Cerpen: Basuki
Fitrianto (Kedaulatan Rakyat 9 Nov.2014)
Jauh hari sebelelum Ayah meninggal,
beliau memberi pesan padaku atau
lebih tepatnya memberi
perintah: aku harus merawat keris pusakanya. Keris luk
sembilan yang katanya
berbahan dasar batu meteor. Keris yang di wariskan
turun-temurun. Keris itu
harus diperlakukan secara khusus dan tidak
boleh main-main. Ayah
mengibaratkan ‘jadikan keris seperti bagian
dari tubuhmu’. Karena aku
masih terkontaminasi dengan dunia anakanak,
aku mengangguk-angguk saja seperti
sepasang patung pengantin.
"Keris pusaka itu warisan dari nenek moyang
kita. Kata kakekmu,
pembuat keris itu seorang
Empu bernama Empu Gandring. Keris itulah
yang selama ini menjaga
Ayah, kakekmu,buyutmu."
"Menjaga? Bukankah percaya pada benda
mati itu termasuk musrik?"
Ayah
agak tersinggung dengan pertanyaanku.
Kedua alisnya yang tebal menyambung
seperti gerbong kereta.
"Ayah hanya menyuruh
merawatnya
bukan menyembahnya!"
Begitulah, setiap ada kesempatan, pesan
atau perintah itu selalu keluar
dari mulutnya. Seperti
biasanya aku pun menanggapi dengan pura-pura,
sekadar Ayah tidak marah.
"Menurut cerita kakekmu, keris pusaka
itu dibuat dengan susah-payah.
Sebelum menjadi bentuk
keris, Empu Gandring berpuasa selama satu bulan.
Berdoa agar Tuhan memberi
kekuatan selama proses pembuatan keris
itu."
"Apa nama keris itu, Yah?"
"Kyai Sontoloyo."
"Nama yang aneh."
"Aneh bagaimana? Itu nama yang cocok.
Sejak selesai keris itu dibuat,
keris itu sudah
membinasakan ratusan garong, membunuh para pengacau
kerajaan. Membunuh para
sontoloyo."
Ayah berapi-api waktu
menceritakan kehebatan Kyai Sontoloyo. Kedua
tangannya yang hitam dan
kekar bergerak kaku mengencang.
"Di malam tertentu, Kyai Sontoloyo
akan mengeluarkan cahaya
yang mampu membuat mata pedih. Juga
mengeluarkan aroma wangi
yang mampu membangkitkan gairah cinta."
Suara Ayah memantul dalam
ruangan penuh pernak-pernik bendabenda
antik. Kadang suara Ayah
menempel pada patung kepala kijang.
Lalu meloncat ke senjata
api peninggalan Belanda. Dan kembali meloncat
ke bandul jam besar yang
jika malam berdentang membuat nyaliku menciut ketakutan.
Kadang aku berpikir, selama Ayah mewarisi
dan merawat Kyai Sontoloyo,
pernah mengalami sendiri
kisahkisah hebat seperti yang ia ceritakan?
Ini sudah zaman mutakhir.
Peristiwa ada waktunya tersendiri. Apakah
Kyai Sontoloyo masih
sanggup menghadapi zaman gila ini? Zaman hitam
jadi putih? Zaman keringat
berubah jadi darah? Aku takut untuk bertanya.
Aku takut Ayah akan
menggebrak meja bundar marmer dengan kaki-kaki berukir.
Tapi suatu hari, tanpa aku
tanyakan langsung, ia menceritakan pengalamannya
selama mewarisi Kyai
Sontoloyo.
”Ayah memang tidak pernah mempergunakan
Kyai Sontoloyo
untuk membunuh manusia
jahat. Ayah hanya menaruhnya di kotak.
Menabur bunga tiga warna
setiap malam Jumat Kliwon.
Dan mengeluarkannya untuk dicuci
setiap malam satu Suro.”
***
Pada suatu malam, aku mendengar suara
berisik di kamar Ayah.
(Saat itu Ayah sedang pergi
keluar kota). Suara seperti derap langkah kaki
kuda sungguh membuat aku
tak nyaman. Tadinya aku mengira itu adalah
suara sepasang tikus yang
mungkin sedang bercengkrama dan menduga
suara itu akan segera
berakhir. Tapi ternyata tidak. Sudah hampir satu
jam suara itu tetap bergema
menggelitik telinga. Dengan penuh was-was
aku masuki kamar Ayah.
Suara itu ada di lemari pakaian Ayah. Tanpa
berisik kudekatkan telinga
ke papan lemari. Aku masih menduga itu suara
polah para tikus yang
merasa bebas karena Ayah pergi. Aku gebrak lemari
agar para tikus lari
ketakutan. Dan suara masih membandel menggoda.
Jalan satu-satunya aku harus membukanya. Tapi
pintu lemari terkunci
dan aku tidak tahu dimana
Ayah menaruh kuncinya. Maka jadilah malam
itu malam yang menyiksaku.
Aku tidak bisa tidur.
Esoknya aku ceritakan kejadian itu pada
Ayah. Kemurungan segera menyergap
wajahnya setelah mendengar ceritaku.
"Akan terjadi sesuatu yang
mengerikan di negeri ini. Kejadian apa,
Ayah tidak tahu."
Aku diam seperti pohon gersang.
Sungguh aku tidak tahu apa
maksud Ayah.
"Suara tadi malam itu bersumber dari
gerakan-gerakan Kyai Sontoloyo.
Ia seperti jiwa yang ingin
mengabarkan tentang kejadian masa datang.
Kejadian yang membuat Kyai
Sontoloyo gelisah. Aku harus mencuci Kyai
Sontoloyo agar ia tenang
kembali."
***
Beberapa hari kemudian pecahlah kerusuhan.
Kekacauan di mana-mana.
Toko-toko dibakar dan
dijarah. Tulisan Pro Reformasi muncul di setiap pintu
toko karena pemiliknya
takut menjadi korban anarkis. Suasana benar- benar mencekam.
Aku mematung di depan radio mencoba
membayangkan informasi
yang diucap oleh penyiar.
Dan aku teringat dengan ramalan Ayah. Apakah
kejadian ini yang mungkin
ingin disampaikan Kyai Sontoloyo? Aku coba
membenturkan akal dan
hatiku. Akhirnya aku mengambil akal sehatku.
Ah, mungkin kegelisahan
Kyai Sontoloyo hanya kebetulan saja.
q - g
Solo 2014

Tidak ada komentar:
Posting Komentar