Cerpen: Edy
Firmansyah (Radar Surabaya 8 Maret 2015)
Fuad hanya
terpaku ketika
Ripin, bapaknya, dimasukkan
ke dalam liang lahat.
Matanya sembab. Pikiran
berkecamuk. Mengapa Tuhan memanggil
bapaknya dengan cara keji begitu? Seandainya
ia menuruti bapaknya untuk
tak nonton layar tancap malam itu,
mungkin pagi ini ia masih bisa membuatkan
bapaknya kopi. Tapi takdir
berkehendak lain. Bapaknya telah
pergi untuk selamanya. Tuhan begitu
kejam. Fuad terus membatin. Fuad tak
tahan. Fuad tak sanggup sendiri.
“BapakÖbapakÖ!”
orang-orang terus
memegangnya erat.
“Jangan sampai
lepas. Nanti dia nekat”
teriak yang lain sambil terus
mencangkul.
Pelan-pelan
jasad bapaknya yang dibalut
kafan yang sebagian memerah karena
darah tak kelihatan lagi. Ditimbun
tanah. Fuad menangis sejadi-jadinya di
antara gemuruh langit dan lafal doa.
***
Fuad baru saja
melompat ke sungai,
ketika kawan-kawannya bergegas naik
dan meninggalkannya. Meski tak puas
menikmati sejuk air sungai, Fuad menepi
juga. Mengenakan celananya, tanpa
sempat mengenakan baju, lalu berlari
mengejar kawanannya ke lapangan.
Bajunya ia pegang di tangan.
“Mobil itu
datang. Mobil itu datang.”
Teriak kawannya, Kharis, yang berlari
paling depan.
Mobil yang
dimaksud adalah mobil
jenis van berpengeras suara dan digantungi
poster besar berbagai jenis film.
Mesin mobil itu bergerung memecah
kesunyian lapangan di terik siang di
tengah kampung. Suara mesin yang
tumpang tindih dengan suara pengeras
suara membuat soundtrack iklan KB
terdengar buruk. Bergemerisik dan
kerap membuat gendang telinga gatal.
Kawanan itu
terus berlari mendekati
mobil berwarna biru buram dengan beberapa
bagian cat terkelupas itu kemudian
membuntutinya dari belakang. Kharis
berhasil melompat ke belakang van sambil
terus tertawa jumawa. Yang lainnya masih
terus berlari di belakang mobil van itu
sambil bersorak sorai kegirangan.
Fuad terus
berlari agak jauh tertinggal
di belakang. Sambil berlari ia kenakan
bajunya yang sedari tadi digenggamnya.
Sebenarnya Fuad ingin terus mengikuti
kawan-kawannya berlari dan biasanya
berhenti di samping sekolah dasar di sisi
lapangan tempat mobil van itu juga
berhenti. Fuad memang terpesona dengan
segala peralatan bioskop keliling itu. ia
heran mengapa bisa dari proyektor film
dan gulungan pita itu keluar gambar di
layar putih yang ditancapkan di belakang
gedung SD itu. Tapi pikiran anak-anaknya
belum juga nyampek. Fuad hanya
melongo. Heran. Kemudian berdecak
kagum dalam hati.
Tapi kali ini ia
urungkan niatnya mengejar
kawanannya. Fuad kemudian
memutuskan berbelok, berlari lekas-lekas
menuju rumahnya. Dari pengeras suara
mobil van itu ia dengar nanti malam
akan digelar misbar. Layar tancap. Akan
diputar lima filem. Dua film horor, dua
film silat dan satu film komedi. Tutur
Tinular dan Koboi Cengeng adalah dua
film favoritnya. Dan ia harus memberi
tahu bapaknya, Ripin, bahwa ia akan
nonton misbar sampai malam. Misbar
adalah singkatan dari gerimis bubar.
Dinamakan demikian karena layar
tancap yang diputar akan dihentikan jika
gerimis turun. Sebab peralatan itu bisa
rusak jika terkena air.
Sudah hampir
satu tahun bioskop ke
liling itu tak
mampir ke kampungnya
memberi hiburan.
Biasanya hampir tiap
bulan misbar itu
digelar. Dan orang-orang
kampung akan
berduyun-duyun
datang ke lapangan.
Duduk bersila sampai
larut malam
menyaksikan film-film
yang barangkali
hanya bisa dinikmati di
gedung-gedung biokop
di Kabupaten.
Ripin sedang mengasah batu akiknya
di ruang tamu,
ketika Fuad tiba-tiba
berlari masuk menuju
dapur, menyambar
kendi dan menenggak isinya,
kemudian kembali ke
ruang tamu.
“Ada apa kok ngos-ngosan begitu. Seperti
dikejar demit aja.”
Ujar bapaknya
sambil
menimang-nimang bacan yang
baru saja
digosoknya.
Dengan nafas tersenggal-senggal Fuad
menceritakan
keinginannya nonton
misbar di lapangan
seusai mengaji di
surai haji Tholib
malam nanti. Ia meminta
sejumlah uang jajan.
Tapi Ripin
menggeleng tanda tak
setuju. Fuad terus
merajuk. Tapi Ripin
terus menggeleng
sambil
menimang-nimang akiknya.
“Bapak tak bisa antar. Nanti malam
bapak ada perlu ke
rumah Haji Romli
ngurus acara
sholawatan.”
“Pak, Fuad bisa pergi sendiri. Nanti
berangkat
ramai-ramai sama teman.”
“Bahaya pulang malam-malam. Sekarang
banyak pembunuhan
dan anak
hilang.”
Ripin
tahu bahwa ia memang terlalu
keras pada anak
semata wayangnya
itu. Banyak melarang
ini itu. terutama
aktivitas anaknya
pada malam hari.
Tapi apa boleh buat.
Ia tak mau anaknya
bernasib seperti
dirinya. Jadi anak
jalanan, kemudian
jadi preman. Ia
ingin anaknya tumbuh
seperti anak
normal lainnya.
Sekolah, mengaji,
membantu orang tua,
setelah lulus bisa
cari kerja. Kalo
bisa jadi pegawai negeri
atau guru ngaji.
Masih lekat dalam ingatan Ripin hari
terakhirnya bertemu
ibu dan bapaknya.
Malam itu, karena
tak tahan dipukuli
terus sama bapaknya,
emaknya akhirnya
memilih minggat dari
rumah. Membawa
serta Ripin
menyusuri jalan yang
semakin gelap ke
arah kota. Tapi tanpa
tujuan pasti.
Emaknya berjalan dengan
langkah-langkah
cepat dan lebar, dan
Ripin yang waktu itu
masih sekecil Fuad
sempat kepayahan
mengimbanginya.
Tidak ada sepatah
katapun diucapkan
Enaknya. Sedangkan
Ripin melangkah
dengan penuh
perasaan takut. Jalan raya
sudah dekat, kurang
dari seratus meter.
Tiba-tiba Emak
berhenti. Terlihat berpikir
keras, lalu berbalik
arah. Setengah
bergumam, Emak
bilang bahwa dia lupa
bawa uang.
Tergesa-gesa, Emak menyuruh
Ripin menunggu.
Tidak menunggu
jawaban, Emak
berlari ke arah rumah,
meninggalkan Ripin
sendirian
Mulanya Ripin berdiri di jalan
kampung yang lengang
itu dan bermaksud
menuruti Emaknya,
namun kemudian
kecemasan bergumul
dan meningkat
cepat. Ripin
memutuskan berlari
sekencang-kencangnya
ke arah rumah.
Tas besar yang
dibawa Emaknya
ditinggalkannya
tergolek di atas jalan.
Terengah-engah, di depan
rumah, Ripin
mendapati pintu
depan terbuka dan di
dalam ruang tengah,
Ripin melihat
bapaknya sedang
menjambak rambut
Emak dan sedang
menghantamkan
kepala Emak yang
kecil itu ke arah
dinding. Melihat
itu, Ripin kemudian
berlari menjauhi
rumah, menuju pasar
malam dan tak pernah
kembali.
Beruntung Ripin diambil anak seorang
guru ngaji. Dan
kemudian jadi
pedagang ayam.
Hidupnya tak lagi susah
seperti waktu masih
kecil. Ia tak
harus menjadi preman
seperti bapaknya
hanya sekedar untuk
cari makan.
Sekali waktu,
setelah tahu nasib
emaknya, ia datang
ke kuburnya.
Membersihkan nisan
Emaknya dan
memanjatkan doa agar
Emaknya
tenang selalu di
alam kubur. Sementara
bapaknya sendiri ia
tak tahu. Setelah
mendengar cerita
kalau bapaknya
ditembak petrus,
Ripin tak pernah
tahu di mana kubur
bapaknya.
Karena itu Ripin tak mau Fuad seperti
dirinya. Cukup dia
saja yang mengalami
hidup sebatang kara
dan
sempat jadi anak
jalanan dan pencopet.
Fuad jangan.
Samasekali jangan.
Fuad menghentikan rajukannya.
Ketika bapaknya menyebut tentang
maraknya pembunuhan
dan orang hilang,
bayangan tentang
seonggok mayat
mengapung di kali
tempat ia biasa
mandi melintas.
Mayat itu perutnya sobek,
isinya terburai.
Kata orang, mayat
itu orang jahat.
Mati dibantai ramai-ramai
karena suka
mengguna-gunai orang.
Mengerikan. Mayat
yang mengapung
di kali itu membuat
ia dan
kawan-kawannya tak
pernah lagi mandi
di kali untuk
beberapa waktu lamanya.
Tapi Fuad lekas-lekas menghapus bayangan
itu. Ingatan tentang
misbar menempel
lagi dalam
kepalanya. Fuad merajuk
lagi. Kali ini
dengan nada keras
dan mulai merengek
sambil menangis.
Tapi bapak
bergeming. Menggeleng dan
ngeloyor pergi ke
kamar mandi, berwudhu,
lalu berjalan ke
mushalla Haji Romli,
meninggalkan Fuad
yang terus sesegukan
di ruang tamu,
sendirian. Beberapa
saat kemudian
terdengar suara bapaknya
mengumandangkan
adzan
dhuhur dari toa
mushalla.
Tangis Fuad makin keras. Ia membayangkan
seandainya ibunya
ada di sampingnya,
ia akan merajuk pada
ibunya
untuk meluluhkan
hati bapaknya agar
bisa menonton
misbar. Tapi apa daya,
untuk meredakan
tangisnya. Ibunya
sudah di surga
bersama adiknya.
Ibunya mati saat
hendak melahirkan
adiknya. Sementara
adiknya hanya
bertahan seminggu di
dunia kemudian
juga menyusul ibunya
menuju surga.
Fuad kini berdua
dengan bapaknya.
Malam begitu bersahaja dengan beribu
bintang dan bulan
berbentuk perahu di
langit. Angin
membawa gigil udara ke
dalam kulit. Ripin
sedang duduk diberanda
sambil menghisap
kretek dan memutar
tasbih ketika Fuad
pulang mengaji.
“Cuci tangan, cuci kaki. Setelah itu
tidur” perintah
Ripin.
Fuad melengos masuk rumah. Langsung
naik ke tempat tidur
tanpa menuruti
perintah bapaknya.
Memejamkan mata.
Tapi tak bisa tidur.
Ia membayangkan
kawan-kawannya
sedang berlarian di
lapangan sambil
makan ancang menunggu
misbar dimulai. Ia
membayangkan
aroma sedap kacang
rebus dan
gulali menyeruak ke
dalam hidungnya.
Beberapa saat kemudian Fuad mendengar
langkah kaki
bapaknya menuju
kamar. Fuad
lekas-lekas merapatkan
matanya. Pura-pura
tertidur lelap.
Dirasakan tangan
bapaknya membelas
rambutnya.
Didengarnya suara shalawat
keluar dari mulut
bapaknya sebaliknya
tiga kali. Kemudian
dirasakan tiupan dari
mulut bapaknya di
ubun-ubunnya. Fuad
terus merapatkan
matanya. Tapi tak bisa
tidur. Bayang-bayang
misbar masih
menerkam pikiran
kanak-kanaknya.
Rumah hening. Suara dengkur Ripin
bersautan dengan
suara jangkrik di luar.
Dingin menyergap ke
dalam sumsum ke
dalam tulang. Fuad
pelan-pelan membuka
mata. Melihat ke
arah bapaknya yang
rebah di sampingnya.
Berkali-kali
mengguncangkan
tangan bapaknya pelan
untuk memastikan
bapaknya tertidur
pulas. Setelah
yakin, ia pelan-pelan
beringsut dari
ranjang menuju dapur.
Menaiki lemari dan
mengambil kaleng
tempat bapaknya
menyimpan uang hasil
jualan ayam.
Selembar uang seribu ia
kantongi, lalu
menuju pintu belakang,
membuka grendel dan
bergegas berlari
menuju lapangan.
Nonton misbar.
Saat Fuad sampai di lapangan, film koboi
cengeng baru separuh
jalan. Film komedi
yang diperankan
Ateng, Iskak dan
Dartok Helm
kesukaannya. Fuad segera
duduk di kerumuman
kawan-kawannya
sambil menikmati
kacang rebus yang baru
saja dibelinya. Ia
terpingkal-pingkal
bersama kawannya
tiap melihat adegan
lucu di film itu. Ia
ngakak seakan lupa
bahwa siang tadi ia
menangis hebat.
Sementara itu, saat Fuad tertawa
lepas menonton layar
tancap, sebuah
mobil jenis station
wagon berhenti di
depan rumah Ripin.
Tak lama kemudian
kabel listrik
diputus. Listrik padam.
Tiga orang berbadan
tegap dan
bertopeng ala ninja
menerobos masuk
ke rumah Ripin
dengan mendobrak
pintu. Tanpa
kesulitan mereka menemukan
Ripin tengah
terlelap tidur.
Tanpa banyak
komentar mereka
mengeluarkan pisau
dan pedangnya.
“Cras...crasss”
Ripin langsung bersimbah
darah dan meninggal.
Lehernya nyaris putus
digorok.
Mayatnya kemudian diseret ke luar
rumah. Dilemparkan
ke pinggir jalan.
Beberapa orang
sempat melihat station
wagon itu.
Berpenumpang empat
orang berambut cepak
dan selalu
menenteng handy
talky. Orang-orang
merubung mayat
Ripin. Desas-desus
beredar, Ripin mati
dibunuh ninja.
Fuad masih tertawa terpingkal-
pingkal tiap
berlangsung adegan lucu dalam
dalam koboi cengeng(*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar