14 November 2014

Kyai Sontoloyo





Cerpen: Basuki Fitrianto (Kedaulatan Rakyat 9 Nov.2014)

       Jauh hari sebelelum Ayah meninggal, beliau memberi pesan padaku atau
lebih tepatnya memberi perintah: aku harus merawat keris pusakanya. Keris luk
sembilan yang katanya berbahan dasar batu meteor. Keris yang di wariskan
turun-temurun. Keris itu harus diperlakukan secara khusus dan tidak
boleh main-main. Ayah mengibaratkan ‘jadikan keris seperti bagian
dari tubuhmu’. Karena aku masih terkontaminasi dengan dunia anakanak,
aku mengangguk-angguk saja seperti sepasang patung pengantin.
     "Keris pusaka itu warisan dari nenek moyang kita. Kata kakekmu,
pembuat keris itu seorang Empu bernama Empu Gandring. Keris itulah
yang selama ini menjaga Ayah, kakekmu,buyutmu."
      "Menjaga? Bukankah percaya pada benda mati itu termasuk musrik?"
       Ayah agak tersinggung dengan pertanyaanku.
Kedua alisnya yang tebal menyambung seperti gerbong kereta.
"Ayah hanya menyuruh merawatnya
bukan menyembahnya!"
     Begitulah, setiap ada kesempatan, pesan atau perintah itu selalu keluar
dari mulutnya. Seperti biasanya aku pun menanggapi dengan pura-pura,
sekadar Ayah tidak marah.
     "Menurut cerita kakekmu, keris pusaka itu dibuat dengan susah-payah.
Sebelum menjadi bentuk keris, Empu Gandring berpuasa selama satu bulan.
Berdoa agar Tuhan memberi kekuatan selama proses pembuatan keris
itu."
    "Apa nama keris itu, Yah?"
    "Kyai Sontoloyo."
    "Nama yang aneh."
    "Aneh bagaimana? Itu nama yang cocok. Sejak selesai keris itu dibuat,
keris itu sudah membinasakan ratusan garong, membunuh para pengacau
kerajaan. Membunuh para sontoloyo."
Ayah berapi-api waktu menceritakan kehebatan Kyai Sontoloyo. Kedua
tangannya yang hitam dan kekar bergerak kaku mengencang.
      "Di malam tertentu, Kyai Sontoloyo
akan mengeluarkan cahaya yang mampu membuat mata pedih. Juga
mengeluarkan aroma wangi yang mampu membangkitkan gairah cinta."
Suara Ayah memantul dalam ruangan penuh pernak-pernik bendabenda
antik. Kadang suara Ayah menempel pada patung kepala kijang.
Lalu meloncat ke senjata api peninggalan Belanda. Dan kembali meloncat
ke bandul jam besar yang jika malam berdentang membuat nyaliku menciut ketakutan.
       Kadang aku berpikir, selama Ayah mewarisi dan merawat Kyai Sontoloyo,
pernah mengalami sendiri kisahkisah hebat seperti yang ia ceritakan?
Ini sudah zaman mutakhir. Peristiwa ada waktunya tersendiri. Apakah
Kyai Sontoloyo masih sanggup menghadapi zaman gila ini? Zaman hitam
jadi putih? Zaman keringat berubah jadi darah? Aku takut untuk bertanya.
Aku takut Ayah akan menggebrak meja bundar marmer dengan kaki-kaki berukir.
Tapi suatu hari, tanpa aku tanyakan langsung, ia menceritakan pengalamannya
selama mewarisi Kyai Sontoloyo.
      ”Ayah memang tidak pernah mempergunakan Kyai Sontoloyo
untuk membunuh manusia jahat. Ayah hanya menaruhnya di kotak.
Menabur bunga tiga warna setiap malam Jumat Kliwon.
Dan mengeluarkannya untuk dicuci setiap malam satu Suro.”
***
       Pada suatu malam, aku mendengar suara berisik di kamar Ayah.
(Saat itu Ayah sedang pergi keluar kota). Suara seperti derap langkah kaki
kuda sungguh membuat aku tak nyaman. Tadinya aku mengira itu adalah
suara sepasang tikus yang mungkin sedang bercengkrama dan menduga
suara itu akan segera berakhir. Tapi ternyata tidak. Sudah hampir satu
jam suara itu tetap bergema menggelitik telinga. Dengan penuh was-was
aku masuki kamar Ayah. Suara itu ada di lemari pakaian Ayah. Tanpa
berisik kudekatkan telinga ke papan lemari. Aku masih menduga itu suara
polah para tikus yang merasa bebas karena Ayah pergi. Aku gebrak lemari
agar para tikus lari ketakutan. Dan suara masih membandel menggoda.
 Jalan satu-satunya aku harus membukanya. Tapi pintu lemari terkunci
dan aku tidak tahu dimana Ayah menaruh kuncinya. Maka jadilah malam
itu malam yang menyiksaku. Aku tidak bisa tidur.
       Esoknya aku ceritakan kejadian itu pada Ayah. Kemurungan segera menyergap
wajahnya setelah mendengar ceritaku.
      "Akan terjadi sesuatu yang mengerikan di negeri ini. Kejadian apa,
Ayah tidak tahu."
      Aku diam seperti pohon gersang.
Sungguh aku tidak tahu apa maksud Ayah.
      "Suara tadi malam itu bersumber dari gerakan-gerakan Kyai Sontoloyo.
Ia seperti jiwa yang ingin mengabarkan tentang kejadian masa datang.
Kejadian yang membuat Kyai Sontoloyo gelisah. Aku harus mencuci Kyai
Sontoloyo agar ia tenang kembali."
***
      Beberapa hari kemudian pecahlah kerusuhan. Kekacauan di mana-mana.
Toko-toko dibakar dan dijarah. Tulisan Pro Reformasi muncul di setiap pintu
toko karena pemiliknya takut menjadi korban anarkis. Suasana benar- benar mencekam.
       Aku mematung di depan radio mencoba membayangkan informasi
yang diucap oleh penyiar. Dan aku teringat dengan ramalan Ayah. Apakah
kejadian ini yang mungkin ingin disampaikan Kyai Sontoloyo? Aku coba
membenturkan akal dan hatiku. Akhirnya aku mengambil akal sehatku.
Ah, mungkin kegelisahan Kyai Sontoloyo hanya kebetulan saja.
 q - g
Solo 2014

Tidak ada komentar: