina. Atau timbun dulu!”

Kedua teman itu berdiam.

“Dibagi tiga, siapa saja orangnya?”

“Warlan, Misran, dan saya..!”

Namun keduanya tak setuju dengan gagasan itu. Di hati keduanya, percumaberjuang berbulan-bulan kalau pada akhirnya jadi penghianat. Kasihan banyakpejuang lain dan rakyat yang lapar. Kalau akan terjadi begini buat apa dulu mauterjun menjadi pejuang? Begitu pemikiran keduanya yang didengar Badri. Lagipula harta rampasan itu inti sebenarna milik bangsa kita sendiri yang daripemerasan tenaga dan pengorbanan nyawa. Karenanya kita tak perlu merasa rugiuntuk memberikan harta ini kepada yang punya khak. Bukankah dulu tekad kitaberjuang tanpa pamrih? Warlan dan Misran mencerca Badri tanpa segan. Bahkankeduanya menyuruh Badri membaca istigfar. Karuan saja lelaki itu merah mukanya.Antara malu dan kesal ia bermuram durja.

“Dasar kalian berotak bodoh. Tak tahu diuntung. Dengarlah Lan, Ran, perampasanharta berharga ini tak ada yang tahu, jadi kamu-kamu tak usah khawatir dantakut. Lagi pula perlu berpikir jernih, untuk memiliki harta ini bukan suatukerakusan atau penghianatan, tapi ini setimpal dengan pengorbanan. Coba pikir,coba rasakan, selama perjuangan dalam hidup ini kalian sudah punya apa? Takpunya apa-apa bukan? Juga nantinya belum tentu pemerintah memberi jaminan hidupkepada kita selain hanya berucap syukur dan terimakasih di balik jiwanya yangkorup. Jadi kesimpulannya harta ini harus dibagi tiga demi kehidupan kita kedepan yang gemilang. Ngerti tidak?”

Keduanyatetap bersikukuh. Tak akan terima keputusan itu.

Bersamaan pada itu, langit yang semula cerlang cemerlang. Mendadakberubah gumpalan awan yang pekat, sepekat pemikiran mereka. Berbulan, bertahunpenuh kebersamaan, pahit sama-sama, manis sama pula, di saat itu harus berpisahkarena berbeda haluan. Pemikiran mereka sungguh jauh bersebrangan.

“Kalian semua goblok! Tak tahu diuntung, kekayaan dan kesenangan sudahdi depan mata malah ditolak. Apakah kalian lebih senang sengsara?” Badri tak sungkan berkata-kata geram.

Kepekatanlangit adalah kepekatan jiwanya. Gelap terus menyergap. Tak ingat sobat, takingat teman seperjuangan. Kawan itu berubah lawan yang harus dikalahkan.Hatinya tumbuh murka dan angkara. Doorr….! door…! Warlan dan Misran jadi sasaranpeluru. Keduanya ambruk. Bahkan Warlan tak sedikit pun bergerak, sekejapnyawanya lenyap. Beda dengan Warlan, walau terbata-bata Misran mampu berucap.“Tak sedikit pun aku sangka kau akan berbuat durja. Dan hati-hatilah kawan,menanam kacang tak akan menjadi timun. Serapi apa pun aib kau sembunyikan,Allah Maha Tahu, suatu saat perbuatanmu akan terbongkar. Allahu Akbaaarr….!” Dan ia menghembuskan nafas terakhirnyamenyusul Warlan.

Hidup tergantung apa yang ditanamkan. Sedebu perbuatan tak akan luput dari perhitungan. Selihai apa pun akting demi menutupi kejahatan, toh akan terbongkar pula. Badri yang selama 35 tahun dimanja dengan harta, tahta dan wanita, kini pestaitu akan berakhir ketika seorang tamu bertandang ke rumahnya.***@





*OtangK.Baddy, penulis serabutan , tinggal di Pangandaran.




Suka · Komentari · Bagikan

Ainil Huri, Dadan Supardan dan 23 orang lainnya menyukai ini.

Nina Rahayu Nadea Hem, kabita lah ku abah. Cerpenna dimuat. Hiks...hiks...hiks
4 Juni 2013 pukul 16:24 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Ah lumayan wae daripada ngangin sareng ngasin mah. Komo Ibu mah langkung produktif batan abah, nyerat teh nanjung di dua bahasa..
4 Juni 2013 pukul 16:39 · Suka
Sam Edy makasih udah ditag, aku copas dulu, ntar baca di rumah ya, selamat selamat ditunggu traktirannya sate madura, colek Ibunda Muna Masyari...
4 Juni 2013 pukul 16:39 · Suka
Virgorini Dwi Fatayati Wah keren nih...bagus
4 Juni 2013 pukul 16:46 · Suka
Otang K Baddy Ini cerpen bertele-tele Sam Edy, cerpen lama yang lama menggelandang dan terbentur di sejumlah tembok redaktur. Mohon maaf jika banyak kata yg tak sikron. Jangan colek Bunda Muna Masyari ah, malu dan takut digeplak..hehe
4 Juni 2013 pukul 16:49 · Suka
Otang K Baddy Mungkin hanya judulnya saja yg keren Virgorini Dwi Fatayati
4 Juni 2013 pukul 16:50 · Suka
Virgorini Dwi Fatayati Aeh saya sudah baca isinya kok....bagus...
4 Juni 2013 pukul 16:58 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Begitu memang adanya Virgorini Dwi Fatayati, tak ada yang unik..maaf karyaku tak sekeren karya anda tentunya hehe..
4 Juni 2013 pukul 17:01 · Suka
Teguh Afandi Selamat abah.... Tapi baru dilike. Belum dibaca... Soale pakai hape
4 Juni 2013 pukul 18:25 · Batal Suka · 1
Junaidi Khab mantap...
4 Juni 2013 pukul 18:30 · Suka
Yatti Sadeli Hebat Abah, nembe diaos ..... sae pisan isina. Nuhunnya tos di tag. Eh judulna keren.
4 Juni 2013 pukul 18:35 · 1
Sihabuddin Cakep keren
4 Juni 2013 pukul 19:23 · Batal Suka · 1
Nur Latifah trimakasih ikutan ditag, selamat Abah, makin cetar aja nih..ditunggu tagnya lagi..kiki emotikon
4 Juni 2013 pukul 19:41 · Batal Suka · 1
Helatini Hela sippp, kbitaaa tapi teu mampu nurutan
4 Juni 2013 pukul 19:51 · Suka
Otang K Baddy Teguh Afandi makasih, mohon maf cerpennya masih acakadut. tentu banyak kata yg tak sikron..maaf
4 Juni 2013 pukul 19:57 · Suka
Otang K Baddy Yatti Sadeli, muhun judulna wungkul nu sae, eusina mah teu aya pestaan..
4 Juni 2013 pukul 19:58 · Suka
Otang K Baddy Nur Latifah, ya, semoga kita biisa mengarah ke karya yg lebih baik..
4 Juni 2013 pukul 19:59 · Suka
Otang K Baddy Helatini Hela, apan tos ngintun waktos harita ka Suara Daerah, mugi engal dimuat
4 Juni 2013 pukul 23:01 · Suka
Helatini Hela duka teuing sajak da,
4 Juni 2013 pukul 23:03 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Insa Allah dimuat, masalahnya terbit bulanan
4 Juni 2013 pukul 23:08 · Suka
Helatini Hela doakeun we,
4 Juni 2013 pukul 23:09 · Batal Suka · 1
Cipta Arief Wibawa cerpennya cukup menarik Mas smile emotikon
senang sudah di-tag.
5 Juni 2013 pukul 6:14 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Ya, sekedar memecah kebekuan imaji Bang Cipta Arief Wibawa hehe
5 Juni 2013 pukul 8:11 · Suka
Ida Refliana Maaf, Bah, belum sempat baca. Banyak cucian kotor, sumur kering lagi. Terimakasih tag-nya... smile emotikon
9 Juni 2013 pukul 8:42 · Batal Suka · 1
Otang K Baddy Gk apa-apa mba Ida Refliana, cerpennya jelek,tak beda jauh dengan yang dimuat di Pikiran Rakyat hari ini
9 Juni 2013 pukul 13:25 · Suka
Ida Refliana Uhuyy... Mantraaapppp! Sukses terus buat abah like emotikon
9 Juni 2013 pukul 14:04 · Batal Suka · 1
Meydiana Suandi Kang Otang K Baddy, selamaaat yaaaa....hari ini di PR....
9 Juni 2013 pukul 14:56 · Batal Suka · 1
Helatini Hela selamat makin eksis aja
11 Juni 2013 pukul 1:28 · Batal Suka · 1

Tidak ada komentar: