11 November 2014

Benih-benih Cinta Kasimah




Cerpen; Restu Prawironegoro Ibrahim  (Radar Surabaya 9 November 2014)

  “Cinta kita bagaimana
kang?”
      “Jangan bicara cinta, Ning. Akang belum siap
mengucapkan yang kau sebut itu. Bagi Akang, yang
kau ucapkan itu teramat mulia. Di pikiran
Akang hanya ada satu, yaitu kau mau mengatakan, hidup sampai akhir
hayat bersama Akang. Mau kan, Ning?”.
       “Oh, Akang ada-ada saja. Tentu saja
aku suka. Tentu aku mau hidup selamanya
denganmu, Kang.”
       “Memang indah bayangan hidup kita,
Ning. Hidup bersama anak-anak di sebuah desa yang damai, tenang dan jauh dari
caci maki. Namun mengapa ada — ada saja cita-cita ini menghadapi masalah?”
     “Itu kemauan bapak, Kang!”
     “Kupikir bapakmu benar juga memilihkan
jodoh. Calon suami yang pantas mendampingimu memang bukan seperti
diriku ini. Di mata bapakmu, aku seperti cacing yang gampang diinjak.”
    “Kang.........! Jangan bicara begitu!”
“Akupun punya hak membayangkan bagaimana diriku yang serba kurang ini
penuh keberanian menghadapi keinginan  bapakmu. Aku tak punya nyali. Keberanianku hanya pada kata-katamu.
Meskipun begitu, aku juga takut kalau ucapanmu termakan oleh situasi. Sekarang,
kau merdu mengucapkan sesuatu yang amat mulia. Namun nanti siapa
tahu keadaan jadi berbalik, karena situasi yang tak kuasa kau tolak.”
“Akang meragukan ucapanku?”
“Sekarang tidak.”
“Mengapa sekarang?”
“Karena aku tak tahu situasi nanti.”
“Oh...........”
“Maaf, Ning. Akang tak ingin menyakitimu.”
“Akang tak salah. Akang memang
benar. Saya ...”
“Kita menghadapi sesuatu yang amat mulia, Ning. Tak baik membicarakannya
harus diiringi dengan perasaan gundah. Perasaan risau hanya akan
membuat keputusan ini tak menemui jalan memuaskan.”
“Keputusan! Akang mau.”
“Jangan keburu menerka arah pembicaraan.
Sudah kukatakan pikiran harus tenang untuk sesaat kita harus mampu
menyisihkan soal lain yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan kita.
Kita tahu kan, didalam kepala kita terdapat
ribuan kabel-kabel penting yang harus kita selamatkan satu persatu. Jika
tidak, kemungkinan kita tak tahu lagi apa adanya kita karena telah terjadi
sesuatu yang membuat kabel di dalam kepala kita lecet dan konsleting.”
“Lalu, Akang mau bicara apa?”
“Menentukan sikap. Ya, kita secepatnya
menentukan sikap.”
“Sikap yang bagaimana?”
“Sikap kita menghadapi bapakmu dan sikap kita menghadapi masa depan. Tentu saja sikap yang kedua itu kalau sudah ada isyarat untuk melanjutkan hubungan.”
“Akang berani menghadapi situasi? Maksud saya, kita berhadapan dengan
bapak, Akang berani bersikap sebagai orang yang tak membingungkan orang
lain. Kalau Akang sudah siap, sekarang pun kita bisa melaksanakan.”
Langit di dalam hati Badrun mulai mendung. Awan hitam perlahan-lahan
bergerak. Entah darimana datangnya awan di langit biru itu. Hati Badrun
semnula memang biru laksana jernihnya langit. Di dalam hatinya sudah
ada kepastian bahwa pilihannya yang satu ini tidak akan meleset. Dia tidak
ingin merasakan kepiluannya akibat ketidak-cocokan dengan pilihannya
yang lalu. Sudah dua kali ia menghadapi hal yang menyakitkan.
       Hubungan dengan Kasimah, gadis yang diajaknya bicara tadi adalah gadis
yang ketiga. Di dalam pikirannya semula tidak akan menemui rintangan yang
berarti. Bagi dia, Kasimah ibarat kembang yang tumbuh subur di pekarangan.
Sesubur hati Badrun yang akan menerima benih-benih cinta Kasimah, gadis
desa yang tampaknya cocok baginya. Tatkala Kasimah mengajaknya ke
rumah. Ada sesuatu yang dilupakannya.  Dia selalu meraba-raba perasaannya sendiri. Bukankah masih beberapa minggu ia berkenalan dengan Kasimah? Apakah persahabatan yang demikian singkat itu sudah layak untuk meminang. Pikirannya melayang jauh menembus
gunung-gunung yang ada di desanya. Dia seakan baru ingat bahwa diantara mereka pun belum pernah melihat keadaan rumah masing-masing.
Keluarga, anggota keluarga, hubungan kekerabatannya dan sebagainya, belum
pernah diketahuinya. Badrun, mulai mengerti kebodohannya. Baginya, jika
petualangan cintanya yang ketiga ini tak ingin gagal maka ia harus hati-hati
membuat pendekatan.
       Kasimah sendiri belum bercerita tentang keluarganya. Kasimah masih
tampak seperti gadis ingusan. Ini yang disukai Badrun. Segala hal yang belum
diketahui Badrun akhirnya tak membuatnya menjadi penambah resah. Terdorong
oleh rasa tertarik yang berlebihan membuat Badrun lalu mengatur diri agar
gadis pilihannya yang ini tidak kabur lagi.
“Kapan Akang pulang?”
“Aku sudah janji dalam surat. Walau tidak pulang toh tetap aku berkirim
surat ke rumah. Jadi apa bedanya pulang dengan tidak pulang? Nanti
saja kalau ada hari-hari penting tentu aku pulang membawa tabungan sisa
laba berjualan bakso.”
    “Akang tetap berjualan bakso terus?”
    “Ya. Memangnya kenapa? Kau malu bila suamimu kelak hanya berjualan
bakso di pinggiran kota. Mau jual bakso atau mobil yang penting kan iritnya.
Berjualan mobil kalau boros membelanjakan uangnya ya mendingan
berjualan bakso, tetapi irit pengeluaran.”
     “Ya, bukan begitu to, Kang Bayangkan saja, ia baru saja bertemu
Badrun, kekasih hatinya itu, membicarakan kelanjutan hubungan
cinta kasih. Rencana demi rencana telah disiapkan kedua belah pihak.
Keduanya sudah sama-sama sepakat dengan penuh keberanian menghadapi
segala kemungkinan yang mungkin mengancam keutuhan cinta kasihnya.
Seakan tak ada yang dilupakan. Skenarionya
telah matang untuk segala mementaskan lakon dari babak yang paling menegangkan .
        Selembar kertas putih halus yang baru saja dibacanya sudah terlipat-lipat tidak
karuan lagi. Keringat tangannya membasahi kertas. Keringat dingin yang
muncul tiba-tiba mengalir terus di atas kulitnya yang mulai halus oleh bedak
pembersih. Ditambah dengan degup jantung yang keras. Menggoyang kesigapan
kakinya. Matanya tidak lagi bertampang dungu tapi sudah menyerupai mata bayi
yang minta dikasihani.
       Besok pagi ia harus memberi jawaban tentang keberangkatan. Ia sudah
berjanji bertemu di terminal bus jurusan Bandung. Tadi malam ia pun
sudah pamitan dengan juragannya untuk pulang barang sehari dua hari
memenuhi panggilan orang tuanya dan sang juragan pun mengiyakan.
      Langit di atas rumah saat itu bersih. Warna birunya teramat cantik, tiada
noda. Namun di bawah, jalan aspal yang mulai mengepulkan fatamorgana siang
itu kan sanggup membakar siapa saja. Mobil yang lalu lalang, pejalan kaki yang
berceloteh, suara klakson bersaut-sautan serta penjaja dagangan penjual asongan
mewarnai kepadatan kota metropolitan.
       Bagai putri dengan pakaian kecantikannya
kota metropolitan memang menampilkan keagungan dan kemegahan,
namun semua tiada peduli dengan permasalahan seorang anak manusia
semacam Kasimah dan Badrun.
        Apa pula dengan Badrun? Bukankah ia sudah sepakat bertemu Kasimah di
terminal Bandung? Tidak dapat disangka sama sekali semua sudah terjadi secara
alamiah. Kodrat lebih kuasa mengatur manusia semacam Badrun. Skenario
yang telah matang di dalam kepala mendadak hancur. Keteguhannya sebagai
laki-laki mulai condong mengikuti arah pendapat orang yang banyak ragam. Ia
kehilangan tempat berpijak yang pasti. Kepastiannya akan mengawini Kasimah
turut berantakan. Di dalam kepalanya sudah tidak berbentuk lagi apa yang
namanya cinta terakhir yang harus terwujud.
      Jadinya, wujud yang ada hanyalah wujud dari kelemahan manusia
dalam merencanakan sesuatu. Badrun mendengar sendiri dari penjual rokok
yang lebih tua darinya.
“Kita ini hanya wayang-wayang yang tunduk pada perintah dalang, Bad.”
“Maksud Pak Adek bagaimana?”
“Nah, itu tandanya kau tidak mengenal wajah zaman. Kau kira semua
usaha manusia harus terwujud dengan amat lancarnya? Ooo, jangan! Manusia
jangan terburu merasa menang sendiri sebelum semuanya tampak. Lihat! Aku
datang ke kota ini tidak dengan tujuan menjual rokok. Tidak! Aku meninggalkan
kampung halaman dengan tekad satu yaitu aku harus berhasil berusaha
di kota metropolitan ini. Tapi, yang kau lihat cuma seorang penjual rokok
yang takut menghadapi hari esok karena semua labanya habis untuk
makan. Inilah fakta.”
       “Saya sendiri heran, Pak. Mengapa semua rencana baik, saya harus kandas
demikian rupa. Sebenarnya aku tak kecewa hidup di kota metropolitan ini
sebagai penjual bakso. Aku menerimanya sebagai apa adanya. Juga citacita
berumah tangga yang selalu gagal justru ini yang membuat hatiku kalang
kabut. Apakah Pak Adek pernah mengalami peristiwa seperti ini?”
       Setelah membakar rokok. “Pernah.
Aku dulu sewaktu di esm-em-a di bilang takut perempuan. Aku memang
panas dingin bila mendekati perempuan, walhasil.......istriku sekarang ini
adalah pacar kelimaku.”
      “Hah! Benarkah?!”
       Pak Adek ngakak mendengar dan melihat perubahan wajah Badrun.
      “Sekarang apa rencanamu, Bad!”
       Badrun tak segera menyahut. Dia terlonjak kaget manakala seorang pembeli bakso menegurnya. “Satu mangkok saja, Mang. Agak pedas sedikit. Tidak pakai saos.”
      Rombongan itu terasa lebih berat dari biasanya. Jalan yang dilewati juga
sama seperti jalan kemarin, namun kali ini agak terasa berat. Matahari sudah tenggelam. Langit tampak kehitaman dan lampu kota member tanda bahwa sudah waktunya warna hidup harus diganti.
      Semalam pembaringan terasa panas. Badrun lama tak dapat memejamkan
mata. Pikirannya belum menyimpulka ia harus berbuat apa besok
kalau bertemu dengan Kasimah. Mana yang harus dipilih, sampai larut malam
belum juga ditemukan, berita yang didapat lewat surat memperjelas bahwa
Badrun harus pulang besok ke Bandung. Bersama-sama dengan Kasimah ia mau
pulang bersama. Mereka satu kota, tapi berbeda desa yang ditempati. Mana yang
harus ia korbankan? Dirinyakah? Ibunyakah? Kalau bila ia mengorbankan
ibunya ia tetap dipercaya oleh Kasimah dan harga dirinya sebagai laki-laki tak
tergoyahkan di mata sang kekasih.
       Kasimah sudah duduk di dalam bus, di samping Badrun. Bus yang mereka
tumpangi segera berangkat. Penumpang sudah penuh. Suara pengatur perjalanan
sudah memberi peringatan. Bus melaju perlahan-lahan keluar terminal.
       Kedua manusia yang sedang kasmaran itu tak mengeluarkan sepatah katapun.
Mulut keduanya bagai terkunci rapat. Masing-masing mempunyai
prakiraan sendiri. Sama-sama enggan memulai berkata, sesekali menoleh
dengan sikap acuh tak seperti biasanya. Kasimah merasakan keanehan pada
diri pacarnya, begitu sebaliknya, Badrunmerasakan keanehan pada diri
gadis disampingnya itu. Tampak bahwa keduanya bukan sebagai pacar yang
telah saling kenal melainkan masingmasing memperhatikan sikap tidak
saling kenal. Badrun mulai memberanikan diri membuka percakapan
ditengah bisingnya suara mesin.
      “Kok diam, Ning. Tak seperti biasanya.”
      “Akang juga begitu.”
      “E, sakit barangkali.”
      Kasimah menggeleng.
      “E........lalu?”
      “Emn, Akang marah pada saya.”
      Badrun menggeleng. Kembali keduanya
larut dalam bayangan masing-masing. Antara salah dan benar kata yang ingin
diucapkan berhenti ditenggorokan. Lambat laun nafasnya sesak. Tubuhnya
gemetar dan keringat dingin keluar.
     “Maaf. Tadi Akang agak terlambat.”
     “Mm, tak apa.”
“Maaf. Nanti Akang langsung pulang
dulu. Besok akan mencarimu. Ada yang
Akang bicarakan denganmu.”
“Ya.”
“Kemarin Akang menerima surat
dari Ibu. Akang harus pulang hari ini.
Penting, penting sekali.”
“Emh........”
“Tapi percayalah, tak ada masalah.
Akang sanggup mengatasi. Akang kan sudah janji sama Ning. Akang akan melamar Ning. Ya kan?”
“Ee, iya.”
“Tapi.”
“Akang, eng............ kalau boleh Ning tahu isi surat itu apa?”
      “Nanti Akang berikan sama Ning.”
      Tapi, Kasimah tak berkomentar apaapa.
      “Ini ada surat, nanti saya berikan kepada Akang. Bacalah di rumah.”
       Tanpa terasa bus sudah membelok menuju terminal. Penumpang sudah bersiap-siap turun. Badrun memberikan
surat yang mulai kumal kepada Kasimah dengan ragu-ragu. Kasimah
menerimanya. Tangan kirinya diarahkan kepada Badrun. Badrun menerima surat dari Kasimah.
      Bus telah berhenti. Kasimah lari meninggalkan
Badrun yang terbengong. Sapu tangan di tangan kanannya
menutupi mata sambil berlari. Dari jauh Badrun mulai ragu akan isi surat
yang ia terima dari Kasimah. Kasimah sudah tak tampak di kerumunan orang.
Badrun berlari menuju kamar kecil bukan untuk buang air kecil, namun
ingin segera tahu isi surat tersebut.
     Terjawablah sudah teka-teki itu. Badrun terduduk lesu di peron. Ia
tidak segera memanggil angkutan pedesaan. Dadanya terasa lebih sesak
dari kemarin. Sesak membayangkan Kasimah duduk di samping lelaki
yang tidak ia kenal. Dia sendiri.........
     “Aaaahhhhhh!” Berkali-kali. (*)

Tidak ada komentar: