13 April 2015

Sumber Awan

Cerpen:Latif Fianto (Radar Surabaya 12 april 2015)

     
Cahaya matahari terik di
atas kepala. Bau dan suara
kentut knalpot saling
berebut. Bunyi klakson
beriak susul menyusul. Debu-
debu beterbangan berlomba
dengan kendaraan yang bergerak
merayap, macam kura-kura. Aku
bergerak sesak dengan motor bebek
buatan Jepang. Mataku lurus ke depan,
mencari ruang salipan. Astaga, wajah
sebuah mobil kekar besar nyaris
mencium bodi belakang bebek ku.
      Detik per detik menjadi pisau waktu
yang menyiksa. Jarak menjadi semakin
panjang. Panas membakar. Udara bercampur
bau besi, semacam bau karet yang
dibakar. Jarak sesenti menjadi sangat
berharga. Lebih berharga dari kematian.
     Kendaraan masih berderap merayap
padat ketika aku melepaskan diri dari
kepulan asap knalpot yang menyesakkan
dada. Kini aku menghirup udara
segar yang merengsek diantara dedaunan.
Berdiri di depan rumah Ayong
yang jauhnya mencapai dua setengah
kilometer dari kebisingan jalan raya.
     Aku memandang ke arah halaman
yang sunyi. Tak berani membawa kaki
melewati pintu pagar. Belakangan,
anjing di rumah ini semakin galak.
Dulu, setiap kali aku datang, berdiri
di teras rumah, anjing itu selalu ingin
mencium kaki ku. Berlomba dengan
     Ayong yang tiba-tiba mendaratkan
bibir tebalnya di pipi.
Tiga bulan aku tidak ke sini. Tak
ada yang berubah. Rumah tetap sepi.
Warung kecil di halaman masih berdiri
kaku. Hanya anjing itu yang berubah.
Semakin galak saja padaku. Melihatku
melongo di balik pagar, binatang itu
menatapku tajam. Melonglong, macam
mengusir. Lupakah anjing itu bahwa
aku adalah laki-laki yang dulu selalu
ingin diciumnya?
Ayong berdiri di depan pagar,
tersenyum. Mengenakan kaus merah
muda, ketat membungkus tubuhnya yang
padat. Rambut dibiarkan berurai, jatuh
di kedua pundaknya. Aku terpukau.
“Kita mau pergi kemana?” Ayong
duduk di belakang, di atas motor
bebekku.
“Terserah kau. Hari ini kau yang
menjadi guide nya,” aku menyalakan
mesin.
“Ikuti saja arah jalan yang menanjak
itu!” ia menunjuk arah di depan setelah
kami tiba di pojok jalan.
“Jalan itu menuju kemana?”
“Aku tidak tahu juga. Ikuti saja!”
ia mendekatkan bibirnya di telinga.
“Bukankah mengobati kerinduan itu
lebih penting daripada tujuan sebuah
tempat?” suaranya lembut berbisik.
     Aku terkekeh. Ayong menyandarkan
kepala di pundak. Aku melesat di
bawah terik matahari. Membelah
kesiur angin yang gemulai.
     Rumah-rumah sederhana berdiri di
pinggir jalan yang menanjak. Di depan,
jalan bercabang empat. Aku memilih
belok kanan. Kali ini insting yang
mengarahkan. Aku tak tahu kemana
jalan hendak membawa. Tanah-tanah
sangat hijau. Ilalang berjuntai setinggi
laki-laki dewasa. Kerbau memakan
rumput di tengah ladang. Gerombolan
kambing berbulu putih berteduh di
bawah pohon pisang.
      Benar kata Ayong, apalah arti sebuah
tujuan. Tidak ada yang lebih penting
daripada menambatkan kerinduan.
Di depan, jalan kembali bercabang.
Aku memilih belok kiri, menuju arah
selatan. Padang rumput terbentang.
      Beberapa meter kemudian, rumahlayouter
berrumah warga berdiri gagah. Warung
makan dan beberapa rumah masih
dalam pembangunan. Suara kesiur
angin bertumpu dengan suara gesekan
pohon bambu yang bergoyang, mengeluarkan
siul gombal menggoda.
      Aku berhenti. Di depan ada tiang
kecil beserta sebuah plang bertuliskan
Candi Sumberawan 500 meter. Di
bawah tulisan itu, arah tanda panah
lurus ke arah kanan. Sumberawan?
Nama yang menggelitik mata.
       “Kau sudah pernah pergi kesini?”
tanyaku lamatlamat menatap Ayong.
Ia menggeleng.
      “Belum, baru hari ini aku tahu kalau disini
ada candi.”
      “Kita pergi kesana?”
      Ayong mengangguk,
menggamit lenganku. Kami
berjalan sejauh lima ratus meter.
Melewati jalan setapak.
Di sisinya mata air mengalir
bening. Beberapa ikan tawar bergelanyut
manja. Di seberang aliran mata
air kecil itu, berjejer pohon bambu, rapat.
Di sebelah kiri, hijau padi menghampar
di atas sawah. Suara burung, serangga
dan siul angin berpadu. Terdengar dari
balik pepohonan yang rindang.
Anak-anak kecil melompat ke dalam
sungai, yang dalamnya tidak seberapa
Ibu-ibu mereka tertawa melihat aksi
anaknya yang menggemaskan.
Dua anak gadis sepantaran bergantian
mengambil gambar. Di belakang
mereka gemericik mata air pegunungan
mengalir. Kuikuti aliran air itu hingga
ke pangkal. Alamak, itu benar-benar
indah. Sebuah telaga kecil terhampar.
Airnya tenang. Indah nian telaga itu.
      Pelan-pelan, kudengar sebuah suara
yang sulit kukenali. Seperti datang
dari kolong langit. Tidak, itu bukan
suara orang lain. Itu suara hatiku yang
meminta mendekat ke bibir telaga
Baru dua langkah hendak mendekat,
tiba-tiba Ayong sudah berdiri di depanku
Mataku sempurna menatap dadanya
yang membusung ke depan. Pemandangan
yang lebih indah dari sekadar
telaga kecil di balik candi.
      “Awan, aku ingin mendekat ke candi
itu,” ia menarik lengan. Mensejajariku
di sebelah. Sesekali pinggir dadanya
yang lembut menyentuh bahuku
Aku menatap lekat-lekat tubuh candi.
Bentuknya persis stupa induk di tingkat
Arupadhatu di puncak candi Borobudur.
Macam gunung Arjuna, gagah perkasa.
Puncaknya menusuk langit.
      Aku tak begitu banyak tahu tentang
makna simbol, apalagi tentang candi.
Tapi coba bayangkan, berdiri di puncak
candi ini atau di puncak gunung
Arjuna. Angkat wajah menatap ke atas.
Seperti terasa sangat dekat dengan
langit, begitu dekat dengan sang
pencipta. Pencapaian menuju langit,
melewati batas-batas awan yang
lembut. Menggapai lazuardi, di sebuah
nirwana yang menjulang di atas bumi.
Ini karya yang maha sempurna. Memadukan
seni dan kedalaman spiritualitas.
Ini buah karya orang-orang terdahulu,
saat kerajaan Majapahit masih
berkuasa gagah di tanah Jawa. Mereka
sungguh mengerti bagaimana mewariskan
ilmu dan kearifan. Tapi bagaimana
bisa candi ini bernama Sumberawan?
      “Kau tahu kenapa candi ini diberi
nama Sumberawan?” aku menyikut lengan
Ayong.
       Ia menggeleng. Astaga, aku bertanya
pada orang yang salah, yang tidak mengerti
sama sekali tentang situs peninggalan
sejarah. Ia bahkan baru hari ini
mengetahui ada candi semacam itu.
       “ D u l u n y a daerah ini bernama
Kasurangganan, diartikan sebagai
taman yang dipenuhi bidadari atau malaikat.”
Itu bukan suara Ayong. Aku
tahu ia tidak akan mengeluarkan katakata
seberat itu. Alamak, itu suara berat
seorang nenek di belakangku. Seorang
nenek tua yang rambutnya sudah
memutih. Tubuhnya kurus tapi tidak
ringkik. Ia duduk bersila menghadap ke
telaga. Matanya terpejam. Aku baru
sadar ada seorang nenek di sekitar candi.
      Pelan-pelan kudekati. Duduk di
samping nenek itu. Ayong memainkan
ekor matanya. Jangan diganggu!
Aku sudah terlanjur duduk, nenek itu
pasti merasakan kehadiranku. Ia seperti
sedang bersemedi, tapi tidak sedang
bertapa. Sepanjang kutelisik, kulit
wajahnya masih segar. Hidungnya mancung.
Bibirnya tipis, manis. Astaga, aku
sungguh tidak sopan telah menelisik wajah
orang tua yang harusnya kuhormati. .
      “Bagaimana nenek bisa tahu tentang
candi ini?”
      Nenek itu diam. Hampir tak kudapati
ada nafas yang keluar dari dua
ruas lubang hidungnya.
      “Mudah saja, Nak, nama itu
terdapat dalam kitab Negarakertagama,”
mata nenek tetap terpejam.
“Kitab macam apa itu,
Nek? Buku ensiklopedia
atau kitab tebal macam cerita Mahabharata,
Nek?”
       “Anak muda yang lahir dari peradaban
modern macam kau ini tidak akan
mengenal kitab itu.”
      Aku tidak percaya nenek di depanku ini
tiba-tiba menghakimi sesuatu yang belum
lama dikenalnya. Baru dua detik bercakap-
cakap sudah menghakimiku yang
tidak-tidak. Bisa kupastikan nenek ini tidak
tahu menahu tentang dunia modern.
      Kitab Negarakertagama? Aku sering
mendengar nama itu. Aku juga sering
mendapati nama-nama kitab semacam
itu di buku bacaan yang mengulas tentang
sejarah. Aku diam, menunggu
kata-kata berikutnya.
      “Aku tahu betul anak-anak muda macam
kau, Nak. Lahir di saat dunia sudah
gemerlap oleh teknologi. Memiliki
ilmu sedikit saja sudah membusung
dada. Mengumbar pemahaman hingga
mulut berbusa-busa. Bacaannya Karl
Marx, Hegel, Weber. Bagaimana kau
bisa mencintai negerimu kalau kau saja
tak mengenal sejarah bangsamu, Nak?”
      Bibirku terkatup, tak mampu bergerak.
Sedikit banyak, kata-kata nenek
ini benar adanya.
      “Siapa yang meragukan kata-kata cinta
dari anak muda seperti kau, Nak. Tak ada.
Bahkan kalau kau mau, kau bisikkan kata
cinta pada setiap perempuan, mereka akan
jatuh dalam pelukmu. Tapi masalahnya,
cinta bukan sekadar kata-kata, Nak. Cinta
bukan kalimat-kalimat bertenaga yang kau
teriakkan di jalan-jalan raya. Cinta bukan
suara-suara serak yang kau serukan di
setiap hari kemerdekaan.”
      Nenek ini diam dalam damai. Aku
memperhatikan lekat-lekat wajahnya.
Kata-katanya mengalir, mencari ruang
kosong di dalam hati.
     “Cinta itu ketika kau tetap mau
memberi meski berimbal sakit tiada
perih. Cinta itu ketika kau tetap teguh
pada kebenaran hati meski uang dan
kursi menawarkanmu jabatan tinggi.”
     Nenek itu beranjak berdiri. Kedua
matanya terbuka. Tak sedikit pun
menatapku. Kedua tangannya ditekan
ke tanah. Mencari dukungan tenaga
agar kuat berdiri. Aku membantunya.
     “Kau lihatlah ke telaga itu, Nak!
Sumber kedamaian dan keselarasan
alam. Itu wujud cinta yang Maha Besar
dan Agung pada negeri ini. Meski kita
tak pandai mengucap syukur, tapi Dia
tetap menjaga kebeningan air telaga itu.”
     Aku menoleh ke arah telaga. Nenek
itu lagi-lagi mengatakan kebenaran.
Sudah ratusan tahun telaga itu
tercipta, tapi mata airnya tak pernah
keruh. Yang Maha Besar dan Agung
tetap menjaga kebeningan airnya meski
kita tak pandai mengucap syukur.
      Kalimat itu terus terngiang di telinga.
Alamak, indah nian telaga itu.
Berada di bawah kaki gunung Arjuna.
Airnya bening mengalir dari mata air
pegunungan. Dikelilingi pohon-pohon
yang rindang. Aku yakin, dulu saat
candi ini masih misteri, bidadari-bidadari
turun dari langit. Tubuhnya yang
putih merendam di tengah telaga yang
bening itu. Menanggalkan selendang-selendang
penutup tubuh mereka di
tepian telaga. Mereka pasti saling
tertawa. Saling melempar keciprat air.
      Aku menoleh lagi pada nenek itu. Tak
ada. Nenek itu sudah pergi. Kemana?
Secepat itukah nenek itu melangkah?
Benar-benar aneh. Aku tak sedang
bermimpi. Ini benar-benar kenyataan.
      Aku mengangkat kepala pada Ayong.
Kemana? Ia mengangkat bahu. Nenek
itu aneh sekali. Tiba-tiba menjawab pertanyaanku,
lalu pergi sekejap mata. Kepalaku
pening dipenuhi satu pertanyaan
yang masih menggelitik. Bagaimana bisa
candi ini bernama Sumberawan hampir
persis dengan namaku, Awan?
      Ini benar-benar gila, di luar jangkauan
logika. Semua bayang berebut timbul tenggelam.
Bukan jawaban yang kudapatkan,
melainkan rasa penasaran yang semakin
mendalam. Pikiranku bercabang, antara
mencari jawaban atau terpaku dalam diam,
pukau. Aku terpenjara, tercekat pikat
menahan getaran hebat dari belahan tubuh
Ayong yang memelukku dari belakang. (*)



Tidak ada komentar: