19 November 2014

Jika Haji Edi Gantung Diri



       Senja merona saga. Detik beringsut merah menua. Bebera menit lagi magrib menggema. Malam perlahan menghimpun dayanya yang sempat dijarah siang.
       Lelaki itu tertegun di samping rumahnya. Tatapnya kuat terpaku pada seutas tali terjuntai yang terikat di dahan pohon mangga. Ujung bawahnya terbentuk kolongan, cukup untuk memasukan kepala.
       Angin berhembus. Gemeresik, dedaunan kering berjatuhan. Tali itu bergoyang-goyang.
       Kalau sudah mati apa yang terjadi? Ia bisa membayangkan, istri dan anak-anaknya akan kaget dan menjerit-jerit. Para tetangga berdatangan, mereka pun hampir tak percaya dengan apa yang terjadi.
      “Haji Edi mati? Gantung diri?!”
       “Ya!”
      “Haji Edi mana, yang ajengan(1) itu?”
      “Iya, dia gantung diri di pohon mangga, samping rumahnya!”
      “Duh, Masya Allah!”
      Orang-orang hanya kaget, berteriak histeris dan memandangi tubuhnya yang bergoyang-goyang dengan lidah menjulur. Untuk menurunkan tubuhnya harus dipanggilkan polisi dan pejabat setempat. Jenazahnya tak segera dimandikan dan dikubur, tapi harus diperiksa dulu oleh dokter yang telah ditunjuk pihak kepolisian. Sebab siapa tahu ada unsur kesengajaan bahwa korban dibunuh orang lain. Setelah dokter menyatakan bahwa korban benar-benar bunuh diri, barulah jenazah sepenuhnya diserahkan pada keluarga untuk diurus sebagaimana mestinya.
       Sebagaimana biasanya, kematian yang terjadi karena bunuh diri selalu heboh dan beritanya cepat tersebar. Tak terkecuali di dunia maya semacam facebook jejaring pun muncul. Bahkan lengkap dengan fotonya, seorang lelaki berpeci putih tergantung dengan mata melotot dan lidah terjulur. Dengan sebuah keterangan:
       Bunuh diri kini ternyata tak cuma terjadi di kalangan awam buta agama, seorang alim model Haji Edi pun ternyata bisa melakukannya”
       Sudah logis, sebagaimana biasa kemunculan suatu info-foto unik di dunia maya, kadang ada yang percaya dan tidak. Sebab, kalau tak dianggap lelucon foto itu dianggap hasil rekayasa dari efek teknologi digital yang tak terelakan. Makanya, tak sedikit yang menanggapinya dengan memberikan jempol (like), mungkin sekedar tak dianggap menyimaknya. Namun tak sedikit yang percaya, terutama mereka yang berada di wilayah terdekat dengan TKP.
       Di dunia nyata, Utisah –istrinya Haji Edi, pingsan seketika. Sedang lima anaknya cuma bisa  menangis. Yang sulung, lelaki beranak satu, diam-diam mengutuk perbuatan almarhum. Tindakan ayahnya tak sekedar konyol, tapi sungguh memalukan. Kenapa mati saja harus gantung diri? Kalau benar-benar payah memikirkan soal hidup, kenapa tak minum racun serangga atau memegang kabel listrik yang lecet? Biar proses matinya cepat dan tak bikin heboh? Dan satu lagi pertanyaan yang terasa mengusik; memangnya ada apa sampai bunuh diri?
       Orang-orang hanya menghibur, bahwa semua yang terjadi hanyalah takdir yang tak bisa dipungkir. Hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan. Yang mesti dilakukan sekarang hanyalah berdo’a, mohon pengampunan agar arwah almarhum lewat di jalan yang semestinya.
       Saudara-saudara jauh berdatangan. Juga orang-orang yang dulu pernah nyantri  di Haji Edi. Mereka ikut berduka. Bahkan seorang murid Haji edi ada yang pingsan di perjalanan, alasannya tak menduka gurunya bisa senekat itu. Sedang yang masih tegar, mencoba menghibur keluarga yang ditingggalkan. Dan tak lupa memberi uang sekedarnya.
       Dalam situasi seperti itu para wartawan, baik elektronik maupun cetak, berdatangan. Mereka tidak menghiraukan betapa sedih dan dukanya hati istri dan anak-anak almarhum. Yang mereka lakukan justru mencerca dengan berbagai pertanyaan.
       “Berapa usia korban?” tanya seorang wartawan seakan mewakili lainnya. Mereka bak semut mengerumuti gula pada Utisah.
       “60 tahun.”
       “Profesi?”
       “Nganggur aja, tadinya sih ngurus anak-anak mengaji .”
       “Semacam pesantren,gitu?”
        “Iya, ngurus santri kalong(2). Namun sebelumnya kadang sering diundang dalam acara keagamaan, seperti pada acara Maulud Nabi atau Isra Mi’raj, kadang juga pada acara kenduri.” 
       “Ngurus pesantren, juga seorang da’i?”
       “Ya, sebatas kecamatan lah. Tapi kami sempat bersyukur Alhamdulillah, ternyata suami saya dibutuhkan orang.”
       “Kalau boleh tahu, berapa tarif yang mesti dibayar oleh pihak pengundang atas jasa beliau dalam memberikan ceramah?”
       “Tak ada tarif-tarifan. Suami saya tak memasang tarif, berdakwah kan harus karena Allah. Namun pihak mengundang pada umunya ngerti, dan memberi, ya terimalah.”
       “Rata-rata, dalam kisaran berapa isi amplop itu?”
       Utisah tak menjawab. Mungkin ia tak tahu pasti jumlah nominal isi amplop yang kerap diterima suaminya saat itu. Alasannya, saat laris-larisnya Haji Edi sebagai mubalig ia belum menjadi istrinya. Waktu itu Utisah masih menjadi santri kalong-nya saat kyai itu beristrikan Hajah Warsah. Hanya dari bisik-bisik ia pernah dengar amplop yang diterima almarhum usai saat itu berkisar antara 100-400 ribu. Untuk tidak nengurangi kehormatannya sebagai penceramah, sebut standar umum saja.
       “Apakah almarhum punya musuh?”
       Utisah menggeleng.
      “Selain ngurus pesantren dan seorang da’i, almarhum punya hoby apa?”
       Wanita itu menggeleng.
       “Apakah almarhum termasuk senang istri? Maksud kami tak ingin menambah istri lagi, seperti berfoligami gitu?”
       Wanita muda itu tersenyum. Mungkin ia alergi dan tabu untuk mendengar kata foligami. Kendati agama tidak melarang, sebagai istri pembawa agama yang saleha ia harus rela jika suatu saat dimadu. Ya, serela dan seridha almarhumah Hajah Warsah saat kyai Edi meminang dirinya untuk dijadikan istri mudanya. Begitu seharusnya. Namun peristiwa itu menurutnya jangan sampai terjadi lagi. Entahlah, dalam diri wanita itu diam-diam merasa senang juga tatkala Hajah Warsah pergi menghapNya. Mungkin lelaki terhormat itu seutuhnya ingin untuk Utisah serta satu anaknya, disamping empat anak lainnya dari Hajah Warsah.
       Para wartawan itu terus mencerca, mencatat, merekam, membidikkan kameranya sepenuh jiwa. Utisah, wanita muda, cantik dan luwes itu serasa jadi bintang. Bahkan sejenak ia nyaris lupa pada persoalan. Jiwanya mengembang bak seorang selebritis idola semua golongan.
      Sebenarnya para wartawan ingin mengorek lebih jauh, namun mereka disuruh pergi. Tetua kampung dan para tokoh terkemuka telah hadir. Pemburu berita itu angkat kaki dan berjanji nanti sore akan kembali. Semua mata memandang punggung mereka dengan tatapan sinis.
       “Kita semua yang hadir di sini,” sepuh kampung, tersedu mengawali pembicaraannya,”Benar-benar kaget, sedih, duka yang dalam, dan entah perasaan apa lagi berkecamuk. “Kami merasa kehilangan. Benar-benar kehilangan, mengingat jasa almarhum begitu besar dalam usaha kemajuan kampung kita. Beliau telah kami anggap sebagai obor dalam kehidupan kami yang kadang tersesat di kegelapan. Tak cuma ilmunya yang mumpuni, beliau merupakan kyai jembar lahir-batin. Artinya tak cuma memberikan ceramah dan mengajarkan ilmu pada muridnya –lantas mendamba belas kasih, tidak, tapi beliau pun pro-aktif di bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Tak sedikit segala pembangunan, seperti perbaikan jalan, balai dusun, serta lainnya yang ditunjang pendanaannya oleh almarhum dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.”
       Para hadirin manggut-manggut.
       “Perpisahan yang benar-benar menyakitkan, sekaligus menimbulkan luka yang dalam. Namun sangat tak baik bagi almarhum, jika kepergiaannya harus disesali dan ditangisi. Sebab, apa pun yang telah terjadi adalah sudah kehendakNya,” lelaki setengah umur itu berusaha menahan tangis. Tampaknya seperti berat sekali, seolah hatinya tercekam kepedihan yang sangat dalam.
        Seorang pengurus kampung lainnya tak mau ketinggalan. Seperti biasa pada umumnya, ia memberi sambutan yang tentunya juga mewakili yang lain.
        “Ya, kita memang turut belasungkawa yang sedalam-dalamnya. Kita semua benar-benar merasa kehilangan atas kepergian beliau ini. Dulu di sekitar kita marak penjudian dan pelacuran, namun atas perjuangan beliau perlahan kebathilan itu hilang. Selamat jalan Sang Guru, jasa-jasamu akan kami kenang sepanjang zaman,” begitulah, seorang yang senang dipanggil tokoh terkemuka mengakhiri sambutannnya.
                                                           **
       Keranda berisikan jenazah itu akhirnya diberangkatkan. Diusung lelaki para muda perkasa, yang satu di antaranya ada si sulung putra almarhum. Diiringi para pelayat, dengan iringan yang panjang. Laksana iringan ngantar pengantin pria atau agustusan.
       Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, tak henti-hentinya para pengantar itu membicarakan kebaikkan almarhum semasa hidupnya. Sebab, kendatipun ada sedikit kejelekkan tak baik untuk dibicarakan. Bahkan sangat sia-sia, karena almarhum sangat tak mungkin untuk kembali. Maka untuk mencegah gunjingan itu, sebagian membacakan kalimah-kalimah thoyibah dan salawat nabi.
       Sampailah di liang lahat.
       Tak ada upacara khusus di sini. Selain doa penyerahan jasad kepada bumi, serta semoga almarhum diterima iman islamnya, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang layak. Setelah itu acara penguburan selesai. Para pengantar pulang ke rumahnya masing-masing.
                                                                 **

      Sore itu, suasana di rumah korban sudah agak sepi. Tinggal beberapa wanita yang sibuk menyiapkan kenduri. Saat itulah wartawan-wartawan tadi datang lagi, dan mengajukan satu-dua pertanyaan.
      “Berapa lama kira-kira ibu bertahan menjadi janda muda?”
     “Entahlah.”
     “Tapi ada kemungkinan berumahtangga lagi, kan?”
     “Mungkin.”
       “Jika ada seorang laki-laki yang mencintai ibu dan ingin langsung menyuntingnya, apakah ibu mau? Misalnya seorang konglomerat, gitu?”
       “Hmm..”
        Masya Allah!, seketika Haji Edi tersentak dan geleng kepala. Ia tersadar dan seolah tergelitik atas sikap Utisah dalam lamunannya itu.
       “Lho, kok tertawa sendiri, memangnya ada apa Kang?” merasa penasaran akan tawa suaminya, Utisah tiba-tiba melongokan kepala di jendela, “memangnya Akang ini sudah gila , ya?”
       “Hmm..” (*).
                                                                                          (Ciamis, Awal Juni 2012)
      Keterangan: (1).  Ajengan=  kyai
                           (2).  Santri kalong = Santri lokal


     

       



             
      

Tidak ada komentar: