2 Maret 2015

Daun dan Kematian



Cerpen: M Arrijalul Mukhlisun  (Radar Surabaya 1 Maret 2015)
  

      Aku hanyalah selembar daun
yang mulai menua termakan
usia. Terlahir dari
sebuah pohon yang tertancap
kuat di pinggir jalanan
kota. Mungkin agaknya
aneh ada pepohonan yang turut
menghiasi keramaian kendaraan kota,
namun memang demikianlah adanya.
      Melihat berbagai macam dedaunan
yang menempel di ranting masing-masing,
dengan ukuran yang kecil berwarna
hijau muda nan cerah saling
berdampingan. Sedikit lebar dengan
warna hijau tua, gelap. Patah tubuh
dan tinggal separuh. Sampai yang coklat
kering hampir mati. Aku jadi teringat
saat pertama kali melihat keindahan
bumi ini. Ya! aku pernah menjadi
mereka semua.
       Ranting yang menjulang tinggi, kala
itu, membuatku berada di atas daundaun
yang lain. Warna hijau muda
yang melapisiku tampak menambah
keelokan tersendiri bagiku. Saat mentari
pagi mulai menyunggingkan senyum
sinarnya ke segala penjuru bumi,
ada perasaan bangga yang merasukiku.
Kerena menurutku, akulah yang
pertama kali menyambut senyum itu.
Aku yang pertama menyentuh rintik
hujan ketika langit mulai menyirami
bumi. Saat burung-burung terbang melebarkan
kedua sayapnya, aku dapat
melihatnya dengan jelas. Langit biru,
awan putih yang menghambur mewarnai
biru langit. Sampai rembulan dan
para bintang yang menghias malam di
atas sana, tampak utuh olehku.
      Tidak seperti dedaunan yang berada
di bawahku, untuk memandang semua
itu mereka masih terhalang oleh gerombolan
daun lain yang ada di atasnya.
Meski demikian, tak pernah aku
mendapati mereka protes pada yang
lain tentang keadaan ini. Mereka yang
berhijau gelap saling mempersilahkan
yang berhijau cerah untuk menikmati
masa-masa itu. Semua mereka saling
mengerti. Saat sepoi angin menyapa,
mereka semua menari bersama mengikuti
alunan angin itu. Saat debu jalanan
saling beterbangan, bercampur
asap knalpot semburan kendaraan,
mereka seperti menepuk-nepuk bagian
tubuh yang lain, membersihkan segala
yang menempel dan mengotori hijau
warna tubuhnya dengan bantuan
angin itu. “Kehidupan yang penuh
kedamaian,” ucapku lirih.
      Fajar mulai merekah, menjulang dari
ufuk timur. Embun pagi turun menyerbu
bumi menambah kesegaran pagi, membangunkan
daun-daun yang beristirahat dalam
layu semalam suntuk, dan siap menyambut
hangatnya sinar mentari pagi.
      Semalam jalanan dibawah sana
tampak sepi, tidak dipadati oleh kendaraan
yang berlalu lalang dan kadang
terjebak macet panjang. Lampu kota
yang setia bersinar seakan menyulap
jalan-jalan menjadi semakin sunyi.
Daun-daun pepohonan di sepanjang
jalan tampak memantulkan sinarnya.
Mereka semakin anggun dengan itu.
      Satu, dua mobil mulai bermunculan di
pagi hari yang masih buta dan entah dari
mana dan mau kemana. Bus-bus malam
yang melesat cepat ditemani pengap asap
seakan merobek kegelapan, berperang
semelawan segarnya embun pagi. Sesekali
kendaraan-kendaraan itu menghempas
serta menyeret dedaunan yang ada di
bawah sana. Mereka mulai berguguran
diterpa angin yang menyembul dari
jalanan yang dilewati. Perlahan mereka
mulai terinjak berbagai macam roda yang
melintas buas di jalanan. Mereka merintih,
menangis, sebelum akhirnya hancur
lebur, dan mati. Belum sempat mereka
menikmati sinar mentari untuk yang
kesekian kalinya, mereka harus hengkang
meninggalkan semuanya. Seluruh daun
tampak sedih melihat semua itu. Begitu
juga denganku yang hanya terpaku
melihat tanpa bisa membantu berbuat.
     “Maksudmu?” Tanyaku penuh ketidak
pastian, namun sedikitpun ia tak
bergeming memberikan jawaban.
      Riuh risih dedaunan masih bisa kudengar
meraung berteriak. Mengumpat.
Menyalahkan kendaraan-kendaraan
itu. Suaranya saling bersahutan,
hampir tak bisa kubedakan. Mereka
melakukan itu sepanjang hari, setiap
ada dedaunan yang menjadi korban
ganas kendaraan. Bagi kami seluruh
daun yang ada adalah keluarga. Jauh
dekat tak peduli kegembiraan, kesedihan,
kami sama-sama merasakannya.

      ***
      Matahari mulai meninggi. Sinarnya
semakin ganas membakar bumi. Angin
yang menyembul dari balik kendaraan,
asap kotor yang dilahirkannya, suara
bising yang keluar, semuanya kami
sambut dengan penuh bunga. Bagi
manusia, mungkin semua itu adalah
virus dengan berjuta-juta penyakit.
Namun tidak bagiku, bagi kami bangsa
daun semua itu merupakan sebuah
ramuan penyegar, dan dari semua itu
pula kami menemukan kehidupan.
      Hari terus berlalu. Selama itu kami
hidup penuh kedamaian. Kendaraan
yang selalu menampar dedaunan, kini
tamparan itu tak mampu lagi menjangkau.
Daun-daun yang dulunya melambaikan
dirinya ke jalan-jalan, kini telah
tersapu bersih. Dahan dan rantingnya
pun ikut musnah. Hanya tinggal dahan
tinggi, menjulang menandingi gedunggedung
pencakar langit di kota ini.
      Dan saat itu, aku bukan lagi daun yang
pertama kali menyambut senyum sinar
mentari pagi. Bukan yang pertama
menyentuh rintik hujan yang turun
membasahi bumi. Aku tak lagi dapat
melihat jalas burung-burung yang
mengibaskan sayap di atas sana. Tidak
mampu melihat telanjang biru langit
beserta gumpalan awan yang setia menghias.
Aku hanya bisa mengintip semua
itu melalui celah yang ada di sela-sela
dedaunan yang mulai tumbuh lebat di
atasku. Warnaku juga tidak lagi cerah,
secerah mereka-mereka yang baru terlahir
kedunia melalui rahim sang pohon.
      Aku yang menginjak dewasa, tak muda
juga tak tua, kala itu, sempat digegerkan
oleh segerombolan orang yang
menenteng gergaji mesin. Tidak perlu
ditebak apa yang hendak mereka lakukan.
Pohon-pohon yang berjajar rapi
di tepi jalan, ingin mereka sapu bersih
dengan si Gigi besi itu.
      “Daun-daun yang berjatuhan telah
mengotori jalan, mengurangi keindahan
kota, lebih baik kita manebangnya,”
Kata salah seorang dari mereka.
      “Lagi pula adanya pohon ini hanya
akan menambah gelapnya kota, meskipun
ada cahaya matahari.”
       Mengetahui hal itu semua pohon
beserta daun-daunnya menjerit histeris,
melawan raungan gergaji yang mulai
mengiris. Dan siap memberantas habis.
      Aku mendengar jelas jeritan para daun.
Tidak dengan penebang-penabang brutal
itu, mereka sama sekali tidak mendengarnya.
Dengan buas mereka menghabisi
pepohonan yang ada di sepanjang
jalan. Andai bisa melawan, mungkin
pohon-pohon itu akan memamerkan akarakar
kuat yang telah lama terpendam.
Menghempaskan tubuh-tubuh kecil
mereka. Tapi itu tidak mungkin. Pohonpohon
itu hanya diam pasrah.
       Lima, Enam, Sepuluh, pohon mulai
roboh memotong jalanan yang sepi kala
itu. Dan jeritan masih kudengar jelas.
Tidak puas, daun-daun yang mulai
terhempas ke bibir jalan mengumpat,
mengutuk mereka yang membunuh
sumber kehidupannya.
      Aku semakin cemas. Tidak lama lagi,
aku dan daun-daun yang ada di pohon
ini akan segera musnah. Tinggal menunggu
giliran. Ya! Tinggal tujuh pohon
lagi di depan yang belum mereka
selesaikan dan sepuluh pohon di
belakang siap di tebang. Melihat daundaun
yang bergelimagangan memadati
jalan, aku ingin menangis, menjerit
seperti mereka. Namun, sekali lagi,
percuma para penabang pohon itu takkan
mungkin mendengar.
      Dengan sekejap, jalanan tersulap
menjadi lautan daun dengan ranting
yang bertebaran di sana-sini. Di
seberang jalan sana adalah orang-orang
yang hanya terpaku asyik menonton
adegan pembunuhan kami.
      Di tengah terik matahari yang se
makin menyengat, mereka dengan giat
menggoreskan gergaji mesin itu ke
tubuh pohon-pohon. Di saat yang bersamaan,
aku tertegun heran mendengar
jeritan dedaunan yang mulanya
menggelegar, kini tak lagi kudengar.
Semuanya diam serentak. Dan beberapa
saat suasana di antara kami menjadi
sunyi.
       Mereka semakin gencar membantai.
Dedaunan kembali riuh ramai. Tapi
tidak dengan jeritan histeris nan
mengiris. Tidak dengan itu. Doa, ya!
Seluruh daun yang tersisa mengumandangkan
doa, doa untuk keselamatan
bersama. Suaranya yang saling bersahutan
seakan mengobrak-abrik panas
matahari kala itu. Mengundang angin
berdebu untuk mengusir orang-orang di
bawah sana, memanggil awan mendung
yang lama tak menampakkan dirinya.
Dua pohon lagi berhasil mereka gulingkan.
Deru mesin gergaji seakan menyayat
siapa saja yang mendengarnya.
Mereka bersorak ria. Bangga dengan
apa yang mereka lakukan. Satu pohon
lagi roboh ke jalan disambut tepuk
tangan ramai orang-orang menonton di
tepi jalan. Aku tak sanggup lagi melihat
kejadian yang memilukan ini.
      Perlahan, cahaya matahari tak lagi
ganas. Sedikit demi sedikit awan mendung
mulai menyelimuti langit. Matahari
mengalah. Ia menarik seluruh
sinar yang di tebarnya ke bumi.
Dengan cepat langit yang cerah kini
berubah menjadi hitam pekat. Dari segala
penjuru angin berhembus buas.
Dengan bantuannya, seluruh pohon
yang tersisa seperti mengamuk.
Menghempaskan dahan beserta ranting
mereka melawan kebrutalan para
penebang. Tak lama, mendung mulai
menumpahkan gerimis. Suaranya
serasa mengiris. Tak mau kalah angin
mendesau dengan kuat, membuat tirai
hujan semakin tebal dan kelabu. Petir
mulai memamerkan kilat silaunya.
Guruh yang menggelegar menambah
suasana semakin gencar. Di bawah
sana mereka mulai mematikan mesin
gergaji. Semua orang menghambur,
berlarian mencari tempat berlindung.
     Tanpa henti, suara dedaunan yang
ada terus menggema. Memenuhi
seluruh isi dunia.
***
      Keesokan harinya para penebang itu
tak lagi menampakkan batang hidung
mereka. Hanya sekelompok petugas
kebersihan yang mulai menyapu daundaun
yang berserakan, dan pohon-pohon
yang terkapar tak berdaya di jalanjalan.
Sejak saat itu, kehidupan kami
kembali dengan kedamaian seperti
semula. Mentari pagi dengan sinarnya.
Embun pagi dengan kesegarannya. Semilir
angin dengan gelitiknya. Langit
malam dengan bulan bintangnya. Dan
segala pernak pernik kehidupan dengan
berbagai macam warnanya.
      Dan detik ini aku hanyalah selembar
daun yang mulai menua termakan
usia. Hampir tiba waktunya: warna
yang menguning, berubah coklat kering,
sampai akhirnya terhempas oleh
sambaran angin, dan tepisah dari ranting.
Jatuh. Sampai di aspal jalanan.
Disambut roda kendaraan. Remuk.
Hancur dan tamat sudah. (*)

Tidak ada komentar: