5 November 2014

Apa Yang Kau tahu tentang Jerapah?




 Cerpen: Niken Kinanti (Radar Surabaya 2 November 2014) 


   MULANYA aku tak pernah curiga sedikitpun

mengenai perilaku suamiku yang selalu menanyakan tentang hewan yang bernama

jerapah. Ia menanyakan padaku sejak pertama kali ia bertemu denganku.

Aku lupa tanggal berapa kami pertama kali bertemu, namun aku

masih ingat hari itu adalah hari akhir tahun, dimana hujan tak berhenti

menetes saban hari. Aku masih ingat saat itu, ia membaya payung bercorak

kotak kecoklatan lalu membawa tas selempang berwarna putih dari kain

terigu. Pertemuan kami yang pertama itu cukup mengejutkan, karena kami

sering berkomunikasi lewat media sosial namun kami tak pernah

bertemu dan bertatap muka sebelumnya.

      Hari dimana aku bertemu dengannya

adalah hari yang biasa saja. Mendung dari pagi belum juga mau

minggir sebentar saja. Aku cemas melihat jam dinding yang menunjukkan

angka 9 pagi dan tak mau beranjak menuju angka 10 pagi. Aku

sudah berdandan rapi di kamar, membedaki pipiku dan memoles

bibirku dengan warna merah muda. Parfum aroma melati kusemprotkan

berkali-kali pada pergelangan tangan. Aku cemas lutar-putar jam

tangan warna kuning keemasan yang kupakai, namun an padaku sejak pertama kali ia bertemu denganku.

Aku lupa tanggal berap

itu tak merubah

apapun. Aku masih saja cemas menanti kehadirannya di hari itu,

hari yang tak kutahu namanya.

      Seseorang datang dengan memakai payung yang warnanya sampai

sekarang tak akan kulupa, tas warna putih dari kain terigu serta baju dan

celana berwarna hitam. Ia melihatku yang menunggu di teras rumah

kontakan. Ia melihatku sebentar, lalu tersenyum.

     “Silvia?” tanyanya dengan pelan.

      Aku tersenyum simpul lalu membalas.

     “Apa aku terlihat berbeda dari foto yang aku kirimkan? Kelihatannya

kau heran melihatku.”

     “Ehm, aku hanya basa-basi. Boleh duduk?”

      “Oh, iya. Maaf aku lupa mempersilakanmu duduk.”

      Kami mengobrol sebentar, lalu ia mengajakku berjalan keluar menuju taman.

 Hari yang aneh memang, karena tak ada orang yang bepergian ke taman saat cuaca hujan seperti ini.

Aku menuruti saja keamuannya kemanapun ia ingin pergi, sebab aku tahu melalui pembicaraan

kami bahwa ia lebih nyaman berada diluar ruangan dan ia lebih suka pada tempat yang sepi.

“Kau sudah makan?” tanyanya

padaku.

“Belum.” Jawabku.

“Boleh aku mentraktirmu segelas kopi? Uangku hanya cukup untuk

membelikanmu segelas kopi.”

     Aku mengangguk menyetujui. Ia menunjuk lapak kecil, kemudian

kami bersama-sama masuk ke dalamnya. Ia meletakkan tas berwarna

putih dari kantong terigunya, lalu memesan dua gelas kopi. Ia

memesan satu gelas kopi dengan gula setengah sendok teh dan satu lagi

untukku satu gelas kopi dengan gula satu setengah sendok teh.

     Lama ia memandangi jalanan

tanpa berkata apapun, lalu ia mengeluarkan

tembakau yang ia bungkus dengan plastik transparan.

Ia mengeluarkan semacam kertas dari bahan daun jagung, lalu ia melinting

tembakau tersebut ke dalam kertas dari daun jagung.

     “Dari kota Bo jam berapa?” tanyaku kepadanya.

    “Aku berangkat malam, setelah Isya.”

    “Capek ya di perjalanan menuju kota Ba?”

     Ia tersenyum padaku, sambil menghisap lintingan tadi.

    “Apa kota ini selalu hujan tiap hari?” ia bertanya.

     Aku diam barang sebentar, lalu menjawab. “Mungkin karena musim

penghujan, maka hujan turun setiap hari. Dan mungkin juga karena ada

kamu,” jawabku singkat.

     “Mau hujannya aku alihkan ke tempat lain?”

     “Jangan bercanda. Kita bukan Tuhan yang bisa dengan mudah

mengalihkan air hujan menuju tempat lain.”

     “Lalu apa gunanya pawang hujan?”

     “Aku tak percaya dengan hal itu.”

     “Kau tak percaya tapi kau meyakini bahwa mereka para pawang

hujan juga bekerja dengan caranya sendiri.”

      Aku menghela nafas, “Maksudku,

aku tak percaya dengan cara mereka

memindahkan hujan ataupun menolak hujan. Bukankah hujan itu

sumber dari rejeki? Mengapa mesti ditolak?”

      Ia tertawa lepas, memperlihatkan susunan giginya yang kecil dan

dihiasi beberapa titik noda hitam.”Apa gunanya doa?”

    “Kenapa kamu tanya seperti itu?”

    “Ya aku ingin tanya seperti itu karena aku ingin mengukur seberapa

jauh pemahamanmu terhadap doa.”

     Aku diam untuk sesaat, lalu meminum kopi yang berada di depanku..

     “Bisa kita membahas yang lainnya saja?”

     “Bisa, aku ingin membahas mengenai jerapah.”

     Aku tertawa.

     “Maksudmu jerapah yang ada di kebun binatang?”

      Dia melihatku dengan tatapan

kecewa. “Mengapa kamu tertawa?”

     “Karena kamu membahas hewan yang disukai anak kecil. Dan ingat,

kita sudah besar. Jadi tak perlu membahas jerapah lagi. Kalau kau

bertanya mengenai jerapah ketika aku masih bersekolah di taman

kanak-kanak, itu wajar. Tapi jika kau membahas hewan itu sekarang,

itu tidak wajar. Ada topik yang lain? Ayolah, bicara mengenai

Freud, atau Nietzche atau yang lain. Aku mau menemuimu di kota

Ba karena aku tahu bahwa kau mahasiswa cerdas. Tapi kenapa kau

membahas jerapah di sini. Kenapa? kau tak membahas Rumi,

lalu Widji Thukul, atau yang lain yang biasa kau ceritakan di telepon?”

       Ia diam lama memandangiku yang berapi-api. Aku menyeruput

kopi hingga ampas-ampasnya, sebagai pelampiasan kekesalanku

terhadapnya.

     “Aku ingin membahas topik yang lain, selain jerapah. Namun aku takut

topik ini akan membuatmu membenciku, kabur dariku atau yang lainnya.”

     “Topik apa?’

     “Aku ingin mengucapkan qobiltu nikaha padamu.”

Aku terdiam lama, ingin segera beranjak dari tempat itu.

   “Aku butuh  waktu untuk memikirkannya.”

    Ia mengangguk, lalu membuat

kesepakatan bahwa ia akan ke kota Ba lagi untuk mendengar jawaban

dariku secara langsung. Dia berpamitan, dan berpesan.

    “Aku hanya membawa oleh-oleh

berupa tape dari kota Bo. Semoga kau suka. Seperti apa yang kau

pesan, kau minta ragi tape tersebut berasal dari Solo.”

     Usai ia berpamitan, aku pulang ke rumah kontrakan. Pertemuan yang

aneh dengannya, tapi entah kenapa membuatku yakin untuk menikah

dengannya dengan gaun merah muda sederhana tanpa riasan

apapun. Kami berdua memakai jarik yang bermotif sama, batik tiga

negeri buatan tangan ibunya. Kain batik itu, yang dibatik oleh ibunya

sendiri mempunyai mitos yang luar biasa, konon dapat menyembuhkan

sakit anak kami dengan cara membasahi kain tersebut lalu air basahan

dari batik tersebut digunakan untuk mandi. Hari itu perayaan

pernikahan kami sederhana, dengan ritual tumplek ponjen yaitu menarik

seekor ayam yang sudah matang. Suara klenengan mengalun lembut

mengiringi prosesi pernikahan adat kami tanpa gangguan apapun.

      Sudah lima tahun berlalu sejak

pertemuan kami di kota Ba. Namun pertanyaannya mengenai jerapah

masih saja terngiang-ngiang di benakku. Aku tak bisa menjawab

sampai sekarang apa maksud dari pertanyaannya. Sekarangpun ia

masih menanyakan hal yang sama Npadaku ketika aku mengunjunginya

di rumah sakit jiwa. Aku selalu membawakannya tape dari kota Bo

dengan ragi dari Solo. Ia selalu menerima tape pemberianku dengan

tersenyum dan menanyakanku

mengenai jerapah. Aku harus menjawab

seperti apa?

***

2 komentar:

Niken mengatakan...

boleh dituliskan niken kinanti di nama pengarang? dan dimuat di radar surabaya

Otang K Baddy mengatakan...

Mohon maaf sebesar-besarnya jika nama pengarang(Niken Kinanti)nya tak tercantum. Ini memang rada aneh, rasanya saat mosting cerpen ini saya tulis nama Anda beserta pemuatannya di Radar Surabaya edisi anu. Jika ingat tolong kirim data pemuatannya ya