Senja merona saga. Detik beringsut merah
menua. Bebera menit lagi magrib menggema. Malam perlahan menghimpun dayanya
yang sempat dijarah siang.
Lelaki itu tertegun di samping rumahnya. Tatapnya
kuat terpaku pada seutas tali terjuntai yang terikat di dahan pohon mangga.
Ujung bawahnya terbentuk kolongan, cukup untuk memasukan kepala.
Angin berhembus. Gemeresik,
dedaunan kering berjatuhan. Tali itu bergoyang-goyang.
Kalau sudah mati apa yang
terjadi? Ia bisa membayangkan, istri dan anak-anaknya akan kaget dan
menjerit-jerit. Para tetangga berdatangan, mereka pun hampir tak percaya dengan
apa yang terjadi.
“Haji Edi mati? Gantung diri?!”
“Ya!”
“Haji Edi mana, yang ajengan(1) itu?”
“Iya, dia gantung diri di
pohon mangga, samping rumahnya!”
“Duh, Masya Allah!”
Orang-orang
hanya kaget, berteriak histeris dan memandangi tubuhnya yang bergoyang-goyang
dengan lidah menjulur. Untuk menurunkan tubuhnya harus dipanggilkan polisi dan
pejabat setempat. Jenazahnya tak segera dimandikan dan dikubur, tapi harus
diperiksa dulu oleh dokter yang telah ditunjuk pihak kepolisian. Sebab siapa
tahu ada unsur kesengajaan bahwa korban dibunuh orang lain. Setelah dokter
menyatakan bahwa korban benar-benar bunuh diri, barulah jenazah sepenuhnya
diserahkan pada keluarga untuk diurus sebagaimana mestinya.
Sebagaimana biasanya,
kematian yang terjadi karena bunuh diri selalu heboh dan beritanya cepat tersebar.
Tak terkecuali di dunia maya semacam facebook jejaring pun muncul. Bahkan lengkap
dengan fotonya, seorang lelaki berpeci putih tergantung dengan mata melotot dan
lidah terjulur. Dengan sebuah keterangan:
“Bunuh
diri kini ternyata tak cuma terjadi di kalangan awam buta agama, seorang alim
model Haji Edi pun ternyata bisa melakukannya”
Sudah logis, sebagaimana
biasa kemunculan suatu info-foto unik di dunia maya, kadang ada yang percaya
dan tidak. Sebab, kalau tak dianggap lelucon foto itu dianggap hasil rekayasa
dari efek teknologi digital yang tak terelakan. Makanya, tak sedikit yang
menanggapinya dengan memberikan jempol (like), mungkin sekedar tak dianggap
menyimaknya. Namun tak sedikit yang percaya, terutama mereka yang berada di
wilayah terdekat dengan TKP.
Di dunia nyata, Utisah
–istrinya Haji Edi, pingsan seketika. Sedang lima anaknya cuma bisa menangis. Yang sulung, lelaki beranak satu,
diam-diam mengutuk perbuatan almarhum. Tindakan ayahnya tak sekedar konyol,
tapi sungguh memalukan. Kenapa mati saja harus gantung diri? Kalau benar-benar
payah memikirkan soal hidup, kenapa tak minum racun serangga atau memegang
kabel listrik yang lecet? Biar proses matinya cepat dan tak bikin heboh? Dan
satu lagi pertanyaan yang terasa mengusik; memangnya ada apa sampai bunuh diri?
Orang-orang hanya menghibur,
bahwa semua yang terjadi hanyalah takdir yang tak bisa dipungkir. Hidup dan
mati manusia ada di tangan Tuhan. Yang mesti dilakukan sekarang hanyalah
berdo’a, mohon pengampunan agar arwah almarhum lewat di jalan yang semestinya.
Saudara-saudara jauh
berdatangan. Juga orang-orang yang dulu pernah nyantri di Haji Edi. Mereka
ikut berduka. Bahkan seorang murid Haji edi ada yang pingsan di perjalanan,
alasannya tak menduka gurunya bisa senekat itu. Sedang yang masih tegar,
mencoba menghibur keluarga yang ditingggalkan. Dan tak lupa memberi uang
sekedarnya.
Dalam situasi seperti itu
para wartawan, baik elektronik maupun cetak, berdatangan. Mereka tidak
menghiraukan betapa sedih dan dukanya hati istri dan anak-anak almarhum. Yang
mereka lakukan justru mencerca dengan berbagai pertanyaan.
“Berapa usia korban?” tanya
seorang wartawan seakan mewakili lainnya. Mereka bak semut mengerumuti gula
pada Utisah.
“60 tahun.”
“Profesi?”
“Nganggur aja, tadinya sih
ngurus anak-anak mengaji .”
“Semacam pesantren,gitu?”
“Iya, ngurus santri kalong(2). Namun sebelumnya
kadang sering diundang dalam acara keagamaan, seperti pada acara Maulud Nabi
atau Isra Mi’raj, kadang juga pada acara kenduri.”
“Ngurus pesantren, juga
seorang da’i?”
“Ya, sebatas kecamatan lah. Tapi kami sempat
bersyukur Alhamdulillah, ternyata suami saya dibutuhkan orang.”
“Kalau boleh tahu, berapa
tarif yang mesti dibayar oleh pihak pengundang atas jasa beliau dalam
memberikan ceramah?”
“Tak ada tarif-tarifan.
Suami saya tak memasang tarif, berdakwah kan harus karena Allah. Namun pihak
mengundang pada umunya ngerti, dan memberi, ya terimalah.”
“Rata-rata, dalam kisaran
berapa isi amplop itu?”
Utisah tak menjawab. Mungkin
ia tak tahu pasti jumlah nominal isi amplop yang kerap diterima suaminya saat
itu. Alasannya, saat laris-larisnya Haji Edi sebagai mubalig ia belum menjadi
istrinya. Waktu itu Utisah masih menjadi santri
kalong-nya saat kyai itu beristrikan Hajah Warsah. Hanya dari bisik-bisik
ia pernah dengar amplop yang diterima almarhum usai saat itu berkisar antara
100-400 ribu. Untuk tidak nengurangi kehormatannya sebagai penceramah, sebut
standar umum saja.
“Apakah almarhum punya
musuh?”
Utisah menggeleng.
“Selain ngurus pesantren dan
seorang da’i, almarhum punya hoby apa?”
Wanita itu menggeleng.
“Apakah almarhum termasuk
senang istri? Maksud kami tak ingin menambah istri lagi, seperti berfoligami
gitu?”
Wanita muda itu tersenyum.
Mungkin ia alergi dan tabu untuk mendengar kata foligami. Kendati agama tidak
melarang, sebagai istri pembawa agama yang saleha ia harus rela jika suatu saat
dimadu. Ya, serela dan seridha almarhumah Hajah Warsah saat kyai Edi meminang
dirinya untuk dijadikan istri mudanya. Begitu seharusnya. Namun peristiwa itu
menurutnya jangan sampai terjadi lagi. Entahlah, dalam diri wanita itu
diam-diam merasa senang juga tatkala Hajah Warsah pergi menghapNya. Mungkin
lelaki terhormat itu seutuhnya ingin untuk Utisah serta satu anaknya, disamping
empat anak lainnya dari Hajah Warsah.
Para wartawan itu terus
mencerca, mencatat, merekam, membidikkan kameranya sepenuh jiwa. Utisah, wanita
muda, cantik dan luwes itu serasa jadi bintang. Bahkan sejenak ia nyaris lupa
pada persoalan. Jiwanya mengembang bak seorang selebritis idola semua golongan.
Sebenarnya para wartawan
ingin mengorek lebih jauh, namun mereka disuruh pergi. Tetua kampung dan para
tokoh terkemuka telah hadir. Pemburu berita itu angkat kaki dan berjanji nanti
sore akan kembali. Semua mata memandang punggung mereka dengan tatapan sinis.
“Kita semua yang hadir di
sini,” sepuh kampung, tersedu mengawali pembicaraannya,”Benar-benar kaget,
sedih, duka yang dalam, dan entah perasaan apa lagi berkecamuk. “Kami merasa
kehilangan. Benar-benar kehilangan, mengingat jasa almarhum begitu besar dalam usaha
kemajuan kampung kita. Beliau telah kami anggap sebagai obor dalam kehidupan
kami yang kadang tersesat di kegelapan. Tak cuma ilmunya yang mumpuni, beliau
merupakan kyai jembar lahir-batin. Artinya tak cuma memberikan ceramah dan
mengajarkan ilmu pada muridnya –lantas mendamba belas kasih, tidak, tapi beliau
pun pro-aktif di bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Tak sedikit segala
pembangunan, seperti perbaikan jalan, balai dusun, serta lainnya yang ditunjang
pendanaannya oleh almarhum dengan mengorbankan harta yang dimilikinya.”
Para hadirin
manggut-manggut.
“Perpisahan yang benar-benar
menyakitkan, sekaligus menimbulkan luka yang dalam. Namun sangat tak baik bagi
almarhum, jika kepergiaannya harus disesali dan ditangisi. Sebab, apa pun yang
telah terjadi adalah sudah kehendakNya,” lelaki setengah umur itu berusaha
menahan tangis. Tampaknya seperti berat sekali, seolah hatinya tercekam
kepedihan yang sangat dalam.
Seorang pengurus kampung
lainnya tak mau ketinggalan. Seperti biasa pada umumnya, ia memberi sambutan
yang tentunya juga mewakili yang lain.
“Ya, kita memang turut belasungkawa yang
sedalam-dalamnya. Kita semua benar-benar merasa kehilangan atas kepergian
beliau ini. Dulu di sekitar kita marak penjudian dan pelacuran, namun atas
perjuangan beliau perlahan kebathilan itu hilang. Selamat jalan Sang Guru,
jasa-jasamu akan kami kenang sepanjang zaman,” begitulah, seorang yang senang
dipanggil tokoh terkemuka mengakhiri sambutannnya.
**
Keranda berisikan jenazah
itu akhirnya diberangkatkan. Diusung lelaki para muda perkasa, yang satu di
antaranya ada si sulung putra almarhum. Diiringi para pelayat, dengan iringan
yang panjang. Laksana iringan ngantar pengantin pria atau agustusan.
Sepanjang perjalanan menuju
pemakaman, tak henti-hentinya para pengantar itu membicarakan kebaikkan
almarhum semasa hidupnya. Sebab, kendatipun ada sedikit kejelekkan tak baik
untuk dibicarakan. Bahkan sangat sia-sia, karena almarhum sangat tak mungkin
untuk kembali. Maka untuk mencegah gunjingan itu, sebagian membacakan
kalimah-kalimah thoyibah dan salawat nabi.
Sampailah di liang lahat.
Tak ada upacara khusus di
sini. Selain doa penyerahan jasad kepada bumi, serta semoga almarhum diterima
iman islamnya, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang layak. Setelah
itu acara penguburan selesai. Para pengantar pulang ke rumahnya masing-masing.
**
Sore itu, suasana di rumah korban sudah agak
sepi. Tinggal beberapa wanita yang sibuk menyiapkan kenduri. Saat itulah
wartawan-wartawan tadi datang lagi, dan mengajukan satu-dua pertanyaan.
“Berapa lama kira-kira ibu
bertahan menjadi janda muda?”
“Entahlah.”
“Tapi ada kemungkinan
berumahtangga lagi, kan?”
“Mungkin.”
“Jika ada seorang laki-laki
yang mencintai ibu dan ingin langsung menyuntingnya, apakah ibu mau? Misalnya
seorang konglomerat, gitu?”
“Hmm..”
Masya Allah!, seketika Haji
Edi tersentak dan geleng kepala. Ia tersadar dan seolah tergelitik atas sikap
Utisah dalam lamunannya itu.
“Lho, kok tertawa sendiri,
memangnya ada apa Kang?” merasa penasaran akan tawa suaminya, Utisah tiba-tiba melongokan
kepala di jendela, “memangnya Akang ini sudah gila , ya?”
“Hmm..” (*).
(Ciamis, Awal Juni 2012)
Keterangan: (1). Ajengan= kyai
(2). Santri kalong = Santri lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar