“Nun di suatu masa nanti, Terusan Suez bakal mandi darah, api berkobar
dahsyat di Benua Asia dan Afrika. Akhirnya kedua benua, akan berpaut menyatu
padu di kota ini (Bandung)”
Ramalan Sosrokartono, 1940.
Apa yang dikatakan oleh Drs.RMP Sosrokartono
(1877 – 1952), kakak kandung pahlawan nasional RA Kartini, ternyata menjadi
kenyataan. Terbukti pada tahun 1955, Kota Bandung dijadikan ajang Konferensi
Asia-Afrika. Suatu tiang pancang awal kebangkitan dan persatuan bangsa-bangsa
di benua Asia-Afrika yang baru merdeka, terlepas dari penindasan dan penjajahan
oleh kaum kolonialis. Dan itu dimulai dengan “Krisis Suez” yang terjadi di awal
tahun 1950-an, dan meibatkan kekuatan militer Inggris dan Prancis. Menghadapi
Mesir yang mendapat bantuan dan simpati negara-negara Arab dan Asia-Afrika
lainnya. Kejadian itu persis, sesuai dengan ramalan atau “visi gaib” dari
Sosrokartono, 15 tahun sebelumnya.
Sastria pendita nan waskita
Sosrokatono memilki kekuatan
spiritual yang hebat. Waskita dan waspada! Sebagian orang menyatakan bahwa
beliau memiliki ‘indera keenam’ dan ‘mata ketiga’, istilah-istilah yang kurang
dipahami oleh orang awam.
Sejak usia
muda, beliau sudah terlihat bakat paranormalnya. Pada suatu hari di tahun 1880,
Sosrokarto
yang baru berusia tiga tahun, mengumpulkan semua barang
mainannya. Kemudian dikemasi dalam suatu wadah, siap untuk dibawa, bila
sewaktu-waktu keluarga RM Samingun (ayah Kartono-Kartini) harus alih tugas dari
Mayong.
Orang-orang di
rumah bertanya pada Kartono kecil: “Mengapa alat-alat permainanmu kau
kumpulkan?”
Jawab Kartono
: “Mau pindah rumah”
Penanya :
“Siapa yang mau pindah?”
Jawab Kartono
: “Ayah !”
Penanya : “Pindah ke mana?”
Jawab
Kartono: “Ke Jepara”.
Bukan main!
Sungguh aneh kala itu! Tiga bulan kemudian masih di tahun 1880 itu juga, ayahnya menerima ‘Surat Besluit
Gepernemen’ yang memindahkan RM Samingun ke Jepara, untuk menduduki jabatan
Bupati Jepara. Menggantikan kedudukan ayah mertuanya.
Semua tepat
seperti ramalan “si Kakek Kecil” , nama julukan Sosrokartono di lingkungan
keluarga RM Samingun. Memang si Kakek
Kecil ini memiliki sifat ‘terang-pandang’ atau ‘clairvoyance’ sebagaimana
terjadi dalam kisah berikut ini:
Tahun 1918,
Perang Dunia I di Eropa usai sudah. Prancis dan Jerman mengadakan perundingan
rahasia di tengah hutan Campienne, Prancis. Tempat perundingan diajaga ketat,
tak ada wartawan yang dipernenankan hadir dalam pertemuan itu. Sebelum keluar
pengumuman resmi, surat kabar ‘New York Herald Tribune’ telah menyiarkan hasil
perundingan. Pengirim beritanya adalah seorang koresponden di Eropa dengan kode
‘bintang tigs’, kode Drs.Sosrokartono. Kejadian tersebut sempat mengejutkan
pers dunia, sehingga belia diberi julukan “wartawan agung”.
Keanehan-keanehan atau keajaiban lain seputar beliau, banyak terjadi dan
dialami oleh para pengikutnya, sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Sidho
Mukti, Kudus tahun 1952.
Drs.RMP Sosrokartono
yang lulusan Universitas I eiden, tergolong genius. Menguasai 36 bahasa,
terdiri dari 17 macam bahasa Eropa, 9 macam bahasa Timur dan 10 bahasa daerah
Indonesia.
Beliau menguasai bahasa sampai ke
dialek-dialeknya. Sebagaimana terjadi di zaman pendudukan Jepang. Masa itu
beliau lebih tekun hidup prihatin. Puasa, mengurung diri beberapa hari di kamar
pribadinya. Tiba-tiba dating seorang Nyonya Eropa, uluk salam –“Good morning
doctor!” Masih belum ada jawaban.
Baru setelah si
nyonya mengucap salam buat ketigakalinya, Sosrokartono keluar dari kamarnya,
menyambut salam si nyonya dan mempersilahkan tamunya masuk. Kemudian terjadilah
obrolan yang asyik, diseling tawa-ria, dengan menggunakan bahasa yang tak
dipahami leh para hadirin yang siang malam selalu membanjiri rumah Darussalam
di Jl.Pungkur No.19 Bandung.
Mengapa si
Nyonya Eropa harus uluk salam sampai tiga kali? Ssrokartono member penjelasan
kepada para pengikutnya. Dari logat ucapan ‘good morning’ yang pertama,
Sosrokartono langsung mengetahui bahwa si nyonya bukan orang Inggris. Dari
logat salam yang kedua, diketahui bahwa si nyonya adalah orang Rusia.
Selanjutnya, ucapan ‘good morning’ yang
ketiga, Sosrokartono memastikan si nyonya berasal dari daerah Ukrania. Ternyata
benar, nyonya tadi adalah orang Rusia. Tokoh dunua theosofi yang terkenal dan
misterius. Datang dan meninggalkan tempat dalam waktu sekejap mata.
Karena
kemahirannya berbahasa, maka Sosrokartono diminta menjadi juru bahasa tunggal
di forum Volkenbond (cikal bakal PBB) di Geneva. Swiss pada tahun
1918. Kemudian Sosrokartono diangkat oleh pemerintah Prancis menjadi pegawai
tinggi pada Kedutaan Prancis di Den Haag, tahun 1921. Tatkala beliau di Jenewa
(tahun 1918 – 1920), Sosrokartono sering mengadakan perjalanan keliling,
singgah di Negara-negara Eropa sesuai dengan hasrat hatinya, ingin mengenal
bangsa-bangsa di dunia.
Dalam perjalanan
dari Swiss menuju Italia, sesampainya di lereng Pegunungan Alpen yang membatasi
kedua Negara, Sosrokartono dibegal oleh sekawanan penyamun bangsa Italia.
Selain barang bawaannya dirampas, para penyamun berniat membubuhnya. Maka
dengan bahasa Italia bernada halus Kartono meminta barang waktu sesaat untuk
mengerjakan shalat dan menulis sepucuk surat buat ibunya di Pulau Jawa. Timbul
perdebatan. Kartono mengajukan alas an, bahwa ibundanya yang selalu akan
menunggu kedatangannya, mrasa cemas tanpa berita dari putranya yang jauh di
rantau orang. “Bila aku telah memberi kabar kepada ibuku tentang kematianku,
silahkan anda bunuh aku”, begitu kata Kartono kepada para penyamun. Mendengar
kata-kata tadi, bajingan-bajingan Italia itu merasa terharu. Lalu mengembalikan
seluruh harta milik Kartono, dan mengantarkannya dengan naik pedati memasuki
perbatasan Italia.
Kejadian itu
membuktikan, bahwa sikap berhikmat kepada Ibunda, dapat menjadi doa restu
selamat bagi dirinya. Sosrokartono telah membuktikan kebenaran ungkapan; tiada
keramat yang paling ampuh di dunia selain doa Ibu, atau istilah Sunda –‘Indung Tunggul Rahayu!’
Sejak kejadian
di lereng Pegungan Alpen itu, Sosrokartono amat rindu kepada ibundanya yang
tinggal di Salatiga. Maka pulanglah beliau ke tanah air. Dan memilih Kota
Bandung pada tahun 1927 sebagai tempat huniannya.
Pada akhir
1927-an beliau aktif menjadi pendidik di Perguruan Taman Siswa, selain juga
menjadi tokoh spiritual, pendukung pergerakan nasional di Kota Bandung. Para
tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, juga mahasiswa TH yang lagi
menghadapi ujian, sering sowan kepada
beliau, untuk memohon doa restu. Kala Soekarno muda jadi ‘singa podium’ di
Bandung, dapat dipastikan Sosrokartono hadir ‘diam’ memberikan dukungan moral
di sisinya.
Pada suatu
ketika, Sosrokartono yang yang dituakan di Perguruan Taman Siswa, mendapat
undangan untuk meresmikan gedung sekolah milik perguruan itu di Garut dan
Cianjur. Repotnya, hari, tanggal dan peresmian waktunya bersamaan. Namun entah
bagaimana caranya, ternyata pada saat yang bersamaan di dua tempat yang
berjauhan (Garut dan Cianjur) peresmian gedung sekolah, dapat dilaksanakan oleh
beliau. Hal itu terbukti dari dua lembar foto dan berita surat kabar, yang
menyiarkan pristiwa tersebut.
Sejak
Sosrokartono mendiami rumah ‘Darussalam’ di Jl.Pungkur No.19, beliau sering
menolong orang yang susah, sakit, dan kesulitan mental maupun spiritual. Beliau
menolong ‘pasiennya’ dengan member air putih sebagi media penyembuhan. Oleh
karena itu beliau sering disebut sebagai ‘Dokter Cai’.
Tatkala Sosrokartono
masih hidup, pernah mengatakan bahwa beliau tidak mengajarkan sesuatu, tidak
mempunyai murid atau menjadi guru. Baginya: “Murid
gurune pribadi, guru muride pribadi, pamulangane sengsara sesame, ganjarane ayu
lan arume sesame” (‘Guru sang murid
adalah pribadi murid sendiri, murid sang guru adalah pribadi guru sendiri,
bahan pelajarannya adalah kesengsaraan dan penderitaan sesame manusia,
pahalanya adalah kebahagiaan bagi sesama hidup’).
Hakikat hidup ini adalah cinta kasih manusia
kepada Tuhan. Cinta kasih itu hendaknya disalurkan dengan mengambakan diri
kepada hamba Tuhan (sesama manusia).
Pandangan hidup
Sosrokartono, memegang teguh ‘laku’, tindakan dan perbuatan, yang disebut ‘Catur Murti’. Catur Murti ini merupakan perilaku
kehidupan. Maka bagi mereka yang ingin mempelajarinya, berdatangan ke tempat
kediaman beliau di Bandung kala itu. Mereka disebut ‘monosuko’, yaitu orang-orang yang suka rela datang tanpa diundang
ke tempat itu ***@
(sumber: Ir.Harry Kunto-ITB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar