Cerpen Putri Maal CB (Radar Surabaya 15 Maret 2015)
Tuhan, kembali aku bersimpuh di hadapan-Mu
Bukan karena aku lagilagi ingin mengeluh tentang hidupku.
Tapi aku bersimpuh karena rasa syukur yang tiada tara ini
Aku tau, Engkau telah memberikan sesuatu yang kubutuhkan
Tuhan, tolong terus jaga hatiku
Jangan sampai dia mengkhianati-Mu
Karena aku yakin
Kau tidak akan memberikan cobaan
yang tidak sanggup kulalui
Aku, Afla Aisyah Maghfira, yang
terus berjuang mencari makna di balik
cinta yang telah kupupuk dengan awal
yang salah, tapi tetep berusaha untuk
tidak mengkhianati-Nya. Ini kisahku.
Awal pertemuanku dengannya pada
30 Juni 2013. Aku melihatnya menampilkan
dance cover bersama temanteman
yang lain di suatu even yang
kebetulan aku juga salah satu panitianya.
Awal aku tertarik padanya karena
dia meng-cover salah satu idolaku,
SHINee Minho. Aku kagum. Aku sangat
tidak kecewa melihat Minho-ku
yang berkharisma. Setelah mereka
selesai tampil, aku kembali melanjutkan
aktivitasku. Aku lupa padanya.
Aku tidak lagi mencari keberadaannya.
Tapi semua berubah saat acara telah
selesai. Ketua panitia acara tersebut
memperkenalkan aku kepada panitia
yang lain. Dia yang terakhir mengenalkan
dirinya padaku. Sosok berkaca
mata itu mendatangiku dan menjabat
tanganku. Aku menyambut uluran tangannya
dengan tatapan kosong.
Entah apa yang ada di pikirannya saat
itu aku tidak peduli. Yang aku pedulikan,
aku seolah melihat sosok cinta
pertamaku satu-satunya orang yang
membuatku jatuh cinta pada pandangan
pertama di sana. Aku melihat
senyum tipisnya, matanya yang bersinar
ramah, dan pipinya yang terkadang
bersemu kemerahan di kulitnya
yang putih. Sosokku yang tadinya ceria,
yang tadinya sangat gemar
berkenalan dan berceloteh ria, mendadak
kaku saat bersentuhan dengannya.
Dada ini bergemuruh cepat. Apa
cinta ini muncul kembali? Apa hati ini
mulai terbuka lagi setelah bertahuntahun
lamanya kututup? Ini bukan
yang pertama kalinya bagiku. Jadi aku
kenal betul dengan perasaan ini. Perasaan
yang sangat tidak ingin kurasakan
lagi. Perasaan yang sukses
membuatku menjadi murung. Aku
tidak ingin mengenalnya. Detik itu aku
bertekad untuk tidak terlalu dekat
dengan seorang Bima Alfredo Immanuel.
Dia akan menghancurkanku,
itulah yang kupikirkan.
Seolah imanku sedang diuji, Tuhan tidak
membiarkanku. Saat perjalanan pulang,
dia memintaku untuk duduk di
sampingnya dengan alasan ingin mengenalku.
Aku hanya diam, aku tidak
ingin memulai percakapan dengan orang
yang kuyakini akan membuatku
kehilangan keceriaanku lagi. Tapi dia
terus memberikan keramahannya padaku.
Dia bertanya apapun tentangku.
Saat mengetahui aku sedang kuliah di
PTN yang akan dimasukinya, dia makin
tertarik. Sesekali dia menyelipkan
ceritanya. Aku menanggapinya dengan
sopan. Percapakan itu terus berlanjut
seru, aku pun semakin lupa dengan
tekadku di awal. Aku suka dengan gaya
bicaranya. Aku nyaman bercerita dengannya.
Bodohnya, aku tertarik untuk
mengenalnya lebih jauh lagi.
Tuhan benar-benar memberi cobaan pa
daku. Fakta bahwa kami memiliki tanggal
lahir yang sama membuat pikiranku
makin kacau. Aku semakin memikirkannya.
Kemungkinan-kemungkinan
apa lagi yang akan terjadi kedepannya.
Sejak hari itu, kami semakin dekat.
Dia atau aku rutin untuk memulai percakapan
di sebuah aplikasi chatting.
Saat kami dan teman-teman yang lain
merayakan kesuksesan acara kami di
kolam renangpun, dia selalu bersamaku.
Aku ingat ucapannya saat itu, “Fla,
hari ini kamu sama aku aja ya. Janji.”
Benar, sepanjang hari itu, tidak sedetik
pun aku jauh darinya. Ada apa
denganku? Aku tidak ingin seperti ini.
Di hari pengumuman kelulusannya, dia
menggenggam tanganku erat, dia
mengungkapkan betapa bahagianya dia.
“Fla, akhirnya kita sekampus!”. Iya, kita
sekampus, dan cobaanku makin bertambah
berat.
Saat liburan semester, aku harus pulang ke
rumah orangtuaku yang memang beda
kota, dia terus bertanya kapan aku
akan kembali lagi, bagaimana dia bisa
cepat menghubungiku. Apa maksudnya?
Dia mulai Membutuhkanku atau apa?
Di rumah, keluargaku mengetahui
perbedaanku. Aku jadi sering tersenyum, aku tidak
lagi cuek, dan aku tidak pernah
lepas dari handphoneku.
Saat aku lengah, Mama memeriksa
handphoneku. Dia tau, aku
jatuh cinta. Tapi aku mendalihnya.
Aku tau reaksi apa
yang akan diberikannya
saat mengetahui aku mencintai
orang yang ‘berbeda’. Ini cinta
terlarang.
Aku berusaha menahan perasaanku.
Tapi TIDAK BISA!!! Apalagi saat aku
kembali aku datang ke suatu gathering
yang dia adalah salah satu adminnya
dia menyambutku dengan pelukannya
dan langsung memintaku duduk
di sampingnya.
Hari-hariku penuh dengannya. Malam
itu, 21 Agustus 2013, aku tidak bisa
lagi menutupi fakta bahwa aku mencintainya.
Aku mengungkapkannya. Dia
mengingatkanku tentang ‘perbedaan’
kami. Tapi aku tidak peduli! Aku benarbenar
mencintainya. Dia mengatakan
bahwa dia juga menyukaiku, dia nyaman
bersama denganku. Aku bahagia.
Sejak saat itu aku menjadi pribadi
yang berbeda. Semua orang menyukai
perubahanku, tapi tidak sedikit dari
mereka yang kecewa setelah tau apa
penyebab perubahanku yang membaik
itu. Tapi aku sangat mencintainya.
Salah satu sahabatku mengingatkanku,
“Nanti kamu bisa ngerasain sendiri apa
akibatnya. Pikirkan orangtuamu, Fla.”
Aku sangat mengerti apa maksud
perkataannya, tapi aku bisa apa?
Petaka itu mulai muncul. Aku makin
posesif kepadanya. Walaupun tidak
secara langsung aku mengungkapkannya,
tapi aku yakin dia merasakannya.
Aku semakin takut kehilangannya.
Siang malam aku berdoa agar selalu
dipersatukan oleh-Nya. Tapi seolah
menertawakan kebodohanku, Tuhan
mempertemukanku dengan Mamanya.
Saat itu dia sedang sakit, jadi aku ke
rumahnya. Anak kecil sekali pun pasti
akan langsung tau bahwa aku bukan
hanya sekedar teman dengannya melihat
perhatianku yang mungkin terkesan
agak berlebihan. Seharusnya
aku agak menahan diri agar Mamanya
tidak mengetahui hubungan kami. Aku
terlalu bodoh waktu itu.
Semua terungkap pada 5 Oktober 2013.
Bima mengatakan semua yang dikatakan
oleh Mamanya. Aku sudah sangat tau
hari ini akan datang, tapi kenapa secepat
ini? Aku tidak sanggup kehilangan
cintaku lagi. Aku tidak mau sendiri lagi.
Malam itu aku memeluknya sangat erat,
aku juga memberikan first kiss ku. Aku
menunjukkan semua perasaanku. Saat
aku menciumnya, dengan mengalirnya
air mata ini, yang juga membasahi pipi
dan bibirnya, aku ingin dia tau bahwa
aku benar-benar mencintainya. SANGAT
MENCINTAINYA.
Cobaanku tidak hanya berhenti di situ.
Dengan putusnya kami, aku kira akan
benar-benar lepas darinya, ternyata
tidak. Kami semakin dekat. Aku dan
dia ternyata punya banyak kesamaan
yang membuat kami seolah tidak
terpisahkan. Aku tidak lagi sungkan
untuk main ke rumahnya karena status
kami yang hanya teman. Mama dan
kakaknyapun semakin baik padaku. Aku
harap perasaan ini bisa bertahan.
Tapi lagi-lagi Tuhan mengujiku.
Malam itu, 29 November 2013, kami
pulang terlalu larut. Pintu kostku sudah
tertutup dan tidak diperbolehkan untuk
dibuka lagi. Bima, yang kebetulan
rumahnya sedang kosong, menawariku
tempat tinggal. Kami tidur bersebelahan.
Sebagai perempuan normal, wajar
kalau dadaku bergemuruh di situasi
seperti ini. Tapi aku terus mencoba
tidur, aku yakin Bima tidak akan
melakukan apapun padaku.
Saat bangun, hal yang pertama kulihat
adalah wajahnya yang sangat dekat
denganku. Aku merasakan hembusan
nafasnya di pipiku. Aku menelusuri setiap
lekuk wajahnya. Aku kembali mengaguminya.
Tanpa sadar, bibirku menyentuh
permukaan bibirnya. Lembut, agak basah,
dan menenangkan. Refleks akupun
bangun. Mungkin dia tersadar atas apa
yang telah kulakukan, dia mulai menggeliat.
Takut dengan apa yang akan
dikatakannya, aku segera ke kamar mandi
dan membasuh wajahku. Tak lama, terdengar
teriakannya, “Fla, kita langsung
siap-siap ya!” Syukur, dia tidak menyadarinya.
Aku semakin tidak bisa lepas darinya
sejak ciuman itu. Tapi dia tidak mencegah
ataupun menolak apapun yang kulakukan.
Berita mengejutkan itupun terungkap.
Aku mengetahui masalahnya yang paling
besar. Bukannya menjauhinya, aku
malah semakin agresif padanya. Mungkin
dia jenuh deganku. Dia benar-benar menjauhiku.
Sekitar sebulanan aku tidak lagi
berada dekat dengannya sampai temanteman
kami membuat kami rukun lagi. Seharusnya
setelah mengetahui semuanya
aku bertobat. Tidak lagi memulai apapun
dengannya. Tapi seolah aku sudah
bebal, aku tahan banting.
Aku mencari celah untuk dekat
dengannya lagi, dan aku berhasil.
Dia masih membutuhkanku.
Bahkan dia tidak ragu
menulis kata ‘date’ denganku di salah
satu akun sosial media miliknya. Seolah
aku punya harapan, di 27 April 2014 saat
itu kami sedang mengikuti event khusus kolam
renang kami kembali berciuman di
bawah air. Dia tidak menolakku. Untuk
pertama kalinya dia membalas ciumanku, dan ciuman itu
terjadi bukan hanya sekali. Aku tidak
tau kalau itu akan menjadi kali terakhir
kami melakukannya. Hari itu dia
memelukku erat dan memimbisikkan
kata ‘makasih’ di telingaku.
Mungkin waktu itu adalah ungkapan
perpisahan darinya, tapi aku tidak mengerti.
Aku terlalu bodoh untuk memahami
apa maksud dari perlakuannya
selanjutnya. Dia tidak lagi membahas
rentetan pesanku, bahkan
mengacuhkan semua perbuatanku.
Aku mulai tidak tahan, aku mulai
melakukan sesuatu seolah dia masih
milikku. Aku hanya takut dia kembali ke
masalahnya lagi dan hari itu pun datang.
27 Juni 2014. He said, “Iya, aku masih
kayak gitu. Dan itu bukan urusanmu.
Kamu harus tau, Fla, aku ga butuh
kamu lagi. Pergi dari hiduku!”
Dia mengusirku. Berminggu-minggu
selanjutnya aku hidup dalam kesedihanku.
Aku tidak lagi menjadi sosok
yang sosial, aku tidak peduli terhadap
apapun lagi. Perlahan, dengan bantuan
teman-temanku, aku kembali menata
hidupku. Aku mulai kembali kepada-Nya.
Aku curahkan semua penyesalan dan
kebodohanku. Tapi doaku untuknya tidak
pernah pupus. Aku ingin dia melepaskan
masalahnya, walau tanpa aku.
Entah apa yang telah direncanakan oleh
Tuhan, setelah semua yang telah dia
lakukan padaku belakangan aku mengetahui
bahwa dia selalu menjelek-jelekkan
aku di depan semuanya, dia tidak pernah
merasa kalau dia membutuhkanku, dan
dia selalu benci tiap dekat denganku aku
memaafkannya begitu saja. Aku bertekad
untuk tidak lagi memikirkan yang duludulu.
Bahkan akupun mau untuk kembali
ke rumahnya, tempat dia dulu mengusirku,
untuk meminta izin kepada Mama
dan kakaknya agar dia ikut liburan
bersama kami ke pantai. Aku sangat
berusaha untuk bersikap normal, seolah
tidak ada masalah di antara kami.
Untungnya, dia juga bersikap sama.
Akhir Agustus 2014, dia kembali
menghubungiku. Dia meminta bantuanku.
Aku tidak menolak. Tanpa memikirkan
apa-apa, aku memulai semuanya lagi.
Bima selalu ada di saat aku membutuhkannya,
sebagai tempat pelampiasan
emosi, cerita, impian bodoh, dan
dia selalu memberikan celetukan-celetukan
yang katanya tidak disengaja
tapi sukses merubahku. Semua yang
kubutuhkan ada pada dirinya. Aku
juga selalu berusaha untuk ada di saat
dia membutuhkanku. Entah siapa
yang memulai, kami sudah memanggil
diri kami sebagai BEST BUDDY.
Semua berjalan biasa saja. Akupun
tidak lagi mempunyai perasaan khusus
kepadanya. Sampai 21 Februari 2015
lalu, dia kembali membuka semuanya.
Dia meminta maaf atas semua perbuatannya
yang dulu, dia mengatakan
bahwa sebenarnya dia sangat membutuhkanku,
dan dia menceritakan dari
awal tentang masalahnya itu. Dia
terlihat begitu rapuh. Sangat ingin aku
merangkulnya, memeluknya, menggenggam
tangannya, menenangkannya,
dan meyakinkannya bahwa dia
pasti bisa berubah. Ada aku di sini.
Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
selalu mendukungnya dan membantunya.
Tapi kutahan semua itu.
Jika aku melakukannya, hal itu hanya
akan menyakitiku lagi. Sekuat mungkin
aku tahan untuk tidak lagi melakukan
kontak fisik dalam bentuk
apapun dengannya. Aku takut perasaan
itu akan muncul kembali. Aku tidak
ingin persahabatan ini putus kembali
hanya karena keegoisanku.
Aku tersenyum ke arahnya, dan mengatakan,
“Kamu ga perlu takut, Bi.
Kamu ga sendiri. Coba buka matamu,
masih banyak tempat yang bisa menjadi
pengalih perhatianmu dan melupakan
semuanya, terutama masalahmu
itu. Cuma kamu yang bisa merubah
diri kamu, bukan orang lain, bukan juga
aku. Yang penting, kamu harus yakin.
Kamu ga boleh nyerah. Dan kamu
jangan berpikiran sempit. Inget, masih
ada aku. Oke?”
Dia menatap dalam mataku. “Makasih
banyak karna kamu selalu tau apa
yang aku butuhin, Fla. Sekarang aku
ngerti. Semua yang udah kamu lakukan,
hanya untuk kebaikanku. Tolong
jangan tinggalin aku, Fla. Sehina
apapun yang akan aku lakukan
selanjutnya, tolong ingatkan aku.”
“Sip!”
Sepulang dari rumahnya, aku kembali
menangis. Apa aku bisa selalu ada
untuknya dengan mengabaikan perasaanku?
Apa aku yakin perasaan ini
akan sanggup ku tahan? Aku sangat
ingin membantunya, tapi aku takut
akan semakin menyakiti diriku lagi.
Ya Tuhan, rencana apa lagi yang
akan Kau ciptakan untukku? Tolong,
bukakan pintu hidayah-Mu untukku,
agar aku bisa mengerti apa yang akan
aku lakukan selanjutnya.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman
kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski
cinta takkan bisa pergi. (*)

2 komentar:
Ini ceritaku... haha, aku tidak tahu kalau ternyata ini diterbitkan di RADAR SURABAYA. Makasiiihh ^^
Saya dapatkan dari epaper Radar Surabaya. Cerpen yang sangat bagus, maka saya posting di blog ini. Salam kreatif
Posting Komentar